Mas Dwi Dua kali setahun keluarga kami yang tua-tua selalu pergi ke Jawa Tengah, entah ngapain, jadi kami yang masih sekolah tidak pernah ikut. Aku masih SMP klas 1 waktu itu, ketika seperti biasa semua pergi ke Solo, yang menjadi tidak biasa adalah, kakek dan nenekku meminta aku menginap rumahnya selama mereka pergi. Rumah nenekku sangat besar, rumah utama dan 2 pavilliun di kanan kirinya. Aku diminta tidur di rumah utama, 2 pembantu tua tinggal di pavilliun kanan dan seorang pembantu laki tidur dipavilliun kiri. Hari pertama dan hari kedua aku masih betah di rumah utama, tapi hari ketiga aku mulai bosan. Sepulang sekolah aku melempar tas dan mencari Bi Siti dan Mbok Nah, umur mereka sudah 50 dan 60 tahun. Mereka sibuk nonton sinetron :”Makan sana Den….sudah Bibi siapin di meja” kata si Bi Siti, sementara Mbok Nah melototi TV, kelihatan sekali mereka tidak mau diganggu. Aku segera makan, selesai makan aku pergi ke pavilliun kiri, mencari si pembantu laki. Tempat itu sepi, aku masuk ke dalam, sama dengan bagian lain rumah nenek, semua selalu bersih dan rapi. Tapi di sebuah keranjang sampah aku melihat beberapa timun besar hampir busuk yang belum dibuang, anehnya timun itu dipotong dua dan berlubang ditengahnya. Aku terus berjalan ke dalam tanpa bersuara, dari ruang duduk aku mendengar suara TV menyala, mungkin adegan berkelahi karena terdengar suara perempuan mengeluh setengah menangis. Pelan-pelan aku mengintip, eh ternyata si pembantu laki sedang nonton film jorok, ia duduk di karpet membelakangiku. Yang membuat aku terkejut ia memain-mainkan sepotong timun di alat kelaminnya, timun besar itu dilubangi tengahnya dan burungnya dimain-mainkannya di dalam. Tiba-tiba ia mendesis-desis :”uuuuuukkkkhh………aaaaakkkkh !!!” Aku ketakutan dan lari ke rumah utama, sampai sore aku tidak keluar-keluar. Malamnya aku sedang makan, ketika pembantu laki itu menghampiriku. Wajahnya bagus, ia masih muda, mungkin umurnya belum lagi 25 tahun. “Den…kenalan dulu, sudah 3 hari kita belum kenalan” suaranya ramah, rasa takutku hilang “nama saya Dwi, anak Bi Siti” lanjutnya lagi dengan sopan, saya bersalaman dan tersenyum saja. “nanti habis makan ke sebelah ya, saya ada banyak mainan” sambungnya lagi. “ya, nanti saya ke situ” jawab saya. Sehabis makan aku penasaran mainan apa yang dia punya ? aku mendatangi pavilliun kiri, sambil jalan aku menoleh ke keranjang sampah, timun tadi rupanya sudah dibuang. Aku terus masuk dan rupanya sudah tergelar mainan perang milik pamanku sewaktu dulu. Aku senang dengan pasukan-pasukan mini dari plastic milik pamanku segera aku jadi asyik bermain. Mas Dwi lantas muncul dari dalam kamar tidurnya, aku perhatikan ia kelihatan bersih, sopan, badannya tinggi kulitnya tidak terlalu hitam. Ia duduk di lantai menemaniku, kami bincang-bincang sejenak, umurnya 26 tahun, baru-baru ini ia tidak lulus ujian sekolah guru olahraga, pantas saja badannya seperti atlit. Tanpa sadar aku bertanya :”timun di keranjang sampah tadi buat apa Mas ?” Ia kelihatan kaget seperti disambar gledek : “anu Den,….. saya ada sakit jadi musti diobatin pake timun rebus”jawabnya gelagepan. Aku dengan polos menanyakan lagi :”sakit apa Mas kog obatnya pake timun ?” Mas Dwi menjawab :”ah masa Den Iwan musti tau……nanti kalo udah SMA pasti juga tau, lagipula sakitnya dulu, sekarang sudah sembuh” Aku merasa puas dengan jawabannya, aku terus bermain-main, aku mengambil seekor kuda mini dan menempatkan seorang prajurit di atasnya. Mas Dwi lantas menawariku :”pernah naik kuda nggak ? sini yuk kita main kuda-kudaan” Ia lantas duduk di sofa dan menjulurkan kakinya supaya aku duduk di atasnya, kemudian ia mengangkat kedua kakinya naik turun sehingga aku serasa duduk di atas kuda. Ia melambungkan aku ke atas dan ke bawah, kakinya kuat, aku menggenggam kedua tangannya erat-erat sambil tertawa geli karena pahaku tergesek-gesek di kakinya. Puas berkuda-kudaan aku duduk di sebelahnya, ia mengelus-elus kepalaku :”Sudah malam tidur sana, besok bisa kesiangan” katanya. Aku kembali ke rumah utama, tapi aku belum mengantuk jadi aku memandang ke luar jendela belakang, aku melihat Mas Dwi keluar dari dapur membawa sebuah timun besar masih berasap, mungkin habis direbus. Pelan-pelan aku keluar, 2 pembantu perempuan tua itu masih sibuk juga menonton sinetron, mereka tidak sadar aku mengendap-ngendap ke pavilliun kiri. Aku masuk dan mengintip, Mas Dwi mencemplungkan timun rebus itu ke