Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

waktu

by Breakthru2012


Bagian I His Name Is….

Rendy hanya bisa tersenyum malu dengan pipi sedikit merona. Menghela napas berat serta menimang balasan apa yang mungkin paling tepat untuk pertanyaan terpampang di layar laptopnya. Apa kamu sudah pernah melakukannya ?. Rendy sekali lagi menatap layar laptopnya yang bersinar jernih. Jujur, di belum pernah melakukannya dan ingin melakukannya. Tapi apa tidak akan dianggap naif atau bahkan bohong jika dia menjawab belum pernah ? pada kenyataannya memang dia belum pernah melakukannya. Tapi pengalaman ketika dia menjawab itu, cemoohan tidak percaya masih sedikit melukai hatinya. Jawaban jujur atau bohong ?. Ahirnya Rendy menulis denga harapan orng yang dia temui sebaik apa yang dikatakannya selama ini; selama 3 bulan hubungan mereka di dunia maya. Memang kenapa ?, dan Rendy hanya bisa mengerutkan keningnya, pertanyaan itu tidak diduga sebelumnya. Pernah punya pengalaman buruk sewaktu jujur. Rendy tersenyum melihat kata-katanya, tinggal menghitung dengan jari sampai akhirnya lawan chattingnya tersebut akan benar-benar pergi. Care to share ?, dan kening Rendy semakin berkerut. Why not , tapi nanti malah bikin kamu ngantuk, jari Rendy menari ringan di atas keyboard sementara rasa penasarannya semakin memuncak. Selama ini dia tidak pernah memiliki hubungan sejauh ini dengan seseorang di dunia maya, 3 bulan dan keduanya belum pernah bertemu sama sekali. Hanya satu nama yang sampai saat ini dia pegang, ‘Ari’. Tak ada identitas lain atau petunjuk fisik lainnya. Bahkan untuk memberikan ASL seperti yang biasa dilakukanpun sepertinya dia enggan untuk memberikannya. Tadinya Rendy tidak begitu tertarik, tapi Ari ini selalu saja ada dan memberika perhatian pada setiap kata-kata yang disampaikannya, termasuk dengan keadaannya yang memang seorang dengan orientasi sex yang berbeda. Rendy adalah satu-satunya pria dikeluarganya yang hanya menaruh hati pada lelaki yang lain. Kalau untuk having sex yang sesungguhnya, aku belum pernah melakukannya. Aku belum pernah oral, apalagi anal, hanya sebatas kiss and hug. Rendy menunggu respon dari kata-kata yang dia ketikkan sambil menghitung dalam hati. Biasanya tidak sampai sepuluh diapun langsung pergi. Benarkah ?. Sedikit tercengang, ternyata dia masih ada. Rendy tersenyum dengan jari yang kembali menari di atas keyboardnya. Iya, aku belum pernah melakukannya lebih, dan itu benar. Tapi aku tidak perlu memohon agar kamu percaya padaku. Mata Rendy menatap layar laptopnya dengan jantung berdebar. Entah kenapa kini justru dia semakin penasaran dengan sosok Ari tersebut. Selama ini dia selalu bertanya, seperti apakah Ari ? tampan layaknya artis ? atau biasa-biasa ? (karena Rendy tidak pernah mengatakan jelek, toh dia juga tidak begitu luar biasa seperti photo-photo mereka yang bertelanjang dada, berwajah tampan, dan bertubuh sempurna. Rendy hanya seseorang dengan wajah biasa dan badan tidak terlalu bagus, malah berlebih di beberapa tempat). Pernah sekali waktu Rendy membayangkan Ari. Sayangnya gambaran yang ada dalam benaknya serasa begitu salah. Ari sepertinya bukan seseorang yang mudah untuk diperkirakan. Aku percaya, walau memang jarang terjadi dan biasanya mereka yang mengatakan itu berbohong, tapi aku percaya, dan Rendy hanya bisa terpaku diam. Benar-benar sulit dipercaya, ternyata ada juga orang yang menanggapinya secara serius. Rendy menunduk, kemudian menoleh keluar melalui jendela ruang tamu di apartemen kecilnya; semua terlihat gelap. Jam menunjukkan pukul 12 tengah malam dan rasa kantuk mulai menderanya. Apalagi besok dia harus berangkat pagi-pagi sekali ke Jakarta untuk pemberkasan. Maaf, tapi aku sudah ngantuk. Tak ada jawaban; 1 menit, 2 menit, dan layar tetap diam. Akhirnya Rendy tersenyum, seperti yang dia perkirakan, 3 bulan yang percuma. Rendy mulai mematikan laptopnya, melangkahkan kakinya ke tempat tidur, berdo’a, lalu larut dalam mimpinya.

