Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Tentang Paidjo 01: Genesis

by Fred Batavia


Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang bersudi memanggil saya dengan sebutan Ade’ (adik), makanya orang-orang memanggil saya cukup dengan Djo! Ada yang bilang Bedjo… ada yang bilang Nardjo atau Marjo… tapi paling banyak orang memanggil saya dengan sebutan sederhana… Paidjo. Banyak orang yang berkeluh bahwa hidup di kampung nelayan saya ini sukar. Tapi saya ini masih bocah, tiga belas tahun… belum kenal hidup susah. Semuanya dianggap senang-senang saja. Mau ikut melaut bersama ayah-pun tidak diijinkan, masih terlalu muda kata mereka. Sekolah juga sudah tutup di kampung saya, wong ndak ada yang punya uang untuk bayar sekolahannya. Untung saya sudah lulus SD tahun lalu. Kegemaran saya pergi ke pantai. Walaupun mata masih keriyep-keriyep, setiap pagi saya menyempatkan diri untuk mengunjungi pantai tak bernama di depan kampungku. Bukan untuk menghirup udara segar, bukan pula untuk menikmati terbitnya terbit, kesukaan saya hanya satu, yaitu melihat pemuda-pemuda desa yang gagah perkasa itu kembali dari laut yang ganas. Dalam musim yang baik seperti saat ini mereka tampak senang sekali. Jaringnya dipenuhi dengan berbagai penghuni laut. Lelahpun tak mereka rasakan, asal sudah mendapat ikan untuk dijual dan dimakan sendiri saja. “Paidjo… nanti kamu mBantu saya mbelek ikan ya?” “Paidjo… jala saya tolong dijahitkan…” “Paidjo… turut nambal kapal?” Paidjo ini… Paidjo itu… Waktu saya masih berumur dua tahun, kakak lelaki saya meninggal termakan Laut Utara, akhirnya pemuda-pemuda tadi semua saya anggap kakak saya sendiri. Yang paling saya anggap kakak ya… Mas Sadikin. Orangnya tinggi besar, tidak pernah takut dengan siapapun. Karena rumah kami bersebelahan, mungkin Mas ‘dikin menjadi yang paling dekat dengan saya dari semua pemuda-pemuda itu. “Lho kamu kok maen di sini, ndak ngurusi Bapakmu sana?” “Wong sudah tidur Mas, kecape’an… tadi sudah saya bikinkan sarapan dan kopi, habis itu langsung mbleksek (terlelap)” “Ya bagus lah, kamu jadi anak yang baik sekarang… ingat pesan emakmu sebelum beliau meninggal kan?” “Iya mas…” “Eh, kamu bawa apa ini?” “Singkong rebus Mas… kesukaan Mas ‘dikin…” “Wah… makasih ya…” Dengan lahapnya Sadikin menyantap singkong rebus sederhana itu. Mulutnya penuh, peningnya bepeluh, seperti esok tiada hidangan lagi. “Wah uenak banget ‘djo… kamu ndak mau lagi?” “Wis wareg (kenyang) mas… lho, apa itu kuning-kuning jatuh di bawah dipan?” Sadikin menengok ke arah yang ditunjukkan Paidjo dan mengambil sebuah kartu pengenal berlaminating. “Wah, makasih lagi ya ‘djo.. itu KTP-ku… mungkin jatuh pas tidur semalam…” (Sambil melihat kartu) “Mas ini sudah tua ya… duapuluh lima tahun… kapan mo nikah mas?” “Ah, mana ada orang mau nikah sama saya ‘djo.. kamu ini aneh… wong saya ini kan miskin, ndak punya apa-apa…” “Ya tapi kan ndak semua perempuan nyari harta mas, yang penting Mas bisa membahagiakan dia…” “Kowe iki ‘cah cilik kok yo (kamu ini anak kecil kok) sok tau banget…” “Lho bener mas… dikasih tau guru ngaji waktu surau di sana masih buka…” “Ah dan lagi aku jelek gini ‘djo…” “Jelek ‘piye (bagaimana) Mas? Wah mas ini ndak tau ya… gadis-gadis sa’ (satu) kampung semua naksir sama Mas…” (sambil mengacungkan kaca kecil ke depan wajah Sadikin) “Mosok tha (yang benar)?” Sadikin memandangi parasnya yang sangat maskulin. “Iya, ya ‘djo… aku kayaknya ndak jelek-jelek banget…” “Ndak percaya kalo dikasih tau sih, kalo aku cewek mungkin aku juga sudah naksir sama Mas… liat nih… badannya besar, tegap, tangannya kuat, cambangnya tebal, dadanya bidang… banyak bulunya lagi… kurang apa Mas?” “hehe.. kamu ojo ngono lah (jangan begitu)… aku nanti ge-er…” “Aku sendiri berharap nanti kalo sudah gede bisa keliatan seperti Mas