Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Oase Laut Utara, Part 1

by Juzoef


PASIR PUTIH Laki-laki itu kini tergolek tenang di sampingku. Tubuhnya yang kekar padat itu hanya tertutup selimut sebatas pinggangnya. Aku sendiri belum sepenuhnya berpakaian dan masih duduk bersandar di ujung ranjang. Di pagi yang masih dingin ini kami baru saja bermain cinta. Deru nafasnya tampak sudah mulai reda setelah hampir selama satu jam tadi kami bergelut penuh nafsu. Perut dan dadanya yang penuh bulu itu nampak bergerak ritmis mengikuti hembusan nafas. Dengan posisi satu tangan terentang ke atas, dadanya makin tampak bidang, dan rambut di ketiaknya terlihat lebat menyeruak. Dengkurannya halus. Rasanya baru beberapa menit ini dia terlelap. Capek mungkin. Tapi yang jelas ia kepuasan, sebagaimana yang kurasakan. Percikan birahikuku pun belum sepenuhnya reda. Kemaluanku masih menyisakan rasa tegang. Apalagi adegan tadi masih terasa dan terbayang terus. Kulirik selimut yang menutupi bagian bawah pusarnya. Kupegang. Kurasakan bagian itu masih hangat dan tonjolan batangnya masih terasa kenyal. Beberapa bercak cairan kental masih menempel di selimut itu. Sebagian dari kenikmatan kami yang masih tersisa. Dia tadi memang keluar cukup banyak. Demikian juga aku. Entah kenapa pagi ini kami begitu bersemangat sekali melakukannya. Rasanya sejak kami menjalin hubungan sesama jenis, inilah salah satu permainan cinta yang paling seru yang pernah kami lakukan. Laki-laki itu, Bahar namanya. Lengkapnya tidak bisa aku sebut di sini, meskipun sebenarnya aku sangat suka dengan nama belakangnya yang khas Sangir Talaud itu. Sangir Talaud. Di daerah kepulauan inilah aku dikirim oleh perusahaanku, sebuah natural eksplorer berbasis di Australia dan punya cabang di Jakarta, untuk melakukan penelitian selama satu tahun. Rencananya aku berdua dengan rekanku, Lolita, yang dikirim pada ekspedisi ini. Namun mengingat program pengetatan anggaran dan dengan pertimbangan daerahnya yang cukup jauh dan berat, maka aku yang cowok lebih diutamakan. Menginjak bulan kedua di daerah Sangir aku mulai kenal dengan Bahar. Ceritanya ketika itu aku sedang mencari kapal sewaan di sekitar daerah pelabuhan yang akan kupakai selama ekspedisi. Dia adalah pekerja lepas di pelabuhan itu, tapi lebih banyak menangani urusan yang menyangkut kapal dan perahu-perahu. Setelah beberapa hari ketemu dan bekerja sama, kami akhirnya menjadi partner kerja. Lalu kutawari dia menjadi fasilitator sekaligus pemanduku. Sebagai pendatang aku memang perlu teman dan rekan kerja yang bisa membantu kegiatanku, sementara dia punya alasan lain menerima tawaranku : karena dia tak punya siapa pun di Sangir ini dan waktu lowongnya cukup banyak. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan 'abang', Bang Bahar. Sementara dia memanggilku dengan sebutan ‘mas’. Kata dia, semua orang yang berasal dari Jawa biasa dipanggil begitu, tak peduli masih muda atau sudah tua. Sebenarnya aku mempunyai satu alasan lain yang lebih kuat kenapa memilih dia. Bukan saja karena dia baik dan jujur, tapi karena secara fisik aku memang suka dengan dia. Bahkan sejak pertama kali melihatnya, mataku terus tertuju pada tubuhnya yang tegap serta wajahnya yang ganteng, khas orang daerah Timur. Dari bentuk hidung dan kumisnya yang khas, ada prototype Arab dan Maluku, atau mungkin Spanyol (Latin). Entahlah. Yang jelas kulitnya agak gelap. Mungkin sering terkena sinar matahari. Maklum, dia pekerja lepas di pelabuhan itu. Singkat kata, dia orangnya baik, menarik dan banyak membantu ekspedisiku. Sekilas, menurut orang-orang, sosok kami hampir mirip satu sama lain. Sehingga banyak yang bilang kami seperti saudara (I don't think so!). Karena menurutku wajahku lebih tipikal Jawa dan kulitku tidak segelap kulitnya. Barangkali