Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Biji Saya Sakit, Pak Dokter

by Agus Tono


Kejadian ini berawal sekitar 6 bulan yang lalu, di tempat praktek sore saya. Oya, sebelum saya melanjutkan cerita, ada baiknya saya perkenalkan diri saya dulu. Nama saya Agus, lahir akhir tahun 60-an di satu kota dingin di Jawa Timur yang terkenal dengan apelnya. Lalu besar dan kuliah di kota yang sama, kemudian menjalani PTT di daerah Nusa Tenggara. Sudah hampir 2 tahun saya selesai PTT, kembali ke kota kelahiran, kerja di rumah sakit dan klinik swasta, sore praktek sendiri, sambil kumpul-kumpul duit dan tunggu kesempatan untuk sekolah lagi. Yah, beginilah nasib dokter, setelah 'kerja paksa' 3 tahun, pemerintah nggak mau lagi tanggung jawab. Cari kerja sendiri! Mana lagi krismon gini, ya apa aja dilakoni. Yang penting ada duit untuk nyambung hidup aja deh. Bicara tentang nasib dokter, seringkali ada untungnya juga. Penuh kejutan! Dan kejutan yang paling indah, apalagi kalau bukan kesempatan pegang-pegang cowok cakep yang datang berobat. Siapa lagi yang bisa pegang-pegang cowok, kemudian dibayar dan diterimakasihi kecuali dokter. Apalagi kalau keluhannya pas nyerempet-nyerempet daerah segitiga emas, wah kesempatan yang sangat dinanti-nanti. Musti pinter-pinter jaga tangan, jangan sampai dia nyelonong. Musti puter akal biar usaha kita itu nggak ketara banget. Nah cerita berikut nggak jauh dari meraih kesempatan dalam kesempitan itu, yang sukurlah berkembang ke arah yang baik; artinya dia juga ternyata minta digituin. Simak saja. Sore itu seperti biasa saya datang jam setengah enam sore. Banyak orang duduk di ruang tunggu, sekitar 8 orang. Biasanya itu berarti 4 atau 5 orang pasien. "Lumayan lah", batinku. Perawat yang bantu saya rupanya sudah dari tadi datang. Sambil lewat mejanya saya lirik kartu yang sudah dia siapkan di atas meja. Sekitar 5 kartu, persis seperti yang saya duga. Setelah sedikit ritual di ruangan; minum air sedikit, pakai baju putih (nanti saya ceritakan apa sesungguhnya fungsi baju putih yang biasa dipakai dokter itu!), betulin posisi senjata di dalam Calvin Klein, saya duduk di kursi dan pijit bel. Pasien pertama masuk. Gitu-gitu aja. Tanya keluhan sedikit, periksa-periksa, kasih resep, selesai. Hari itu entah kenapa saya 'horny' banget. Sebentar-sebentar barang itu membesar sendiri. "Ada apa?", pikir saya. Mungkin karena kebanyakan browsing di internet siang tadi. Pas masuk ke site yang bagus banget, penuh cowok dengan senjata yang besar dan terhunus. Lalu yang actionnya juga yahud-yahud. Yang treesome selalu menarik untuk saya. Tadi saya liat cowok tumpuk tiga, seperti sate saling 'sunduk' ke dalam anusnya. Kasian yang paling kiri nggak kebagian daging untuk ditusuk, akhirnya kocok sendiri. Wah kacau ini pikiran, nggak konsentrasi periksa pasien. Untung aja sakitnya nggak macem-macem sehingga nggak perlu periksa terlalu serius. Nggak kerasa 7 atau 8 pasien sudah selesai diperiksa. Tau-tau udah jam 7. Biasanya tinggal tunggu sedikit, gelombang ke dua pada dateng, sampai jam setengah sembilanan lalu cabut pulang ke rumah. Sambil nunggu gini, biasanya sih baca-baca majalah atau koran. Atau didatengi detailer dari pabrik obat. Nah, detailer ini yang asyik. Ada beberapa detailer yang saya sukai. Cowok ganteng, kulit