Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Jadi pendatang haram dan jadi budakbelian (Part 1)

by Sultan Pasha


Keadaan ekonomi yang demikian buruk di desaku menyebabkan aku dan beberapa teman mencoba mengadu nasib di luarnegeri. Orang tuaku praktis sudah tidak punya apa-apa, karena sawah-ladang yang tergadai akhirnya harus diserahkan untuk bayar hutang. Sebagian sawah lainnya, yang warisan kakekku diambil paksa oleh orang bersenjata dan kami orang kecil tak berdaya. Seandainya rumah kami terletak di rute jalan tol barangkali kami sekeluarga sudah tergusur tanpa ganti rugi dan jadi gelandangan di desa. Untunglah orangtuaku hanya punya dua anak : aku dan kakakku perempuan yang sudah menikah dan tinggal di kota. Beruntung dalam kemiskinan keluargaku yang amat sangat itu aku masih bisa tamat sekolah menengah tingkat atas. Sesuatu yang langka di desa. Itu pun karena iparku membantu membiayai sekolahku. Tamat SMU aku tidak punya pilihan kecuali mencari kerja. Ketika Bang Wahidin menawari kerja di negeri jiran, aku ikut saja. Apalagi Bang Wahidin bersedia membantu membiayai semua ongkos-ongkos, untuk paspor, pendaftaran, fiskal, periksa kesehatan entah apa lagi. Kemiskinan yang mendera menyebabkan aku berpikir pendek tanpa mempertimbangkan apa-apa. Apalagi mencoba memikirkan latar belakang mengapa Bang Wahidin mau menyediakan uang demikian banyak hanya untuk menolong seseorang yang baru dikenalnya di desa. Singkat cerita, akhirnya aku berangkat dengan sekumpulan pemuda dari berbagai desa dan kecamatan di kabupaten daerah asalku. Ada sekitar 20 orang yang ikut rombongan kami. Dari pembicaraanku dengan teman-teman senasib itu,mereka berumur antara 18 sampai 22 tahun. Pendidikan mereka rata-rata SLTP, SLTA drop out atau berijazah SLTA. Semua mereka direkrut oleh Bang Wahidin dibantu oleh dua temannya Bang Jafar dan Bang Sony. Aku juga lupa kenapa aku dan teman-teman lain memanggil "Abang" kepada ketiga laki-laki itu padahal di desaku kami biasa memanggil laki-laki yang lebih tua "Kang" atau "Akang" Sebetulnya aku tidak kenal dekat dengan Bang Wahidin. Aku berjumpa dengan Bang Wahidin di Kantor Kepala Desa ketika aku mengurus pembayaran pajak tanah (PBB) rumah orang tuaku. Bahkan yang duluan menegur sapa adalah Bang Wahidin. Terus terang, memang Bang Wahidin orangnya ramah, memikat dan ganteng. Ada semacam daya pikat, mungkin aura atau kharisma dalam dirinya. Jujur saja, aku yang "pemuda kampung" ini, diam-diam seorang homosex. Tidak heran jika aku kepincut dengan Bang Wahidin yang jantan dan kekar. Apalagi dia sering menunjukkan "kasih sayang" dengan memeluk aku atau pura-pura memegangi lenganku atau pahaku dengan mesra waktu duduk berdampingan di bangku ruang tunggu Kantor Kepala Desa. Kadang-kadang aku berpikir, jangan-jangan aku mau ikut rombongan Bang Wahidin bukan mau cari kerja tapi karena kepincut (tergila-gila) pada Bang Wahidin!. Dua orang teman atau pegawai (?) Bang Wahidin juga lumayan gantengnya. Bang Sony orangnya paling kekar dan Bang Jafar adalah yang paling cakep dari ketiganya. Tapi karena aku sering dipegang-pegang oleh Bang Wahidin, dia adalah favoritku. Pembaca mungkin heran, apa benar seorang pemuda desa seperti aku bisa menulis cerita seperti ini dengan bahasa yang lumayan. SMU