Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

kisah cinta nan jauh di rantau

by Safenias@yahoo.com


Mungkin aku pacaran sudah lebih dari 19 kali, maksudku pacaran yang serius, bukan sekedar hubungan badan biasa. Kadang menjelang tidur aku membuka-buka buku catatanku dan mengenang pacar-pacarku dulu. Salah satu diantaranya bernama Gandhi, karena ia paling romantic dan paling berbakti. Gandhi adalah salah satu pacar yang paling tidak akan kulupakan.

Aku berkenalan dengannya tahun 1996, ketika itu pesawat yang harus kutumpangi dengan tujuan Los Angeles-Chicago terlambat datang. Hari itu badanku sedang demam, perutku agak rewel, jadi aku duduk di waiting room agak ngringkel. Tak lama masuk serombongan anak muda yang kelihatan jelas dari mukanya pasti orang Indonesia, apalagi saat mereka bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia, beberapa diantara mereka malah cekikikan dalam bahasa Sunda yang medok. Pokoknya mereka ngobrol habis-habisan dengan bahasa campur aduk, Inggris, Jawa, Sunda, Indonesia. Mereka duduk tidak jauh dari tempatku, 4 cewek dan 2 cowok potongan mereka adalah the upper-class of Indonesia, terutama seorang cowok kelihatan sekali selain tampil mahal ia juga sangat terpelajar. Mereka rupanya bercerita sesuatu yang sangat lucu dalam bahasa Jawa, saking lucunya aku jadi ikut tertawa, mereka berenam seketika menoleh kepadaku dan serempak berteriak :”Dari Indonesia ya……? ?” ……”Waduuh gawat nikh…!!”……yang seorang lagi langsung mengangkat bawaannya sambil berteriak “Oh my God !!” mereka kontan buyar dan pindah ke tempat lain sambil ketawa malu, aku semakin terbahak-bahak, sakitku sekejab hilang.

Sejam kemudian, aku sudah duduk di atas pesawat, beberapa saat kemudian rombongan Circus dari Indonesia itu masuk dan melintas disampingku sambil pura-pura tidak melihatku. Mungkin mereka masih tengsin dengan kejadian barusan. Pesawat agak penuh jadi mau tak mau salah satu dari mereka terpaksa mengambil kursi persis di sebelahku yang masih kosong. Duduklah di situ si pemuda yang tadi kulihat paling terpelajar, kuperhatikan mukanya mirip penyanyi Andre Hehanusa, hanya kulitnya kuning, rambutnya juga ikal nyaris keriting. Badannya kelihatan terpelihara dengan baik, dadanya tegap, tinggi semampai, lengannya berotot, pahanya padat. Sepatu ketsnya saja Prada, tasnya juga Prada, kaosnya juga bukan Lacoste atau produk kelas dua. Sepertinya dia juga memandangku dengan cara yang sama, matanya menatap sandal yang kupakai dan travelling bag-ku dari Gucci. Aku hanya pakai kaos oblong dan celana pendek murahan produk Gap, tapi ikat pinggangku bisa membuat semua orang penasaran, merk apa ? buatan mana ? padahal buatan Mat Sani, orang Madura, tukang kulit di Kuta, Bali. Anak lelaki itu mengulurkan tangan “Gandhi….. sekolah atau jalan-jalan mas ?” saat aku menjabat tangannya, mata Gandhi terpaku pada cincin berlian 5 karat yang tersemat dijari telunjukku. Aku menjawab sambil tertawa :”Oh, memang mau tinggal di sana, kamu mau ngapain di Chicago ?” Lantas Gandhi bercerita ia mahasiswa semester 3 di Northwestern University, ia dan teman-temannya semua sekolah di Midwest, ada yang di Detroit, Columbus, Nebraska bahkan si Ary dari Pensyl, mereka baru saja berkunjung ke sebuah acara pernikahan seorang teman di Los Angeles. Asalnya dari Jakarta, ibunya Padang ayahnya Jawa. Ia sudah dari SMA di Amerika Serikat.