ini… kalo nyukur brewok pagi-pagi saja, sorenya sudah numbuh lagi…” “Walah… kok medheni ngono (menakutkan begitu) kamu ‘djo… masak kamu memperhatikan aku sampai kayak begitu?” Walah, piye iki (bagaimana ini)? Ketahuan. “Lha tiap hari saya kesini, gimana ndak merhatiin?” “Coba kalo aku merhatiin kamu sampai kayak gitu… kamu ndak takut kalo saya naksir kamu?” Deg. Nama saya Sadikin. Saya berumur duapuluh lima tahun. Saya anak asli kampung nelayan sini. Sudah pernah ke kota tapi ndak senang, bising dengan suara mobil dan brompit (motor). Kota Jepara yang paling dekat dengan dusunku ini saja sudah membuat saya pusing. Saya memang belum menikah, pacaran saja belum pernah. Habis saya pemalu, ndak tau mau ngomong apa kalo ketemu perempuan. Waktu saya akhirnya saya habiskan untuk bekerja saja. Kerja apa lagi kalo bukan jadi nelayan… Saya ndak pernah nolak rejeki dari Tuhan, walaupun harus berangkat ke laut di malam gulita. Harapan saya hanya satu, bahwasannya ketika saya kembali ke pantai saya akan disambut senyum ceria adik saya. Oh pembaca mungkin belum tahu ya? Saya sebenarnya tidak punya adik kakak… orang tua saya, yang tidak pernah saya kenal, menitipkan saya di sini pada saat saya masih bayi. Yang saya anggap adik itu sebenarnya anak tetangga saya, namanya Paidjo. Wah, kerja satu hari satu malam ndak terasa capek kalau melihat senyumnya. Dia anak baik-baik, saya ndak tega kalau melihat dia susah seperti saya ini. Kalau ada uang lebih saya terkadang membelikannya buku bacaan, seperti biasa dia akan membacanya keras-keras kepada saya yang buta huruf ini. Hari ini dia menyambut saya di pantai lagi. Membawakan singkong rebus kesukaan saya. Wah adikku sayang, baik sekali dia… Sudah berkali-kali kutahan napsu birahiku kepadanya. Aku berusaha terus untuk eling (ingat) kepada Yang Kuasa. Orang-orang bilang napsu itu dosa… apalagi saya baru ingat, paling Paidjo masih dua belas atau tiga belas tahunan. Fisiknya itu yang sering membuat saya terkecoh. Anak itu jangkung sekali, seperti sudah enam belas atau tujuh belas tahun. Kulit mulusnya coklat terbakar sinar matahari. Tapi yang membuat saya gemas itu parasnya… lucu sekali… ganteng… seperti anak-anak juragan dari Semarang. Ingin rasanya kucubit bokongnya (pantatnya) yang kenyal dan bundar itu. Jangan lah, nanti saya lepas kekakangan, tak tahulah apa yang akan terjadi… Hari ini juga aku baru tahu jika ia sangat memperhatikan aku, hingga kepada hal-hal kecil dari tubuhku ini. Ingin sekali kupeluk dia saat itu, aku sangat bahagia rasanya. Akhirnya saya, anak yang tak kenal ibu-bapaknya ini memiliki seseorang yang memperhatikannya. Kata-katanya masih terngiang-ngiang di kupingku, “Ndak percaya kalo dikasih tau sih, kalo aku cewek mungkin aku juga sudah naksir sama Mas… liat nih… badannya besar, tegap, tangannya kuat, cambangnya tebal, dadanya bidang… banyak bulunya lagi… kurang apa mas?” Ada juga orang yang memujaku, kujawab saja, “hehe.. kamu ojo ngono lah (jangan begitu)… aku nanti ge-er…” “Aku sendiri berharap nanti kalo sudah gede bisa keliatan seperti Mas ini… kalo nyukur brewok pagi-pagi saja, sorenya sudah numbuh lagi…” Seperti saya harus bertindak sebagai kakak yang baik dan tidak menjerumuskan anak kecil, “Walah… kok medheni ngono (menakutkan begitu) kamu ‘djo… masak kamu memperhatikan aku sampai kayak begitu?” “Lha tiap hari saya kesini, gimana ndak merhatiin?” “Coba kalo aku merhatiin kamu sampai kayak gitu… kamu ndak takut kalo saya naksir kamu?” Deg. Dia terdiam. Sayapun ikut diam. “Kamu dulu ndak diajari sama Santri di surau itu?” tanyaku selanjutnya Dia tetap terdiam. “Saya ini yang ndak pernah tau sekolah dan beragama saja tahu ‘djo… cah lanang kuwi kudu bareng cah wedo’ (lelaki itu harusnya bersama wanita) ora’ yo mbek sing lanang ngoten lho (tidak dengan pria