Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

When A Man Loves A Man

by Supernova


bila ku jatuh cinta pasti kan selamanya jika tidak, maka lebih baik tak pernah jatuh cinta di atas dunia fana begitu banyak cinta, berakhir sebelum bermula begitu banyak kecupan bulan purnama lebur oleh bara sang surya jika kuberikan hatiku pasti kan seutuhnya diriku jika tidak, lebih baik aku tak pernah berikan hatiku dan saat kita bersama seluruh uratku berkata bahwa kau pun memilikinya ketika aku jatuh cinta padamu… Berkali-kali aku bersumpah dalam hidupku, bahwa jika aku jatuh cinta, haruslah selamanya, jika tidak lebih baik aku tidak jatuh cinta sekalian. Tapi berkali-kali pula kulanggar sumpahku itu. Untukmu, yang telah membuatku melanggar sumpahku, aku minta maaf, mungkin aku telah membuatmu susah selama ini. Aku berjanji tidak akan menganggumu lagi. Tidak dengan email-email berisi apa yang sambil tersenyum sering kausebut dengan gombal-gombalan itu. Tidak dengan surat yang selalu kausimpan rapi sehabis tersinggahi oleh tatap matamu. Tidak juga dengan sms-sms yang kupikir akan menganggumu, walau sebenarnya kau sangat senang menerimanya. Kini aku tidak akan menganggumu lagi, benar-benar telah kulepas dirimu…kuakhiri hubungan ini… Andaikan cinta bisa lebur, seperti malam yang selalu lebur oleh fajar… Semuanya (selalu) bermula dari chatting. Dari chattinglah aku mengenal dirimu, memahami dirimu, bahkan jatuh cinta padamu. Pertemuan pertama di dunia maya itu telah menghantarku melihat dunia lagi, setelah aku agak berhasil melupakan Efan. Malam itu aku memutuskan menengok komunitas yang sudah lama tidak aku masuki itu. Nama-nama baru yang asing di mataku tampak, beberapa diantaranya menyapaku, mengajakku berkenalan. Aku menanggapi semuanya dengan tidak sabar, sementara pikiranku mengembara, mencemooh tindakanku yang melanggar janjiku sendiri, tidak akan masuk lagi ke komunitas ini. Apa yang kaucari ? Ia berbisik dingin di salah satu sisi kepalaku. Cinta ? Takkan kautemukan cinta disana…Kasih sayang ? Percuma. Kesenangan duniawi ? Boleh-boleh saja kau mencarinya disini, tapi aku ragu kau mampu menikmatinya… Ketika aku sudah tak tahan lagi dengan suara hatiku, nama itu menyapa. “Kayanya kamu lagi bete malam ini.” Aku terdiam, gerakan tanganku terhenti. Siapa dia ? Mengapa dia bisa tahu ? “Kenapa kamu bisa bilang begitu ?” Aku mnegetik balik. “Cuman nebak aja. Tapi bener, kan ?” desaknya terus. “Bener apanya ?” “Bener kamu lagi bete ?” “Itu bukan urusanmu.” Ketikku kasar. Lagipula siapa dia ? “Siapapun yang lagi sedih atau bete itu urusanku.” “LOL. Emangnya siapa kamu ? Dewa kebahagiaan ?” “Panggil aja aku dengan nama itu. Siapa tau beneran. LOL.” “Oke, asl ?” Aku mulai melunak, walau dalam hati masih mendongkol. “29 m xxx. Kamu ?” “Jadi dewa bisa punya umur juga ? Aku 18 m xxx.” Perbincangan pun mengalir. Aku sempet tukeran foto juga sama dia. Ternyata orangnya cukup tampan. Tapi waktu itu masih belum ada rasa suka, hanya perasaan lega yang membanjir sehabis ngobrol dengannya. Aku merasa dada ini lapang hanya dengan bercakap-cakap dengannya, merasa nyaman… Pertemuan selanjutnya adalah di telepon (seperti biasa) Malam-malamku pun penuh oleh merdu suaranya, renyah tawanya, dan nakal godaannya, tanpa sadar aku terhanyut. “Ayo kita lomba bikin puisi,” tantangku pada suatu malam. “Siapa takut ?” sambutnya sambil tertawa lepas. “Setiap orang menyebutkan satu kata sebagai tema, terus yang lain harus ngebikin puisinya. Siapa yang ngga bisa, dia kalah. Tapi kata kuncinya ngga boleh berbau jorok.” “Oke deh. Siapa dulu ?” “Aku dulu…hmmm…kata kuncinya…bintang.” Sunyi selama beberapa saat sebelum ia berdeklamasi. “Bintang di langit kelam, berkelip setiap malam, seolah-olah seperti menyulam, di keluasan langit yang paling dalam.” “Heiii, apa hubungannya