Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Dilla

by Diambil dari mailing list ges@onelist.com


Dilla diambil dari mailing list ges@onelist.com Gue benar-benar panik waktu menerima kabar bahwa Olvi mendapat kecelakaan mobil. Langsung saja gue raih sweater gue, gue siapin duit dan credit card, dan langsung tancap dengan Genio coklat gue menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bagaimanapun juga Olvi adalah sahabat terdekat dan terbaik buat gue. Dengan dia, gue ngerasa cocok banget, dalam segala hal, termasuk dalam bertukar pikiran dan saling berbagi rasa. Begitu banyak rahasia mengenai gue yang tersimpan di memory dia, kecuali tentang status gue yang gay. Kami sama-sama perantauan yang berkuliah di Bandung. Apalagi Olvi seorang cewek, dan baru diputusin sama Rico sekitar dua minggu lalu. Jadi otomatis, guelah yang berkewajiban untuk mengurus segala permasalahan ini, walaupun gue bukan saudara atau keluarga Olvi, tetapi memang kami sudah seperti saudara. Untunglah saat itu gue punya persediaan uang tunai, sehingga ketika gue dapati Olvi di Emergency, segera gue urus segala pembiayaannya. Akhirnya Olvi bisa segera masuk kamar operasi dan ditangani oleh dokter ahli bedah yang berpengalaman. Gue sedikit lega ketika semuanya bisa segera teratasi, walaupun perasaan was-was masih menghantui gue, sebelum operasi itu usai. Sambil menunggu jalannya operasi, dan untuk mengusir perasaan gelisah ini, gue segera mencari wartel, karena HP gue enggak sempat gue bawa karena panik. Sesuai pesan Olvi, orang yang boleh dihubungi cuma Dilla, cowok adik Olvi yang berkuliah di Bogor. Sementara ayahnya di Singapore dan ibunya di Palembang sengaja enggak gue kasih tahu, karena menurut cerita Olvi, mereka sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan sedang menunggu proses perceraian mereka. Dilla amat sangat kaget mendengar kabar itu, tampaknya dia tak kalah panik dari gue. Tapi segera gue yakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dilla baru tiba di rumah sakit empat jam kemudian, ketika itu Olvi sudah sadarkan diri dari pengaruh bius dan sudah ditempatkan di kamar RBB kelas satu. Sejenak gue menyaksikan pemandangan yang cukup mengharukan, dimana kedua kakak beradik itu berpelukan erat, saling berbagi penderitaan mereka. Gue mengerti betul, bagaimana perasaan mereka berdua saat itu. Dalam keadaan duka dan bingung (karena proses perceraian ortunya pastinya sangat mempengaruhi mereka) mereka harus menghadapi persoalan baru ini, di perantauan lagi. Mereka harus menanggungnya berdua saja, tidak ada keluarga yang bisa dimintai pertolongan di Bandung ini. Maka keberadaan gue saat itu cukup melegakan hati mereka, mungkin juga mereka berharap banyak dari gue, agar gue mau ikut menangani permasalahan ini. Tentu saja gue enggak keberatan, bahkan merasa berkewajiban untuk menolong sesama yang membutuhkan, terlebih sesama perantau dari Sumatera. Setelah emosi mereka mereda, akhirnya kami berdiskusi dengan beberapa suster dan dokter yang merawat Olvi. Keputusannya, Olvi akan segera dipindahkan ke ruang VIP, masih di bagian RBB, dan mendapat penanganan intensif dari dr. Gideon, sebagai penanggung jawab. Dan mengenai pembiayaan berikutnya, kelihatannya Dilla cukup siap untuk mengatasinya (maklumlah, Olvi dan Dilla kan anak orang kaya, bokapnya pengusaha sukses). Hanya gue sempat bilang agar Dilla enggak segan-segan menghubungi gue, kalau ternyata biayanya enggak cukup. Dilla mengangguk pasti, dan wajahnya tampak lebih berseri karena lega dengan keberadaan gue. Malam itu adalah malam yang amat melelahkan bagi kami. Karena kecelakaan itu kaki kanan dan tulang belakang Olvi retak, sementara di sebagian wajah dan tangannya tampak luka-luka kecil yang memang tak begitu serius. Tetapi akibat itu semua, suhu badan Olvi semakin tinggi, yang menyebabkan dia sering mengigau. Dan gue maupun Dilla, bergantian mengompresnya, mengontrol stabilitas tubuhnya dan lain sebagainya. Maklumlah, malam-malam pertama pastilah merupakan malam terberat dan tersulit, baik bagi Olvi maupun bagi gue dan Dilla. Olvipun banyak mengeluh ini dan itu, yang menyebabkan kami selalu cemas melihat keadaannya. Barulah ketika waktu menunjukkan jam setengah tiga subuh, Olvi mulai terlelap dalam tidurnya, suhu badannya mulai turun, mungkin pengaruh obat dan suntikan yang diberikan padanya. Maka gue dan Dilla pun merasa agak ringan tugasnya. Kami dapat duduk