Perjalanan Los Angeles-Chicago sangat panjang, demamku sudah agak berkurang, perutku yang kukira sudah normal ternyata kumat lagi, jadi pembicaraan Gandhi denganku sebentar-sebentar terputus, aku harus bolak-balik ke toilet. Untuk kesekian kalinya aku permisi pada Gandhi karena harus masuk toilet lagi, ketika aku kembali di mejaku tersedia segelas soda water yang sangat dingin dan 2 kaplet anti diare. “Eh siapa yang ngasih nikh ?” tanyaku pada Gandhi, ia menjawab “Ada dalam tasku, siap setiap saat !” Aku menenggak anti diare itu dan mujur, sampai mendarat aku sama sekali tidak BAB. Pesawat mendarat di O’hare jam 7.30 pagi, sebelum berpisah Gandhi memberiku alamat dan no mobilenya, aku sendiri belum tahu harus tinggal di mana, jadi aku berjanji akan menelpon dia besok.

Rombongan penjemput membawaku makan pagi di daerah Pecinan, aku lupa namanya Seven Ocean atau Seven Seas, makanannya lumayan enak. Dari sana mereka membawaku ke hotel persis di jantung kota, The Loop, nama hotelnya Four Seasons, aku berharap tinggal selamanya di hotel ini. Tentu saja tidak mungkin, di situ hanya beberapa malam, karena mereka bermaksud mencarikan aku tempat tinggal lain secara permanen. Para penjemput sudah menyiapkan sederet acara “Nanti makan siang kita akan ditemani Ibu X, jadi sekarang silahkan istirahat, jam 12 kami jemput” salah satu dari mereka menerangkan. “Mas, nanti makan malam kita diundang Bapak XX, siap-siap jam 7 dijemput !” terus “Mas, besok pagi rombongan Permias Midwest mau ketemu, mau kenalan sambil makan pagi” begitu juga makan siang dan makan malam untuk keesokan harinya sudah diatur. Bahkan sambil makan malam seorang pegawai KJRI membisikan “Besok kami dari KJRI mau ajak jalan-jalan, sight-seeing Chicago” aku berterima kasih dan menjawab :”Wah…terima kasih banget pak, tapi kapan saya bisa tidur, jetlag nikh !” sehabis makan malam aku benar-benar tewas, capek dan aku berusaha memulihkan staminaku, empat hari berturut-turut sebelum berangkat dari Jakarta, aku harus menghadiri beberapa acara perpisahan, makan di sini-di sana. Mampir di Bali, beberapa temanku juga mengundangku makan di sana-di sini, antara lain makan di Jimbaran, nah….di situlah aku makan ancur-ancuran, makan sambal matah Bali sepuas-puasnya sampai akibatnya perutku menjadi rewel.

Paginya aku terbangun, telpon berdering memberitahukan sejumlah mahasiswa Permias sudah menunggu di Coffee Shop, buru-buru mandi dan pakaian sekenanya lantas aku terbang ke bawah. Di sana sudah berkerumun 12 orang anak Indonesia, diantaranya Gandhi dan 3 temannya yang sepesawat denganku dari Los Angeles. Masing-masing memperkenalkan diri Hommy, Nina, Fitri, Deassy, Alvin, Dimas dan lain-lain dan Gandhi. Kami makan pagi sama-sama saling ngobrol, aku terutama menanyakan keadaan dan hal-hal spesifik kota Chicago. Aku juga meminta mereka membantuku mencarikan apartment yang baik, tidak terlalu mahal dan dekat dengan tempat kegiatanku di downtown. Anak-anak itu lantas menunjuk Gandhi yang dianggap paling berselera baik dan serba tahu sebagai wakil mereka, mencarikan tempat tinggal bagiku. Sesudah beberapa hari berhandai-handai berkenalan dengan orang-orang Indonesia di Chicago, maka tibalah waktu untuk berburu tempat tinggal. KJRI menyediakan mobil, Permias menyediakan mobil dan sejumlah teman ibuku juga menyediakan mobil. Akhirnya aku pergi diiringi 5 mobil, rasanya kampungan sekali. Aku bilang kepada Gandhi :”Gan…kamu seleksi aja dulu, setelah itu kita pergi berdua aja, capek deh pergi kayak begini” Gandhi setuju, jadi bersama Dimas ia menyeleksi berbagai apartment dan mereka menemukan 2 alamat yang dianggap cocok. Alamatnya di Ohio Street, apartmentnya di lantai 19, menghadap Michigan Lake yang indah. Satu lagi di Dearborn, apartmentnya terletak di lantai 36, aduuuh aku khan demam ketinggian, meski bagus dan lebih murah akhirnya aku tidak memilih tempat itu. Pilihan jatuh di lokasi Ohio Street, tidak jauh dari Michigan Avenue yang elegant, tempat di mana pertokoan terbaik dan butik-butik ternama berbaris manis.

