Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Tentang Paidjo 06: Invasi

by Fred Batavia


Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo. “Hai apa kabar?” sapa Paidjo. “Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....” “Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?” “Gak papa... kita pergi ke Salatiga dulu, kita pergi ke Pak Kamsi makan sate lagi yuk?” “Wah, ketagihan gini...Lho dia khan hanya berjualan pikulan di malam hari?” “Ngga, aku tau dia punya warung di depan rumahnya pada siang hari” “Gila, tau dari mana?” Jalan yang kebanyakan masih tanah tak beraspal itu tidak memberikan halangan yang berarti bagi motor besar itu. Tak lama kemudian mereka sudah bercengkrama dengan Pak Kamsi di warung satenya di tepi pegunungan itu. Namun tak disangka, langitpun berubah muram seketika. Gulungan kumulus mulai terlihat saling kejar mengejar dari balik gunung. “Jo, cepetan balik ke Semarang yuk? Bentar lagi hujan nih...” “Okeh... kita bayar Pak Kamsi dulu...” “Siap? Aku mau ngebut nih, pegang erat-erat ya...” Tanpa dikomandopun Paidjo sebenarnya sudah memeluk tubuh Karl yang kekar itu dari sadel belakang. Ia menyenderkan kepalanya ke punggung pemuda Belanda itu. Tetes air hujan mulai membasahi bumi. Motor itupun segera melaju seakan ingin mendahului takdiran alam. Tetapi apa boleh buat, pada setengah perjalanan kembali ke Semarang hujan mengguyur dengan derasnya. Tubuh merekapun segera basah kuyup. Karl memperlambat kecepatan motornya dan menepi ke arah sebuah pohon beringin besar yang sekiranya dapat memayungi mereka untuk sementara. Pria itu segera melompat dari motor sembari menarik lengan Paidjo untuk segera berlari ke arah perlindungan di bawah pohon. “Jo, kamu baik-baik saja? Tubuhmu menggigil!” Iapun segera duduk di akar beringin itu dan mendekap Paidjo ke dadanya. “Tubuhmu panas Jo! Kamu harus segera melepaskan pakaian basah ini. Kalau tidak kamu akan terserang demam karena hypothermia” Bocah itu sudah hampir pingsan, ia hanya terdiam saja ketika Karl melucuti seluruh bahan pakaian yang menempel di tubuhnya. “Aku harus menghangatkanmu saat ini, maaf, saya terpaksa melakukan ini.” Dengan cekatan prajurit itupun menelanjangi dirinya sendiri hingga tak satu benangpun menempel di tubuh kekarnya. Ia kembali duduk di akar pohon itu, membuka dirinya, kemudian menarik Paidjo dan membenamkan bocah itu dalam pelukannya yang hangat. Sesekali ia dapat merasakan tubuh Paidjo yang menggigil kedinginan. Segera ia mengusap-usapkan telapak tangannya yang hangat di sekujur punggung dan paha Paidjo untuk mengeringkannya. “Maaf saya merepotkan” ujar Paidjo dengan suara yang melemah. “Ssshhh, diam saja kamu... beristirahatlah dalam pelukanku...” kemudian ia membelai-belai kepala Paidjo dengan kasih sayang. Guyuran hujan lebat itu hampir tidak terasa dibawah naungan pohon besar itu. Paidjopun tak lama terlelap dengan irama hujan dan kehangatan kekasih disampingnya. Sekitar dua jam kemudian badai itupun berlalu. Mentari memberikan senyum hangatnya sekali lagi. Melihat kesempatan baik itu, perlahan tanpa membangunkan Paidjo, Karl membopong tubuh sahabat kecilnya itu ke arah padang rumput tak jauh dari tempat mereka beristirahat tadi. Kehangatan sang surya semakin terasa. “Mungkin ini bisa menghangatkan dia....” pikir Karl. Ia membaringkan tubuh Paidjo di rerumputan dan membiarkan kehangatan dunia ini