air es, membelahnya dengan pisau dan melubangi bagian dalamnya. Aku penasaran bagaimana cara ia mengobati dirinya. Kemudian Mas Dwi menyalakan TV dan memasang film jorok lagi, ia memerosotkan celananya, burungnya jauh lebih besar dari punyaku, digenggamnya sebentar, tak lama kemudian burung itu menjadi tegang besar sekali. Timun itu ditiup-tiupnya lantas burung yang sudah menegang itu dimasukkannya ke dalam lubang timun, digerakkannya naik turun berkali-kali. Tanpa merasa bersalah aku mendekat ingin melihat lebih jelas, Mas Dwi terkejut bukan kepalang melihat aku tiba-tiba muncul dibelakangnya. “Eeeeh….Den Iwan ngapain…..kesini, Mas lagi…” katanya terbata-bata, aku memandang ke selangkangannya penuh heran sambil berkata : “Gitu ya Mas cara ngobatinnya ?” Mas Dwi salah tingkah mau mencabut timun tapi nanti kemaluannya kelihatan, mau pakai celana tapi timunnya mau dikemanakan. Aku dengan polos duduk menemaninya di lantai sambil terus memandang tingkah lakunya. Sadar bahwa aku tetap tidak tahu menahu, akhirnya Mas Dwi melepas timun dari burungnya : “Nikh….biar Den Iwan tau, ini cara bikin besar burung, malu Den kalo laki-laki burungnya kecil, nanti nggak ada cewe yang mau” katanya sambil menunjuk alat vitalnya yang besar itu. Memang aku pernah mendengar ada perempuan yang senang dengan alat vital besar, jadi betul lelaki perlu punya alat vital yang bisa memuaskan perempuan. “Den Iwan punya mau digedein nggak” tanya Mas Dwi sambil meraih tanganku, aku mendekat dan diam saja ketika ia menarik lepas celanaku. Ia menyuruh aku duduk dipangkuannya, aku ingat tadi bermain kuda-kudaan, jadi aku menurut saja kata-katanya. Aku duduk dipangkuan menghadap mukanya, burung Mas Dwi bersentuhan dengan burungku, tanpa malu-malu Mas Dwi mengusap-usap alat vitalku, terasa ………seeeeeeeer……..nyaman dan enak. “Den Iwan coba pegang punya saya” bujuk Mas Dwi, karena aku merasa enak maka aku juga menganggap burung Mas Dwi akan merasa enak kalau aku elus-elus. Maka selama beberapa saat kami saling mengusap burung, rasa enak yang aku alami sungguh luar biasa, terlebih ketika Mas Dwi mendekatkan wajahnya ke wajahku, ia mencium pipiku, sebelah tangannya merangkul bahuku dan matanya dipejamkan, bibirnya tiba-tiba saja mendarat dibibirku. Aku merasakan sesuatu yang luar biasa, tanpa sadar aku berciuman, tanganku melepas burung Mas Dwi, aku merangkul lehernya dengan penuh kasih sayang sambil terus berciuman. Burungku menjadi sangat tegang, belum pernah aku merasa seperti itu, jantungku berdebar-debar tak karuan, antara takut, ingin dan penasaran. Tiba-tiba Mas Dwi menyuruhku berdiri, burungku panjangnya mungkin hanya 11 cm dan tidak besar, warnanya menjadi merah karena tegang setegang-tegangnya, tak kuduga Mas Dwi menciumi bawah pusarku, rasanya geli bukan main. Ciumannya tidak berhenti sampai disitu saja, malah turun ke bawah, sebelah tangannya memain-mainkan biji pelerku, sebelah lagi meraba-raba pantatku. Mulut Mas Dwi mulai menciumi batang dan kepala kontolku, aku menggigil kegelian dan keenakan, ia memasukkan kepala burungku ke dalam mulutnya dan memainkan lidahnya di dalam mulut, tanpa sadar aku berguman :”Massss……Dwwwwwiiiii…..” aku betul-betul pasrah karena merasa nyaman geli, enak luar biasa. Mas Dwi lantas menyuruh aku gantian :”Ayo Den gentian cium punya Mas, biar cepet gede” bujuknya halus dan penuh sayang, aku menurut saja, aku menciumi burung Mas Dwi, terasa hangat dan berdenyut-denyut, jantungku juga berdenyut-denyut berdebar-debar. “Den…buka mulutnya biar burung Mas bisa masuk……biar bisa disedot-sedot, nanti susunya keluar……minum aja biar cepet gede” bujuknya lagi. Aku dengan goblok menuruti kehendaknya, aku membuka mulut dan berusaha memasukkan burungnya ke dalam, apa boleh buat entah mulutku yang kekecilan atau burungnya yang kegedean sehingga tidak muat dan aku hanya bisa menjilat-jilatnya, pucuk kontolnya seperti rempela ayam, hanya bagian itu yang bisa aku sedot-sedot dan aku isap-isap. Mas Dwi menikmati karya pertamaku sambil mengelus-ngelus rambutku, punggungku dan sesekali ia menciumi kepalaku. “Deen……..sayaaang…… sayaaang……” bisik Mas Dwi berulang-ulang. Mulutku terasa letih jadi aku berhenti, sebagai imbalan kini Mas Dwi kembali mengoral milikku, ia mengangguk-anggukan wajahnya dengan mulut berisi burungku, rasanya memang luar biasa, seperti mau kencing tapi lebih enak lagi. Aku merintih-rintih keenakan mendesis-desis seperti lokomotif, tanpa