Aku datang dari Indonesia hanya membawa 2 koper, sebuah berisi buku-buku, sebuah lagi barang-barang pribadi, selebihnya memang aku berniat belanja di Amerika. Siapa lagi yang mengantarku belanja kalau bukan Gandhi. Untuk mengisi apartment, ia membawaku ke Crate & Barrel dan Pier One, sofa, ia juga yang memilihkan meja makan, tempat tidur dan lain-lain, semua segera di antar ke apartmentku. Untuk curtain dan sebagainya aku memilih Linen & Things, dalam dua hari semua selesai. Kini giliran mengadakan House Warming, mengundang teman-teman baru, Gandhi menyarankan acara itu diadakan 3 kali, kalau sekaligus apartment yang luasnya hanya 148 meter persegi tidak cukup menampung tamu. Aku menuruti nasihatnya. Aku berharap semua cepat selesai dan aku bisa ditinggal sendirian. Aku tidak suka basa basi, apalagi hidup diantara orang banyak.

Hari ke 10, barulah aku bisa memulai hidup normal, meski begitu masih ada sekumpulan anak Indonesia yang setiap hari datang, mengajak nonton, belanja dan jajan di berbagai tempat. Tanpa disuruh Gandhi selalu datang sepulang kuliah menemaniku, padahal sekalipun aku belum pernah menanyakan di mana ia tinggal apalagi berkunjung ke tempat tinggalnya. Aku bilang kepada Gandhi :”Gan sementara seminggu ini kamu tidur saja di sini, ajak Dimas atau Wisnu kalau segan, daripada kamu bolak-balik” Ia menjawab :”Ah nggak usah ngajak yang lain, biar aja aku sendiri, kamu khan nggak senang rame-rame”

Jadilah keesokan malamnya Gandhi mulai menginap di tempatku, sore itu sepulang kuliah aku mengajak dia makan “Enaknya makan di mana Gan ? kasih tau tempat yang cocok !” aku membiarkan ia memilih, Gandhi memberi opsi “Pernah nonton film My Best Friend’s Wedding ?” ia bertanya “Sudah” jawabku, lantas Gandhi melanjutkan “Hmmm…..pilih di lokasi film itu atau Cheese Cake Factory ?” opsinya membuat aku bingung dan aku menjawab :”Makannya di Cheese Cake Factory, ngopinya di My Best Friend’s Wedding….gimana ?” Gandhi tersenyum, ia meninjuku “Kalo gitu, gini aja, appetizer di My Best Friend’s Wedding, main course di Cheese Cake Factory, ngopi di Third Coast, setuju ?” Gandhi memutuskan, aku menjawab :”Gila lu…..trus ngupilnya di mana ?” Gandhi hanya tertawa berderai-derai.

Memang pilihannya sangat memuaskan, lokasi film yang dimaksud merupakan sebuah café di The Saks, pertokoan terkenal, sedang The Cheese Cake Factory terletak di Water Tower, seberang The Saks dan Third Coast Café terletak di belakang The Saks. Bukan hanya makanannya yang baik, tetapi penataan dan servicenya juga menyenangkan, memuaskan. Aku mengacungkan jempol “Gan seleramu bagus, ketimbang orang KJRI, aku percaya dengan seleramu” Gandhi tersenyum bahagia dengan pujianku.

Kami kembali ke apartmentku yang hanya memiliki ruang duduk dan kamar makan serta dapur, satu kamar tidur dan kamar mandi. Balkonnya cukup lebar “kalau putus cinta jangan bunuh diri dari situ ya” pesan Gandhi. Kebiasaanku mandi 3 x sehari tidak hilang meski berada dimanapun. Gandhi mencuci muka, kaki dan tangan, mengganti bajunya dengan kaos dan celana boxer, ia naik ke tempat tidurku membawa buku-bukunya, setelah membaca sebentar ia langsung tidur, ngorok ! Aku perhatikan Gandhi adalah orang yang tidak melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan dirinya. Orang lain memilih basa basi tidur di ruang tamu atau beralas karpet supaya dibujuk pindah. Ia menempatkan dirinya biasa saja sebagai sepantasnya.