merasuki tubuh anak itu. Sesudah itu ia segera mengambil pakaian basah mereka berdua dan menjemurnya di ranting-ranting pohon sekitar tempat itu. Ia menangkap sekelibat keajaiban alam ketika sedang menjemur helai pakaian yang terakhir. Tiba-tiba sahabat kecilnya membalikkan posisi tidurnya. Tubuh kuning langsat Paidjo seakan berkilauan dan memantulkan cahaya keemasan dari sang Surya. Anak itu masih juga polos dan nyaris tidak ditumbuhi bulu sedikitpun pada tubuh indahnya. Posisi bokongnya benar-benar menggemaskan. Seakan kepanasan, Paidjo tanpa sadar melipat sebelah pahanya, memberikan sedikit pemandangan menakjubkan atas pasangan buah zakarnya yang lembut dan menggiurkan. Garis-garis tegas menandai kebundaran dan kekenyalan pantat remaja putra itu. Bola-bola cahaya seakan mengambang di atas kemontokan bokong bocah itu. Tanpa ia sadari, Karl mulai merasa terangsang oleh pertunjukkan alam ini. Suhu tubuhnya turut meningkat dengan datangnya kembali sang mentari bersama rangsangan ini. Peluh mulai menetes dari keningnya. Iapun berjalan ke arah di mana Paidjo tergeletak dengan segala daya tariknya. Ia segera berbaring di belakang Paidjo dan perlahan mendaratkan kecupan demi kecupan ringan di pundak sahabatnya itu. Jemari kekarnya mulai menggerayangi kemontokan bokong indah itu. Ia terus membelai dan membelai dengan mesra. Ruas jari tengahnya ia gosok-gosokkan pada belahan pantat Paidjo. Jari manis dan telunjuknya secara refleks melonggarkan jepitan kenyal bokong anak itu. Perlahan tapi pasti ruas jari tengahnya mulai menyentuh bibir anus yang bebas dari bebuluan di sana. Gesekan demi gesekan mulai membuat bibir kecil itu terasa hangat dan lembab. Keringat bercampur pelumas alami mulai membasahi daerah itu. Ia menghabiskan waktu dengan santai dan tak tergesa-gesa. Sedikit demi sedikit batang kelelakian Paidjopun mulai mengeras atas rangsangan ini. Kecupannya ia lanjutkan hingga di leher anak itu. Kemudian ia memutuskan untuk memandikan daun telinga Paidjo dengan bibirnya. Ketika lidahnya mulai memasuki rongga telinga yang sensitip itu, Paidjo kemudian mengeluarkan erangan kecil. “Mmmphhh.....” Kejantanan Karl sudah mencapai titik kesempurnaan. Kepala penis yang berbentuk seperti buah jeruk itu sudah menggeliat kepanasan keluar dari perlindungan kulit fulup yang tak tersunat itu. Paidjopun akhirnya terbangun karena tikaman-tikaman ringan kelelakian Karl pada punggungnya. “Tidur enak sayang?” sapa Karl. “Iya... rasanya enak sekali...” penis remaja putra itupun sudah bangkit maksimum pada saat tersebut. “Say, tubuhmu ini benar-benar menyihirku...” “Oh ya?” balas Paidjo tak percaya... “Bolehkan kujelajahi tubuh indahmu saat ini?” “Terserah kamu sayang...” “Bangun yuk...” Ia membimbing remaja itu kembali ke arah pohon beringin besar itu. Kini fungsinya berubah menjadi tempat berteduh terhadap sengatan mentari yang mulai mengganas kembali. “Jo, coba kamu panjat dahan rendah itu...” Paidjopun menuruti instruksi kekasihnya. “Cukup, jangan naik terlalu tinggi, nanti aku tak dapat meraihmu dari sini.” “Lalu sekarang?” Karl meletakkan kedua tangan Paidjo pada batang beringin sebagai sarana yang dapat anak itu pegang. “Coba renggangkan kaki kananmu... ya... taruh di dahan yang itu. Dan kaki kirimu di dahan yang... ini.... Oke, sekarang pegang pohon ini erat-erat dan coba kau turunkan tubuhmu perlahan seperti hendak berjongkok....” Karl