***

Kereta api menuju Jakarta tampak lengang. Mungkin pagi ini hanya belum ramai, atau mungkin juga mereka lebih memilih untuk menggunakan jasa travel yang memang lebih cepat. Tapi bagi Rendy, kereta api selalu membawa kenangan tersendiri. Ketika umurnya 7 tahun, sang ayah pernah membawanya ke Jakarta dengan menggunakan kereta Api. Rendy ingat betul bagaimana nyamannya perjalanan waktu itu, damai, indah, tidak terlalu banyak kendaraan. Tapi sayangnya keadaan sekarang sangat berbeda, apalagi ada Intan di sebelahnya yang terus saja ngomel. “Padahal naik travel lebih murah, lebih cepat, dan nantinya lebih dekat dengan tempat tujuan…” dan masih banyak lagi ungkapan penyesalannya. Rendy hanya mendengus, “sudah aku bilang kalau aku hanya ingin naik kereta, sudah lama aku tidak naik kereta api”, gumam Rendy sambil mencari kursi tempat duduknya kemudian tersenyum karena dia mendapatkan tempat persis di sebelah jendela. “Tukeran !” seru Intan yang mulai memaksa untuk pindah tempat duduk, dan akhirnya Rendy mengalah, dia memilih tempat duduk milik Intan yang letaknya jauh di belakang, dekat pintu menuju toilet. Menghela napas berat, akhirnya Rendy duduk, menyandarkan punggungnya sambil mencoba menikmati tayangan televisi yang berada jauh di depan sana. Seorang pria tiba-tiba duduk di sebelah Rendy membuatnya dengan cepat membetulkan posisi duduknya. Rendy melihatnya sebentar kemudian tersenyum dan pria itu membalas senyummannya dengan cara yang biasa. Tapi apa yang dia harapkan ? tentu saja pria itu akan membalas senyumnya dengan cara yang biasa, Rendy bahkan tidak pernah berharap kalau pria itu akan membalas senyumannya dengan cara yang tidak biasa. Cukup menarik, hanya itu yang terlintas di benak Rendy. Rambut di potong pendek sedikit acak-acakan dengan beberapa uban putih yang terlihat di beberapa bagian, padahal mungkin belum terlalu tua. Tapi jaman sekarang, uban bukan patokan umur, anak SMP juga sudah banyak yang beruban. Kaus casual warna hitam tangan panjang yang di lipat hingga tiga perempat bagian, lalu celana jeans belel warna biru gelap, serta sepatu kets warna coklat tua; hampir hitam. Cincin dengan hiasan batu warna biru tua yang seolah tenggelam dalam cahaya mentari pagi yang menyorotinya. Tapi yang paling menarik tentu saja kacamata dengan bingkai warna hitam tebal yang menjadikan wajah berhias brewok itu terlihat begitu dewasa. Jantung Rendy seolah berhenti ketika dia berdiri untuk menyimpan tasnya di kabin atas, bajunya tersingkap sedikit, memperlihatkan rambut yang cukup lebat menghiasi perut rata dan padat. Rendy segera memalingkan wajahnya dan mencoba untuk konsentrasi menatap pemandangan di luar. “Ren !, kamu mau ?” Intan tiba-tiba sudah setengah berdiri di kursi yang ada di depan Rendy sambil menyodorkan tangannya dengan dua buah cupcake warna pink, sudah jelas rasanya pasti strawberry. Rendy menggelengkan kepalanya, “tidak, aku masih kenyang” jawabnya pelan. Tiba-tiba Intan bergeser, dia menawarkan kue itu pada pria di sebelah Rendy yang tampaknya sedang asik menikmati pemandangan di luar melalui jendela yang ada di sebelahnya. Dia menoleh, tersenyum sambil mengangkat tangannya untuk menolak dengan sopan. Intan hanya mengangkat bahunya kemudian kembali ke tempat duduknya. Tak lama kemudian terdengar dia yang asik bercakap-cakap dengan temannya melalui telephon genggam, sepertinya dengan Andi, pacarnya. “Pacar ?” pria itu bertanya dengan tiba-tiba. Rendy baru saja menyadari kalau ternyata pria itu kini menatapnya. Pertanyaan tersebut tentu saja ditujukan untuknya. Rendy menggeleng sambil tersenyum, “bukan, teman biasa” jawab Rendy singkat, dan pria itu hanya mengangguk. Tak banyak yang bisa dilakukan, pria itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan di luar jendelanya membuat Rendy semakin kikuk. Ingin dia melanjutkan percakapan, tapi takut kalau ternyata pria tersebut nantinya malah beranggapan lain. Bagus kalau anggapannya positif, tapi kalau akhirnya malah menjadi buruk, Rendy memilih untuk diam. Menyandarkan kepala sambil mencoba untuk lebih santai, berusaha memejamkan mata walau tidak untuk terlelap, hanya mencoba untuk menenangkan pikiran, itu saja. Ari, Rendy kembali mengingatnya. Seperti apakah wajah Ari ?, berapa tahun umurnya ?, benak Rendy tidak sanggup membayangkannya. Tiga bulan yang lalu, ketika dia mencoba untuk daftar di salah satu situs yang memang di khususkan bagi orang semacam dia. Jantung yang berdebar serta perasaan takut ketahuan, akhirnya Rendy mendaftarkan dirinya, walau belum terlalu berani untuk sampai memasang gambar wajahnya. Tidak banyak orang yang menyapanya, bahkan lebih banyak yang mengacuhkannya ketimbang menanggapinya, tidak sedikit juga yang memberikan komentar pedas ketika dia menggambarkan dirinya. Tapi seseorang memberikan tanggapan positif bahkan menyapanya lebih dulu, menurut dia apa yang di tulis Rendy sebagai head tag perkenalannya terlihat polos. Waktu itu sempat terpikir oleh Rendy untuk mengganti tag perkenalannya, bahkan dia lakukan dengan kalimat yang lebih provokatif, dan tentu saja responnya langsung membludak. Ari berbeda, sementara yang lain hanya bertahan satu atau dua hari kemudian menghilang tanpa sebab, atau bahkan mencemoohnya dengan ungkapan bohong, sok suci, muna, ketika dia bilang belum pernah melakukannya, Ari justru tidak pernah menanyakan hal itu. Hingga tadi malam ketika akhirnya mungkin dia juga akan menghilang. Rendy terbangun, kaget ketika seseorang memegang bahunya. Membuka mata sambil menatap pria di sebelahnya yang tersenyum sambil menunjuk ke celana Rendy, “HP nya bunyi terus” katanya pelan, lalu kembali menikmati pemandangan di balik jendela kereta. Memang benar, Hpnya berbunyi, walau tidak nyaring tapi mungkin cukup mengganggu bagi orang yang duduk di sebelahnya. “Maaf !” kata Rendy singkat. Pria itu menoleh dan kembali melontarkan senyumannya sambil melambaikan tangannya tanpa berkata sedikitpun juga. Sebuah pemberitahuan email yang masuk kini terpampang di layar Hpnya. Rendy mengerutkan keningnya, membukanya, membacanya, kemudian tersenyum. “Maaf, tadi malam DC, pas OL lagi kamu sudah out. Jadi ke Jakarta ?, hati-hati di jalan.