dan merebahkan diri di sofa dengan puas, tapi tetap saja gue enggak bisa tertidur. Gue enggak terbiasa tuh tidur dalam suasana rumah sakit yang memang enggak menyenangkan. Sementara itu, Dilla sudah mulai terkantuk-kantuk, walaupun sedikit gelisah. Gue pikir, Dilla memang harus istirahat, pastilah badannya terasa amat sangat lelah, setelah menyetir sendiri mobilnya dari Bogor sampai Bandung, dengan disertai pikiran yang tegang dan gelisah. Dan tanpa mempedulikan kelelahannya, Dilla harus melayani kakak perempuannya yang baru pertama kali ini mengalami perawatan intensif di rumah sakit. Maka gue biarkan dia tertidur. Toh dengan begitu, gue bisa dengan leluasa mengamati sosoknya. Ternyata cowok yang baru gue kenal beberapa jam yang lalu itu cukup kece, ganteng dan imut-imut. Cowok yang bernama lengkap Mochamad Fadilla itu tampak trendy dengan penampilan gaya anak muda sekarang. Berkaus Nike warna biru tua, celana corduroy Espritt warna abu muda, sepatu cats merek Reobock serta berarloji G-Shock. Semuanya sangat pas dikenakan di tubuh cowok sportif yang baru dua puluh tahun itu, tetapi masih tampak kekanak-kanakan, sangat jantan dan sedikit liar. Matanya sipit (seperti kebanyakan orang Palembang), kulitnya putih, hidungnya mancung bangir, bibirnya tipis memerah dan rambutnya yang hitam kecoklatan dibelah tengah seperti rambutnya Leonardo di Caprio. Semuanya matching banget man. Dan gue sangat suka dengan type brondong kayak gini. Rasanya naluri ke-gay-an gue ingin sekali segera memangsanya. Tetapi gue sadar betul, Dilla adalah adik dari sahabat terbaik gue. Jangan sampai karena nafsu, persahabatan kami putus begitu saja. Lagipula gue sangat menghormati Olvi sebagai kakaknya. Toh gue juga enggak dapat memastikan apakah Dilla seorang gay seperti gue atau bukan. Dan belum tentu dia mau diperlakukan tak senonoh seperti keinginan gue. Ah, untunglah, pikiran sehat gue masih berjalan. Memang....., dalam setiap langkah, gue harus berpikir matang, termasuk dalam mencari teman kencan apalagi mencari pacar. Tapi saat ini gue lagi enggak punya pacar, baru putus sebulan yang lalu. Lagipula gue lagi pengen sendiri dulu. Ternyata cukup ribet juga bila punya pacar, banyak ngaturnya. Enggak boleh ini lah, enggak boleh itu lah. Semuanya serba dibatasi, maunya pacar gue aja yang harus gue perhatiin, kan enggak adil tuh. Maklum selama ini gue selalu mendapatkan pacar cowok yang lebih tua dari gue, walaupun umurnya enggak jauh-jauh amat dari gue. Sikap gue yang inginnya bebas, senang mencari teman baru dan hobinya ngeceng di mal-mal membuat pacar-pacar gue terdahulu sangat khawatir kalau gue bakalan berpaling. Jadinya mereka ngekang gue, sementara gue anti dikekang. Buntut-buntutnya kami sering bertengkar dan akhirnya putus. Dan sekarang ini, kalaupun gue harus punya pacar baru, gue pengen nyoba tuh sama cowok yang lebih muda, seperti Dilla. Dengan demikian gue enggak akan terlalu dikekang dan bisa membimbing pacar muda gue, sesuai dengan keinginan gue. Tiba-tiba Dilla terbangun lagi. Sorot wajahnya tampak sekali kalau dia amat gelisah. "Kenapa, Dil? Enggak bisa tidur?" Wah, malam itu gue care banget sama dia, abis suka banget sih. Bahkan, enggak tahu kenapa, gue jadi ikutan mengkhawatirkan dia, padahal dia kan bukan siapa-siapanya gue. "Iya..., nih. Kursinya enggak enak buat ditiduri, jadinya enggak nyaman," jawabnya dengan nada mengeluh. Kemudian kelopak matanya ditusuk-tusukkan dengan kedua telunjuknya, menandakan bahwa dia sebenarnya mengantuk luar biasa. Sejenak gue pandangi dia. Ternyata wajah cemberutnya juga cukup memikat gue, apalagi kalau dia lagi tersenyum, wah pasti amat sangat kece dan keren. Tiba-tiba muncul ide cemerlang di benak gue. "Ya... sudah! Kalo gitu kamu tidur di pundak gue aja. Itupun kalau kamu mau? Daripada kamu enggak bisa tidur, entar kamu ikutan sakit lagi". Dilla tampak berpikir sejenak, dipandangnya wajah gue, dan enggak lama dia tersenyum. "Iya deh! Gue tidur di pundak kamu aja, Do!" Dilla akhirnya setuju. Kemudian dia duduk di sebelah gue, amat dekat, dan dengan agak ragu dia rebahkan kepalanya di pundak gue. Alah mak...! Ternyata dia mau juga rebahan di pundak gue, dan saat-saat yang seperti itu yang gue suka. Gue coba menepis segala keraguannya dengan sedikit mendorong kepalanya hingga bersandar di dada sebelah kanan gue. Dilla enggak menolak, bahkan dia minta supaya gue mengelus rambutnya. Tentu saja itu tawaran