sadar aku menutup wajahku dengan kedua belah tangan, perasaan enak, bingung, nikmat menjadi satu. Badanku semakin menggigil, Mas Dwi menekan pantatku erat-erat sehingga aku tak bisa bergerak, gerakannya maju mundur semakin cepat, burungku terasa licin di dalam mulut Mas Dwi dan akhirnya bergetar hebat saat aku merasa kencing di dalam mulut Mas Dwi. “Aaaaakkhhhh…….. ooooh aaaahhhhh……….” seruku tanpa sadar, aku merasa lemas disertai rasa nikmat yang tak terlukiskan, seolah ada suatu beban yang lepas, aku merasa lega dan bahagia. Mas Dwi menyeka mulutnya, lantas memeluk aku dengan sayang, burungnya masih tegang bahkan makin keras seperti kayu. Ia menciumi aku seolah-olah aku seorang bayi, aku merasa Mas Dwi betul-betul sayang padaku, sehingga aku merasa bersalah sudah kencing di mulutnya “Mas, maaf ya aku tadi pipis di mulut Mas Dwi” kataku sambil ngelendot di perutnya. “Ooooh tadi yang keluar bukan pipis Den….tapi sarinya susu, Mas sudah telan, nikh buktinya” jawab Mas Dwi sambil membuka mulutnya lebar-lebar, lantas mulut itu segera melomot bibirku, lidahnya dimain-mainkan dalam mulutku. “Den minum juga ya…..mau ya minum susu Mas, biar kita sama sama, tanda saling sayang” bujuk Mas Dwi padaku. Ia segera berdiri, mengocok-ngocok alat kelaminnya dengan cepat, matanya terpejam. Tangannya meraihku, mengelus-ngelus leher dan tengkukku lantas ia mendekatkan alat kelaminnya ke mulutku “Ayo Den, jilat-jilat, basahin pake ludah” Sebetulnya aku juga mulai terpesona dengan burung Mas Dwi, bentuknya bagus, keras dan hangat dalam genggamanku, baunya harum seperti sabun. Mas Dwi mengocok semakin cepat “Sayang buka mulutnya …..cepat …jilat …jilat …..sssssshhhhh ……sssshhhhhh ….sedot ujungnya ……..sssssshhhhh lagi….. terus sedooooooot ……..!!!” ………..dan……… creeeeeeeeeeeeeeeeeet …creeeeeeeeeeeeeeet susu Mas Dwi keluar dari lubang kencingnya, aku menyedot-nyedot cairan itu cepat-cepat, sebagian berceceran di karpet, tapi banyak juga yang kutelan. Rasanya aneh, getir seperti sirih, tapi ada manisnya, kental seperti susu. Mas Dwi lantas merangkulku sambil mengangkang di sofa, kami berdua tidak pakai celana dalam, berangkulan seperti orang berpacaran di film-film. Aku kembali ke rumah utama dan tidur nyenyaaaak sekali malam itu. Besoknya sepulang sekolah aku langsung ke pavilliun kiri mencari Mas Dwi, aku melihat tidak ada timun dikeranjang sampah. Mas Dwi aku temui sedang menggosok meja kuningan, ia tersenyum, melempar lap ke lantai dan menyambut aku dengan pelukan. “Den……Mas kangen sama kamu” ia mencium keningku, aku memeluknya dan mencium pipinya, aku merasa burung Mas Dwi hidup di dalam celananya, aku pegang sebentar dan bertanya :”Aku nggak liat ada timun di situ” jariku menunjuk ke keranjang sampah. Mas Dwi tertawa : “Selama Den Iwan di sini saya nggak perlu timun sayang” jawabnya. Aku segera mandi, makan dan kembali mencari Mas Dwi, siang itu kami mengulang perbuatan semalam, kali ini aku mulai lebih berani, aku mengajak Mas Dwi telanjang bulat, ternyata Mas Dwi sangat senang, aku dibaringkan di kasur, ditindih badannya dan digelutinya. Burung kami saling bergesekan, nikmat, geli apalagi disertai ciuman dan kitikan mesra. Badan kami berdua basah kuyup oleh keringat, saling memuntahkan air kenikmatan di dalam mulut. Aku ketagihan susu kelakian Mas Dwi yang rasanya sedap. Malamnya aku meminta Mas Dwi tidur menemaniku di rumah utama, kami main lagi sepuas-puasnya, telanjang bulat dan pelukan sampai pagi. Hal itu kami lakukan selama seminggu, sampai kakek dan nenekku pulang. Setelah itu aku kembali kerumahku, tapi kemudian dengan berbagai alasan aku setiap Sabtu sampai Minggu menginap di rumah nenekku, tiada lain hanya karena aku ingin disayang Mas Dwi, ingin diisap dan menikmati saripati susu kelakiannya. Beruntung ketika aku naik klas 2, nenek dan kakekku menyuruh aku pindah ke rumah mereka, karena rumah itu semakin kosong. Aku menempati pavilliun kiri, seatap dengan Mas Dwi, yang bekerja untuk pamanku. Tiada orang tahu kalau kami berdua punya hubungan khusus, setiap malam Mas Dwi tidur di kamarku, tiada malam terlewatkan tanpa bercinta. Hal ini berlangsung selama 3 tahun, sampai saat Mas Dwi pindah ke kota lain, menjadi wakil dagang perusahaan seorang pamanku. Aku sering rindu pelukannya, senyumnya, sedotannya saat aku memuntahkan sperma dan yang pasti aku merindukan alat kelaminnya yang selalu menyemprotkan saripati susu kejantanan untukku.