Ari” Sekilas Rendy melihat alamat email pengirim, kemudian timbul ide untuk mengeceknya kalau mungkin dia menggunakan alamat emailnya untuk akun jejaring sosial, siapa tahu Rendy sedikit banyak bisa mengenal orang bernama Ari tersebut. “Terima kasih, tadinya aku pikir…” Rendy mengerutkan keningnya, kemudian menghapus tiga kata terakhir dan menggantinya dengan nomor HP, “lebih mudah SMS”, Rendy mengakhiri pesannya.

*** Baru saja sampai di stasiun, Intan langsung ngomel panjang lebar, panas lah, gerah lah, lapar lah, padahal sejak tadi yang di lakukannya selain ngobrol di telephon adalah makan. Ajaib juga kalau tubuhnya tidak pernah gemuk, mengingat pola makannya yang seperti orang kesurupan. “Naik taksi aja ya ?” kata Intan setengah merajuk. Rendy mengangguk sambil mulai melangkahkan kakinya menuju keluar dan bersiap menghadapi cuaca panas Jakarta. Satu jam berlalu hingga akhirnya dia tiba di tempat tujuan. Sebuah kantor perusahaan swasta tempat dia akan magang untuk beberapa bulan ke depan. Walau nantinya tetap dia akan bertugas di wilayah Bandung, namun pihak kantor cabang meminta dia dan Intan melakukan pemberkasan di kantor pusat. Mau tidak mau Rendy harus melakukannya, magang kali ini sangat berarti bagi kelangsungan penelitiannya. Tadinya Rendy berpikir akan membutuhkan waktu lama. Ternyata tidak, hanya menyerahkan berkas, wawancara dan sedikit ramah tamah dengan pemilik perusahaan yang memang sangat ramah, tour di beberapa Divisi, dan akhirnya waktu masih terlalu siang jika harus kembali lagi ke Bandung. Intan terlihat sudah mulai berkemas ketika keduanya berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, walau begitu, sebetulnya Rendy masih enggan untuk segera pergi meninggalkan Jakarta. “Tan, kamu jadi di jemput Andi ?” tanya Rendy sambil memperhatikan mobil yang lalu lalang. Intan mengangguk, “iya, aku juga mo nginap di rumah bibi di kemang. Kamu jadi pulang Ren ?” Intan balik bertanya. Rendy berpikir sejenak, kemudian tersenyum. “Sepertinya ada beberapa tempat yang ingin aku kunjungi” jawabnya pelan. Tak lama terlihat sebuah mobil sedan menghampiri. Rendy mengenalinya, itu mobilnya Andi pacarnya Intan. Laki-laki bereperawakan sedang dengan tubuh atletis itu turun dan menyapanya. “Mo bareng Ren ?” tanya Andi. Rendy menggelengkan kepalanya, menolak dengan sopan, “tidak, aku kebetulan mau ke daerah Kartini” jawabnya dengan sopan. Andi hanya tersenyum, dan tak lama keduanya melaju meninggalkan Rendy seorang diri. Sebuah losmen kecil yang dulu pernah dikunjunginya dengan beberapa temannya ketika kerja praktek di Jakarta jadi tujuannya. Iya, losmen yang meninggalkan kenangan manis serta menjerumuskannya menjadi seorag dengan orientasi seks yang berbeda. Waktu itu, masih belum terlalu lama; sekitar 4-5 tahun yang lalu. STM tempatnya menuntut ilmu mengharuskan dia untuk melaksanakan kerja praktek. Kebetulan Rendy mendapat sebuah perusahaan komunikasi di Jakarta, beserta beberapa temannya. Losmen kecil di wilayah bintaro jadi tempat menghabiskan waktu terakhir praktek kerja. Losmen yang terlihat menyeramkan menurut beberapa temannya itu memang keadaannya cukup memprihatinkan, ruangannya gelap, kasurnya apek, dan memang menurut pemilik losmen: banyak cerita yang beredar mengenai tempat ini. Rendy satu kamar dengan salah satu temannya, namanya Irfan. Sementara yang lain sibuk jalan-jalan bahkan sebelum sore menjelang, Rendy dan Irfan lebih memilih istirahat di kamarnya. Awalnya dari sebuah ketidaksengajaan, ketika Irfan tanpa sengaja memeluknya. Tapi siapa yang menyadarinya ?, keduanya memang asik terlelap tidur. Sayangnya tidur mereka hanya menggunakan celana dalam saja, dan ketika Rendy terbangun, dihadapan wajahnya terlihat Irfan yang terpejam. Entah apa yang merasukinya, mungkin juga makhluk halus yang mendiami kamar losmennya, Rendy bergerak seolah tersihir hingga akhirnya dengan bibir bergetar menyentuh bibir Irfan. Tapi Irfan yang terlelap hanya diam, dan Rendy semakin berani menggunakan tangannya untuk mengeksplorasi tbuh kekar Irfan. Iya, tubuh Irfan memang luar biasa, tegap, dengan otot yang nyaris sempurna membalut tubuhnya. Hingga akhirnya tangan Rendy bergerak menuju batang selangkangan Irfan. Sebuah sensasi yang luar biasa, jantung Rendy seakan berhenti. Apalgi ketika Irfan membuka matanya dan menatapnya dengan tatapan aneh. Alih-alih melepaskan pelukannya, Irfan malah mendekapnya makin erat, menciumi lehernya, dan terjadilah hal yang tidak pernah bisa Rendy bayangkan sebelumnya. Kejadian itu tidak sampai jauh, hanya sekedar ciuman, pelukan dan saling menggesekkan batang masing-masing hingga baik Rendy maupun Irfan mencapai seuatu yang sudah pasti bagi keduanya adalah pengalaman pertama mereka. Sayangnya hubungan itu tidak berlangsung lama, Irfan harus bekerja ke Batam, dan Rendy memilih untuk kuliah di Bandung. Walau begitu, setiap ulang tahunnya, setiap Iedul Fitri, dan momen lainnya, kartu pos Irfan pasti ada terselip di antara surat-suratnya dengan isi yang sama, Aku sayang kamu.