karena model rambut kami yang sama-sama hitam dan ikal. Atau mungkin kami sama-sama berkumis dan postur tubuh kami yang memang hampir sepadan, meskipun badanku tak sekekar dia yang memang punya postur tegap sebagaimana layaknya seorang pekerja keras (“Ah, aku cuma kuli, Mas” katanya suatu hari, merendah). Hubunganku lebih jauh dengan Bahar berawal dari ajakannya untuk mengunjungi sebuah 'oase' (begitu istilahnya) yang ada di sekitar pulau yang medannya cukup kering ini. Waktu itu ia menepati janjinya untuk datang ke pondokanku, siang-siang, naik motor. Celana kanvas warna hitam dan kaos putih polos membuat tampilannya tampak kekar (dan sexy), tapi tetap terkesan natural. Begitu melihatku, bibirnya langsung tersenyum lebar. Sederetan gigi putih tampak kontras dengan kumis hitamnya. Kata orang, lelaki Sangir Talaud rata-rata memang lebih senang memelihara kumis. Jenggot dan cambang biasanya mereka cukur sehingga hanya nampak bekas cukuran. Penampilan seperti itu memang membuat banyak lelaki tampak jantan. Tapi untuk orang Sangir, kesan itu tampak makin kuat. Entah kenapa banyak laki-laki Sangir yang berwajah ganteng. Aku pikir mungkin letak wilayah merekalah yang jadi penyebab itu semua. Bayangkan, Sangir Talaud merupakan lokasi pertemuan yang strategis antara Manado, Philipina dan Halmahera. Campuran Arab, Spanyol dan China tampaknya yang membuat mereka punya keturunan yang bagus, lebih putih dibandingkan orang Maluku namun lebih gelap daripada orang Manado. Sementara kesan Arab masih tetap nampak terutama pada garis kening, dagu dan hidung mereka, ditambah gen yang membuat tubuh mereka pada umumnya ditumbuhi bulu-bulu yang.........Ah ! Wajah lelaki yang berdiri di depanku pun memang tipikal Sangir. Dari kening, hidung dan dagunya mempunyai garis yang tegas. Matanya, meskipun kata orang seperti elang, namun pandangannya selalu memancarkan kesan lembut, hangat. Lalu postur tubuhnya yang tegap dan gagah itu .... "Siap berangkat sekarang?" logat daerahnya yang khas mengagetkan pikiranku yang sedang menikmati kekagumanku sendiri terhadapnya. "Ayo" kataku singkat sambil bersiap-siap menutup pintu rumah. Kami lalu berboncengan sepeda motor langsung menuju luar kota. Bahar menawarkan diri untuk mendapat giliran pertama membawa motor. Aku setuju saja. Sepanjang perjalanan lenganku terus memeluk pinggangnya. Dalam sepuluh menit, pemukiman rumah penduduk sepanjang jalan mulai berubah dengan pemandangan deretan pohon kelapa. Garis pantai mulai tampak, tapi masih jauh dari jalur aspal yang kami lewati. Cuaca siang ini cerah, tak terlalu panas. Ketika kami sampai di garis pantai, dia tetap terus menjalankan motor, namun kali ini lebih pelan. Menyusur pantai. "Mudah-mudahan ombaknya nggak besar" katanya menjelaskan tentang tempat yang menjadi tujuan kami. Katanya tempat itu sangat rimbun dengan pohon kelapa namun pantainya sangat bagus karena terletak pada kelokan teluk kecil sehingga seperti cekungan oasis dan sangat nyaman buat mandi atau berleha-leha di bawah rimbunnya kelapa. Dia menceritakan tempat itu kira-kira sebulan yang lalu dan berjanji mengajakku suatu saat kalau kami punya waktu. Jadwal kami memang jarang klop. Terutama jadwal dia yang tak pernah pasti. Maklum pekerja pelabuhan. Kadang malah ikut kapal lokal untuk bongkar atau muat barang di pulau lain yang waktunya makin tidak jelas lagi. Sementara jadwal kerjaku lebih teratur. Sekarang kami sudah tiba di daerah bukit berkarang. Beberapa rumput dan tumbuhan liar lainnya tampak menyembul di antara karang-karang itu. Beberapa kali kami harus kompak menjaga keseimbangan motor agar tak jatuh. Tapi kami berdua malah tertawa-tawa dan berteriak setiap kali ban motor hampir slip. Inilah rupanya yang dia sebut dengan 'benteng pertahanan' menuju pantai indah