yang asyik, tangan gue menjadi sibuk, mengelus rambutnya yang lebat. Wow, betapa senangnya gue, bisa menjamah cowok brondong yang cakepnya luar biasa. Sementara itu, entah disengaja atau tidak, sikutnya hampir mengenai batang penis gue yang menyebabkan gue agak terangsang juga. Tapi akal sehat gue masih benar-benar sehat. Gue paksakan untuk menahan diri. Rangsangan yang semula gue rasakan, gue ubah menjadi perasaan sayang. Rambutnya masih terus gue elus dengan segenap perasaan gue, sesekali bahunya juga gue usap-usap. Dari jarak yang amat sangat dekat, gue bisa mengagumi wajahnya. Kulitnya begitu halus dan ada jambang tipis dan halus di sekitar pipinya, membentuk serat-serat. Dan di sekitar punggung bagian atasnya terdapat bulu-bulu halus yang menggairahkan. Pastilah kalau bulu-bulu itu gue raba, Dilla akan menggelinjang kegelian. Sementara itu, di atas bibirnya yang memerah indah, ada goresan hijau muda bekas cukuran, sementara janggutnya yang cuma beberapa lembar dibiarkan menghiasi dagunya yang memanjang. Di sekitar daun telinganya juga ada bulu-bulu kecil, rasanya ingin banget gue melumatnya. Dan sejenak gue mencium bau parfum bermerek Versus yang berbaur dengan bau keringatnya yang segar. Duh, jadi tambah menggairahkan gue aja. Tapi tidak! Ini tidak boleh terjadi! Malam itu gue tekadkan untuk tidak melakukan love affair. Ach..., dengan dapat mendekap tubuh Dilla saja, gue ngerasa bahagia banget. Sementara itu, Dilla terus terlelap di dalam pelukan gue. Kali nikmat ya, dia bisa tidur sambil gue dekap? Soalnya gue juga seneng banget kalo pacar-pacar gue terdahulu mendekap gue dengan penuh kasih. Sekitar jam lima subuh, kami sama-sama terjaga. Olvi memanggil gue dan minta diberi air minum. Gue layani segala permintaannya, bahkan gue sarankan agar Olvi mau memakan beberapa sendok kecil pudding buah, dan dia setuju. Dilla tampak memperhatikan gue terus, entah apa yang dipikirkannya, mudah-mudahan yang baik-baiknya saja. Tak lama Olvipun memanggil Dilla, meminta ini dan itu. Pendek kata, gue dan Dilla terus melayani dan membesarkan hati Olvi yang sedang merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Hingga jam setengah tujuh pagi, seorang suster menyarankan pada kami agar pulang saja, karena Olvi akan ditangani sepenuhnya oleh suster-suster itu. Dan setelah mendapat persetujuan Olvi, kamipun pergi meninggalkan rumah sakit. "Kamu sebenarnya pacarnya Olvi ya, Do? Kok kamu kelihatannya care banget sama dia," Dilla bertanya ketika kami berjalan dari rumah sakit menuju tempat parkir. Gue tersenyum sambil menggeleng. "Enggak kok. Kami cuma sobatan, sejak kami di tingkat satu. Kami saling cocok dan saling menyayangi sebagai teman. Gue sering bantu dia, dan dia juga sering bantu gue." "O,ya? Persahabatan yang mengasyikan dong!" "Sangat mengasyikan dan menyenangkan. Mungkin kami punya banyak persamaan. Kami habiskan waktu bersama tanpa rasa jenuh. Bahkan kami sering ngisi hiburan di Hotel Hyatt, gue main piano dan Olvi yang nyanyi." cerita gue panjang lebar. "Hah... Olvi bisa nyanyi?" Dilla ternganga bahagia. "Belum tahu? Adiknya sendiri enggak pernah tahu kalau dia punya suara yang oke? Wah..., kelewatan kamu, Dil. Tega kamu Dil sama kakakmu sendiri," gue menggoda. Dilla cuma tersenyum, duh manisnya. "Abisnya dia jarang kedengeran menyanyi. Yang gue tahu dia justeru pintar melukis." Tak terasa kami sudah sampai di area parkir. Tak lama kami akan berpisah, karena gue bawa mobil dan Dilla pun begitu. "Sekarang kamu mau kemana, Dil?" Gue tahu Dilla enggak punya tempat persinggahan di Bandung ini. "Paling-paling cari penginapan terdekat. Terus gue harus beli beberapa potong pakaian, gue enggak bawa sepotongpun baju cadangan," jawabnya. "Kenapa harus di penginapan, buang-buang duit segala. Nginap saja di tempat gue. Rumah kontrakan gue punya dua kamar kok, kamu bisa pake salah satunya. Dan mengenai baju, untuk sementara kamu pake aja baju gue, entar kalo ada waktu gue anter deh kamu beli baju." "Enggak ngerepotin nih?" "Tentu aja enggak!" Justeru gue seneng banget kalo dia nginep di rumah gue. Jadi gue bisa sering melihat dan mengagumi sosok Dilla. Tapi sungguh, di otak gue enggak ada niatan tuh, buat ngerjain dia. "Oke deh kalo begitu." Maka kamipun pulang dengan berkonvoi ria. Gue nyetir Genio gue dan Dilla nyetir Opel Blazer punya dia sendiri. Sesampainya di rumah kontrakan gue yang mungil, gue tunjukkan kamar buat Dilla, dan