AKWANG Bulan September team kami harus mengunjungi tempat pengungsian minoritas Cina, letaknya di daerah perindustrian, kota kami tinggal. Kami siap-siap dengan berbagai kebutuhan pendidikan dan obat-obatan. Hari yang ditentukan tiba, kami datang dan disambut ramah panitia pengungsi, kami langsung membagi diri sesuai tugas masing-masing. Diantara kami semua, aku dianggap paling sabar dan telaten, jadi aku bertugas menemani orang-orang tua untuk konseling. Semua berjalan lancar dan menjelang makan siang ketika tiba-tiba suara menjadi gaduh, serombongan orang berlari ke sana kemari berusaha menangkap seorang anak muda Cina yang tampan. Ada yang tertawa geli ada yang menutup muka karena anak muda itu lari dari kejaran hanya memakai celana dalam yang sudah longgar. Ia berteriak-teriak yang tidak jelas. Akhirnya pemuda itu tertangkap, diikat dan dimasukkan ke kamar mandi. Seorang ibu menceritakan bahwa pemuda itu terganggu jiwanya, ia sulit diatur, semau-maunya dan merepotkan orang banyak, ia tidak mau makan kalau tidak cocok, tidak mau mandi berhari-hari dan lain sebagainya. Kami sedang makan siang ketika anak muda itu keluar dengan pakaian bersih, ia kelihatan rapi dan sepintas sama sekali tidak kelihatan sakit jiwa. Ia menolak makan bersama, ia melempar jatah makannya berhamburan bahkan sebagian mengenai wajah dan mukaku. Tapi kami yang jadi korban lemparan diam saja, meski dibujuk-bujuk dengan bahasa Cina ia tetap mogok, ia memutari meja berkali-kali dan tiba-tiba berhenti di dekat kami duduk. Ia menunjuk temanku Noni yang cantik lantas berkata dalam bahasa Cina :”saya mau duduk di situ, dia cantik” Teman saya Noni mengajaknya duduk sekaligus membujuknya makan, bahkan Noni mulai menyuapi anak itu perlahan-lahan. Si gila mau dibujuk, dan nurut dengan perempuan cantik. Anak gila itu bernama Akwang, kalau ia normal pasti banyak orang naksir dia, sayang sekali ia sakit jiwa. Aku memperhatikan cara dia makan, cara memandang dan fisiknya, wajahnya super tampan, tubuhnya tinggi, kulitnya seperti orang Cina kuning langsat, hanya aku lihat ada bagian-bagian berpanau di belakang lehernya, kukunya hitam-hitam. Sayang sekali anak seperti ini tidak diurus. Sehabis makan kami kembali ke tugas masing-masing, sialnya Akwang tidak mau ditinggal Noni, jadi Noni minta aku menemani. Kami mengajak Akwang bermain dengan cat dan kanvas, sebuah teraphy sederhana untuk melampiaskan emosi. Ternyata Akwang senang dengan mencampur warna dan membuat oret-oretan di kanvas, ia kelihatan gembira. Aku mulai mengajarnya membentuk sesuatu, ayam, bunga, matahari dan sebagainya, tapi Akwang selalu menggambar tubuh wanita. Menurut cerita orang-orang Akwang selalu mengganggu perempuan dan selalu memegang bagian-bagian vital perempuan cantik, mendengar itu Noni jadi ketakutan dan meminta aku menjaga Akwang extra ketat. Meski baru sebentar menemani Akwang, aku merasa ia menjadi jinak, ia lupa dengan Noni, asyik dengan mewarnai dan menggambar semaunya. Sore tiba, kami harus pulang, dengan hati-hati aku mengemasi alat-alat gambar dan berpamitan kepada Akwang. Tidak disangka Akwang menjadi marah, ia melempar koper kecilku dan menarik tanganku :”tidak….tidak boleh pulang…tidak boleh pulang” teriaknya. Gaduh sebentar, kemudian seorang Cina yang ditakutinya datang membujuk Akwang :”besok kakak ini datang lagi, besok ketemu lagi” tetapi Akwang malah menangis dan ia minta diijinkan ikut denganku pulang. Akhirnya teman-temanku setuju mengajak Akwang, dengan maksud jalan-jalan sejenak kemudian memulangkannya ke tempat pengungsian nanti. Akwang senang duduk di mobil kami, aneh, sama sekali ia tidak kelihatan sakit jiwa. Untuk menyenangkan hatinya kami mampir di Mac Donald, dia melahap Burger dengan ceria, begitu juga ia makan ice cream dengan normal. Kami semua sependapat bahwa Akwang memang lemah mental dan ia hanya stress, jadi ia harus diperlakukan seperti orang biasa. Setelah bertukar pikiran, kami setuju mengajak Akwang bermalam di tempat kami tinggal. Sesampainya di rumah setelah mandi dan ganti baju aku menyuruh Akwang mandi, sambil menunjukan baju ganti sepotong kaos yang bagus dan celana pendek Bali. Kelihatan Akwang sangat senang, mukanya berseri-seri, sewaktu ia mandi aku bilang sama teman-temanku :”yuk panunya kita obatin, kita urus dia baik-baik” semua juga setuju, jadi selesai mandi