kemudian menghela nafas panjang. “Indah sekali bokongmu ini Jo...” Paidjo dalam keadaan mengangkang dan ia memberikan pemandangan anusnya yang menakjubkan tepat di depan wajah Karl. Pemuda Belanda itu ia buat takjub dengan keahliannya mengendalikan bibir anus kecilnya sehingga menciptakan kerlingan-kerlingan yang sangat merangsang. Seperti ditarik oleh magnet yang berdaya tinggi, Karl bergerak mendekati bibir bawah tersebut. Ia meletakkan kedua tanggannya sedemikian rupa sehingga semakin membuka belahan pantat yang paling pribadi itu. Dengan mesra ia segera memberikan kecupan pertamanya di sana. Paidjo segera mengerang kembali. Hidung mancung pemuda Eropa itu mengendus-endus dengan seksama pada daerah itu. Hangatnya hembusan nafas Karl semakin merangsang Paidjo. “Ah, aroma yang sangat merangsang Jo. Wewangian lezat yang tak tertandingi sayangku!” ujar Karl. Iapun segera menyapukan lidah hangatnya dalam bentuk lingkaran-lingkaran kecil. Mulai dari sekeliling garis pembelah tersebut, hingga perlahan memfokuskan diri pada liang kenikmatan yang sempit itu. “Cium bibirku Jo!!” Karl memerintahkan Paidjo untuk mendorong bibir anusnya keluar hingga menyentuh bibir Karl. Dari sana lubang kecil nan hangat itu ia paksa buka dengan lidahnya yang menggeliat dengan satu arah tujuan. Kemudian ia menepuk-nepuk bukaan anus nan indah itu dengan mesra menggunakan ujung jari tengahnya sebelum ruas jari itu ia dorong masuk untuk merasakan medan pertempuran yang sesungguhnya. Sembari memasuki lubang sempit itu dengan jari tengahnya, Karl membalikkan tubuhnya dan masuk ke bawah selangkangan Paidjo. Seluruh penis bocah itu dapat ia benamkan dalam rongga mulutnya tanpa masalah. Dengan perhatian yang tinggi ia mulai memaju-mundurkan kepalanya. Paidjo mulai mengeluarkan desah-desah kenikmatan. Batang bocah itu menegang dengan dasyatnya. Sodokan jemari Karl pada liang anusnya pun mulai bekerja dengan baik. Titik prostatnya telah terstimulasikan sedemikian rupa. Karlpun tahu saatnya akan tiba segera. Tubuh Paidjo kemudian langsung menggelinjang berkali-kali seiring irama semburan air maninya yang ia muntahkan langsung ke dalam tenggorokan Karl hingga memenuhi rongga mulut pria asing itu. Tubuhnyapun mulai melemas, genggaman tangannya di pohon mulai goyah. Karl segera menangkap Paidjo sebelum ia terjatuh bebas dari dahan tersebut. “Enak say?” tanya Karl sembari tersenyum mesra. “Banget!!!!” “Manimu juga enak sekali rasanya say...” “Oh ya?” tanya Paijo manja sembari menggengam penis raksasa kekasihnya yang masih bervoltase tinggi itu. Seperti yang sudah ia perkirakan sebelumnya. Mulut kecilnya hanya mampu mengulum kepala jeruk berwarna merah muda pucat itu. Ular naga itu terlalu besar untuk distimulasikan secara oral. “Karl, kamu duduk di sini deh...” Perlahan Paidjo berjongkok berhadapan dengan wajah pacar barunya itu dan langsung menuju target. Ia mencoba menduduki kelelakian yang tebal dan besar itu. “Pelan-pelan say...” wanti Karl karena ia tak ingin menyakiti Paidjo. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Memerlukan proses yang tidak sedikit hingga akhirnya batang perkasa itu dapat terselimuti dengan total oleh jonjot otot liang Paidjo yang senantiasa meremas dan menyusui itu. “Ah.... sempit sekali kamu Jo... nikmat rasanya....” ujarnya bahagia sembari membuka-tutup kelopak matanya. Walaupun ukuran Karl ini terbilang yang terbesar yang pernah memasuki rongga kenikmayan bocah itu, tetapi Paidjo sangatlah terlatih untuk dapat membahagiakan siapapun pasangannya. Remaja itu mulai menaik turunkan bokongnya dengan tegas. Lengannya ia pelukkan di sekitar leher Karl sembari menciumi bibir pria Belanda itu dengan napsu yang membara. Merekapun berganti posisi dengan rebahan di sisi tubuh mereka. Karl dengan perkasa tetap menggenjot dari belakang. Jemarinya yang kasar membuat puting Paidjo yang sensitip terangsang dengan tegang, sementara ia tetap mengendalikan otot anusnya sehingga terus menggeloyoti penis pria asing itu dengan kesatnya. “Huh.... huh....” Bebuluan kasar pada pangkal paha Karl seakan menusuk buah pelir dan bagian belakang lainnya ketika pria itu membenamkan seluruh zakar perkasanya di dalam lubang nan sempit itu. Tubuh Paidjo terasa sangat penuh oleh serangan misil berukuran raksasa itu. Tak lama kemudian Paidjo mendapatkan kepuasan badaniah tertinggi sekali lagi. “Aaaaaaahhhhh.......” bocah itu menjerit kegirangan. Bersamaan dengan itu jepitan bokongnya semakin mengeras dan memeras buah zakar Karl untuk mengeluarkan benih cintanya pada saat itu juga. Tubuh mereka terguncang-guncang hingga beberapa saat. Tanpa disadari sperma Belanda yang ia hasilkan kebanyakan akhirnya terbuang melalui celah kecil di rongga sempit itu. Ukuran raksasa itu telah menghabiskan seluruh tempat penampungan yang seyogyanya tersedia. Cairan kental berwarna putih-kuning itu telah berubah menjadi buih yang menodai seluruh selakangan mereka berdua. Cairan itu perlahan menetes turun dari buah zakar mereka. Untuk Paidjo pribadi, mungkin kenikmatan inggil seperti ini belum pernah ia rasakan hingga tingkat yang baru saja mereka lalui. Tanpa dapat mengeluarkan sepatahkatapun, ia langsung tergolek lemas di dalam dekapan Karl dan tertidur lelap. Tidak halnya dengan Karl pemirsa. Ia sangat menikmati permainan ini. Kenikmatan luar biasa yang sangat jarang ia dapatkan. Karl menghabiskan sore yang hangat itu dengan menyetubuhi anak itu berkali-kali sampai iapun tak kuasa menahan letih walaupun napsu tetap menguasai. Sementara Paidjo terlelap lemas dan tanpa sadar merelakan tubuhnya dipakai untuk pemuasan birahi kekasihnya. Setiap setengah hingga tiga-perempat jam sekali, sayup-sayup terdengar teriakan orgasmik dari pria Belanda itu dari kedalaman pegunungan itu. Pelangi terlihat indah menaungi Salatiga. (Garis Pembatas Jeda……..) Setiap pria yang sudah berkenalan dengan Paidjo akan berubah menjadi maniak. Tidak tahu ada unsur magis apa yang dimiliki oleh bocah itu. Hal yang samapun terjadi pada Karl. Mulai dari kencan pertama mereka yang sangat menegangkan di pengunungan, Karl kini dapat tanpa malu-malu mengajak Paidjo berkencan di mana saja. Mereka pernah melakukannya di gardu jaga Karl, di dalam wc umum, bahkan di semak-semak tepi jalan yang ramaipun mereka sudah tidak perduli. Walaupun sepertinya nuansa birahi yang selalu menonjol, ternyata sudah dua tahun belakangan ini mereka bersama. Sebentar lagipun Paidjo akan lulus ujian sekolah menengah. Mereka berdua sudah tak terpisahkan lagi. Antara cinta dan napsu belaka sebagai pengikat yang membingungkan setiap pihak ketiga yang penasaran. (Garis Pembatas Jeda……..) Untuk ulang tahunnya yang ke tujuhbelas, Raden Suryo, menghadiahkan sebuah bungalow kecil menghadap ke lepas pantai tepat di luar pelabuhan