yang konon belum banyak diketahui orang. Barangkali orang tak menduga bahwa di balik bukit berkarang ini ada tempat terpencil bagai surga. Atau barangkali orang sudah malas duluan begitu melihat jalur yang harus ditempuh cukup terjal dan penuh bebatuan karang. Roda motor mendongkak sedikit dan lalu mendarat pada tebing rendah yang di depannya ..... terhampar sebuah lanskap pantai yang benar-benar cantik!. Persis seperti yang digambarkan oleh Bahar. Benar-benar ada gerombolan pohon kelapa yang meneduhkan sebagian pasir pantai dan sebagian pantai yang lain terbuka bagi sinar matahari sehingga pasir putihnya tampak bercahaya. Lengkungan pantai memutih oleh busa ombak dan di belakangnya air biru jernih berkilau-kilau. Suasana sepi. Hanya suara motor kami yang perlahan-lahan mesinnya juga mulai dimatikan. Aku turun duluan mendekat ke arah garis pantai. Sambil berkacak pinggang kunikmati suasana di sekitar. Aku belum pernah berada di oasis dalam pengertian sebenarnya. Tapi kalau yang disebut oasis kira-kira mempunyai gambaran seperti ini, oh! aku dapat membayangkan betapa bersyukurnya semua khafilah pada saat mereka menemukan sebuah oasis di padang pasir. Tiba-tiba kurasakan tubuhku dirangkul dari arah belakang. Aku sempat berteriak karena terkejut. Dia malah tertawa. Aku benar-benar terkejut. Yang pertama karena aku seperti mau didorong jatuh ke air. Dan yang kedua aku terkejut karena yang memelukku adalah dia (siapa lagi ?). Sepanjang pertemananku dengan Bahar, belum pernah ia menunjukkan sikap seakrab ini. Selama ini sikap akrabnya paling banter ditunjukkan hanya dengan merangkul bahu bila lagi ngobrol atau jalan-jalan. "Bagaimana? Bagus 'kan?" katanya seperti ingin memastikan bahwa ceritanya selama ini benar. "Ya. Bagus.... bagus banget..." jawabku masih agak bergetar. Tangannya masih memelukku dari belakang, dan aku hanya bisa memegangi telapak tangannya yang menyilang kukuh di dadaku. Gumpalan dadanya terasa menyentuh punggungku. Tiba-tiba muncul pikiran usil di benakku. Sebenarnya bukan tiba-tiba, karena ide ini sudah sering terlintas beberapa hari sebelum ini. "Bang...," kataku memulai percakapan,"sebenarnya tadi waktu di rumah aku mau ngomong sama Abang, tapi baru kepikiran lagi sekarang” “Ada apa?” sahutnya datar. “Aku ada keperluan mendadak. Besok aku dipanggil ke Jakarta...." kataku pelan. Sejenak aku tidak merasakan reaksi apapun dari dia. Dia masih memelukku dari belakang. Diam saja. Namun pelan-pelan tangannya mencengkeram bahuku dan membalikkan tubuhku sehingga kini kami berhadapan. Matanya memandangku seperti bertanya-tanya. Sialan, mata itu benar-benar .... tapi aku berusaha memberanikan membalas tatapannya. Sebenarnya dalam hati aku mau ketawa. Ternyata niatku mengusili dia tampaknya berhasil. "Kenapa baru ngomong sekarang?" suaranya tiba-tiba menjadi lebih tegas tapi agak bergetar. Aku diam saja, pura-pura menghela nafas. Dia ikut menghela nafas. "Mas Harso.....," katanya lagi, masih bergetar, "...... benar mau ke Jawa? sekedar pulang atau ...?" kalimatnya terputus, karena tiba-tiba aku tak kuat lagi menahan tawa. Segera kutepis tangannya dari bahuku dan aku segera menghambur menjauhinya. Tak ada lagi arah yang bisa kupilih selain berlari menuju ke air. "Hei !" teriaknya memanggilku begitu menyadari aku melarikan diri darinya. Sepatu kets dan celana jeansku sudah basah kuyup. Aku terus tertawa-tawa sambil menyipratkan air laut kepadanya. Pakaiannya pun jadi sedikit basah. Dia lalu mengejar masuk ke air dan mencengkeramku hingga kami berdua terjatuh. Basahlah semuanya. Aku masih tertawa-tawa. Dia memaki-maki, sambil terus mencengkeram tubuhku. Untung kami masih di air yang dangkal, jadi tubuh kami tak terbenam begitu dalam. Bahar lalu menarikku keluar dari air sambil terus menyumpah-nyumpah. Kami