putih bersih, itu yang terutama. Dari sekian banyak detailer itu, ada satu yang paling saya suka. Sebut saja namanya Angga. Seumuran dengan saya. Entah kenapa saya paling betah ngobrol dengan dia. Orangnya enak diajak bicara, dan tongkrongannya itu lho, nggak ku ku. Setiap dateng pakaiannya selalu rapi, nggak ketat tapi jelas banget dia punya bodi bagus di balik pakaian rapinya. Nerima detailer lain biasanya nggak lebih dari 5 menit, tapi kalau dia boleh deh berapa puluh menit juga. Agaknya dia tau diri, selalu dateng belakangan sehingga nggak ganggu detailer lain. Malem itu juga begitu. Satu per satu detailer dateng, gantian dengan pasien-pasien yang dateng belakangan. Nawarin obat, memperkenalkan produk baru. Semua selalu bilang obatnya paling bagus. Tukang kecap, mana ada yang bilang produknya nomor dua! Jam setengah sembilan, pasien sudah nggak bakal dateng lagi, saya ke pintu dan bilang sama perawat saya , "Pulang duluan deh, mbak. Nanti pintunya tak kunci sendiri". Basa-basi sedikit, bilang terima kasih, lalu saya kembali masuk. Di ruang tunggu saya liat masih ada 3 detailer; salah satunya si Angga itu! Eh, barangku kok mengeras lagi ngeliat dia. Biar cerita ini nggak terlalu panjang, akhirnya si Angga masuk ke ruangan saya. Buka tas, mengingatkan kembali tentang produk-produk pabriknya, lalu bla bla bla ngobrol sana sini. Tau-tau dia bilang, "Dok, kenapa ya biji saya sering sakit?" "Wah, kesempatan nih!", pikirku. "Yuk saya periksa, yuk", kata saya. Lalu tanpa tunggu jawaban saya berdiri dan menyuruh dia ke tempat periksa di balik tirai di pojok kamar. Jangan sampai kesempatan emas begini lolos! Dia nurut aja, ternyata. Mulailah saya suruh dia berbaring di kasur, saya suruh buka baju sambil tanya-tanya lebih lanjut mengenai keluhannya. Barangku mulai mengeras lagi, untung ada jas putih yang menutupi daerah selangkangan saya (saya sering berpikir bahwa inilah sesungguhnya fungsi jas putih bagi dokter, khususnya dokter seperti saya ini!). Ternyata saya nggak salah selama ini. Bodinya memang betul-betul bagus. Nggak kekar, tapi cukup berbentuk. Otot-otot dadanya tampak indah sekali. Dan pentilnya itu!!!! Coklat tua agak menonjol berbatas tegas dengan kulit dadanya yang putih bersih. Lalu saya mulai periksa. Mula-mula ketuk-ketuk dada sambil merasakan kekenyalan ototnya, lalu pura-pura mendengarkan denyut jantungnya. Padahal sesungguhnya jantung saya terdengar lebih keras saat itu. Lalu pindah ke arah perut. Perutnya juga nggak kalah bagusnya. Lempeng, keras, kulitnya halus seperti sutra (wah, puitis banget). Sambil gitu saya lirik bagian depan celananya. Lho kok kayaknya menggelembung ekstra? Tapi saya nggak berani memutuskan sesuatu sampai saya buktikan sendiri. Akhirnya sampailah pada bagian yang dituju. "Buka deh celananya, biar gampang periksanya", kataku. "Mudah-mudahan dia nggak sadar bahwa suaraku sedikit bergetar", ucapku dalam hati. Nggak pake ragu-ragu, dia buka resleting celananya. "Busyet, dia nggak ragu-ragu buka celana", pikirku. "Apa dia memang sengaja?" Nggak semenit kemudian, pemandangan indah terpampang di depan mata. Celana dalam putih bersih, bahannya sedikit nerawang. Ternyata mataku nggak salah menilai. Memang dia rada ngaceng. "Bagian mana yang sering sakit?", tanyaku. Suaraku nggak berhasil keluar