Aku mematikan lampu besar dan menyalakan lampu tidur yang temaram, aku perhatikan wajahnya lebih seksama, kulitnya halus seperti Cina, lehernya jenjang bersih tanpa andeng-andeng. Bibirnya agak tebal tapi sexy, bulu matanya lentik, kupingnyapun bagus tidak caplang. Kakinya panjang, terpelihara bersih, kukunya dipotong rapi, tidak ada hitam-hitam. Aku menarik selimut menutupi tubuhnya sampai ke leher, mengusap rambutnya. Tanganku rasanya hampir menggerayangi tubuhnya yang semampai itu, tapi segera kuurungkan, jangan sampai nanti ia menolak dan hancurlah namaku se Amerika. Kami tidur sangat nyenyak dan bangun pagi sekitar jam 7.30. Gandhi masuk kuliah jam 9.00, ia menyiapkan sarapan pagi, French Toast + sausage dan kopi yang sangat harum, setelah sarapan, mandi ia menjentikan jarinya :”See you soon, mau lunch bareng apa nggak ?” aku menyahut, “kayaknya nggak tukh, Pak Walter ngajakin ketemu, barangkali lanjut makan siang” Lantas Gandhi menghilang pergi kuliah.

Pagi itu aku membuat schedule, memeriksa gambar dan menelpon beberapa orang, tak terasa sudah jam 12, tapi Pak Walter tidak menelpon juga, jadi perjanjian aku anggap batal sudah. Hampir jam 1 siang telponku berdering, dari caller id aku tahu itu telp KJRI, aku diam saja. Aku mengambil dompet dan berjalan menuju Michigan Avenue, langkah kuarahkan menuju Cheese Cake Factory di Water Tower. Di sana aku memilih duduk di luar, sambil merokok, makan sendirian. Aku memandang dindingnya dari pualam hitam dengan air bertekanan kencang mengalir dipermukaannya, sangat indah ! Selesai makan aku berniat membayar, tetapi cashier mengatakan mejaku sudah dibayar orang, ketika aku bertanya siapa yang membayar, cashier itu memberiku sebuah memo “nggak jadi makan sama Pak Walter ?” aku tersenyum, surprised pertama dari Gandhi. Surprise demi surprise membuat aku semakin jatuh hati dengan Gandhi, ia pandai sekali mengambil hati, mencuri hatiku. Rencana Gandhi menginap seminggu menjadi sepuluh hari dan akhirnya menjadi sebulan. Tidak ada kejadian apapun diantara kami berdua, tidak ada tanda-tanda kami akan jadian, sejujurnya aku memendam perasaan tak terkira. Akhirnya aku menawarkan kepadanya :”Gan kalau kamu tinggal di sini gimana ? apartmentmu dikembalikan saja….gimana ?” Gandhi kelihatan berpikir sebentar lantas menjawab :”Tapi kita share ya, aku nggak mau numpang !” aku tertawa dan menjawab : ”jangankan share, kamu yang bayarin semua aku juga nggak nolak” Gandhi tertawa ngikik, ia menyahut cepat-cepat :”harga paket include breakfast !” Bulan berikutnya Gandhi jadi pindah ke apartmentku, hubunganku dengannya juga semakin akrab, kalau tadinya tidur masih pakai kaos dan celana boxer lama-lama kami hanya berkancut saja. Kalau Gandhi sudah lelap tidur aku mulai berani mengusap-ngusap kepalanya, kadang mencium rambutnya bahkan pipinya, kalau ia menggerakkan badan, aku pura-pura mengambil buku atau mematikan lampu tidur. Suatu kali sambil makan pagi aku bertanya :”Gan, pacarmu yang mana sikh, tiap hari gandengan gonta ganti tapi aku nggak tau yang mana ?” Gandhi tersenyum sambil memamah roti “Rahasia…..nggak enak diceritain, aku baru PDKT, kalo nggak jadi nggak lucu, nanti aja kalo udah pasti jadian, lu orang pertama yang aku kasih tau !” jawabannya membuat aku penasaran. Meski sekamar dan seranjang, bahkan sedang jatuh cinta padanya, aku sekalipun tidak pernah lancang membuka buku-buku atau catatannya dan barang-barang pribadinya.