kemudian langsung menggelosoh begitu tubuh kami menyentuh pasir putih. Aku tidur telentang. Nafasku agak tersengal, tapi suara ketawaku sesekali masih terdengar. Dia berbaring telentang di sisi kananku. Nafasnya juga agak terengah-engah. Badan Bahar lalu berbalik, menghadap ke arahku,"Mas Harso, Mas Harso ....aku tadi benar-benar serius lho, aku pikir...." nafasnya terdengar masih ngos-ngosan. Biasanya kalau dia memanggilku dengan nama lengkap, pasti mau bicara serius. "Bukan apa-apa" lanjutnya, "aku kan pernah bilang, kalau Mas mau kembali ke Jakarta, bilanglah jauh-jauh hari, jangan mendadak. Mas tahu sendiri kan, di sini cuma Mas Harso yang bisa aku andalkan dan sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.....". Aku jadi agak kasihan juga mendengar ucapannya. "Sorry Bang" jawabku, "habis Abang tadi juga bikin kaget" “Bikin kaget gimana?” “Itu tadi” "Lho, aku kan cuma meluk dari belakang. Mas Har saja yang kagetan" katanya mencoba membela diri. "Ya, tapi nggak biasanya Abang seperti itu" "Boleh dong sekali-sekali menunjukkan rasa sayangku sama Mas Har" Rasa sayang? Dadaku tiba-tiba berdebar. "Boleh kan?" katanya mengulangi. Kali ini dengan mimik lebih serius. "Boleh saja..." kataku agak kaku. Dia membalas dengan senyum. Seperti biasanya, senyum yang menawan. Entah dari mana mulainya dan siapa yang memulai, tiba-tiba kami berpelukan akrab. Ada sekitar satu menit kami saling berangkulan. Lalu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba timbul keberanianku mencium pipinya. Dia diam. Kucium pipi yang satunya lagi. Masih diam. Kami bertatapan dan kemudian saling tersenyum. Dia kembali memelukku. Kali ini lebih erat. "Aku juga sayang sama Abang...." bisikku di telinganya. Matanya tertutup mendengar bisikanku. Timbul keinginan yang selama ini hanya ada di angan-anganku. Kucoba memberanikan diri. Aku nekat. Dan ...... dia diam saja ketika pelan-pelan kusentuhkan bibirku ke bibirnya. Dia tak bereaksi. Terasa kumisnya basah oleh air laut. Ada rasa asin mengalir di mulutku. Tapi rasa itu pelan-pelan menghilang ketika kurasakan dia mulai bereaksi membalas. Aku agak tersentak. Kaget dengan respon yang diberikan. Apalagi lidahnya kemudian mulai beraksi, menggantikan rasa asin itu dengan rasa lain, entah apa, yang jelas terasa sangat nikmat.... Beberapa saat kemudian kulepas bibirku. Aku menunduk tapi mataku melirik ke atas, mencoba melihat reaksinya atas kenekatanku mencium dia. Kulihat matanya terbuka, tapi sayu. Bibirnya juga masih terbuka, seperti meminta. Aku diam mengamatinya, mencoba menebak-nebak apa yang ada dalam pikirannya. "Bang ..." aku baru mau bicara tapi terputus oleh kalimatnya. Tangannya masih memeluk leherku. "........ saya sudah lama tahu perasaan Mas Har" katanya lirih, " Mungkin Mas Har kaget bahwa .....saya pun..... sebenarnya punya perasaan yang sama, ….meski mungkin .....kadarnya lain" kalimatnya terbata-bata. Aku masih terdiam, berusaha mengamati wajahnya. Kurasakan mataku agak sendu. "Selama kerja di pelabuhan," lanjutnya, "kehidupan seperti ini ada Mas. Dan terus terang, aku pernah mengalaminya juga, tapi nggak sampai jauh…." Aku nggak ngerti maksudnya mengatakan 'sampai jauh'. Tapi aku diam, mendengarkan cerita selanjutnya. Kalau Bahar sudah mulai cerita, biasanya dia serius. Dan aku berusaha jadi pendengar yang baik, dan aku memang suka mendengar suara logat Sangirnya yang khas itu. Menurut ceritanya, meskipun pada awalnya biasa saja, ternyata Bahar lambat laun mulai bisa membaca sikapku setelah kami berkawan sekitar satu bulan. Insting itu katanya ia dapatkan dari pengalamannya selama ini bergaul dengan orang-orang di lingkungan kapal atau pelabuhan. Lingkungan yang didominasi laki-laki memang bisa berpeluang menimbulkan gaya hidup yang lain di antara