lainnya begitu)…” Waduh, saya merasa aneh sekali mengucapkan kata-kata itu. Memang saya masih perjaka ting-ting, belum pernah berbuat apa-apa. Tapi saya masih ada napsu membara yang terus saya usahakan untuk padam terhadap adikku Paidjo ini. Anak remaja itu akhirnya menangis kecil dan mengucurkan air mata. Mungkin ia takut persahabatan kita berakhir sampai di sini. Entahlah apa pikiran anak seumur itu… “’djo… kamu kok nangis… aku jadi sedih juga…” Tiba-tiba ia berlari keluar dari gubugku menuju lepas pantai. Saya sangat takut jika ia berpikir untuk melakukan tindakan yang bukan-bukan. Saya sudah naksir Mas Sadikin dari dulu, lama sekali… Mungkin sejak ia sering mengganti popokku, atau sejak ia memandikanku ketika aku masih kecil. Aku tidak bisa berbohong lagi padanya. Aku memang ingin Mas ‘dikin menjadi kekasihku. Aku ingin merasakan belaian kasih sayangnya, dalam perlindungan bulu dadanya yang hangat. Ketika gayung tidak bersambut, akupun kehilangan arah. Tubuh terasa menjadi semakin lemas, tak tau ingin apa dan bagaimana. “Djo!!!” Aku berusaha menghindarinya dan berlari sekencang-kencangnya. “Djo!!!” Suara itu semakin mendekat dan mendekat, kakiku mulai menyentuh air asin yang hangat pagi itu. Belum sempat aku melompat ke laut, tiba-tiba kepalaku terasa pening. Sesuatu yang besar menimpaku. Ah, lihatlah dia sedang tidur terlelap, seperti malaikat kecil yang selalu membahagiakanku. Saya tadi sudah minta maaf dengan dia. Kalau tidak saya lempar dengan buah kelapa, mungkin tadi dia sudah nekad nyebur ke laut. Ayahnya masih tidur. Akhirnya Paidjo yang tak sadarkan diri itu saya bawa kembali saja ke gubug saya. Saya tidurkan dia di dipan. Pagi-pagi kok sudah main kejar-kejaran, pikir saya. Padahal sudah sangat lelah setelah melaut tadi malam. Akhirnya saya tertidur juga di sampingnya. Terik mentari pantai utara memancarkan panas yang mulai bergumul di dalam gubug sederhana itu. Atap seng itu terus menyerap suhu. Udara dalam ruangan mulai terasa gerah dan lembab. Malaikat kecil dan dewasa tadi masih teronggok lemas di atas dipan. Keringat telah membasahi sekujur tubuh mereka. “’djo… bangun djo… bangun…” “Mas ‘dikin…” “Udah gak usah dipikirin yang tadi… wah keringetan semua ini…” Paidjo berusaha bangun dari samping tubuh pemuda pujaan desa ini tetapi Sadikin menahannya. Kepala bocah itu ia sandarkan pada dadanya yang lebat bulu itu, dan rambut anak itu ia belai dengan sayang. Dengan keras Paidjo berusaha menahan senyum bahagianya. Ia nikmati saja gesekan pipinya pada bebuluan kasar di sana. Aroma khas lelaki sejati dapat ia rasakan dari balik ketiak yang penuh rambut itu. Perlahan tetapi pasti batang zakarnya mengeras hingga menyentuh paha kekar Sadikin. “Wah cilik-cilik wis iso mlembung manu’e yo? Haha…(Wah, anak kecil sudah bisa ereksi ya?)” Sadikin tertawa. Paidjo menunduk malu. Tatapannya malah kini tertuju pada sarung yang dikenakan Sadikin, tepat di persimpangan paha pria yang bermandikan keringat itu. Seonggok benda tumpul yang masih terkulai dengan gagahnya tercetak jelas di balik sarung. “Lho knopo tha ‘djo? Kok manukku mbok plototi ngono?” (Lho, kenapa sih Djo, kok kamu memperhatikan kemaluanku begitu?) “Gini lho Dik, inget pembicaraan kita yang tadi pagi tho?” Sadikin beranjak bangun dan berpindah ke sisi dipan yang lain dan bersender ke dinding yang berhadapan dengan tubuh Paidjo. “Maap Mas…” “Denger dulu tha… Daripada kamu nanti berbuat bodoh seperti yang tadi pagi itu, yo wiz aku rak popo lah, karepmu dewe’ meh mbok’ apa’ke aku (ya sudah aku boleh-boleh saja ingin kau apakan). Saiki kowe arep ndelok manu’ku? (sekarang kamu mau lihat kemaluanku?)” “I…iya… boleh Mas?” tanyanya malu-malu. “Ko’sek yo… aku sa’ benere ora popo, cuma’ yo ngonolah… (Sebentar ya… aku sebenernya boleh-boleh saja, cuman) aku masih malu