Akwang hanya memakai handuk di pinggang, ia di suruh telungkup dan punggungnya langsung digosok dengan obat panu, bukan main banyak panu si Akwang, bukan hanya di punggung, di lengan, di dada dan dipaha dan pantatnyapun penuh panu dan sejenis penyakit gatal remaja. Akwang tidak mengaduh atau mengeluh dengan obat panu yang panas dan pedih itu, ia hanya menyeringai. Pada bagian-bagian yang sangat sensitive teman-teman perempuan menyingkir, jadi aku saja yang mengoleskan dan mengobati selangkangan dan celah-celah paha si Akwang. Aku menelan ludah ketika melihat onderdil Akwang pertama kalinya, dalam keadaan mentah panjangnya hampir sejengkal, lingkarannyapun sangat besar. Aku membersihkan batang kelaminnya dengan alcohol, kapas segera menjadi hitam, kulupnya panjang, dengan cotton bud aku membersihkan kepala burungnya yang berwarna merah muda, kelihatan masih perjaka segar. Segala kotoran di situ yang seperti keju aku bersihkan dan aku usap dengan alcohol. Dalam waktu sejam selesai sudah tugasku, Akwang dengan kaos hitam dan celana Bali keluar kamar seperti orang dari salon, bersih dan normal. Malam itu kami keluar lagi mengajak Akwang keliling kota dan makan di restoran, ia menikmati malam itu dengan sungguh-sungguh. Sampai di rumah sudah jam 11.00 malam, semua ngantuk dan karena ranjangku paling besar Akwang dititipkan di kamarku, lagipula ia sangat jinak dan akrab denganku. Kebiasaanku tidur memang hanya memakai celana dalam dan sebelum tidur aku melapisi sprei dengan handuk besar karena aku agak takut panu Akwang menyebar dan menempel di kasurku. Melihat aku hanya memakai celana dalam, Akwang segera ikut-ikutan, ia membaringkan dirinya agak jauh dariku. Dalam pikiranku aku membayangkan Akwang yang sehat dan tidak berpanu memelukku dari belakang, berharap alat kelaminnya yang besar hidup menggeser-geser tubuhku. Imajinasiku belum selesai ketika tiba-tiba aku merasakan Akwang memelukku sungguh-sungguh, ia membalik tubuhku yang membelakanginya dan langsung menindih tubuhku. Mulutnya mengulum-ngulum bibirku, aku menepiskan mulutnya dan melengos, tapi Akwang berubah jadi marah, ia menamparku dan sekali lagi berusaha mencium dan menjilat bibirku. Gesekan tubuhnya menandakan ia sangat birahi, aku berusaha meraih alat kelaminnya karena penasaran sebesar apa burung itu kalau tegak. Alat kelaminnya nongol keluar karet celana dalam, ketika aku pegang sudah dalam keadaan basah oleh precum, memang sangat besar, aku berusaha menggenggam tapi terlalu besar. Akwang menjilati leherku dan dadaku, ludahnya membasahi tubuhku, ia sangat bernafsu, aku memeluknya dan meraba-raba celana dalamnya mencari biji pelernya supaya aku bisa remas. Dengan sekali tarik Akwang melepas celana dalamnya dan menarik celana dalamku, kami sama-sama telanjang bulat. Akwang menindih aku dan menggesek batang burungnya ke alat vitalku, aku mengelus-ngelus kepalanya menggeser-geser tanganku ke pipi dan dagunya supaya ia merasa relaks. Betul saja Akwang membalas sikapku dengan halus dan penuh perasaan, gilanya hilang. Ia butuh kasih sayang, aku mencium pentilnya dengan lembut dan mencium perutnya yang berbulu halus. Kontolnya yang besar dan panjang aku remas-remas dan kocok-kocok halus “ooooooooooh…….oooooooooh” desahnya pelan. Ia mencium keningku dan menjilati pentilku dengan mesra, tangannya menggosok-gosok belakang biji pelerku, lantas ia naik lagi ke atas tubuhku, menggeluti penuh kemesraan. Aku mengambil body lotion dan mengusapkan ke alat kelamin Akwang, sebagian aku oles ke selangkanganku, lantas aku menarik tubuhnya mencium bibirnya dan mengarahkan kontol Cina besar itu ke antara pahaku. Akwang memandangku penuh bahagia, ia tersenyum dan mencium bibirku lebih hot lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Akwang mungkin belum pernah atau sudah lama tidak berhubungan sex sehingga kelihatan ia sangat menginginkan hubungan ini. Akwang tersengal-sengal menaikkan dan menurunkan pantatnya, sehingga posisi aku balik, aku di atas menjepit kontolnya dengan paha dan aku bergerak naik-turun membuat kontolnya enak. Betul saja, Akwang terpekik keenakan :”iiiiiiiiiiiiiihhhhhh” dan tangannya jadi sibuk memeluk dan meremas-remas tubuhku. Cukup lama kami bergesek-gesek demikian sehingga Akwang semakin nafsu. Kontolnya terasa seperti kayu diselipkan diantara pahaku. Aku juga merasa sangat enak