tempatku bersekolah terletak di ibukota kabupaten dan desa ku terletak tidak jauh dari ibukota kabupaten itu. Kebetulan aku memang hobby menulis. Di SMP dan SMU aku salah satu anggota redaksi majalah dinding. Mula-mula kami naik bis carteran ke ibukota negara dan lalu kami naik kapal laut ke perbatasan. Perjalanan dengan kapal laut makan waktu 3 hari (2 malam). Di kapal kami tidur di geladak (dek) yang dinaungi semacam tudung. Sebagian teman kami ada yang mabuk laut, karena baru pertama kali berlayar di laut. Meskipun berusaha menyamarkan, tapi aku bisa merasakan bahwa Bang Wahidin memberikan perhatian lebih banyak kepadaku dibandingkan teman-teman lain. Aku merasa risih, ragu dan khawatir juga pada sikap Bang Wahidin itu. Suatu malam, aku berbaring di geladak dan tiba-tiba saja Bang wahidin pura-pura berbaring di sampingku. Aku katakan pura-pura, karena segera setelah itu tangannya yang kekar lalu menggerayangi lenganku dan meremas jemariku. Perasaan ku campur aduk, antara bertanya-tanya dan senang, karena ada lelaki ganteng yang menyukaiku! Pada hari ketiga, diam-diam dan secara tidak sengaja aku menangkap pembicaraan ketiga laki-laki itu, Bang Wahidin dan dua temannya. Dari pembicaraan mereka aku baru tahu bahwa kami akan masuk negeri jiran secara gelap.Salah satu dari mereka menyebut kata-kata "pendatang haram". Walaupun aku tamat SMU. Maklum SMU kampungan, aku tidak perduli dengan nama kota atau negara tujuan perjalanan kami. Demikian juga dengan pemuda lain yang satu rombongan. Mungkin karena tololnya atau mungkin karena sibuk mengurus keberangkatan dan sedih tiba-tiba harus berpisah dengan orang tua dan sanak kerabat. Itulah sebabnya kami tak pusing dengan dokumen perjalanan atau paspor atau apa lagi entah namanya itu! Hari ketiga, kapal yang kami tumpangi merapat di suatu kota dan lalu kami menunggu di pelabuhan dari siang sampai malam. Kami sudah kelelahan, ketika malam harinya kami harus berangkat lagi naik mobil. Ada 2 mobil yang mengangkut rombongan kami. Kelak aku akan tahu bahwa orang menyebut jenis mobil itu "van". Setelah naik mobil sekitar 3 jam, kami semua turun dan berjalan kaki dalam kegelapan malam hampir satu jam.Untunglah. Karena miskinnya kami tidak punya apa-apa untuk dibawa mencari kerja dan masing-masing kami hanya membawa ransel yang bisa disandang di punggung. Jadi bawaan kami tidak terlalu berat.Setelah satu jam berjalan tibalah kami di suatu tempat yang ada pagar kawat berduri tinggi dengan beberapa bangunan di dalamnya. Di pintu gerbang ada papan yang bertuliskan "Kem Polis Di Raja Malaysia". Kami lalu dikumpulkan dalam sebuah bangsal. Karena hari sudah jam 02:15, kami semua disuruh tidur oleh Bang Wahidin. Malam itu Bang Wahidin menyuruh aku tidur ditempat terpisah dari yang lain dan dalam keadaan aku dan dia kelelahan karena perjalanan sepanjang hari itu dia masih sempat menggerayangi aku dan dengan bernafsu dia melumat bibirku. Tapi hanya sejauh itu saja perbuatannya padaku. Itulah pertama kali bibirku dilumat sesama laki-laki. Aku kagum dengan Bang Wahidin. Karena perjalanan sepanjang hari itu tidak membikin badannya atau pakaiannya berbau. Bahkan aku mencium bau harum minyak wangi dan bau tembakau dari mulutnya yang terasa jadi sangat jantan dan