sama kamu…” “Kamu duduk yang bener Djo…” Dari posisi bersila bersadarkan dinding itu perlahan-lahan Sadikin menegakkan kaki kanannya. Sedikit-demi sedikit ia menyingkapkan sehelai penutup aurat yang ia kenakan dengan menarik ujung kain itu ke dadanya. Bebuluan mulai saling kejar-mengejar di sepanjang kaki dan lutut pria itu. Jantung mereka berdua berdegup semakin kencang. Ketika ujung sarung berhasil ditambatkan dilutut kanan Sadikin, hawa ruangan itu berubah. Aroma lelaki terpancar dari pangkal paha yang rimbun itu. Satu setengah meter dihadapannya duduklah Paidjo dengan pandangan terbelalak menatap kemaluan Sadikin yang indah terkulai itu. Buah lelaki kembarnya seakan bersarang di atas bebuluan yang hitam dan lebat. Zakarnyapun terlihat nyaman bersemayam diatas buah kembar tersebut. Jamur besar yang membentuk kepala kemaluan itu berwarna kemerahmudaan yang kemudian terbalutkan oleh kulit bernuansa sawo matang. “Nah piye Dik? Apik ora? (Bagaimana, bagus tidak?)” “A… apik Mas, b… boleh saya pegang?” “Sini… tapi pelan-pelan ya… soalnya belum pernah dipegang orang lain ini…” Paidjo mendekat dan bersila sebelum ia berusaha meringkuk dibalik sarung yang tersingkap itu. Sadikin kemudian membuka diri dan melebarkan pahanya. Ular tidur dan kedua buahnya itu mendadak tergeletak di atas dipan. Ia membiarkan jari-jari Padjo bermain disekujur tubuh kemaluannya. “Wah… besar sekali Mas, empuk ya…” “Iya sebentar lagi akan menjadi keras dan tidak empuk lagi Dik…” Tanpa diberi aba-aba Paidjo seketika menelungkupkan diri dan menyembunyikan kepalanya di dalam sarung tersebut. “Hey… apa-apaan ini?” Insting kehewanannya langsung melahap ular tidur tersebut di dalam mulutnya. Dengan gerakan kasar Paidjo mulai menghisap batang zakar itu naik turun. Ia mengulum kepala kemaluan itu seakan sedang menikmati santapan terlezat tahun itu. Sadikin-pun seketika mengerang merasakan kenikmatan jasmani tersebut. Tubuhnya kemudian lunglai dan terlentang di atas dipan sementara Paidjo menyibukkan diri dibalik sehelai sarung yang Sadikin kenakan itu. Seperti layaknya seorang ibu yang hendak melahirkan, Sadikin membuka pangkal pahanya agar Paidjo lebih leluasa bergerak memuaskan keingintahuannya. Sadikin merasa benar-benar santai dan ia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan. Bulu dada lebatnya yang tampak basah oleh keringat itu terus merambat hingga menjumput dibalik kedua ketiaknya. Birahi tinggi telah menghipnotis mereka berdua. Ular tidur tersebut telah bangun dengan perkasanya. Mulut kecil Paidjo tak lagi mampu menelan keseluruhan panjang tubuh kemaluan itu, Ketebalan tubuh setara dengan kaleng minuman ringan itu terasa sangat sempit berada di dalam rongga mulut Paidjo. Buah kelelakiannya pun semakin mengencang, bau lelaki semakin terasa intensitasnya. Kedua tangan Sadikin sudah berubah posisi memberikan navigasi bernafsu tinggi dibelakang kepala Paidjo yang tertutupi sarung tersebut. Kedua mahluk yang tak berpengalaman itu meningkatkan harmoni pergerakan mereka. “Ugh… ugh….” Sadikin terus mengerang. Tak lama kemudian sang ular naga mengamuk. Berulang kali ia memuntahkan cairan kenikmatannya di dalam rongga mulut Paidjo hingga ia tergulai lemas dalam kuluman dasyat itu. Tidak tahu berapa menit telah hilang dari hidupnya, Sadikin dibuat tak sadar terlena keajaiban langit ketujuh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap dan sebuah pemandangan indah tersaji. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih sebagai pemuas dahaga itu…” Sadikin tergeletak kembali di atas dipan. Ada senyum kecil dibibirnya. Tubuhnya terasa sangat lemas. Genesis: Sebuah petualangan baru dimulai. ============ Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan Padjo, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@toughguy.net.