gue persiapkan pakaian-pakaian yang sekiranya cocok dia kenakan, termasuk beberapa potong celana dalam baru. Soalnya postur tubuh kami relatif sama, cuma gue lebih tinggi, lebih gemuk (tapi enggak gembrot), dan sedikit lebih berisi dari Dilla. "Kalo kamu mau mandi, kamar mandinya bersebelahan dengan kamar kamu itu," gue menegaskan. "Iya deh. Tapi kayaknya gue mau langsung tidur aja nih, cape banget soalnya." "Ya..., terserah kamu deh. Gue juga emang mau langsung tidur. Mata udah penat banget nih." Pagi menjelang siang itu kami memutuskan untuk membayar utang kantuk kami. Kami putuskan untuk tidur dulu, entar sore kami harus balik lagi ke rumah sakit. Gue sengaja bolos kuliah hari itu, soalnya percuma saja, di kampus juga enggak mungkin dapat menyerap perkuliahan dengan baik, kalo ngantuknya kayak gini. Maka segera gue tanggalkan jeans levi's gue, dan menggantinya dengan celana pendek gombrong biar lebih nyaman. Maka tertidur pulaslah gue sampai jam sebelas siang. Ketika gue terbangun, gue agak kaget, mendapati Dilla yang sedang tertidur di samping gue. Bukankah sudah gue sediakan kamar untuknya beristirahat, kenapa harus tidur di sebelah gue? Gue berpikir sejenak, dan tersenyum sambil manggut-manggut, pasti anak ini ada maunya. Gue perhatikan dia telungkup dengan wajah menghadap ke muka gue dan tangan kanannya melingkar di perut bagian bawah gue. Sementara itu nafasnya terasa banget menghembus ke muka gue. Gue bangkit sejenak, gue perhatikan dia juga sudah mengganti corduroy-nya dengan celana pendek yang gue pinjamkan. Sejenak gue pandangi kakinya yang putih. Sementara bulu-bulunya yang lebat tetapi halus, lurus dan sangat teratur itu menghiasi seluruh bagian betis dan sebagian pahanya. Alangkah moleknya kakinya itu, sungguh sexy. Menyadari itu semua, tentu saja gue enggak menyia-nyiakan kesempatan. Gue kembali terlentang, gue balas rangkulannya itu dan gue permainkan betisnya yang berbulu itu dengan betis gue, terasa empuk, dingin dan nikmat. Kemudian gue selipkan tangan gue diantara kasur dan tubuhnya (dalam hal ini tangan gue mengenai dadanya karena Dilla sedang telungkup) dan gue coba membimbing tubuhnya hingga menelungkup di atas tubuh gue. Ternyata tak begitu sulit, tampaknya Dilla enggak keberatan dengan posisi tidur seperti yang gue inginkan. Dan gue tahu pasti, saat itu Dilla tidak benar-benar tertidur. "Kamu masih ngantuk, Dil?" desis gue berbasa-basi sambil mengusap punggungnya. "Hmmm..." jawab Dilla dengan anggukkan lemah. Maka terus kuusap-usap punggungnya dengan penuh kelembutan. Sekali-kali gue alihkan tangan ini untuk mengelus rambutnya, lehernya, bahunya atau pantatnya. Kemudian balik lagi ke punggungnya. Dengan posisi seperti itu, tentu saja penis gue menegang. Betapa enaknya ditindih oleh cowok imut-imut dengan postur tubuh yang lumayan oke (175cm/65 kg). Gue rasakan tubuhnya enggak sekekar pacar-pacar gue yang dulu, yang rata-rata lebih tua dan macho dari gue. Daging-dagingnya masih cukup empuk buat gue remas. Sementara itu, paha gue merasakan sesuatu yang mengembang dari celana pendeknya itu. Tentu saja itu adalah penis Dilla yang mulai ereksi. Terasa hangat menyentuh paha gue. Lalu Dilla mencoba untuk memberikan gerakan-gerakan kecil dari tubuhnya, sehingga tubuh kami saling bergesekkan dan penisnya semakin terasa menegang di paha gue. Wah, kalo sudah begini, kagak salah lagi, Dilla pasti punya ketertarikan juga sama sejenis, khususnya sama gue. Kalau dia cowok normal, mana berani dia tidur di samping orang yang belum begitu dekat dengannya, sambil merangkul lagi, apalagi sambil menggesek-gesekkan tubuhnya. Maka gue berniat bertindak lebih jauh lagi. Tapi..., lagi-lagi bayangan Olvi menghantui pandangan gue, seolah berkata agar gue harus menjaga Dilla dan jangan sampai mengerjainya. Jadinya gue serba salah, setia sama sobat, atau mengikuti nafsu birahi gue. Setelah gue pikir-pikir, akhirnya gue pilih untuk setia sama sobat. Pelan-pelan gue turunkan Dilla dari pangkuan gue, sehingga posisi tidurnya menjadi terlentang pasrah. Gue tinggalkan dia tertidur di ranjang gue, lalu gue pergi mandi untuk menyegarkan diri. Tak lupa gue matsurbasi untuk melampiaskan hasrat gue yang enggak tersalurkan. Setelah itu badan gue terasa fresh dan duduk di ruang TV menonton Liputan Enam Siang di SCTV. Sore harinya, gue dan Dilla kembali mengunjungi Olvi di rumah sakit. Kami pergi dengan Opel Blazer milik Dilla, dan gue