Sungguh hal yang tidak diduga, ternyata pemilik losmen masih mengingatnya. Senyum merekah langsung menyapa Rendy ketika dia tiba di bagian receptionist. Tidak membutuhkan waktu lama bagi pemilik losmen untuk bisa langsung menebak namanya. “Lama tidak bertemu, sudah makin terlihat sukses lah kau ini”. Pemilik losmen yang bernama bang Rizal menyapanya dengan hangat. “Wah abang ini, belum sukses bang, masih berusaha untuk sukses” jawab Rendy sambil tersenyum, tak lama keduanya asik terlibat percakapan mengenang masa lalu. Losmen ini sudah banyak perubahan, tempatnya sudah tertata rapi dengan penambahan ruangan menjadi 4 tingkat. “Mencoba merubah suasana", kata bang Rizal ketika melihat kening Rendy berkerut. Berarti kamar kenangan mereka dulu kini sudah tidak ada lagi. “Dulu, Irfan masih sering ke sini, setiap tahun malah, karena kebetulan istrinya kan tinggalnya di dekat sini” kata bang Rizal sambil menatap jauh ke luar pintu. Rendy mengerutkan keningnya, Istri ? Irfan tidak pernah mengatakan apapun tentang menikah. “Oh, sudah menikah ?, kok tidak pernah memberi kabar” kata Rendy dengan wajah penasaran. Bang Rizal balik menatapnya dengan kening berkerut, memang aneh, mengingat mungkin dulu Rendy paling dekat dengan Irfan ketika mereka menghabiskan waktu satu minggu penuh di losmen ini. “Benarkah ?, jadi kamu juga tidak tahu kalau istrinya meninggal ?” tanya bang Rizal. Rendy menggelengkan kepalanya, “meninggal ? kapan ?”. Bang Rizal menghela napas berat, dia lalu mengajak Rendy untuk duduk di kursi lobby, mengangkat tangannya dan menyuruh pegawainya untuk mengantarkan minuman. “Cerita tragis dan menyedihkan sebetulnya, tapi aneh juga kalau si Irfan tidak cerita sama kamu” ungkap bang Rizal. Rendy menatap bang Rizal dengan serius, memaksanya untuk menceritakan semuanya. “Sekitar 3 tahun yang lalu Irfan menikah, tapi tidak lama, mungkin hanya bertahan 6 bulan karena istrinya meninggal dalam kecelakaan”, bang Rizal kembali menghela napas. “Aku di sana waktu itu, menyaksikan pemakamannya karena memang istrinya masih terhitung tetanggaku, rumahnya tidak jauh dari sini” katanya sambil menunjuk ke seberang jalan. “Irfan tampak terpukul, benar-benar terpukul, apalagi kulihat tidak ada satu orangpun dari temannya yang datang melayat, bahkan pada saat menikahpun aku tidak melihat salah satu dari kalian datang untuk memberi selamat. Aku pikir mungkin semua sibuk, tapi aneh juga, mengingat bagaimana dekatnya Irfan dengan teman-temannya, terutama dengan kamu Ren” bang Rizal berhenti sejenak. Rendy hanya bisa menunduk, sumpah dia tidak tahu dengan semua ini. Aneh juga Irfan tidak pernah memberitahukannya, padahal komunikasi mereka cukup intens. Dan Rendy juga yakin, bukan hanya dia yang tidak tahu mengenai hal ini, mungkin semua temannya juga tidak mengetahuinya. “Aku beneran tidak tahu bang, maksudku selama ini Irfan rajin kirim email, sms, kartu pos, tapi tidak pernah sedikitpun dia menyinggung tentang hal ini” Rendy menghela napas sambil menyandarkan punggungnya, “dan aku yakin yang lain pun sama, maksudku kalau aku tahu, aku pasti datang”. Bang Rizal tersenyum, “iya aku juga berpikiran seperti itu, malah aku sempat menanyakannya, tapi Irfan tidak pernah menjawabnya”. Akhirnya sore menjelang. Bang Rizal dengan setengah memaksa, memberikan satu kamar di lantai 4 sebagai tempat aku istirahat, gratis. Walau tidak aku harapkan, tapi tidak mungkin aku menolak. Dengan langkah pelan, menikmati semua hal baru di losmen ini, pikiranku melayang untuk kembali membayangkan Irfan.

***

Kamu sudah pulang ?. Satu lagi SMS dari Ari yang aku jawab dengan singkat, belum. Malam belum larut dan aku hanya membaringkan tubuhku di kasur empuk dan wangi. Tidak sia-sia bang Rizal merenovasi habis-habisan losmennya, karena ibaratkan si abu buruk rupa yang berubah menjadi angsa mempesona, losmen ini lebih mirip dengan hotel berbintang. Tapi namanya tidak pernah diganti; Losmen Kencana masih terpampang dengan kayu cendana di gapura masuk menuju losmen. Irfan belum menjawab SMSnya, bahkan sepertinya tidak akan menjawabnya setelah Rendy menuliskan banyak hal, baik di Email maupun SMS. Entahlah, dari Ari yang sempat menggantung di benaknya, kini pikirannya lebih fokus terhadap Irfan, pengalaman pertamanya. Nginap dimana ? mungkin bisa ketemu. Kebetulan aku juga di Jakarta. SMS itu hanya bisa membuat kening Rendy berkerut. Benarkah ?, wah, aku sangat berharap bisa bertemu. Rendy mengetikkan kalimat itu dengan cepat, dan untuk sesaat bayangan Irfan seolah sirna. Beritahu lokasimu, biar aku yang ke sana. Rendy berpikir sejenak, akhirnya dia mengetikkan alamat losmen tempatnya menginap. Oke, dan semua pertanyaanmu akan terjawab . Rendy menatap kalimat terakhir itu, memang benar, semua rasa penasarannya akan terjawab hari ini, akhirnya dia akan tahu siapa Ari yang sebenarnya.