Setiap aku bangun, Gandhi sudah menyiapkan sarapan, setiap malam jam 7 aku pulang kerja, Gandhi sudah menungguku di Third Coast Café, setelah itu kami berdua atau dengan beberapa teman lain gentayangan makan malam di tempat berbeda, mencoba semua café yang ada di The Loop, atau pergi ke Argyle. Sebagai balasan aku menawarkan memijat punggungnya sebelum tidur dan menyiapkan keperluan mandinya setiap pagi. Aku membeli nampan perak yang mahal, menaruh gulungan handuk dengan pita, sabun, shampoo dan celana dalam. Di depan pintu utama kutaruh sepatu dan kaos kakinya. Pertama-tama Gandhi berkomentar :”Wah….kayak nginep di Waldorf Astoria nikh !” setelah itu ia tidak pernah komentar apapun. Begitu juga dengan belanja bahan makanan, setiap minggu kami gentian membayar. Nonton atau jajan di luar kami tetap bs-bs, bayar sendiri sendiri.

Hampir 3 bulan semua berjalan tetap, bersama teman-teman lain aku sering week-end ke park, barbecue, ke Museum dan sebagainya. Hubunganku dengannya semakin dekat, ia mulai bercerita dan meminta pendapatku dan juga sebaliknya, ia bercerita tentang gadis-gadis Thailand, Singapore atau mahasiswi China atau Czeko yang pernah dipacarinya, tiba-tiba ia menanyakan :”Lu punya pacar nggak sikh ? masa 3 bulan di sini lu nggak ada tanda-tanda punya pacar di Indo, misterius amat lu ?” Aku menjawab :”Aku udah mati rasa, nyari pacar hari gini susah ! naksir orang tapi orangnya nggak naksir, mendingan solo karier !” lantas aku menyambung lagi “Nakh kamu sendiri…gimana ? pacarmu yang mana ? udah jadian belum ?” Gandhi diam sesaat “Minggu depan aku kasih tau ya, sabar !” jawabnya.

Sementara itu, setiap malam aku selalu mendapat kemajuan kalau memijatnya, dulu hanya punggung, lantas di tambah kepala, sekarang di tambah kaki dan malam berikutnya bertambah tangan. Sehingga kadang aku tidur dengan sebelah tangan Gandhi memeluk punggung atau pinggangku. Begitu saja sudah membuat aku berdebar-debar dan ngaceng sejadi-jadinya, sesekali aku sengaja membawa handuk kecil dan setelah Gandhi ngorok aku mengocok alat vitalku cepat-cepat. Tiga bulan berlalu, suatu waktu siang bolong kami berdua jalan-jalan di Michigan Avenua, melewati Bvlgari, sambil iseng aku menunjuk sebuah cincin :”Gan.itu…yang emeraldnya kecil…ingetin baik-baik !” kemudian sewaktu melewati Cartier aku menunjuk :”Gan….yang matanya sapphire itu atau yang ruby…..inget ya, jadi aku ulang tahun nggak usah repot !” lantas kami melewati deretan toko lain, di depan Giorgio Armani, Gandhi menahan langkahku : “Mas….gantian inget baik-baik jacket yang itu…..inget ya..nggak usah nunggu ulang tahun… kelamaan !” katanya, lantas kami berdua tertawa ngakak. Dasarnya aku sudah jatuh cinta, maka beberapa hari kemudian aku pulang dengan sebuah bungkusan, jacket Armani untuk Gandhi, aku tulis kartu “selamat ulang tahun, selamat lebaran, selamat natal dan selamat tahun baru 1996, 1997, 1999, 2000” aku masukkan dalam sakunya dan jacket itu aku gantung di lemarinya. Ia baru menyadari dan menemukan hadiah itu 2 hari kemudian, ia tertawa terpingkal-pingkal sampai terjungkal-jungkal. Baginya surprise yang kubuat benar-benar membuatnya tak berkutik. Ia berjanji membalasnya dengan sesuatu yang lebih hebat !

Tibalah hari ulang tahunku, aku mengajak beberapa kenalan ibu dan nenekku yang tinggal di Chicago, makan siang di sebuah Resto Yunani, ini perayaan untuk golongan tua-tui, Gandhi ikut menemani. Malamnya aku mengajak “in the gank” makan malam di Signature, di John Hancock Tower. Dari sana ada teman-teman yang bermaksud melanjutkan ke Excaliburn, ada yang ingin ke Microbar. Gandhi tidak mau ikut “besok Senin ujian” katanya, tapi ia menyuruh aku pergi saja. Aku ikut dengan teman-teman dan pulang hampir jam 4 pagi.