mencoba untuk engendarainya, wow sungguh nyaman. Setelah kejadian siang itu, kami sama-sama mencoba bersikap sewajar dan serileks mungkin, seolah-olah tak pernah terjadi skandal apapun diantara kami. Gue berusaha tetap bersikap akrab pada Dilla, demikian juga dengan Dilla. Dalam perjalanan itu, Dilla banyak cerita ini dan itu, sesekali diselingi oleh ocehannya yang ngocol. Gue berusaha menanggapinya dan mencoba menutupi perasaan gue yang sebenarnya pada Dilla. Biarpun gue berpura-pura cuek, tapi gue sering memergoki Dilla yang sedang mencuri-curi pandang pada gue dan memperhatikan segala gerak-gerik gue, mungkin dia penasaran tentang perasaan gue yang sebenarnya pada dia. Kegiatan di rumah sakit, hampir sama seperti kemarin. Tugas kita terfokus untuk melayani Olvi. Kami kembali bermalam di rumah sakit, karena kondisi Olvi belum memungkinkan untuk ditinggal. Pada saat Olvi sudah terlelap, kami kembali bisa rebahan. Dan Dilla lagi-lagi minta gue keloni, hingga dia tertidur di dekapan gue lagi. Ternyata dia keenakan juga gue keloni terus. Malam kedua memang tak sesulit malam pertama. Gue mulai bisa menyesuaikan diri dengan suasana rumah sakit. Apalagi gue kemudian tahu kalau ada beberapa dokter muda dan praktikan dokter yang berwajah ganteng, termasuk dokter Gideon. Bahkan dia sempat memergoki gue sedang berangkulan dengan Dilla, dan gue kaget banget. Tapi tampaknya itu bukan permasalahan besar, soalnya dokter Gideon menyangka bahwa gue dan Dilla adalah kakak beradik. Ah, tapi, kalaupun dia menyangka gue seorang gay, betul-betul bukan masalah bagi gue, malah senang. Mudah-mudahan aja dia juga gay kayak gue, dan mengajak kencan gue, hehehe........ Kira-kira jam lima kurang, gue pamit sama Dilla untuk pulang duluan. Soalnya gue harus mempersiapkan bahan-bahan kuliah, gue enggak mau bolos untuk yang kedua kalinya. Dan yang tak kalah pentingnya, hari itu gue akan didoseni oleh dosen super kece bernama Pak Surachman, yang umur dan sosoknya enggak jauh dari Mayong Soryolaksono (itu tuh..., suaminya Nurul Arifin). Kan sayang kalau harus bolos. Mana ngajarnya enak banget, orangnya baik serta ramah dan mata kuliah yang dibawakannya juga cukup berbobot. Sesampainya di rumah (pulang naik taxi), gue sempat rebahan dulu barang setengah jam. Kemudian mulai mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Pak Surachman, yang begitu bejibun, tetapi rela banget gue kerjain. Selesai itu, sekitar jam delapanan, gue terus mandi sambil nyoba sabun oleh-oleh dari Ferry yang baru pulang dari Paris. Wah ternyata sabunnya memang oke, segar dan wanginya jantan, pas banget buat cowok. Maka gue semakin asyik bermain-main dengan air, dengan busa sabun yang melimpah, sambil berdendang tralala trilili. Lagi asyik-asyiknya gue menikmati kesegaran air hangat yang menyembur dari shower, tiba-tiba gue merasakan kaget yang luar biasa. Ada yang merangkul gue dari belakang secara tiba-tiba, dan ternyata dia itu adalah Dilla. Uhh, lemesnya minta ampun. Kirain ada orang yang mau berbuat jahat sama gue. Gue agak kesal dengan tindakan Dilla itu dan sempat menegurnya. Gue peringatkan dia agar enggak berbuat seperti itu lagi. Dan gue tepis pelukannya hingga kami menjadi saling berhadapan. "Sorry deh...! Jangan marah gitu dong, gue jadi nervous!" Dilla malah menggoda. Dan gue jadi enggak bisa berlama-lama mempertahankan rasa jengkel gue pada dia. "Emangnya Olvi sudah ada yang jaga?" "Sudah tuh. Dan gue disuruh pulang sama suster-suster itu. Ya..., gue pulang aja," jawab Dilla enteng, tangannya mulai nakal menggelitiki dada gue. Tanpa gue sadari sebelumnya, Dilla sudah telanjang bulat di hadapan gue, demikian juga gue yang sudah sedari tadi mandi. Aih, kerennya bodinya itu. Cowok imut-imut itu sekarang sudah telanjang tanpa gue suruh. Biarpun dadanya hanya berhias bulu-bulu kecil dan tipis dan tak begitu berotot, tapi Dilla tampak mempesona banget. Putingnya sudah mengembang, berwarna merah jambu. Sementara itu, dari udel sampai buah pelir bertengger bulu-bulu halus yang menyerupai pohon cemara, aduh eloknya. Penisnya memang tak begitu besar, sekitar tiga belas centi lah, tetapi alangkah cantiknya, berwarna lebih tua dari kulit lainnya (kira-kira coklat muda kemerah-merahan). Gue benar-benar terpikat oleh kemolekan seluruh bagian tubuhnya. "Mau ngapai kamu, Dil?" gue pura-pura heran. "Pengen dimandiin sama kamu, Do!" jawabnya manja sambil merayu. Tanpa dikomando dia sudah merangkul gue, jari tangan kanannya dimain-mainkannya di sekitar leher gue sehingga gue agak menggelinjang. Sementara tangan yang kiri melingkar di sekitar pinggang gue, dirabanya seluruh bagian pinggang gue, sesekali diremasnya. Rasanya serrrrrrr........ gue merinding. Tentu saja penis gue menjadi ngaceng sejadi-jadinya, sedangkan punya dia sudah ngaceng sejak Dilla merangkul gue dari belakang. Wah..., kalo begini caranya, gue bisa kehabisan kesabaran. Biarpun berusaha menolak demi Olvi, tapi kalo Dilla terus menggoda, gue jadi enggak tahan juga. Segera gue ciumi pipi kiri dan kananya, matanya mulai terpejam, berusaha merasakan kenikmatan dari bibir dan lidah gue yang mendarat di pipinya. Sementara itu penis kami saling bertautan. "Oohhh....... " Dilla mulai mengeluarkan desahannya dan tanggannya enggak berhenti merangsang gairah gue. Ciuman gue beralih pada daun telinganya, gue jilati kemudian gue kulum. Kemudian beralih ke lehernya dan jakunnya. Terus menerus secara bergantian dan ciuman itu akhirnya bermuara di bibirnya. Itu adalah salah satu bagian yang paling gue suka. Berciuman dengan bibir adalah hal yang paling romantis, gue jadi bisa merasakan seberapa tulus partner seks gue melakukannya dengan gue. Gue mencoba menikmatinya dengan mesra. Bibir Dilla begitu dingin waktu gue lumat, desahannya kembali meluncur sehingga gue pun jadi ikutan mendesah saking nikmatnya. Lidahnya mulai dijulurkannya, gue balas dengan menjilati lidahnya itu. Tak lama kemudian gue gulum lidah sexy itu sehingga lidah kami berdansa di dalam mulut gue. Setelah beberapa waktu, giliran di dalam mulut Dilla lidah kami bertaut, begitu mengasyikan. Ciuman kami semakin dalam, begitu dalam. Bahkan baru ciuman seperti itu saja, gairan kami sudah semakin melanda kami. Erangan dan desahan Dilla semakin keras dan gue semakin bersemangat me! lumatnya. Untuk lebih memperasyik ciuman kami, tangan gue mencoba menjambak rambut Dilla dan sesekali Dilla pun membalasnya pada gue. Pokoknya, kalo urusan ciuman, rasanya gue ahlinya. Beberapa kasus pernah gue alami, hanya dengan berciuman barang seperempat atau setengah jam, gairah partner gue bisa klimaks. Lagipula berciuman bisa dilakukan dimana saja, dan tidak harus selalu bertelanjang. Berciuman adalah gaya yang paling praktis tetapi cukup ampuh dalam melampiaskan gairah. Tetapi dengan Dilla kali itu, gue enggak pengen sekedar ciuman. Gue ingin melakukan segalanya. Dan tangan gue kemudian asyik menjelajahi lekuk-lekuk tubuhnya. Gue cari dan hapalkan bagian- bagian tubuh Dilla yang dapat membuatnya terangsang hebat. Bila dia menggelinjang atau mengeluarkan desahan erotis, berarti di situlah letak sumber rangsangan hebat tersebut. Tangan Dilla pun tak kalah liarnya. Dengan penuh nafsu, dia menjamah bagian-bagian tubuh gue secara acak. Dan tampaknya Dilla orang yang tidak sabaran. Dia ingin segera mencapai tujuan dengan menggulum penis gue atau memain-mainkannya. Tapi gue tahan dan berusaha membimbingnya, agar semuanya enggak dilakukan secara tergesa-gesa. Lebih enak lambat tapi pasti, supaya setiap detil gerakan kami bisa ternikmati dengan puas tanpa ada yang terlewatkan. Lalu Dilla merangkul gue dengan erat, dimana bagian tubuh kami saling bartautan satu sama lain. Pipi kiri gue mendarat di pipi kanannya. Sesekali gue jilati lehernya hingga kembali menggelinjang dan mendesah, atau sebaliknya, Dilla yang melakukannya pada gue. Kedua tangannya dilingkarkan ke bagian bawah ketiak gue dan didekapkannya tubuhnya dengan sangat erat hingga Dilla benar-benar merasakan bidangnya dada gue dengan payudara gue yang juga sudah mengembang. Detak jantungnya begitu cepat berpacu mengimbangi nafasnya yang kian memburu. Sementara kedua tangan gue dilingkarkan ke bagian pinggangnya dan telapak tangan gue bisa menyentuh bagian bokongnya. Jari-jari tangan gue menjadi keasyikan meremas-remas bokongnya itu dan seringkali gue dorong pantatnya itu hingga penisnya semakin melekat di penis gue, lalu kami saling menggesekkannya. Amboi... sungguh begitu amat sangat nikmat. Untuk lebih menggairahkan percumbuan itu, sesekali gue pukulkan telapak tangan gue ke bokongnya itu hingga Dilla mengeluarkan rintihan-rintihan kecil yang binal, hingga gue lebih terpancing untuk meningkatkan gairah seks gue dan lebih liar dalam beradegan. "Aduh..., Do, ennakkkk banget. Ini yang gue suka, Do!" "O, ya? Kalo begitu goyangannya lebih lincah lagi dong!" perintah