komunitasnya. Kebutuhan biologis yang kadang-kadang sangat menuntut pada situasi dan kondisi yang darurat, kadang-kadang memaksa mereka untuk menyalurkannya dengan berbagai cara. Bahar yang sudah bertahun-tahun hidup dan bekerja di situ jadi terbiasa melihat kehidupan seperti itu di lingkungan kapal atau pelabuhan. Bahkan bila terpaksa, sekali-sekali dia melakukannya bila keinginan sudah menuntut dan tak sempat menyalurkannya secara normal ke perempuan. Tapi bila berhubungan dengan lelaki, Bahar lebih cenderung memilih posisi sebagai pihak yang aktif. Hal-hal ‘kecil’ lainnya yang dia lakukan paling sebatas "berswalayan" bersama rekan sekapal. Aku tertegun tapi juga surprise dengan cerita Bahar. Sungguh. Aku tadinya berpikir akan perlu waktu lama dan mungkin tak akan kesampaian hasratku untuk mendekati lelaki seperti Bahar lebih dari sekedar sahabat. Aku tak tahu apakah harus bersyukur atau… "Mas adalah orang yang terbaik yang pernah saya temui. Dan saya suka…" katanya. "Terus terang ….. bila sedang ‘ingin’ kadang-kadang saya bahkan membayangkan Mas Har, karena sejauh ini Mas-lah orang terdekat saya" Bahar lalu mengakhiri ceritanya yang bagiku sebenarnya lebih merupakan ungkapan hati. Akhirnya akupun mengungkapkan semua perasaan yang selama ini mengganjal bahkan kadang-kadang membuatku pesimis untuk berhubungan lebih jauh dengannya. Dari obrolan kami selanjutnya, kami tampaknya tak ingin menciptakan sebuah hubungan yang rumit. Cukup dengan naluri persahabatan kami akan menjalani hubungan yang tampaknya sudah meningkat jauh ini secara apa adanya. Kami berdua tidak berani berpikiran terlalu jauh, karena menyadari bahwa hubungan seperti ini sulit diterima secara umum. Kami lebih melihatnya sebagai cara untuk berbagi rasa, saling mengisi. Sharing. Take and give. Kami masih berbaring di atas pasir putih. Pakaian dan sepatu kami pun masih basah, bahkan sekarang banyak butiran pasir putih yang menempel. "Ayo." Dia lalu mengajakku berdiri. Aku masih agak tertegun sebenarnya dengan kejadian hari ini, sejak dia memelukku sampai ke segala ungkapan yang keluar dari kami berdua. Dia kulihat berdiri dan sebentar mengibas-ngibas celananya hingga butir-butir pasir berguguran. Lalu dia melepas sepatunya, dan dengan tenangnya dia kemudian menarik t-shirt putihnya ke atas melewati kepala dan melepasnya. Kini bagian atas tubuhnya jadi terpampang jelas. Dadanya memang bidang dan ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Aku pernah melihatnya waktu dia sedang istirahat di pinggir pelabuhan beberapa waktu lalu. Namun kali ini terasa lain. Apalagi dia kemudian mulai melepas ikat pinggangnya dan dengan santainya memelorotkan celana kanvas-nya sehingga kini dia hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Warnanya putih polos. Sehingga tampak jelas bentuk, tonjolan dan lekukan alat vitalnya, apalagi celana itu dalam keadaan basah. Sambil melepas celana tadi dia sempat melirik padaku dan tersenyum penuh arti. Aku jadi agak gelagapan. Tapi dia malah cuek saja. Mungkin yang namanya bertelanjang dada di depan orang lain atau hanya bercawat saja merupakan perilaku yang biasa di lokasi kerjanya. Dan itu pernah diceritakannya padaku, bahwa dia dan teman-teman sekerjanya yang rata-rata orang kapal itu biasa tampil bebas dan apa adanya. Kadangkala mereka mandi bareng, entah di kapal, di laut atau di kamar mandi umum. Maklum orang pelabuhan, orang laut. Jadi telanjang atau melihat laki-laki telanjang bagi dia mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Lain kalau bagi aku. Lingkunganku berbeda. Melihat orang telanjang atau setengah telanjang merupakan suatu momen yang jarang aku alami. Apalagi melihat orang yang telanjang di depanku (sebenarnya dia masih pakai celana dalam) adalah orang yang kusukai. Oh, aku baru