bintang dengan menyulam ?” Aku memprotes puisinya. “Tidak ada,” katanya tanpa rasa bersalah. “Tidak ada ? Trus kok dimasukin di puisi ?” “Yahh, itu kan supaya rimanya sama.” “Curaaaang.” “Ngga dong, sekarang giliranmu. Kata kuncinya…peace.” “Peace ?” Aku memprotes lagi. “Kok susah sih ? Yang gampang aja.” “Nyerah nih ?” Ia meledek. “Ngga, enak aja.” “Many people in this world thirst about money and power, they even do anything to earn more money in their life and get some power, they never realized that peace in heart is the importance thing, above all things in this world.” “Nice poem.” Ia memuji. “Sekarang giliranku. Kata kuncinya angel.” “When I think about angel…I see heaven in my mind. When I think about heaven…I see God. When I think about God…I see people. And when I think about people…I see you in my mind.” “Waaah, ngerayu ya ?” “Puisi ini khusus buat kamu.” “Benarkah ?” “So when I think of angel…I think of you. You are my angel…” * Pertemuan selanjutnya pun diatur, dan bertemulah aku dengan ia yang selama ini hanya bisa kudengar suaranya. Ia lebih tampan dari yang kuduga, membuatku terhanyut lebih lagi dalam cinta tak bermuara. Melihatku, reaksinya tidak seperti yang kulukis berkali-kali dalam anganku. Ia lebih banyak diam, seolah menyimpan sesuatu. Keanehan sikapnya mau tak mau menyergap hatiku, mengaduk perasaanku menjadi tak menentu pula. Keceriaanku luntur, kegembiraanku lebur, yang tersisa hanyalh kekecewaan dalam hati. Mengapa ia begitu aneh ? Apa yang ia harapkan ? Hatiku menjerit begitu kata perpisahan terucap. Wajah tampan bak pangeran ? Kehalusan kata bak pujangga ? Tubuh tegap bak ksatria ? Atau kekayaan yang dimiliki hanya oleh maharaja ? Pelan-pelan hatiku tenggelam… “Maafkan aku.” Malamnya ia kembali menyapa gendang telingaku, memuaskan hasratku akan suara merdunya. “Untuk apa ?” tanyaku tak mengerti. Kegalauan tak menyurut, malah bertambah dalam. “Tadi siang,” ujarnya singkat. “Ada apa sebenarnya ?” tanyaku ingin tahu. Ia tak bersuara. Hanya menghela nafas panjang. “Ka…katakan padaku…” kataku tergagap. Suaraku berubah menjadi bisikan. “Aku ingin mendengarnya, apapun itu.” Ia mendesah sekali. Keras. “Sebenarnya aku benci harus jujur padamu.” Ia diam beberapa saat sebelum melanjutkan. “Tapi aku harus.” “Kau sudah punya pacar ?” tebakku langsung, tak ingin berpanjang kata. “Terima kasih karena telah membantuku mengatakannya.” Nada suaranya terdengar lega. “Ya. Sesungguhnya aku tak boleh bohong padamu, tapi aku melakukannya juga. Aku bersalah…” “Mengapa ?” Suaraku seperti tercekik. “Mengapa kau ngga bilang dari dulu ? Mengapa kau harus berbohong dan mengatakan kau masih single ?” “Karena kau, my angel. Semua karena kau,” katanya setengah berteriak. Seberkas perasaan aneh menyusup dalam hatiku. “Can’t take my eyes of you, my angel.” Ia melanjutkan. “Sehingga kulanggar komitmen yang telah kubuat dengan pacarku bertahun-tahun lalu. Semuanya demi dirimu.” Aku tak mampu bicara apa-apa lagi. Begitu banyak yang ingin kukatakan sementara bibirku terkunci. “My angel ? Kau percaya kan sama aku ?” Pelan-pelan aku berkata. “Jika kelak kau menemukan angel baru…bukan mustahil kau melangar komitmenmu lagi, kan ?” “My ang…” Kupotong kata-katanya. “Kau selalu tidak puas !” “Tapi…” “Jangan temui aku lagi, aku benci padamu.” Dan pembicaraan itu berakhir, dengan air mata menyesak di pelupuk mata. Pembicaraan di telepon boleh berakhir, namun tidak dengan cintaku. Aku masih mencintainya. Segenap sel-sel otakku tak mampu melupakannya. Ia telah menyeretku terlalu dalam di pusaran cinta itu, dan kini aku telah tenggelam… Hari-hari pun kembali terasa berat. Warna kelabu kembali menutupi selaput mataku, membuat semua warna tampak kelabu, dan musik patah hati pun kembali bergema di kedua telingaku. Aku sudah pernah patah hati berkali-kali, namun