gue. "All right!" Dilla lebih menggeliatkan tubuhnya, begitu lincah dan agresif dan gue harus menyeimbangkan goyangannya itu. Desahan nafsu terus berkumandang dari mulut kami. Tangan kamipun terus menjelajah. Sementara keringat kamipun mulai membaur dengan semprotan air hangat yang masih menyembur dari shower. Tidak puas dengan adegan itu, gue coba mengangkat pahanya agar melingkar sampai ke bokong gue dan gue usahakan agar penis kami terus bercumbu, jangan sampai terpisah dalam beberapa lama. Entahlah, tetesan mazi kami sudah keluar atau belum, gue enggak memperhatikannya. Tetapi kalo sudah terangsang berat seperti itu, kayaknya sih sudah. Beberapa adegan sudah kami praktekan, dan rangsangan dalam tubuh kami kian memuncak. Tapi kami belum terpuaskan juga. Belum seluruhnya bisa kami jelajahi. Gue mencoba merubah posisi. Gue rangkul tubuh Dilla dari belakang. Dan tangan gue mulai menjelajahi seluruh bagian depan dari tubuhnya itu. Setelah puas, tangan gue mulai mengocok-ngocok penisnya dari kocokan lembut hingga kocokan yang kasar. Dan kelihatannya Dilla cukup menikmati dan ingin banget mengeluarkan spermanya. Tetapi tampaknya Dilla masih ingin lebih lama merasakan cumbuan gue. Maka sesekali diangkatlah kakinya, kanan atau kiri secara bergantian, untuk menahan arus sperma yang akan menyembur itu. Mimik wajahnya begitu menghayati kenikmatan itu, mengira-ngira, adakah yang lebih nikmat dari rangsangan seperti itu. Gue suka banget melihat raut wajahnya yang sedang terbuai dalam belaian nafsu. Sementara penis gue berada di sela-sela belahan pantatnya yang molek. Kami kembali berciuman, saling raba lagi, saling mengelus rambut, dan saling mengagumi wajah. Jari-jariku begitu asyik meraba lekuk-lekuk wajah Dilla, demikian juga dia. Dan setelah puas, gue tekan tubuh Dilla hingga setengah jongkok. Dengan penuh inisiatif jari-jarinya beralih mempermainkan puting payudara gue. Kadang dicubitnya, kadang digigitnya, kadang dikenyotnya, bergantian kiri dan kanan. Enak jeneng banget. Dan tangan gue jadi ingin kembali menjambaknya, karena itu kebiasaan gue bila sedang berhubungan seks. Setelah cukup pegal dengan posisi setengah jongkok, akhirnya Dilla benar-benar berjongkok, kepalanya menghadap penis gue yang masih menegang keras. Tanpa dikomando lagi, tangannya sudah menari mempermainkan penis gue yang 17 senti. Itu memang yang diinginkan Dilla sejak tadi. Dilla tampak memperhatikan penis gue, atau mungkin mengagumi sambil tangannya terus meraba dengan mesra. Tak lama tangannya mulai aktif mengocok penis gue. Tetapi dia enggak mau langsung menggulumnya, Dilla lebih senang mempermainkan dulu lidahnya di udel gue dan telunjuk kanannya ditusukkan ke dalam lubang penis gue. Gue jadi geli. Setelah itu barulah dia dengan puas menggulum dan menjilat penis gue seperti minum es krim. Begitu agresif dan tampaknya dia senang sekali, guepun jadi ikutan senang. Kayaknya dia mau banget kalo penis gue masuk ke kerongkongannya, maka gue masukkan saja penis ini tanpa keraguan. Sementara itu tangannya mulai nakal menggeryangi bagian bokong gue. Dengan mesra dia telusuri alur belahan pantat gue hingga telunjuknya menemukan lubang anus gue. Langsung saja dua masukkan jari-jarinya itu ke lubang gue, sedikit demi sedikit. Dan gue menjadi semakin terangsang. Ach..., telunjuknya tak berpengaruh banyak buat anus gue, biasanya juga dapet yang besar-besar. Maka setelah berhasil memasukan telunjuknya secara penuh, jari tengahnya pun ikutan pula mengintip isi lubang anus gue itu. Masih juga tak begitu berpengaruh bagi gue, itu sih sudah biasa. Apalah artinya dua buah jari-jari Dilla bila dibandingkan penis mantan pacar-pacar gue yang terdahulu. Tapi tetap saja gue mengerang saking nikmatnya, soalnya Dilla memasukkannya dengan agak kasar. Dan keadaan itu membuat gue lebih agresif mencelupkan penis gue ke mulut Dilla yang manis. Barulah setelah tampak kehabisan napas, gue keluarkan juga tuh benda kesayangan gue. Penis gue jadi licin diolesi air liur Dilla dan di kembali mengocok-ngocoknya dengan penuh semangat, kontan penis gue menjadi semakin menegang, kaku dan sedikit sakit. Dilla kembali bangkit dan menciumi gue dengan liar dan menjadi lebih kasar. Tentu saja gue layani, siapa takut. Tak lama dia bercetus "Gue pengen nyoba dimasukin, Do!" Ohoy, itu tawaran yang menarik. Tanpa buang waktu lagi gue atur posisi sehingga lubang anusnya mudah gue masukin. Mumpung penis gue