yang kini dikenal dengan nama Tanjung Mas. Paidjo diijinkan untuk tinggal di sana asalkan tetap ditemani oleh Adhi sang abdi dalem. Seiring dengan bertambahnya usia, secara alami bebuluan sudah terlihat tumbuh di tubuh Paidjo. Masalahnya Karl tidak menyukai hal itu. Ia menginginkan tubuh Paidjo tetap belia seperti saat pertama ia jatuh hati pada sahabat mudanya ini. Maka dari itu setiap beberapa minggu sekali Adhi akan disibukkan dengan ritual menghabisi bebuluan di sekujur tubuh Paidjo dengan alat pencukur sederhana. Sama seperti yang terjadi pada malam yang hangat di permulaan tahun ini. Karl sudah tidak sabar untuk menikmati hasil kerajinan tangan Adhi. Ia melebarkan selangkangannya dan sudah mulai meremas-remas batang kelelakiannya itu sejak beberapa jam yang lalu karena ia sangat terangsang oleh pemandangan ritual pencukuran bulu yang dilaksanakan oleh Adhi. Apalagi pada saat itu adalah tugas terberat abdi dalem itu, yaitu membuat bokong Paidjo yang sudah beranjak dewasa itu bisa mulus kembali seperti bayi. Pupuran bedak diberikan untuk memperhalus cukuran. Bibir anus yang terbuka itu seakan sudah memanggil penis Karl untuk segera melakukan tugasnya di sana. Karl semakin bernapsu memerah keperkasaaannya. “Kapan selesainya sih Dhi?” “Sebentar lagi Meneer....” “Aduh udah ndak tahan nih...” “Sabar ya Meneer...” Seperti minggu-minggu sebelumnya yang juga sudah pernah terjadi. Karl mendekati mereka. “Waduh nanti jadi lama selesainya Meneer...” Pria tegap dan tinggi itu menyingkapkan sarung yang dikenakan Adhi ke atas, kearah punggung abdi dalem itu, dan mulai meraba-raba lubang anus abdi dalem itu di sana. “Maaf Dhi... saya sudah tidak tahan lagi.” Ia kemudian naik ke atas ranjang bersama mereka. Mendorong tubuh Adhi ke depan sehingga, anusnya terbuka dalam pemandangan. Iapun langsung menancapkan keperkasaan raksasanya itu di sana. Karl tidak perduli dengan dubur Adhi yang tidak tercukur, karena ia tidak berniat untuk menciumi dan memuja dubur Adhi seperti yang ia lakukan pada Paidjo yang merangsang itu. Hantaman-hantaman yang kuat membuat Adhi tidak bisa bekerja dengan baik menghabisi seluruh bebuluan halus yang menumbuhi sekitar liang kenikmatan Paidjo. Akhirnya ia memutusnya untuk mengulum penis tuannya yang juga sudah menjadi kemaluan lelaki sejati saat itu. Kepala dan batang zakar itu tidak semudah dahulu berkeliaran di dalam rongga mulut Adhi. Karl semakin meninggi gairahnya. Ia menunggangi Adhi seperti hewan liar yang sedang birahi. Tiba-tiba di atas kepala mereka terdengar suara mesin pesawat yang sedang terbang rendah. Dan bukan hanya satu pesawat saja yang mereka dengar. Keterkejutan itu belum berakhir ketika suara desingan bom udara mulai terdengar dari langit. Ledakan bertubi-tubi mereka rasakan bagai gempa bumi dalam skala richter yang tertinggi. Kemudian sirene militer dari pos jaga di pelabuhan mulai mengaung membisingkan siapa saja. Dengan tubuh telanjang itu, mereka segera bergegas menuju balkoni untuk melihat apa yang sedang terjadi dan wajah mereka menampakkan ketakutan yang tidak dibuat-buat. Jantung mulai berdegub kencang. Beberapa armada perang angkatan laut berbendera Mentari Terbit itu bergerak perlahan menghimpit pelabuhan Tanjung Mas. Disertai dengan ratusan pesawat tempur yang bergerak berputar-putar seperti lalat di atas langit Semarang. Suara penyiar radio dalam bahasa Indonesia