rasa pedihnya tak pernah berkurang sedikitpun, bahkan bertambah pedih… “Bintang-bintang.” Aku bicara sendiri pada suatu malam, sambil menatap bintang-bintang. “Katakan padanya…aku kangen….” Saat-saat seperti ini membuat arti hidup pun mengabur. Aku bertanya-tanya untuk apa aku hidup di dunia ini ? Dunia sudah cukup bahagia tanpa diriku, lalu apa gunanya hidupku ini ? Semuanya bergerak dalam kecepatan lambat. Kututup hatiku. Aku hidup dalam duniaku sendiri sampai suatu hari tanpa sadar kulangkahkan kaki menuju rumahnya. Kutekan bel pintu dan menunggu. “My angel ?” Ia seolah tak percaya dengan kedatanganku. “Masih ingat padaku ?” Dalam hitungan detik aku sudah berada dalam pelukannya. Pintu menutup di belakangku. Hangat. Pelukannya begitu hangat. Ialah sesungguhnya yang malaikat, bukan aku… Pelan-pelan kuangkat wajahku. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Inilah pria yang membuatku menderita akhir-akhir ini. Pria inilah yang membuat hari-hariku terasa berat dan malam-malamku seolah neraka. Pria inilah yang telah menyesatkanku dalam cinta tak berdasar. Jemariku naik, menyentuh pipinya yang agak tirus. Lalu pelan-pelan bergeser ke hidungnya yang terpahat sempurna, matanya yang setajam elang, alisnya yang bertaut, dan berakhir di bibirnya yang indah. Jemarinya menyusul jemariku naik ke wajahnya, membawanya turun sekaligus menguncinya di bawah punggungku. Ia memandangiku dalam-dalam. Dalam keadaan tangan terkunci seperti ini...dan memandangi wajahnya sedekat ini...dan berat tubuhnya yang sedikit menindihku...entah kenapa, tanpa berbuat apa-apa, Ia selalu melambungkan fantasiku... Tiba-tiba, dengan gerakan secepat kilat hangat bibirnya menyapu bibirku. Kurasakan kepalaku berdenyut-denyut menahan sensasi yang begitu mendadak ini. Ia mengecup bibirku lama-lama, dikulumnya bibir atasku, lalu bibir bawahku. Sentuhannya terasa begitu manis, begitu hangat, begitu lembut, begitu dalam, tanpa sadar bibirku merekah, mengijinkannya berbuat lebih intim lagi. Giliran lidahnya yang menyentuh lidahku. Ia menarikannya dengan begitu piawai. Entah sudah berapa orang yang merasakan tariannya ini. Tapi aku tak peduli, kutarikan juga lidahku bersama dengannya. “Oh my angel…kau manis sekali…” desahnya di sela-sela ciumannya. Aku semakin melambung. Pelan-pelan ia membawaku ke kamarnya. Kurasakan hangatnya nafasmu Menyentuh sisi-sisi leherku Kurasakan lembutnya sentuhanmu Disepanjang tubuhku dibawah pakaianku Kurasakan tarian jemarimu Menyingkirkan semua pakaianku, lapis demi lapis Kurasakan manisnya kecupanmu Di puncak sumber kehidupanku Kurasakan dirimu yang lain Menjelajahi gua-gua cintaku Ingin mendengar bibirmu berbisik Bahwa kau cinta padaku… “Mmmmh…ohhh…aku mau keluar, vid….” Mmm, kurasakan cairan mulai membasahi ujungnya. Ah biarlah, kumanjakan ia sedikit lagi. Toh tak akan lama…Kugerakkan mulutku semakin cepat, seirama dengan gerakan tubuhnya. Ia melenguh, menggeliat-geliat, sesuatu siap menjebol bendungan cintanya. “Vid…sekaranghhh…arghhhh…!” Barang itu berdenyut-denyut keras dalam mulutku. Ia sendiri seperti kehilangan kesadaran. Seluruh tubuhnya menegang, sebelah tangannya meremas rambutku erat-erat. Kutarik kepalaku menjauh tepat waktu bendungan itu jebol. Isinya yang panas langsung menyerbu tubuhku yang telanjang. Ia memelukku erat-erat. Lamat-lamat kudengar gumamnya pelan. “David…I love you…” Menit berlanjut, permainan kami pun berlanjut. Anggur di pembuluh darahku menghangat Oleh sentuhan nafas hangatmu Anggur di pembuluh darahku terguncang Oleh belaianmu disepanjang tubuhku Anggur di pembuluh darahku memanas Oleh tarian jari-jemarimu Anggur di pembuluh darahku bergolak Oleh ganasnya kecupanmu Anggur di pembuluh darahku berpusar hebat Oleh lembut bibirmu kala menyentuh sumber cintaku Dan anggur di pembuluh darahku pun mendidih Oleh