semua, seperti tercekik membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. "Sebelah sini, dok!", katanya sambil tanpa ragu menurunkan celana dalem putihnya itu. Saya bantu menurunkan celana dan celana dalamnya sampai di lutut. "Sebentar, saya kunci pintu dulu!", kataku sambil jalan meninggalkan dia. Cepat saya matikan lampu di ruang tunggu, tutup pintu luar dan kembali ke ruangan lalu kunci pintu dari dalam. "Cukup aman!" Balik ke tempat periksa, agak terkejut saya. Dia ternyata sudah lepas celana sama sekali. Saya liat celana birunya sudah teronggok di tepi tempat tidur. Tinggal baju yang nggak dikancingkan. Baru keliatan jelas sekarang jembutnya yang tercukur rapi. Kontolnya nggak gitu ngaceng; "tapi sabar bung, nggak lama lagi bakal lain", kataku lagi-lagi dalam hati. "Jadi sebelah mana yang sakit?", ulangku. "Yang kiri, dok!", katanya. Lalu saya mulai meraba bijinya. Mula-mula yang kiri, lalu yang kanan, membanding-bandingkan. Kantungnya sama sekali nggak berambut dan bijinya besar. Sambil raba-raba, barangku ternyata sudah ngaceng banget! "Coba berdiri deh", saya suruh dia berdiri. Lalu dia berdiri, tepat di depan saya. Saya suruh dia berdiri di tangga kecil tempat pasien naik ke kasur. Kontolnya tepat di tentang mata saya. Saya bahkan bisa cium bau khas daerah situ. Saya makin ngaceng. Saya raba-raba kembali bijinya, lalu lipat pahanya. Siapa tau dia memang punya penyakit hernia. Masih juga nggak ketemu apa penyakitnya. Kontolnya masih layu. Setengah ereksi mungkin istilah yang lebih tepat. Saya ukur dengan mata, nggak kurang dari 13 cm. Saya bayangkan berapa besarnya kalau ereksi penuh. Nggak ada kelainanpun saya rela pegang-pegang wilayah itu. Pura-pura mau periksa bagian bijinya, saya pegang batangnya dengan tangan kiri, lalu saya arahkan ke atas, sementara tangan kanan saya saya mainkan di bijinya. Terasa batangnya agak mengembang di tangan kiri saya, lalu tiba-tiba tangannya merengkuh belakang kepala saya dan mendekatkannya ke daerah sasaran. "Sebelah situ yang sakit, Dok!", katanya sambil mengulum senyum. Sialan, ngapain berlama-lama kalau dia sebenernya mau. Saya pandang matanya, minta ijin, dan dia ijinin. Dan mulailah petualangan malam itu dengan menciumi ujung penisnya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya enak sekali. Penisnya mengembang cepat di dalam mulut saya. Lalu saya baringkan dia di kasur periksa. Saya lanjutkan mengisap-isap kontolnya yang sudah ngaceng sempurna. 17 cm, saya kira. Sementara jas putih saya, lalu disusul oleh kemeja dan kaus dalam saya, terhambur entah ke mana. Puas ciumi dan isap-isap kontolnya, mulut saya pindah ke atas. Menyusuri perut bawah, berhenti sebentar di pusernya, naik lagi ke arah dada, singgah di pentil kanan, lalu kiri, terus ke leher dan berakhir di mulut. Kami berciuman hot sekali, saling tukar ludah, tukar lidah, saling gigit bibir. Lalu dia duduk, bibir kami nggak mau lepas. Tangannya meraba bagian depan celana saya, menggosok-gosok penghuninya dari luar, lalu mulai melepas kait celana, kemudian menurunkan zippernya. Dengan satu tangan diturunkannya celanaku dan barang di dalamnya dengan sukses dan tanpa malu mencuat ke atas. Saya dorong celana itu lebih ke bawah lagi dan dengan satu gerakan kaki, telanjanglah saya di tengah ruang praktek