kelaki-lakian. Memang sekali-sekali Bang Wahidin ada merokok. Di "Kem" itu (kelak aku tahu bahwa "Kem"artinya "Camp") ada beberapa pria berseragam. Di lengan bajunya tertulis "Polis Di Raja Malaysia". mereka seperti sudah kenal baik dengan Bang Wahidin dan teman-temannya. Besok paginya kami disuruh mandi di suatu bangsal mandi yang di pintunya tertulis "Common Bathroom" di dalam bangsal mandi itu ada banyak pancuran yang disebut shower. Rombongan kami disuruh mandi bersama telanjang bulat. Anehnya oleh Bang Wahidin aku disuruh mandi di tempat lain -di kamar mandi biasa. Tapi ternyata bukan tanpa alasan. Karena Bang Wahidin ternyata ikut mandi bersamaku. Jadilah kami telanjang bulat berdua. Jantungku berdegup keras ketika Bang wahidin melepaskan seluruh pakaiannya - telanjang bulat. Di hadapanku, tampaklah seorang lelaki tinggi besar tampan dan berotot bagus dengan kontol yang aduhai besarnya dan jembut yang alamak hitam dan tebalnya. Aku merasa lemas melihat pemandangan yang terlalu merangsang itu. Lalu dia juga "membantu" aku melepaskan pakaianku sampai aku telanjang bulat (di Malaysia disebut "bogel" atau bugil). Kulihat kontol Bang Wahidin yang berukuran "bak kontol kuda" itu mulai menegang, demikian juga kontolku. Agaknya kami berdua saling terangsang melihat ketelanjangan kami masing-masing. Ketika aku akan mulai menyalakan keran shower. Bang Wahidin mencegah dan dia mulai memeluk aku, menciumi bibirku lagi, lalu leherku, lalu dia berlutut menciumi dan menjilati puting susuku. Aku menurut saja diperlakukan seperti itu sambil merasakan nikmatnya "dikerjai" sesama jenis!. Akhirnya dia mulai meremas kontolku sampai terangsang dan mengeluarkan mazi (pre-cum). Kemudian kontolku dihisap sampai aku tak tahan lagi dan meuncratkan pejuh dingin ke mulut dan wajahnya. Sementara itu dia juga sibuk mengocok kontolnya. Lalu gantian dia minta aku mengulum kontolnya, sampai dia memancarkan pejuh. Aku menurut saja! Aku merasa sangat mengantuk karena kelelahan dan juga karena terpaksa atau dipaksa mengeluarkan pejuh! Setelah Bang Wahidin puas "memakai" aku. Kami baru mandi bersama, saling gosok dan saling menyabuni dan saling membilas badan dengan air dingin. Lalu kami mengeringkan badan dengan tuala (towel atau handuk). Setelah selesai, aku tidak diizinkan berpakaian. Bahkan pakaianku dirampas. Tiba-tiba saja Bang Wahidin "berubah" jadi pribadi yang tidak kukenal. Dia jadi kasar. Ketika aku minta pakaianku dia membentak "DIAM. NURUT SAJA KAMU". Aku disuruh berkumpul dengan yang lain yang ternyata juga dalam keadaan telanjang bulat semua. Sementara itu, kulihat di situ banyak sekali lelaki berseragam "Polis Di Raja Malaysia". Mereka sibuk berceloteh dan memperhatikan kami seperti melihat sekumpulan ternak. Salah satunya berkata "Aku nak beli yang itu tue. Awak suka konek besar dan bulu butuh yang lebat" sambil menunjuk-nunjuk salah seorang teman yang kontolnya besar dan lebat jembutnya. Yang lainnya berteriak sambil tertawa : "Awak nak cari lubang jubur yang sempit. Sedap masukkan konek awak dalam jubur yang sempit tue". Karena kelelahan dan karena di negeri sendiri biasa tidak melawan jika dilanggar hak asasinya, kami diam saja diperlakukan oleh Polisi Malaysia seperti hewan. (Bersambung - To be continued in Part 2)