panasnya gairah cintamu “Oohh…aku mau keluar, sayang…” desahku ketika kurasakan sesuatu mendesak-desak ingin kelua di ujung sana. “Mmf…keluarkan di dalam…sayang…” katanya di sela-sela nafasnya. Sensasi itu menerpa, menerbangkanku ke langit ketujuh. Seluruh tubuhku menegang. Kutarik kepalanya mendekat, sementara pinggulku bergerak semakin cepat. Ia yang mengerti tanda-tandanya, semakin memanjakanku. “Aahhh…aku keluar…” jeritku parau. Seluruh tubuhku tergoncang-goncang menahan kenikmatan yang berlangsung lama. Ia melahap semuanya sampai habis. Tak satupun disisakannya, seolah setiap bagian tubuhku sangat berharga. Lalu ditempelkannya bibirnya ke bibirku. “I love you, my angel.” “I love you too, my dear.” “Kita tak bisa begini terus, dear.” Malamnya aku berbaring di sebelahnya. Ia memelukku dengan sebelah tangan. Tangannya yang lain mengelus-elus kepalaku dengan lembut. “Kau harus memilih, aku atau dia.” Ia terdiam. “Aku tak bisa memilih…dua-duanya aku cinta…” “Omong kosong.” Aku melepaskan pelukannya dan beranjak ke ambang jendela. “Kau pasti tahu siapa yang paling kauingini saat ini.” “Tidak my angel, aku tidak tahu. I love you, but I love him too.” “Kalau begitu kita harus segera mengakhiri ini.” Ia tersentak. Wajahnya berangsur-angsur pucat. “Aku tak mampu berbagi dirimu dengan dia…” ujarku lemah. “Jangan pergi, my angel.” Ia juga beranjak dari tempat tidur menuju ambang jendela. “Don’t leave me alone. I can’t survive without your love…” Dalam kesunyian ia merengkuhku dari belakang. Begitu gentle. Kurebahkan kepalaku ke dadanya yang bidang. Me too, dear. Kusibakkan jendela, memandang langit malam yang terbentang di atasku. “Kita harus mengakhirinya, dear,” bisikku. “Sejak awal hubungan kita sudah salah.” “Maafkan aku, my angel, maafkan aku…” Lama kami terdiam, dibungkus kesunyian dan kesedihan. “Sudahlah, anggaplah apa yang kita alami ini mimpi.” “Bagaimana mungkin aku bisa ? Sedangkan sekarang kau nyata dalam pelukanku.” “Kau pasti bisa…” Kuputar tubuhku menghadap dirinya. Tanganku kulingkarkan di pinggangnya erat-erat. Kepalaku kubenamkan dalam-dalam ke dadanya yang bidang. “Kau tahu ini juga tidak mudah buatku…kau terlanjur menyeretku dalam pusaran itu…berat sekali melepaskanmu…” Tangannya naik ke kepalaku. Diusapnya kepalaku dengan lembut. “Kita berlomba bikin puisi yuk ?” katanya tiba-tiba. “Kata kuncinya…love…” Akhirnya malam itu hanyalah menjadi kenangan antara aku dan dia. Sekali lagi aku terpuruk, dipermainkan oleh cinta. Walaupun telah berkali-kali berjanji akan menghindari cinta, berkali-kali pula cinta berhasil menemukanku. Malam ini kembali menuliskan pengalamanku. My dear, jika kau membaca cerita ini, kumohon jangan bangkitkan lagi apa yang sudah aku kubur dalam-dalam jauh di dasar hatiku. Jangan hampiri lagi aku dengan cintamu. Bahagialah…Aku tak ingin kau bersedih…Bahagialah bersamanya… Lupakanlah diriku, anggaplah kejadian itu hanya mimpi di musim panas. Dan aku ? Aku akan tetap menunggu disini. Sambil mengumpulkan serpih-serpih hatiku dan menatanya kembali. Siapa tahu sang ksatria yang kutunggu-tunggu akan datang dan menjemputku. Kekanak-kanakan ? Memang. Tapi paling tidak, aku punya sesuatu yang tak terampas di hatiku. Harapan. Dan saat aku menuliskan cerita ini, kupandangi bulan purnama yang bersinar sempurna. Jadi ingat saat-saat ketika berlomba membuat puisi dengannya. Andaikan saat ini aku disuruh membuat puisi dengan kata kunci bulan, setidaknya aku mampu membuatnya. Di dunia yang fana ini begitu banyak kisah cinta anak manusia berakhir sebelum bermula Begitu banyak kecupan bulan purnama lebur oleh bara sang surya Ohh…Andaikan cinta yang tak pernah bermula ini bisa lebur oleh bara sang surya… Seperti cerita-cerita sebelumnya, komentar, kritik, saran, atau yang pengen kenalan, hubungi valacee@email.com. Thanx.