karena gesekan perutnya yang berbulu halus……….tak kuat lagi akhirnya aku menyemprotkan sperma…….pppreeeeeeeet……preeeeeeet………. creeeeet. Rasa licin gesekan perut kami berdua membuat Akwang menjadi lebih nikmat dan 20 detik kemudian iapun ejakulasi…………ccccreeeeeeeeeeet……….creeeeeeeet……..crrreeeeeeeet ! Akwang mendesakkan kontolnya dalam-dalam ke selangkanganku, ia terengah-engah, tersengal-sengal dan tengkurap di atas tubuhku sampai tertidur. Aku tidak berani bergerak, diam saja sambil memeluk dan mengelus punggungnya, lantas aku jatuh tertidur. Aku terbangun ketika Akwang merebahkan diri di sampingku, tapi tangannya mencari-cari tubuhku, ia melanjutkan tidur dengan memelukku. Keesokan harinya kami kembali ke pengungsian, Akwang tentu saja ikut, ia diam saja seperti tidak terjadi apa-apa. Aku bersyukur, ia tidak membuat kegaduhan atau merepotkan. Hari berjalan biasa dan lancar, makan siangpun Akwang di sebelahku, semua orang berterima kasih. Sialnya sore sewaktu kami mau pulang, Akwang bersikeras mau ikut lagi, semua orang memandangku meminta persetujuan. Aku pura-pura berpikir dan seolah terpaksa aku berkata :”biarlah…dia ikut pulang” tapi di dalam hati aku senang sekali. Kami tidak langsung pulang tapi kami makan di Warung Padang yang terkenal enak, selesai makan, semua ngantuk dan letih, jadi kami pulang cepat-cepat. Aku masuk kamarku dan mandi, tidak lama aku dengar pintu kamar mandi di ketuk, ternyata Akwang dengan sopan meminta mandi bersama. Aku sebetulnya terkejut, orang seperti dia masih ada sopan dan tidak segila yang kami duga. Ia minta diguyur dengan air dan minta disabuni, aku memandikannya seperti bayi, bedanya burung dia naik dengan cepat begitu juga burungku. Kami saling menggosok dan mengocok dengan sabun, mulut kami sibuk berciuman, saling melumat, akhirnya kami saling berpelukan erat dan membiarkan kontol Akwang menyelip diantara pahaku, aku menggoyang-goyangkan pahaku maju mundur, Akwang hanya diam berdiri memejam mata keenakan. Untuk membuatnya senang aku membelakanginya, menyelipkan burungnya lagi diantara paha, dengan sebelah tangan aku menyambut kepala kontolnya setiap ia menekan kedepan, sehingga kocokan tanganku dan selipan di pahaku membuat rasa nikmat 2 in 1. Aku senang bermain-main dengan burung Akwang, panjang, besar dan keras. Goyang Akwang maju mundur semakin cepat, tangannya di peluknya ke dadaku, ia bergetar dengan cepat dan ia menekan kontolnya dalam-dalam, aku segera menjepitkan kontolnya lebih rapat. Kepala kontolnya menyembul di bawah burungku dan aku sambut dengan kocokan sehingga……..cccccrrreeeeeeeeeeeeeeeeeeet….cccrrrrrrrrreeeeeeeeeeeeeet !!! sperma Akwang menyembur kencang dan bertubi-tubi. Akwang hanya mengangakan mulutnya keenakan, tiada suara apapun keluar dari mulutnya. Sehabis mandi kami langsung naik ke ranjang, hanya berselimut tanpa pakaian kami memejam mata. Akwang kemudian merangkulku seperti orang dewasa, ia menciumi pipiku berulang-ulang, memelukku dan tidur pulas. Hari berikutnya Akwang masih ikut pulang ke tempat kami, malam itu untuk pertama kalinya aku meng-oral alat vitalnya, ia merasa senang dan sangat puas, tengah malam ia membangunkanku minta di-oral lagi. Hari ke 4, aku meminta Akwang menusuk alat vitalnya ke duburku, wajahnya berseri-seri dan bahagia, ia merasa lebih puas dan lebih nikmat. Hari ke 5, 6 dan 7 Akwang minta diisap, minta lubang dubur dan diisap lagi, setiap malam paling sedikit kami make love 2 kali. Aku tahu Akwang sangat menyukaiku, karena aku bukan saja sabar dan telaten mengurusnya tapi juga karena aku mampu memberi apa yang dicarinya “sex” ! Demikian terjadi selama seminggu, Akwang bersikap normal dan tidak mengganggu yang lain, jadi teman-temanku berkesimpulan Akwang sudah pantas ditinggalkan lagi di pengungsian. Sebetulnya aku tidak sependapat dengan hal itu, Akwang jinak karena nafsu sexnya terpuaskan, ia bisa stress lagi kalau tidak dapat melampiaskan nafsunya. Kami meninggalkan pengungsian karena tugas kami sudah selesai, meninggalkan Akwang yang memberiku kepuasan dan kenikmatan, begitu juga sebaliknya, aku telah memberi kepuasan kepada Akwang. Tentu ia akan merasa kehilanganku, aku kasihan dan berharap dapat berjumpa lagi secepat mungkin dengannya. Aku suka dan jatuh cinta dengan alat vital Akwang, besar, panjang, mulus dan sanggup ejakulasi 3 bahkan 4 kali.