###

7 Gay Erotic Stories from Sultan Pasha

Aku dientot dan dihajar Irvan sampai babak belur

Secara kebetulan aku membaca karangan Irvan di MOTN. Dia menggunakan nama "ITB Guy" dan karangannya ber-seri (2 nomor)dan menceritakan kisah tentang perbuatannya memperkosa seorang cowok ganteng keturunan Cina - bernama Christian yang ganteng,berotot dan tidak sunat - dan yang baru saja memperkosa seorang cewek. Ceritanya bagus dan membikin aku ngaceng berat. Oleh karena itu segera aku

Bergumul telanjang dengan pengawal penganten

Suatu kali aku menghadiri pesta pernikahan seorang teman. Mereka melaksanakan dengan adat Jawa. Seperti biasa pada awal pesta ada prosesi pengantin dan keluarganya. Di paling depan berjalan sambil menari seorang lelaki yang bertindak sebagai "pengawal penganten" atau disebut "cucuk lampah". Biasanya aku malu sendiri melihat lelaki menari seperti itu. Tapi malam itu aku menemukan

Di lokap imigresyen jembutku dicabuti paksa!

Aku sangat jengkel, marah, putus asa dan terhina dengan apa yang aku alami. Aku anak orang miskin yang coba mencari makan dan mengadu nasib di negeri jiran. Dengan menjual hampir semua yang keluargaku punyai, termasuk sebagian sawah orangtuaku, aku berangkat ke negeri jiran melalui jasa suatu perusahaan pengerah tenaga kerja sialan. Aku orang bodoh dan orang miskin tidak tahu jenis

Jadi pendatang haram dan jadi budakbelian (Part 1)

Keadaan ekonomi yang demikian buruk di desaku menyebabkan aku dan beberapa teman mencoba mengadu nasib di luarnegeri. Orang tuaku praktis sudah tidak punya apa-apa, karena sawah-ladang yang tergadai akhirnya harus diserahkan untuk bayar hutang. Sebagian sawah lainnya, yang warisan kakekku diambil paksa oleh orang bersenjata dan kami orang kecil tak berdaya. Seandainya rumah kami terletak

Jadi pendatang haram dan jadi budakbelian, Part 2

Dalam keadaan telanjang bulat kami digelandang ke bagian lain dari kompleks atau kamp itu ke suatu bangsal. Lelaki berseragam itu semuanya tinggi besar kekar. Mereka membawa senapan. Di pinggang mereka tergantung rotan dan cemeti. Ternyata bangsal itulah tempat tinggal kami selama jadi tahanan atau sandera di situ. Kamp itu sangat sepi dan agaknya dikelilingi hutan lebat. Bangsal

Pengalaman bekerja ilegal di negeri jiran

Seperti jutaan orang lainnya, karena didera kemiskinan di negeri sendiri, aku terpaksa mencoba mengadu nasib di negeri jiran. Datuk Seri Mahathir Muhamad dalam buku "The Malay Dilemma" menyatakan bahwa semua orang Melayu yang tinggal di negara Brunai, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tidak pernah menjadi tuan rumah di tanah leluhurnya. Pada kenyataannya semua orang Melayu di Asia

Pengalaman buruk jadi tahanan imigresyen

Setibanya di Nunukan tiba-tiba saja aku jumpa Warno."War", kataku, "Mas", katanya setengah berteriak. Kami langsung berpelukan erat sekali, air mataku tak terasa berlinang, kerongkonganku tersumbat, demikian juga Warno. Kami sama-sama jadi buruh bangunan di KL (Kuala Lumpur), ketika kemudian kami saling berpisah. Aku ikut Bang Zarmi dan Warno membawa nasibnya entah kemana. Kami ngobrol

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story