Laki-laki itu bertubuh tegap, perawakan yang luar biasa dan jauh dari apa yang pernah Rendy bayangkan, bahkan lebih baik. Tapi timbul pertanyaan dalam benak Rendy, apakah dia mau menemuiku setelah tahu aku hanya biasa seperti ini ?. Rendy menyimpan semua rasa galaunya dalam hati, tidak sopan juga kalau dia sampai tidak menemui tamunya. “Ari ?” tanya Rendy singkat sambil menatap laki-laki yang nyaris sempurna dalam bayangannya. Pria itu menoleh lalu menatapnya kemudian tersenyum sambil mengangguk membuat lega perasaan Rendy, ternyata Ari tidak mengernyit atau menatapnya aneh, bahkan dia tersenyum dengan tulus. “Rendy ?” Ari balik bertanya. Rendy mengangguk mengiyakan. Untuk beberapa saat keduanya langsung terlibat dalam percakapan, ternyata selain hampir sempurna, Ari juga memiliki sikap yang santun serta pintar. “Maukah kamu mengundangku ke kamarmu ?” tanya Ari tiba-tiba. Pertanyaan yang sebetulnya memang sudah di tunggu Rendy. Walau lobby ini tempat umum, tapi dia takut kalau bang Rizal mendengar sedikit percakapannya hingga nantinya berpikir macam-macam. Walau begitu, tetap saja Rendy meminta ijin bang Rizal untuk mengundang tamunya masuk ke dalam kamar, karena bagaimanapun juga, tempat menginapnya tersebut adalah pemberian dari bang Rizal.