Tinggal di Arab merupakan sebuah kenikmatan, berbagai macam barang ada, harganya murah, bahan makanan dan minuman juga lengkap! dan hampir semua orang di sana yang kutemui baik-baik, terlebih para lelakinya selalu menawarkan kemaluannya dengan penuh keramahan.Setiap saat aku mau, selalu dapat kontol, pagi subuh nemu kontol, sarapan pagi….juga kontol ! jam sepuluh ada kontol, siang bolong
Enam Jam Di JogjaIni bukan kisah sejarah perjuangan Pak Harto dalam masa Revolusi, meski judulnya sama tapi ini sejarah tidur dan bergulat dengan seorang Pakistan di atas kasur. Sama-sama seru ! Pak Harto berjuang mengandalkan pestol, cerita yang ini berjuang mengandalkan kontol.Begini ceritanya : Sebuah hotel baru akan diresmikan di daerah Losari, dekat Magelang, gerombolan kami turut di
A Tale From ArabiaSelama sebulan lebih aku harus bolak-balik Mecca-Medinah, tamu-tamuku bertebaran di kedua kota tersebut. Ada 36 orang di Mecca dan 54 orang di Medinah. Terus terang lebih banyak tamu-tamu menghabiskan waktu di Medinah, karena suasananya lebih damai dan sejuk. Begitu juga orang di sana jauh lebih ramah. Kotanyapun lebih rapih dan menyenangkan.Jarak Mecca -Medinah kutempuh
AKWANG Bulan September 2004 team kami harus mengunjungi tempat pengungsian minoritas Cina, mereka korban Gerakan Aceh Merdeka, letaknya di daerah perindustrian, kota di mana kami tinggal. Kami siap-siap dengan berbagai kebutuhan pendidikan dan obat-obatan. Hari yang ditentukan tiba, kami datang dan disambut ramah panitia pengungsi, kami langsung membagi diri sesuai tugas masing-masing.
Sore itu aku baru saja mendarat di Ngurah Rai International Airport, segera check-in di Grand Bali Beach Hotel yang jauh dari hiruk pikuk, terlebih karena setumpuk pekerjaan yang harus kulakukan berada di daerah Renon, dekat dengan Sanur. Belum sempat beristirahat telponku berdering, rekan bisnisku mengajak makan malam di Jimbaran, segera kami meluncur ke sana. Waktu baru saja menunjukkan pukul 7
Pagi-pagi Tante Ida menelpon dari Jakarta :”Man, anak lelaki sahabat Tante di Denver nanti mendarat jam 11 siang, mau liburan di Bali, maaf ya ! dadakan ! Tante sibuk, lupa kasih tau, nanti sekalian ke kantor, Tante transfer ke rekening BCA kamu buat uang pegangan…...” dan seterusnya…..ia memborong bicara, padahal aku masih ngantuk ! bayangkan aku baru tidur jam 2 dan jam 6 pagi Tante saya
Blitzkrieg !Halo-halo pencinta cerita homo ! Ini laporan pandangan mata, fresh report dari Dili, “kota sejuta kontol” Sore tadi bersama teman-teman saya pergi ngopi ke Area Branca, atau Pasir Putih, daerah tepi pantai dengan pasir yang warnanya putih. Areanya tidak besar, paling-paling hanya sepanjang 1 km, tapi di sore hari kota Dili tampak cantik dari sana, bukit-bukitnya terlihat biru dan
Pernah suatu kali Iwan Tirta mengatakan kepadaku “relations & sex” ibaratnya seperti bread & butter, tak terpisahkan seperti roti yang harus diolesi mentega. Hmmm….. coba pikirkan ! kata-katanya benar ! Pada pengalamanku, bila seks antara aku dan pasanganku cocok maka hubungan kami menjadi lancar, hal-hal kecil yang bisa menjadi biang keributan akan terselesaikan di atas ranjang. Atau
Dili 2008Pertama kali aku melihatnya bulan Agustus 2008, di sebuah restoran bagi kalangan menengah di kota Dili, Timor Leste. Aku dan teman-teman sedang makan malam, tidak jauh dari tempat kami duduk rupanya ada perayaan ulang tahun. Sepotong kue taart besar di pasangi lilin digiring ke meja rombongan itu. Suasana penuh senda tawa dan bahagia, tiup lilin dan jepret-jepret mereka berfoto. Yang
Goyang DombretAda sebuah kantor di sebelah ruko aku tinggal. Kalau hari Sabtu, kantor itu setengah hari, setiap Sabtu selewat jam 2 siang selalu kedengaran music dangdut di stel dengan sangat keras dari kantor tersebut, dan baru berhenti Senin pagi saat kantor buka lagi. Bayangkan dari Sabtu siang sampai Senin pagi semua tetangga harus menderita dengan music kampungan yang disetel dengan volume