###

5 Gay Erotic Stories from Supernova

A New Day Has Come

“Sang Ksatria pun akhirnya menemukan Sang Puteri.” Wanita itu menatap wajah putranya dengan lembut. “Saat itu jugalah ia berjanji kepada sang Puteri, ia akan selalu membahagiakannya. Selamanya....” Kota X, pertengahan September 1996 Senja itu indah. Langit terbalut warna merah saga. Alex menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon di taman bermain itu. Matanya menyapu seluruh taman,

Because I Love You

Stan yang baru pulang dari studio menatap kamarnya yang terbuka dengan mata terbelalak. Senyum lebar yang sedianya terlukis di bibirnya lenyap digantikan raut keheranan dan keterkejutan. Kamar itu, yang biasanya rapi, kini berantakan. Sebuah koper besar tergeletak di atas ranjang. Josh, kekasihnya duduk di samping koper itu, sibuk mengemasi barang-barangnya. “Josh?” panggil Stan heran.

Beneath The Stars

Diantara Bintang-Bintang Ia kembali mendongakkan kepalanya, menatap langit luas yang ada di atas kepala kami. Langit malam yang bagaikan beledu hitam dengan hiasan permata-permata disekelilingnya. Angin malam berhembus, mempermainkan rambutnya yang dimodel seperti Ewan McGregor dalam Moulin Rouge. Ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti. Setelah beberapa jam kami berdua

Ketika Cinta Memberi Makna

Dalam keremangan kamar itu ia menatapku. Keheningan terasa begitu mendominasi, padahal suara televisi yang sedang menyiarkan berita malam cukup keras, belum lagi alunan lagu-lagu sarat makna yang diputarnya. “Kenapa kamu diam saja ?” Perlahan ia berbisik, menguak kesenyapan diantara kami. “Katakanlah apa yang ada di pikiranmu, jangan diam saja.” “Bukan aku yang harus mengatakannya,

When A Man Loves A Man

bila ku jatuh cinta pasti kan selamanya jika tidak, maka lebih baik tak pernah jatuh cinta di atas dunia fana begitu banyak cinta, berakhir sebelum bermula begitu banyak kecupan bulan purnama lebur oleh bara sang surya jika kuberikan hatiku pasti kan seutuhnya diriku jika tidak, lebih baik aku tak pernah berikan hatiku dan saat kita bersama seluruh uratku berkata bahwa kau

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story