sadar. Bukankah kami tadi sudah saling terbuka dan mengaku saling menyukai. Lalu kenapa aku tak beranjak dari kebengonganku dan menghampiri dia? Aku lalu beranjak menghampiri dia sambil tersenyum. Begitu melihat aku berdiri, tangannya memberi isyarat agar aku melepas juga pakaianku. Aku turuti. Dan dia terus memandangiku selama aku membukai pakaianku satu demi satu. Pakaian yang basah itu lalu sengaja kami jemur pada pokok pohon kelapa yang melengkung. Kini aku pun hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Kami saling berpandangan sambil sesekali ketawa ringan. Aku menangkap beberapa kali matanya melirik ke arah kemaluanku. Aku memang sudah setengah ereksi. Entah bagaimana dengan dia. Aku tak bisa menebak apakah gundukan besar di balik celana dalamnya itu menandakan dia juga mulai tegang ataukah memang alat vitalnya berukuran besar. Aku tak tahu, karena hanya ada satu cara untuk membuktikannya, dengan melihat atau menyentuhnya langsung. Dia lalu mendekatiku dan merangkulku, dan kami pun secara reflek lalu berciuman. Mula-mula lembut dan ringan. Lalu bibir kami saling melumat penuh nafsu. Nafas kami memburu. Tampak bahwa kami saling memendam sesuatu yang sudah lama ingin kami lampiaskan. Tubuh kami yang masih setengah basah itu menyatu erat dan pinggul kami bergerak tak karuan, saling menggesek dan menekan. Batang kemaluannya makin lama terasa makin kenyal dan membesar, menekan kemaluanku yang sudah mengeras lebih dahulu. Lalu kurasakan tangannya merayap perlahan ke celana dalamku dan aku terhenyak ketika tangannya meremas kemaluanku dengan gemas. Sementara dia beraksi, aku menengok ke bawah tubuhnya dan kulihat bagian kepala kemaluannya sudah nongol keluar dari cawatnya. Membulat dan berwarna coklat mengkilat. Lubang kecil di ujungnya sudah keluar cairan kental berwarna bening. Kusentuhkan jari-jariku di sana. Dia kegelian. Lalu aku genggam bagian kepala kemaluannya itu dan kuremas sedemikian rupa sehingga cairan kental berwarna bening itu membasahi seluruh permukaannya. Rasanya menjadi licin dan kenyal. Melihat apa yang kuperbuat, dia lalu menarik celana dalamnya lebih ke bawah seolah meminta perlakuan lebih dari itu. Seketika nampak batang kemaluannya yang sudah tegang mencuat keluar. Besar dan padat. Di sekitarnya terlihat bulu-bulu yang tampaknya dibiarkan tumbuh liar, bahkan di lipatan selangkangannya. Baru kali ini aku melihat langsung bagian tubuh Bahar yang paling sering aku bayangkan itu. Belum puas aku memandangi bagian tubuhnya yang erotis itu, tiba-tiba dia sudah memelorotkan celana dalamku dan lalu menarik tubuhku ke bawah, untuk berbaring telentang di pasir. Aku lalu ditindihnya dan kemudian Bahar menekan-nekan pinggulnya maju mundur, naik turun di atas batang kemaluanku. Pantatnya yang bulat padat itu kulihat naik turun secara ritmis dan sesekali berputar erotis. Gerakan itu membuat rasa geli dan nikmat di sekitar kemaluanku. Kondisi kami yang sudah telanjang bulat dan dalam posisi saling tindih seperti itu lebih tampak seperti dua orang atlit yang sedang bergulat. Selama itu kami terus berciuman dengan ganasnya sambil sesekali berguling-guling di pasir pantai yang mulai terasa hangat oleh matahari. Setiap kali dia dalam posisi telentang, aku puaskan tanganku menggenggam batang kemaluannya yang besar itu, untuk kuremas dan kukocok-kocok. "Gede…Bang…," kataku sambil terus memain-mainkan otot kenyal itu. "Punya Mas juga….keras lagi….," balasnya sambil membalik badannya dan kemudian menindihku. Lalu tubuhnya bergeser ke bawah dan mulutnya berhenti tepat pada kepala kemaluanku. Oh, dia melakukan oral seks padaku! Isapan mulutnya akhirnya mulai menyebar di seluruh saraf alat vitalku. Apalagi bibirnya yang tebal itu sesekali menyedot-nyedot dan lidahnya sangat liar menelusuri seluruh