terdengar berkobar-kobar: “Saudara-saudara satu jam yang lalu kota Surabaya sudah direbut oleh Jepun dari tangan Belanda. Mereka ini mungkin yang akan membebaskan kita dari penjajahan VOC selama tiga setengah abad ini!!” Wajah Karl berubah pucat. Bersama dengan Paidjo dan Adhi mereka bertiga berlari menghindari mortir menuju ke Simpang Lima, kediaman keluarga Suryo. Di tengah jalan Karl seakan sudah dijemput oleh satu batalyon prajurit Belanda entah mau apa mereka. “Karl ayo naik, kita tidak bisa menang dalam serangan dadakan ini. Gubernur kita sudah memutuskan untuk menyerah mentah-mentah kepada Jepun daripada terjadi pertumpahan darah” “Tapi... saya....” “Cepat naik, daripada dibunuh mereka, lebih baik kita kembali ke Belanda!!” Dengan itu mereka menarik Karl ke atas truk tentara itu tanpa bisa memberi penjelasan apapun untuk Paidjo kekasihnya. Malam itu merupakan hari terakhir Karl di Indonesia, sekaligus hari terakhir bagi keduanya untuk bersua sebagai kekasih. Paidjo hanya bisa tertegun di tengah kepanikan masa melihat Karl yang berangsur-angsur hilang di kejauhan. “Kang Mas, maaf hal ini harus terjadi, tetapi sebaiknya kita segera bergegas ke rumah Raden Mas, agar kita dapat berlindung di sana” Adhi menarik lengan Paidjo yang dengan tegar menerobos kumpulan kekisruhan keadaan. Ia tak mengganti ekspresi wajahnya yang masih terkejut itu. Tetapi diam-diam air mata menetes ke pipinya ketika mereka berlari dan berlari seabad lamanya. (Garis Pembatas Jeda……..) Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di tujuan, mereka menemukan rumah keluarga Suryo sudah diduduki oleh tentara Jepang. Seluruh penghuni lama sedang dikumpulkan di halaman depan kompleks keluarga tersebut. Dari kejauhan Adhi dan Paidjo dapat melihat bapak dan ibu sedang diinterogasi seseorang yang terlihat berpangkat. Sayup-sayup akhirnya mereka mengerti bahwa rupanya salah satu jendral angkatan laut yang sedang meluncurkan serangan terhadap kota Semarang ini, berkeinginan untuk tinggal di sana dengan cara apapun. Rumah yang sangat mewah dan berada di jantung kota Semarang. Mungkin di antara para jendral itu nantinya akan saling gontok-gontokan sendiri untuk memperebutkan rumah Suryo ini. “Kang Mas, mau ngapain?” cegah Adhi ketika Paidjo mulai beranjak dari persembunyian mereka. “Saya harus bertemu bapak ibu Dhi...” Paidjo melangkah dengan gagah berani dan pasti. Benar saja, ia sudah menjadi pria sejati pemirsa. Di bawah acungan puluhan laras senapan ia mendekati bapak dan ibu angkatnya ke arah sang Jendral. Dalam bahasa Jepang pria itu menghardik, “Siapa kamu? Ada perlu apa?” “Nama saya Paidjo dan saya adalah anak dari Bapak dan Ibu Suryo!” Kemudian sang Jendral berjalan mendekati Paidjo. Ia mengamati tubuh anak itu dengan seksama sembari mengitari pria muda itu. Setelah itu ia memanggil ajudannya dan berbisik sedikit. “Aduh Pak, mau diapakan anak kita itu?” “Tenang Bu... tenang...” Paidjo yang sudah dua tahun belakangan ini diberikan guru privat oleh Ibu Suryo untuk belajar bahasa Jepang mengerti dengan pasti apa yang mereka inginkan. Tanpa diberi aba-aba ia menatap sang Jendral dan menuturkan kalimat berikut ini dalam bahasa Jepang yang tanpa cacat: “Ya, saya bersedia... asalkan, kau tinggalkan keluarga saya baik-baik di sini!!” (bersambung) (Garis Pembatas Jeda……..) Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@hotmail.com