malam itu. Dia lepaskan ciuman, memandang bagian bawah badan saya, lalu bergumam, "Wow, besar juga, dok!". "Ya, kurang lebih sama dengan kamu punya!", jawabku. Lalu dia turun dari kasur. Pelan-pelan badannya merendah, ngulangi kegiatan yang saya lakukan terhadap dia dengan urutan terbalik. Akhirnya ya tetap ke situ juga. Sambil tutup mata, saya rasa sesuatu yang hangat menyelimuti kontol saya. Mula-mula kepalanya saja, lalu batangnya, lebih dalam lagi, lebih dalam lagi sampai seluruh batang saya terasa hangat. "Gila, dia bisa telen semuanya!", batinku. Kepalanya mulai maju mundur, makin lama makin cepat, makin kuat, makin cepat, makin kuat. Lalu berhenti sebentar. Lalu ngulangi lagi beberapa kali. Hebat juga servicenya anak ini. Sementara aku makin lama makin dibawa ke awang-awang. Lupa sama tempat, lupa semua. Yang ada cuma si Angga dan saya. Sama-sama telanjang, sama-sama mencari kenikmatan. Lalu dia berdiri. Kami berpelukan erat, kontolnya menekan kontolku. Beberapa saat kami saling menggosokkan badan, adu anggar. Keringat ngucur deras, seperti habis mandi. Entah bagaimana akhirnya kami berbaring di lantai ruang praktek itu. Masih saling tukar ludah dan lidah, badan dia menindih badan saya. Sekali-sekali mulutnya turun ke arah leher, memagut. Saya ingatkan agar tidak terlalu keras. Jangan sampai ada cupang di leher, bisa heboh besok. Lalu dia berputar, kepalanya ada di atas selangkangan saya sekarang. Mukaku juga otomatis ada di depan barangnya. Posisi 69, bahasa kerennya. Dan mulailah kami saling isap. Jari-jari tangan saya berkeliaran sampai di lubang anus, lidah menjilat-jilat biji sampai dekat anus. Lalu saya dorong dia ke samping. Kami ber "69" sambil miring. Kepalaku bersandar di pahanya, kepalanya di pahaku. Maju mundur, tersedak sedikit, sedot kuat-kuat, jilat-jilat, gitu terus sampai akhirnya, "Dok, aku udah mau keluar!", teriaknya. Nggak sempet jawab, barang dalam mulut saya sudah menyemprotkan muatannya beberapa kali. Sebagian tertelan, sebagian ngalir ke luar mulut. Nggak lama akupun keluaran. Dia telan semuanya. Selesai begitu, saya putar badan lagi. Mulut ketemu mulut, saling berbagi sisa peju yang ada di mulut masing-masing. Rasa asin-manis, bau yang khas, menyempurnakan pertemuan malam itu. Sambil membersihkan badan dengan tissue dan berpakaian, saya bilang sama Angga, " Coba tau dari dulu, Ngga !!!!" Sejak itu Angga jadi lebih sering detailing ke tempat saya. Waktunya tetap dia pilih yang paling akhir, cuma yang dibawa dan diperlihatkan agak berbeda. Kami kemudian saling sapa nama, nggak pernah dia panggil dak dok dak dok lagi. Sesekali kami pergi ke tempat tinggalnya, lain kali dia bermalam di rumah saya. Dan episode demi episode dilakoni. Makin lama makin pinter, makin seru. Komentar kirim ke egodistonik@hotmail.com


###

1 Gay Erotic Stories from Agus Tono

Biji Saya Sakit, Pak Dokter

Kejadian ini berawal sekitar 6 bulan yang lalu, di tempat praktek sore saya. Oya, sebelum saya melanjutkan cerita, ada baiknya saya perkenalkan diri saya dulu. Nama saya Agus, lahir akhir tahun 60-an di satu kota dingin di Jawa Timur yang terkenal dengan apelnya. Lalu besar dan kuliah di kota yang sama, kemudian menjalani PTT di daerah Nusa Tenggara. Sudah hampir 2 tahun saya

###

Web-01: vampire_2.1.0.01
_stories_story