###

13 Gay Erotic Stories from Fred Batavia

Agenda Iblis

“Slamet malam Pak... permisi...” Justru seakan tidak menunggu izin dari kami, pemuda tanggung itu langsung saja menggenjrengkan dawai logam gitar bekasnya itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” nada yang tidak buruk itu ia selewengkan dari sebuah lagu yang sedang populer pada waktu itu. Sebuah grup band domestik papan atas baru saja merilisnya. Dengan berwajah

Bayangan Corcovado Bag.1

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Part 1. Welcome to the Club. DUBRAK. “Wah, maap ya… tadi saya terburu-buru jadi ngga ngeliat.” “Oh ya ngga papa lah.” “Eh, tau dimana tempat daftar klub

Bayangan Corcovado, Bag 2

Part 4. Corcovado. DEG. “Duh smoga tadi dia gak sadar…” pikir Jon-jon dari sofanya. Beberapa menit kemudian Darwin yang duduk dilantai bergeser mendekati Jon-jon. Pundaknya menyentuh lutut Jon-jon. DEG. “Aduh… ngapain sih deket-deket…” Jon-jon mulai mengeluarkan keringat dingin. Sake yang dia bawa tadi sudah habis sampai 4 kaleng diantara mereka. “Uaaaaaahhhhhhhhhhhhh…. Ngantuk

Bayangan Corcovado, Bag 3

Part 7. Problema. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Dengan sigap Darwin menepiskan tubuh Jon-jon dari sisinya. Kemudian tergesa-gesa ia mengumpulkan

Misteri Siluman Terbang, Bag 1

Sidenote: Terus terang saja karangan yang saya buat ini tidak berisikan hal yang berbau porno. Tetapi mungkin beberapa karakter gay yang di-“pekerjakan” kembali dari kisah “Bayangan Corcovado” dapat menjadi penghibur hati dalam kisah misteri ini. Bagi yang belum pernah membacanya, Bayangan Corcovado, mungkin dapat lebih memperkenalkan karakter-karakter dalam tulisan ini. Enjoy. Fred.

Misteri Siluman Terbang, Bag 2

Part 5: Rahasia Lukisan. Satu jam kemudian Kapten Polisi Jose Gomez mengetuk kamar mereka. “Selamat malam Pak, saya mendapat surat perintah (ia memberikan surat itu pada Jon-jon) untuk membawa Saudara Ben Figeroa ke kantor kami malam ini” “Lho… lho kenapa Pak?” “Pasalnya pemilik perkebunan sudah memberi tahu kepada yang bersangkutan untuk tidak memasuki wilayah ini dan tidak

Selamat Ulang Tahun ke 475 Jakarta!

For my pal, B, hope you enjoy it! Kejadian lucu yang menimpa kawan saya si B tadi, tentu saja disajikan dengan bumbu fiksi sedikit terlebih dahulu sehingga dapat lebih menghibur. Nama dan lokasi sudah diubah. Kepada Redaksi yang terhormat, Pada kesempatan ini, saya, Rahmat, ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke 475 kepada ibukota Jakarta yang telah menjadi rumah saya selama

Tentang Paidjo 01: Genesis

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang

Tentang Paidjo 03: Melaut

Sidenote: Paidjo is back for more! Terimakasih kepada seorang pembaca yang telah memberikan ide untuk penulisan bagian ketiga ini. Fred. (Garis Pembatas Jeda……..) “Gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis” “Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar

Tentang Paidjo 04: 1939

Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal. Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya. Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin

Tentang Paidjo 05: Karl

Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini. “Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…” “Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…” “Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung

Tentang Paidjo 06: Invasi

Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo. “Hai apa kabar?” sapa Paidjo. “Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....” “Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?” “Gak papa...

Tentang Paidjo, Bag.2: Obsesi

Cuplikan dari, Bag 1: Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story