###

Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

13 Gay Erotic Stories from Fred Batavia

Agenda Iblis

“Slamet malam Pak... permisi...” Justru seakan tidak menunggu izin dari kami, pemuda tanggung itu langsung saja menggenjrengkan dawai logam gitar bekasnya itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” nada yang tidak buruk itu ia selewengkan dari sebuah lagu yang sedang populer pada waktu itu. Sebuah grup band domestik papan atas baru saja merilisnya. Dengan berwajah

Bayangan Corcovado Bag.1

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Part 1. Welcome to the Club. DUBRAK. “Wah, maap ya… tadi saya terburu-buru jadi ngga ngeliat.” “Oh ya ngga papa lah.” “Eh, tau dimana tempat daftar klub

Bayangan Corcovado, Bag 2

Part 4. Corcovado. DEG. “Duh smoga tadi dia gak sadar…” pikir Jon-jon dari sofanya. Beberapa menit kemudian Darwin yang duduk dilantai bergeser mendekati Jon-jon. Pundaknya menyentuh lutut Jon-jon. DEG. “Aduh… ngapain sih deket-deket…” Jon-jon mulai mengeluarkan keringat dingin. Sake yang dia bawa tadi sudah habis sampai 4 kaleng diantara mereka. “Uaaaaaahhhhhhhhhhhhh…. Ngantuk

Bayangan Corcovado, Bag 3

Part 7. Problema. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Dengan sigap Darwin menepiskan tubuh Jon-jon dari sisinya. Kemudian tergesa-gesa ia mengumpulkan

Misteri Siluman Terbang, Bag 1

Sidenote: Terus terang saja karangan yang saya buat ini tidak berisikan hal yang berbau porno. Tetapi mungkin beberapa karakter gay yang di-“pekerjakan” kembali dari kisah “Bayangan Corcovado” dapat menjadi penghibur hati dalam kisah misteri ini. Bagi yang belum pernah membacanya, Bayangan Corcovado, mungkin dapat lebih memperkenalkan karakter-karakter dalam tulisan ini. Enjoy. Fred.

Misteri Siluman Terbang, Bag 2

Part 5: Rahasia Lukisan. Satu jam kemudian Kapten Polisi Jose Gomez mengetuk kamar mereka. “Selamat malam Pak, saya mendapat surat perintah (ia memberikan surat itu pada Jon-jon) untuk membawa Saudara Ben Figeroa ke kantor kami malam ini” “Lho… lho kenapa Pak?” “Pasalnya pemilik perkebunan sudah memberi tahu kepada yang bersangkutan untuk tidak memasuki wilayah ini dan tidak

Selamat Ulang Tahun ke 475 Jakarta!

For my pal, B, hope you enjoy it! Kejadian lucu yang menimpa kawan saya si B tadi, tentu saja disajikan dengan bumbu fiksi sedikit terlebih dahulu sehingga dapat lebih menghibur. Nama dan lokasi sudah diubah. Kepada Redaksi yang terhormat, Pada kesempatan ini, saya, Rahmat, ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke 475 kepada ibukota Jakarta yang telah menjadi rumah saya selama

Tentang Paidjo 01: Genesis

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang

Tentang Paidjo 03: Melaut

Sidenote: Paidjo is back for more! Terimakasih kepada seorang pembaca yang telah memberikan ide untuk penulisan bagian ketiga ini. Fred. (Garis Pembatas Jeda……..) “Gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis” “Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar

Tentang Paidjo 04: 1939

Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal. Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya. Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin

Tentang Paidjo 05: Karl

Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini. “Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…” “Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…” “Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung

Tentang Paidjo 06: Invasi

Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo. “Hai apa kabar?” sapa Paidjo. “Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....” “Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?” “Gak papa...

Tentang Paidjo, Bag.2: Obsesi

Cuplikan dari, Bag 1: Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story