Jakarta-Bandung-JakartaHari Jumat jam 15.15 KA Parahyangan melaju dari Stasiun Gambir menuju Bandung, di atas kereta aku berkenalan dengan seorang pemuda ganteng, alis matanya tebal, bibirnya sexy, kesannya seperti Brad Pitt, tapi Melayu punya. Kami saling memperkenalkan diri, namanya Bagyo, lulusan Universitas Parahyangan, Bandung. Ia sendiri tinggal di Jakarta, tapi karena ada keperluan
Bagyo menyumpah-nyumpah kegelian “gue udah nggak tahan lagi nikh…..” ia mulai mempercepat goyangannya, maju mundur dengan cepat, gerakannya membuat aku kelabakan, aku mulai mengimbangi dengan menggenggam kontol itu, setengah masuk mulut setengah kujilat sambil kukocok dengan tangan. Bagyo semakin buas, tangannya menjambak rambutku menekannya sekaligus ke selangkangannya “niiiiiiiiikh… rasain
Kenangan Di Masa Lalu (I)Hingga aku SMA, aku tinggal bersama orangtuaku di jantung kota Jakarta. Di sebuah rumah lama, peninggalan jaman colonial, rumah itu bagiku sangat besar, luas tanahnya saja 2000 meter. Rumah induk tempat keluarga kami tinggal membuat pembantu ngos-ngosan, karena sehari ia harus menyapu dan mengepel 2 kali. Karena terlalu besar, pavilion di sayap kanan disewakan
Mungkin aku pacaran sudah lebih dari 19 kali, maksudku pacaran yang serius, bukan sekedar hubungan badan biasa. Kadang menjelang tidur aku membuka-buka buku catatanku dan mengenang pacar-pacarku dulu. Salah satu diantaranya bernama Gandhi, karena ia paling romantic dan paling berbakti. Gandhi adalah salah satu pacar yang paling tidak akan kulupakan.Aku berkenalan dengannya tahun 1996, ketika
Kontol di MuseumKalau kita pergi ke Museum Pusaka Nias, di Gunung Sitoli, kita akan terpesona melihat patung-patung batu berserakan di halaman Museum, di depan, ditengah, di belakang. Rata-rata semua punya gaya yang sama, seorang lelaki dengan kostum traditional berdiri tegap dengan buah dada besar dan alat kelamin berdiri tegak, semua terbuat dari batu.Sudah dua kali aku kesana, hari Sabtu
Magnum ForceDi ujung Jalan Kajeng sedang dibuat Bale Banjar yang baru, tukang-tukangnya sebagian besar dari Jawa. Agak lebih jauh sedikit di teras sawah, tinggal temanku Yoko, seorang perempuan Jepang yang sedang belajar menari di Peliatan. Pondok Yoko bergaya Jepang dikelilingi kolam Lotus…romantis sekali, kalau bulan purnama aku selalu ke sana, mendengarkan music, minum brem atau arak atau
MandreheMandrehe adalah sebuah desa kecil, di tengah Pulau Nias. Saya menyukai desa tersebut, letaknya tinggi di perbukitan, cuacanya sejuk, dari sebuah tempat di sana kita bisa memandang Pulau Sirombu dan birunya Samudra Hindia yang seolah tak berbatas. Indah !Pertama kali ke sana, saya tercengang melihat tempat saya harus menginap, sebuah kamar di Seminari yang tidak terurus. Perlu 3 jam
Nias - Pulau Seribu Kontol Jilid IIBetul saja, jam 8 lebih sedikit Fasi datang naik sepeda, wajahnya cerah sumringah, ia menyandarkan sepedanya di tiang rumahku. “Bang perutku sakit, habis makan aku langsung ngebut naik sepeda” katanya manja, ia langsung menghempaskan pantatnya ke kursi rotan. Celana pendeknya sudah robek sebelah depan dekat selangkangan, aku perhatikan kakinya panjang dan
Singing In The RainPerumahan Taman Setiabudi Indah di Medan sedang banyak membangun rumah mewah, bangunan setengah jadi ataupun tahap finishing gentayangan sepanjang jalan. Beberapa bangunan hanya dipagari seng, atau terbuka sama sekali, pemiliknya belum punya cukup dana untuk menyelesaikan rumah tersebut. Di bangunan-bangunan seperti itulah tukang-tukang jualan makanan bergerobak beristirahat
WayanSebulan sudah aku menetap di daerah Petitenget, Seminyak. Duapuluh tahun lalu tempat ini begitu sepi dan mungkin sebagian besar orang tidak tertarik berkunjung kesini. Tapi Petitenget kini berubah menjadi surga kaum pelancong bule kelas atas. Coba saja lihat Potato Head, W Hotel, Metish, Sardin, Bali Bakery dan semua tempat yang terbilang mahal ada di lokasi ini.Banyak hotel dan
© 1995-2024 FREYA Communications, Inc.
ALL RIGHTS RESERVED.