Menarik, itulah kesan pertama Rendy terhadap Ari. Selain tampan, ternyata Ari juga pandai dalam berkata-kata, pemilihan kalimat yang dia gunakan untuk berbicara selalu saja membuat Rendy tercengang. Sayangnya hal itu hanya membuat Rendy semakin rendah diri, rasa mindernya semakin menjadi ketika Ari melepas jaketnya, menampakkan bentuk tubuh idealnya yang terbalut kaus bola tipis. “Aku pikir kamu akan bertanya banyak hal ?” Ari menatap Rendy yang seolah baru terbangun dari lamunannya. “Maaf, aku hanya sedikit kaget, itu saja” kata Rendy seolah bingung untuk berkata-kata. Ari menatap Rendy dengan begitu dalam seakan mecoba membaca apa yang ada dalam benak Rendy. Walau sebenarnya Rendy tahu benar apa yang sedang di pikirkan Ari. Rendy menghela napas perlahan, tatapannya menantang Ari yang terus menatapnya tajam, tak lama dia tersenyum. “Maaf !” hanya itu yang bisa dikatakan Rendy. Ari menggelengkan kepalanya dan beranjak duduk di sebelah Rendy membuat jantung Rendy langsung berdebar kencang. Tapi Rendy hanya diam, dia tidak mencoba beringsut ataupun pergi, kehadiran Ari adalah salah satu dari sekian banyak keinginannya selama ini. Sebetulnya bukan Ari, tapi seorang lelaki yang sama dengannya dan memahami keadaannya. Tapi tampaknya semua akan segera berakhir, apalagi ketika Ari melihat dirinya yang pastinya jauh dari apa yang disangkakan Ari. “Apakah ada yang salah ?” tanya Ari yang mulai melingkarkan tangannya di bahu Rendy, “kamu tidak seaktif di chattingan”. Rendy mendengus, “maaf, bukan begitu, aku hanya.., entahlah” Kembali Rendy menghela napas berat. “Apa kamu tidak nyaman dengan kehadiranku ? kalau memang begitu aku bisa langsung pulang ?” kata Ari tiba-tiba, seolah ada nada tersinggung dari cara bicaranya. Rendy menggeleng keras, “bukan begitu !” dia menyanggah dengan keras, “kamu berbeda dari apa yang aku bayangkan selama ini” kembali Rendy bergumam, suaranya pelan sehingga Ari terpaksa menelengkan kepalanya. “Jangan kamu berpikir negatif, maksudku kamu tampan, keadaanmu boleh dibilang nyaris sempurna”. Rendy tiba-tiba berdiri lalu melepas kaus yang dipakainya, “lihat aku, tubuhku tidak sebagus badanmu, wajahku juga tidak setampan yang mungkin kamu bayangkan” kembali Rendy mengenakan kausnya, “aku hanya takut, serta tidak percaya diri, karena aku yakin pasti tidak lama lagi hal yang sama akan terjadi”. Ari kembali menatap Rendy namun tak lama dia tertawa, “kamu lucu Ren !” katanya dengan terus terbahak. Rendy mengerutkan keningnya, “bagian mana yang lucu ?”, tapi Ari malah melambaikan tangannya. Akhirnya Ari berhenti sambil meminta maaf. “Kamu lucu Ren, kita kan hanya berteman, atau mungkin kamu berpikir bahwa…” Ari berhenti ketika melihat Rendy membelalakan matanya, tapi kemudian meredup dan menunduk lesu. “Aku tahu itu. Mungkin bagi kamu lucu karena kamu tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Tidak pernah aku bermimpi untuk memiliki hubungan lebih dengan kamu, bisa berteman saja aku sudah beruntung”. Rendy menjatuhkan tubuhnya di sofa, “tapi mungkin kamu tidak tahu Ri, tapi penolakan itu sudah sering aku alami, apalagi dari orang-orang yang memang memiliki kelas selevel dengan kamu”. Ari diam, kini dia mengerti dengan apa yang ditakutkan Rendy, teman yang baru ditemuinya itu hanya ingin melindungi dirinya sendiri dari rasa sakit hati yang mungkin dia pikir akan dirasakannya. Benaknya kembali melayang pada kejadian lama yang sudah menyesap