Masuk apartment, lampu kamar tidur masih menyala, Gandhi duduk di tempat tidur bersandar bantal, ia masih belajar, badannya di selimuti sampai ke pinggang. Setelah membersihkan badan, dengan berkolor ria aku loncat ke ranjang, aku terkejut setengah mampus melihat pembatas bukunya berupa foto seorang gadis cantik. “Gan….pacarmukah ?” tanyaku lesu, tanpa menoleh Gandhi berkata :”kalo foto Ratu Inggris jadi pembatas buku apa iya gue pacaran sama Elizabeth gitu ?...ngaco lu !” aku tertawa dan membalas :”kalo foto Mak Wok….gimana ?” Gandhi melihat padaku : ”Kamu kenapa jadi gila subuh-subuh ?....udah tidur sana” Aku malah mepet, dan bertanya :”Gan…udah seminggu lebih….katanya mau curhat, cerita donk PDKTnya berhasil nggak ?” tanyaku sengaja kemanja-manjaan. Gandhi menutup buku, mendorongku sedikit : ”jangan nempel-nempel begitu akh ! gini…..gue sama dia kayaknya bakal jadian nikh, dia baik banget, terbaik yang pernah ada dalam hidup gue…pokoknya lucu deh….wajarnya sikh nggak mungkin jadian, tapi dia kelihatan care gitu, sayang and perhatian sama gue, tiap hari ketemu, tresno jalaran seko kulino, gue khan juga perlu kasih sayang……doain ya gue jadian sama dia” katanya serius, aku semakin lemas mendengar pengakuannya….. wah dia rupanya benar-benar jatuh cinta sama orang lain “Ya mudah-mudahan jadi Gan…..lu happy khan gue juga happy !” kataku tak semangat, aku menghempaskan kepalaku ke bantal mau merem. Tanganku merasakan sesuatu di bawah bantal, sebuah kotak, aku menarik kotak itu dan melihat kotak merah kecil bertuliskan “cartier” aku berteriak kaget kegirangan seperti anak kecil, langsung kubuka……kosong ! Aku memandang Gandhi “Lho koq nggak ada isinya ?” tanyaku……Gandhi tersenyum telunjuknya menunjuk sesuatu di balik selimut, aku jadi penasaran, aku sibakkan selimut…..ya ampun Gandhi memang kurang kerjaan ! Ia telanjang bulat ! sebuah cincin emas cartier bermata ruby diikat di alat vitalnya dengan pita kado warna merah lengkap dengan kartu kecil. Aku bermaksud merebut cincin dan kartu itu, Gandhi mengeles “Eiiiit…… surprise……!!!” katanya meledek “Gila amat sikh lu…..kurang gawean” kataku jengkel campur bahagia. Gandhi mengembangkan tangannya yang kekar, aku jatuh dipelukannya “Yang kurang gawean siapa ? tiap malem cium-cium ? tiap malem ngocok, tiap malem pura-pura mijet padahal minta kelon ?” kata Gandhi, tangannya merangkul leherku, bibirnya mencium pipiku, aku membalas menciumnya, kini ku tahu ceritanya tadi, aku lantas berbisik :”Trus kamu jadian nggak sama orang itu ?” Gandhi menindihku, terasa tubuhnya begitu hangat, ia menjawab :”Pasti donk, aku sudah lamar dia koq !” lantas ia jongkok di atas badanku, cincin cartier berkilau-kilau bergantung di burungnya yang mulai berdiri. Aku menarik kartunya “may your wish come true, happy birthday” aku menarik pita dan menyematkan cincin itu di telunjukku. Burung Gandhi kucium mesra, kugenggam begitu hangat, alat vital itu semakin tegang. “Gan kenapa nggak dari dulu ya kita begini….?” tanyaku, Gandhi memelukku, mengelus-ngelus kepalaku dan menjawab :”sebetulnya gue bukan gay, tresno jalaran seko kulino, gue bisa jatuh hati sama laki-laki sebetulnya khan aneh, tapi itulah kenyataan…lu yang terbaik buat gue !”