bagian benda bulat panjang milikku. Bahar tampaknya benar-benar ingin melampiaskan keinginannya yang terpendam. Tapi sebentar, bukankah aku juga punya keinginan serupa terhadapnya ? Maka akupun lalu membalik tubuhnya dan gantian memberikan permainan mulut padanya. Baru sekali inilah aku seperti mendapatkan sesuatu yang sudah lama aku impikan. Batang yang pejal, besar dan liat. Sambil melumat, kupandangi otot itu sepuas-puasnya. Baharlah yang mengambil inisiatif ketika ia memintaku untuk melakukan permainan mulut dengan posisi 69. Dia mengambil posisi di atas, mengangkangi aku. Dan aku langsung melahap kemaluannya yang menggantung di atas wajahku. Sementara dia pun kurasakan mulai melakukan tugasnya dengan gerakan mulut yang lebih cekatan. Ada sekitar seperempat jam kami melakukan permainan yang sungguh merangsang itu. Sampai tiba-tiba dia memutar tubuhnya dan berjongkok di atas pinggulku. Tangannya mengocok-ngocok kemaluannya dengan gencar sambil mulutnya mendesis-desis. "Oh..oh…oh…ohhhhh…." teriaknya tertahan, terputus-putus. Beberapa saat kemudian ujung kepala kemaluannya yang sudah meradang itu memuncratkan cairan putih kental ke tubuhku yang sedang dalam posisi telentang. Air maninya yang menciprat terasa hangat di tubuhku. Dia masih terus mengerang sambil tangannya tetap mengocok-ngocok kejantanannya yang terlihat makin menegang dan menjadi berwarna coklat kemerahan. Beberapa saat kemudian dia menatap puas dan tersenyum padaku, lalu menarik nafas panjang penuh kepuasan. Kemudian tanpa aku sadari, tangannya meraup sisa air mani yang menempel di ujung kemaluannya dan mengoleskannya ke kemaluanku. Karena dirasanya kurang banyak, cairan maninya yang menempel di perutku pun ia ambil dan dioleskan ke seluruh batang kemaluanku. Sehingga seluruh batang dan kepala kemaluanku kini berlepotan oleh cairan milik lendir miliknya. Dengan cekatan, tangan Bahar lalu melakukan gerakan naik-turun, meloco diriku. Kini gantian aku yang mengerang-ngerang kenikmatan. Tanganku sampai berusaha menghentikan gerakannya, tapi ia tak menggubris. Bahkan kadang-kadang jari tangannya bergerak nakal meremas kantung pelirku sehingga membuatku makin kegelian. Ketika aku menunjukkan tanda-tanda akan orgasme, dia malah menghentikan kocokannya. Aku hampir saja memprotesnya ketika kemudian ia menindihku dan mulai memutar-mutar pinggulnya. Rupanya ia ingin memberiku sentuhan akhir dengan cara yang lain. Batang kemaluanku yang sudah sangat tegang dan licin itu kini terasa diremas-remas oleh batang kemaluannya yang sudah setengah tegang tapi masih terasa kenyal itu. Akhirnya orgasmeku datang. Orgasme pertamaku dengan Bahar. Dan aku menjerit tertahan sambil memeluk tubuhnya yang terus menindihku. Kubenamkan jari-jariku pada kulit punggungnya yang liat itu. Keringat kami bercucuran menyatu. Bau keringatnya menyeruak dan membuat orgasmeku makin klimaks. Kurasakan daerah sekitar selangkangan kami menjadi basah, licin dan hangat karena muntahan air maniku. Sehingga gerakan pinggulnya menimbulkan bunyi kecipak yang merangsang. Tubuh kami masih saling berpelukan di atas pasir putih penuh kepuasan. Pengalaman pertama ini sungguh berkesan bagi kami. Beberapa kali kukecup bibir dan kumisnya yang masih basah oleh keringat. Sesekali lidahnya terjulur minta kuisap. Dan aku menurutinya dengan senang hati. "Mas Har, jadilah kekasihku," bisiknya mesra di telingaku dan kujawab dengan ciuman yang dalam dan lama. "Ya, dan aku ingin Bang Bahar tinggal bersamaku di pondok," jawabku kemudian. "Really?" katanya sambil berteriak tak percaya. "Ya. Sungguh." "Kapan aku bisa ke sana ?" "Sepulang dari acara ini," sahutku “Acara apa lagi?!!” teriak Bahar penasaran. Sementara aku sudah berlari menghambur ke arah laut. Ya. Acara apa lagi? (bersambung) juzoef@hotmail.com