dalam hati dan hampir dilupakan. Sayangnya tidak mungkin bisa, bayangan itu tak akan bisa dihilangkan begitu saja, itu adalah dosa yang harus dia tanggung seumur hidupnya. Rahmat nama laki-laki yang dia kenal secara tidak langsung dalam sebuah pertunjukan bakat pada tahun 2002. Orang yang bertubuh biasa, wajah biasa, dan terlihat aneh berada dalam lingkungan orang-orang dengan penampilan perlente, dan wajah-wajah layaknya model. Tentu saja, tempat itu merupakan ajang pencarian bakat model. Ari masih bisa mengingatnya bagaimana Rahmat yang malang hanya bia menunduk ketika akhirnya dia menjadi korban bullying dari orang-orang di sekitarnya. Cemoohan, cibiran, hingga sindiran dengan kata-kata pedas terlontar begitu saja. Rahmat hanya bisa kikuk dan tidak mengerti dengan apa yang dialaminya sampai akhirnya security mendepaknya. Kata-kata itu masih sangat di ingatnya, sebuah kalimat yang sampai saat ini selalu disesali Ari karena memang ketika dia sadar, kalimat itu sangatlah menyakitkan. Sayangnya ketika dia keluar dengan niat meminta maaf, Rahmat sudah terbaring bersimbah darah, mengakhiri hidupnya dengan cara loncat dari atas jembatan tol, mungkin dengan kesadaran bahwa dia sudah tersakiti. Tapi siapapun tidak pernah tahu alasan Rahmat mengakhiri hidupnya seperti itu, namun bagi siapapun yang berada dalam ajang pencarian bakat pastinya akan sadar betul kenapa Rahmat melakukannya setelah membaca kalimat yang dia tulis di secarik kertas, “MALU”. “…aku hanya tidak ingin sakit hati !” kata-kata Rendy kembali menyadarkan Ari dari lamunannya. Tanpa berpikir panjang, Ari langsung mendekati Rendy kemudian memeluknya dengan erat, “maaf, aku tidak akan menyakitimu” gumamnya dengan sangat lembut, dan Rendy hanya diam tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Rendy menyandarkan kepalanya di bahu Ari. Rasa nyaman itu begitu melekat masuk hingga menyentuh hatinya. Lama dia menanti hal itu, sebuah sentuhan, pelukan yang memang sangat ingin dirasakannya sejak dulu, sebuah kontak fisik dengan seorang laki-laki yang tahu dan sadar betul dengan keadaannya. Tapi Rendy perlahan melepaskan pelukan Ari, entahlah sesuatu seperti merayap dalam hati kecilnya, dia tidak ingin memulai hal yang baik dengan sesuatu yang terlalu buru-buru. “Aku tidak akan bilang kamu tampan, atau badan kamu bagus. Aku tidak butuh semua itu. Aku hanya butuh seorang Rendy yang aku kenal di internet, yang selalu menemani waktu senggangku dengan kata-kata sopannya, dengan ungkapan lucunya, menghiburku dan mengisi ruang hatiku. Aku hanya butuh itu”. Ari membisikkan kata-katanya tepat di telinga Rendy, seolah ingin membuai Rendy dalam keindahan kata-katanya. Rendy tersenyum kemudian menunduk dan dengan yakin mengangkat wajahnya menatap langsung mata Ari. “Berteman ?” tanyanya dengan mantap. Ari mengerutkan keningnya, tapi tak lama dia tersenyum. “Iya, masih banyak yang harus kita lakukan. Tapi aku berharap lebih dari itu, walau untuk saat ini sepertinya yang terbaik memang berteman”. Rendy nyengir, tangan kanannya membelai dada Ari dengan lembut. “Kita masih belum mengenal satu sama lain, dan aku tidak ingin memulai hal ini terlalu cepat”. Ari melayangkan kecupan lembut di kening Rendy, “iya..” desahnya. Dan untuk beberapa menit ke depan keduanya hanya berdiri saling berpelukan, seolah tak perlu lagi untuk bertanya karena jawabannya sudah nyata ada di depan mata.

Bab II Destiny Always Leads to ...