Aku memandang Gandhi dalam-dalam, kutelusuri alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, lehernya, ketiaknya yang tak berbulu, dadanya yang bidang dengan putingnya yang merah jambu, perutnya yang kotak-kotak, burungnya yang miring ke kiri, kepala burungnya besar mrongkol, batangnya yang panjang mungkin sekitar 16 cm saja, bijinya, jembinya, pahanya yang kekar, betis dan tungkainya yang langsing indah, telapak kakinya yang panjang. Lumayan juga, lumayan banget malah, mustinya aku bersyukur dapat pasangan seperti ini. Aku dianggapnya yang terbaik baginya, aku juga beranggapan ia yang terbaik bagiku.

Jemari kami saling bertemu, wajah Gandhi semakin dekat ke wajahku dan kami saling melekatkan bibir, berciuman dengan penuh perasaan, saling melumat dan menggigit. Tangannya dikalungkan ke leherku, ia mulai menggesekkan badannya di atas tubuhku, pelukan kami semakin ketat. Celana dalamku sudah nyangsang entah kemana, alat vital Gandhi seperti penggulung Sushi digeser-geser di atas jembiku, kadang bertabrakan dengan kemaluanku yang extra tegang 2000 volt. Tangan Gandhi meremas dadaku, puting dan burungku, dikocok-kocoknya burungku, rasanya menggelegak sampai telingakupun seperti berdengung. Aku tak mau kalah, posisi kami saling menyamping, kuremas pantatnya, kuremas batangnya dan sudahlah……aku tidak tahan lagi, aku menyelipkan wajahku ke pahanya dan kujilat saja kemaluan Gandhi, rasa haus cinta dan sex membuat aku kerakusan melahap kemaluan itu dan menyedot-nyedot kepalanya, melalap batangnya sampai ke pangkal sambil kupijat-pijat pantat Gandhi. Jilatan dan kuluman di mulutku membuat Gandhi sempoyongan…..ia melenguh dan menggertakan giginya keenakan. “Gila…lu……ooohh…….oooohh !” Gandhi mendesis-desis dan mulai kelojotan. Ia mulai tak dapat menahan rasa nikmat yang menerpa sumsumnya, sebentar-sebentar ia menahan klomotanku, kakinya dikejang-kejangkan “Sabar….sabar…..aduuuuuh……enak gila !” katanya sambil cekikikan, ia mengelus-ngelus kepalaku…”Hayo lagi donk…..asyik banget !” aku melumat dan melomot alat vitalnya sekali lagi, tubuh Gandhi bergoyang-goyang kegelian. Kemudian ia tidak sabar dan mengambil alih kemudi, aku disuruhnya berbaring, kakiku diangkatnya tinggi-tinggi, disengkerkan di bahunya dan dia mengarahkan alat vitalnya ke lubang anusku. Dengan tekanan maha kuat ia menusuk rudal itu sedalam-dalamnya…….blusssss, kepala burung dan batangnya langsung ambyaaaaarrr !...........”Aaaaaauuuuww” aku terpekik kaget, gila ! dia nyoblos nggak kira-kira ! “Gila lu…..pake perasaan donk !...emang pemilu ?” protesku, Gandhi malah ketawa girang……”Diem akh…..konsentrasi donk, hi..hi..hi…enak banget !” dia mulai mendorong burungnya maju mundur, pertama perlahan, lama-lama ia mendorong semakin cepat, wajahnya serius banget bahkan semakin cepat dia maju mundur menggerakkan pantatnya, mukanya semakin jelek ! aku jadi tertawa terbahak-bahak, menahan rasa sakit, geli sekaligus merasa lucu melihat ekspresinya. Gandhi semakin serius, ia menghujamkan kelaminnya kuat-kuat dan sedalam-dalamnya, ia hampir ejakulasi !! Aku terpekik kesakitan, tubuhku bergoyang-goyang seperti perahu…”Aaaaahhh……. sakiiiiiiitttt…….pelan-pelan Gan…..addduuuu…uuhh !” aku menjerit-jerit menahan goncangan bertubi-tubi sodokan Gandhi yang keterlaluan, sambil meringis keenakan Gandhi menyahut :”Ayo ketawa lagi.. sana ketawa lagi….ketawa yang keras kalo bisa…..nakal kamu ya…nakal kamu ya !” Aku mencengkeram bahu Gandhi, menjenggut lehernya, lehernya aku gigit-gigit, pipinya bergesek dengan pipiku, telinganya kugigit dan kujilati, aku tidak kuasa menahan rasa ngilu dan nyeri diterpa torpedo Gandhi yang menghantam dan menghantam lubang anusku tiada henti. Gandhi semakin spanning dan merasa gairahnya semakin menjadi karena melihat aku tidak berdaya. Sekali lagi Gandhi melabrak anusku seperti container menabrak gundukan pasir…nyungsep dan jreeeeeeeet……preeeeeeeeeet…peeeeeet bertubi-tubi tsunami berupa air mani menyerbu anusku. Wooooow……rasanya nikmat dan kebahagiaan tak terkatakan melanda jiwaku….Gandhi mendekapku erat-erat, seulas senyum tersungging mesra, ia mengecupku, sekali dua kali, tiga kali dan berkali-kali. Ia masih sekali lagi menekan pantatku sambil berbisik :”Akhirnya kita jadian juga ya !” ia tidak melepaskan pelukannya sampai pagi.