###

5 Gay Erotic Stories from Juzoef

Oase Laut Utara, Part 1

PASIR PUTIH Laki-laki itu kini tergolek tenang di sampingku. Tubuhnya yang kekar padat itu hanya tertutup selimut sebatas pinggangnya. Aku sendiri belum sepenuhnya berpakaian dan masih duduk bersandar di ujung ranjang. Di pagi yang masih dingin ini kami baru saja bermain cinta. Deru nafasnya tampak sudah mulai reda setelah hampir selama satu jam tadi kami bergelut penuh nafsu.

Oase Laut Utara, Part 10

REUNION SHOWER Data survey yang telah kuolah hampir sembilan puluh persen selesai. Aku tinggal memberikan beberapa ulasan saja yang menurutku tak terlalu membutuhkan banyak waktu. Jadi tak perlu harus kuselesaikan sekarang. Aku pingin istirahat dulu. Kelelahanku harus kubayar. Ada dua hari dua malam ini aku santai-santai saja. Kegiatanku cuma jalan-jalan, nonton dan makan-makan.

Oase Laut Utara, Part 11

MORNING BLUES Dua malam sudah kami menginap di rumah kebun milik Om Tei. Dua malam yang penuh dengan cinta dan gelora birahi. Dua malam pula aku terus berusaha membujuk agar Bahar mau singgah di mess sepulangnya nanti dari kebun ini. Tapi dia tetap bersikukuh tak mau memenuhi permintaanku. Sikapnya ini sempat membuatku kesal. “Abang takut ketemu Pak Gun, ya?” aku memulai

Oase Laut Utara, Part 8

DAN API MAKIN MEMERCIK Kemarin, sekitar jam 8 malam aku mendapat telepon dari Bahar. Itu menurut Pak Roy yang kebetulan menerimanya. Bahar telepon lewat jalur sentral. Barangkali sebelumnya dia sudah mencoba telepon ke kamarku tapi tidak ada yang mengangkat. Malam itu aku memang sedang keluar diajak Pak Gunawan nongkrong dan ngobrol-ngobrol di Boulevard pinggir laut. Pantas, aku agak

Oase Laut Utara, Part 9

THE OLD LOVER Kami sudah berada di dalam kamar. Sejenak Pak Gun menebar pandangan ke sekeliling ruangan. Padahal tak ada yang aneh di situ. Lay out ruang tidur di mess ini memang tak bisa kuatur lagi sesuai dengan seleraku. Karena penataan ruangannya telah dibuat sesuai dengan standar mess yang telah ditetapkan. Interior dan furniture yang ada modelnya tampak kuno, gaya tahun 70’an.

###
Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story