Hari yang cerah, bahkan terlalu cerah untuk bisa dilalui Dani dengan tenang. Belum apa-apa keringatnya sudah mengucur deras, padahal perjalanan ini belum juga setengahnya. Tapi laki-laki di depannya seolah tidak mempedulikan hal itu, dia terus mengayunkan kakinya, menapaki jalan lumpur di sela-sela rimbunnya tanaman teh. Sudah sejak awal Dani menganggap bahwa semua perjalanan hiking ini adalah ide yang buruk. Dia bukan tipe penjelajah yang kuat untuk berjalan jauh. Oke party selama satu malam penuh, menari dengan gaya erotisnya masih bisa dilakukannya dengan sempurna, tapi untuk berjalan, Dani sebisa mungkin menghindarinya. Namun sayangnya laki-laki yang kini memimpin di depannya terlalu hebat untuk bisa ditolaknya, kebutuhannya telah menjerumuskan dirinya pada sebuah keputusan yang terpaksa diambilnya. “Kang, aku cape !” keluh Dani dengan suara pelan. Laki-laki itu menoleh kebelakang, menghampirinya kemudian tersenyum lembut. Sebuah pelukan hangat langsung menyelimuti tubuh Dani, membuat laki-laki yang baru beranjak dewasa itu hanya bisa memejamkan matanya, merasakan kenyamanan yang kini merasukinya. Irfan mengecup kening Dani dengan sangat lembut. Sebuah kecupan yang memang sangat tulus dia berikan bagi laki-laki yang baru beberapa bulan ini dia pilih untuk akhirnya menjadi pasangannya. Sebuah proses perkenalan yang sangat singkat, tidak membutuhkan banyak penyesuaian, dan terjadi begitu saja. Dalam tubuh berusia 19 tahun itu terdapat sebuah pemikiran dewasa yang senantiasa ditampilkan oleh Dani. “Sebentar lagi kita sampai, hanya melewati bukit itu, dan jalan besar sudah ada di hadapan. Kita tinggal naik angkutan umum lalu tiba di penginapan” kata Irfan sambil membelai kepala Dani. “Empat jam kang, dan aku tidak terbiasa berjalan sejauh itu”. Dani memijat kakinya yang terasa pegal. Irfan mengeluarkan botol minumnya, “minum ?” tanyanya. Tapi Dani hanya menggelengkan kepalanya, saat ini penyesalannya lebih besar daripada sakit di kakinya, dia kini sadar betul kalau apa yang disepakatinya adalah sesuatu yang sangat salah. “Aku tidak mau lagi jalan seperti ini” kata Dani pelan sambil menunduk, “kalau akang suka, lebih baik ajak yang lain saja, karena aku jelas tidak sanggup” katanya pelan. Irfan mendengus, dia lalu menarik Dani dan mengecup bibirnya dengan sangat dalam membuat Dani kembali semaput dalam pesonanya.

Dani tidak pernah mengira bahwa pencarian yang baru saja dia lakukan pertama kali setelah sempat terhenti selama beberapa bulan di jejaring sosial khusus untuk mereka dengan orientasi seks yang berbeda akan langsung mempertemukannya dengan seseorang yang bernama Irfan. Dengan nick Dex_o, sebetulnya tidak ada hal yang menarik, tapi ketika obrolan itu berlanjut hingga akhirnya mereka bertemu, Dani baru bisa mengatakan pada hatinya kalau Irfan adalah seseorang yang memang dia dambakan selama ini. Wajah tampan, tubuh bagus, kekayaan, sopan santun, kasih sayang, sebut apa saja dan Irfan telah memberikan semuanya. Tapi sebetulnya Dani tidak membutuhkan yang lainnya, baginya materi adalah hal yang utama, dan pelayanan serta kasih sayang yang dia berikan adalah sebuah resiko yang harus dia ambil untuk bisa mendapatkannya. Pertemuan pertama, kedua, dan ketiga, telah mengantar mereka langsung menuju sebuah hubungan intim yang sangat dalam. Di sebuah kamar hotel di wilayah jakarta timur, yang langsung menorehkan sebuah kenangan yang sangat indah di hati Dani. Malam itu adalah jaminan bagi Dani untuk bisa mendapatkan Irfan, setelah akhirnya dia menangis karena sesuatu dalam dirinya telah direnggut, dengan sedikit akting penuh penyesalan, serta rasa takut yang dibuatnya, akhirnya Irfan jatuh juga dalam pelukannya. Walau akhirnya, kenyataan bahwa Irfan adalah sosok sejatinya telah membawa perubahan besar pada Dani. Hidupnya berubah drastis, dari sosok asal yang lebih suka hura-hura di café

###

1 Gay Erotic Stories from Breakthru2012

waktu

Bagian IHis Name Is….Rendy hanya bisa tersenyum malu dengan pipi sedikit merona. Menghela napas berat serta menimang balasan apa yang mungkin paling tepat untuk pertanyaan terpampang di layar laptopnya.Apa kamu sudah pernah melakukannya ?.Rendy sekali lagi menatap layar laptopnya yang bersinar jernih. Jujur, di belum pernah melakukannya dan ingin melakukannya. Tapi apa tidak akan

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story