juga masih licin. Dan "Bless..., sedikit-demi sedikit si ular naga masuk" "Wadauuuwwwwwww," Dilla begitu shock dengan tusukan itu. Belum tau dia, kalau tusukan itu begitu sakit, dikirain enak.... Dilla mengerang sejadi-jadinya, mungkin keras sekali. Tapi gue enggak peduli. Bahkan erangannya adalah semangat buat gue untuk lebih keras memompa penis gue, dan dia semakin keras mengerang. "Udah, ah, gue enggak kuat, Do! Wahuhhhhhhhh.... Wadddauuuuuwwww... Uhhkkkkk..... Ohhhhh Wadddauuuuuwwww... Gue enggak kuat, Do! Lepaskan Do, please...! Wadddauuuuuwwww... " "Katanya mau dimasukin, udah dimasukin malah nyuruh berhenti. Enggak boleh gitu ah," goda gue sambil mengatur napas. Dan gue terus memompa penis gue, dari pelan-pelan menjadi agak cepat menjadi lebih cepat dan akhirnya sangat cepat. Dan erangannya semakin cepat pula, tapi gue suka itu. Soalnya dulu gue juga sering mengerang, dan pacar-pacar gue juga enggak peduli. Hal itu terus berlangsung sampai akhirnya gue orgasme. Uh! Puas banget! Gue terus benamkan penis gue di anusnya sampai penis gue benar-benar melemas, setelah itu baru gue lepaskan. Gue lihat Dilla begitu berkeringat, tapi wajahnya terlihat puas. Gue dekap dia, dan rambutnya yang basah kembali gue elus. "Gue udah bukan perjaka lagi sekarang," katanya dengan lunglai. "Kamu nyesel, Dil?" Dia menggeleng lemas. "Gue malah senang, ini pengalaman gue yang paling asyik. Soalnya kamu macho banget, Do! Gue rasanya tenang dan aman kalo kamu peluk". Maka gue ciumi lagi bibirnya dan lehernya. Dan Dilla tetap menggelinjang. Nafsunya masih membara. Spermanya belum keluar sehingga dia masih penasaran. Maka gue kocok lagi penisnya hingga cairan itu menyembur begitu kerasnya. Dan gue terus mengocoknya sehingga Dilla merasa linu. Setelah itu kami mandi lagi untuk membersihkan diri, dan gue berpakaian dan bersiap-siap untuk kuliah. Gue biarkan Dilla menikmati tujuh CD BF khusus homo untuk dia nikmatin. Supaya dia punya banyak wawasan dalam beradegan seks. Sebelum gue pergi kuliah, lagi-lagi dia minta ciuman, begitu dalam....., hingga seperempat jam. Jadinya gue sedikit terlambat masuk kuliah. Tapi tak apalah..., yang penting hati gue seneng banget. Dan untuk sesaat, gue terpaksa harus menghentikan bayangan beradegan seks bersama Dilla. Kini saatnya gue berfantasi yang lain. Dihadapan gue sekarang ada pak Surachman, yang selalu tersenyum penuh simpatik. Dan kali itu gue tak berkonsentrasi dengan perkuliahannya, tetapi dengan khayalan gue, berhubungan intim dengan Pak Surachman. Pulang ke rumah, Dilla menyambut gue dengan mengangkangkan kedua kakinya yang telah tak bercelana. Kemaluannya kembali menghiasi pandangan gue, sehingga tanpa pikir panjang, segera gue layani segala keinginan Dilla itu. Ternyata ada manfaaatnya juga meminjamkan CD BF sama Dilla, adegannya kali itu menjadi semakin lihai. Bahkan gue sampai dua kali orgasme, dua-duanya gue keluarkan di dalam lubang anus Dilla. Dan Dilla mencoba sekali memasukkan penisnya yang imut-imut itu ke dalam lubang anus gue. Wah..., betul-betul dasyat deh suasana hari itu. Setelah itu barulah kami bersiap-siap untuk kembali ke rumah sakit, menunggui Olvi. Tetapi terpaksa Olvi agak telat mendapati gue dan Dilla. Dilla sih pake pengen dilayani segala. Pokoknya selama Dilla menginap di rumah kontrakan gue, sering banget kami melakukan hubungan seks. Dilla jadi ketagihan banget. Setelah pulang dari rumah sakit, Olvi memutuskan untuk istirahat dulu barang satu semester di Palembang. Dan Dilla harus kembali berkonsentrasi kuliah di Bogor. Buat gue sih enggak ada masalah. Tapi ternyata Dilla-nya yang ketagian. Semenjak kejadian itu, satu, dua atau tiga minggu sekali Dilla berkunjung ke rumah kontrakan gue, hanya untuk mendapat kepuasan dari gue. Ya..., buat gue sih seneng-seneng aja. Abis enak sih. tammat

###

Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

1 Gay Erotic Stories from Diambil dari mailing list ges@onelist.com

Dilla

Dilla diambil dari mailing list ges@onelist.com Gue benar-benar panik waktu menerima kabar bahwa Olvi mendapat kecelakaan mobil. Langsung saja gue raih sweater gue, gue siapin duit dan credit card, dan langsung tancap dengan Genio coklat gue menuju Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bagaimanapun juga Olvi adalah sahabat terdekat dan terbaik buat gue. Dengan dia, gue ngerasa cocok banget,

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story