Kami mandi sama-sama, sekali lagi kami ML sambil berendam Badedas “Mustinya kita punya whirlpool ya Gan…pasti tiap hari kita kungkum begini” aku menggodanya “Ya…..kungkum sampai keriput dan ciut !” jawabnya sambil memain-mainkan kemaluanku. Aku jadi birahi, aku menyuruhnya mengocok alat vitalku supaya keras, aku menempelkan tubuhku di dadanya, ia mendekapku sambil menjilati telinga dan leher, tangannya mengocok alat vitalku. Rasa nikmat menyeruak ke seluruh tubuhku, tanganku meremas-remas pahanya, kocokan Gandhi yang lembut bergerak semakin kencang, ia memagut leherku, sebelah tangannya mengusap pentilku, birahiku tak tertahankan lagi dan aku menyemprotkan air maniku sejadi-jadinya. Setelah itu aku menyuruhnya duduk di tepi bath-tub, burung Gandhi sudah mulai konak, aku jilat dan ciumi dengan sayang, aku kocok-kocok dan kujilat-jilat lagi setelah keras seperti balok kayu baru aku kulum dan kumainkan dengan lidah di dalam mulut. Gandhi mengerang keenakan, punggungku dielus-elusnya, dicubiti, sesekali pantatnya dinaikan dan ditekan ke mulutku. Rasanya indah sekali, perasaan kami melayang dan membumbung tinggi. Rasa nikmat yangmenjalar disekujur tubuh Gandhi mencapai klimaxnya, dengan penuh kemesraan Gandhi mendekap dengan kedua kakinya, menjepit tubuhku yang terbenam dalam air, tangannya memeluk kepalaku………..”aaaaaaahhh….!” Gandhi mendesah ia melepaskan air mani berkali-kali ke dalam mulutku dan kuteguk nikmat….!!

Aku menyukai Gandhi bukan saja karena ia memiliki fisik yang memukau, ia betul-betul gentle, terlebih aku menyukainya karena ia terpelajar. Kami merasa cocok karena memiliki selera yang sama, seleranya halus dan tinggi, begitu juga selera humor Gandhi membuat aku tidak pernah bisa marah kepadanya. Dalam saat-saat paling intim dan ejakulasi sekalipun kami masih bisa bercanda. Beberapa tahun kami bersama dan akhirnya kami berpisah karena aku menginginkan ia memiliki kekasih perempuan yang kelak dinikahinya.

###

20 Gay Erotic Stories from Safenias@yahoo.com

24/7/365

Tinggal di Arab merupakan sebuah kenikmatan, berbagai macam barang ada, harganya murah, bahan makanan dan minuman juga lengkap! dan hampir semua orang di sana yang kutemui baik-baik, terlebih para lelakinya selalu menawarkan kemaluannya dengan penuh keramahan.Setiap saat aku mau, selalu dapat kontol, pagi subuh nemu kontol, sarapan pagi….juga kontol ! jam sepuluh ada kontol, siang bolong

6 jam di jogja

Enam Jam Di JogjaIni bukan kisah sejarah perjuangan Pak Harto dalam masa Revolusi, meski judulnya sama tapi ini sejarah tidur dan bergulat dengan seorang Pakistan di atas kasur. Sama-sama seru ! Pak Harto berjuang mengandalkan pestol, cerita yang ini berjuang mengandalkan kontol.Begini ceritanya : Sebuah hotel baru akan diresmikan di daerah Losari, dekat Magelang, gerombolan kami turut di

A Tale From Arabia

A Tale From ArabiaSelama sebulan lebih aku harus bolak-balik Mecca-Medinah, tamu-tamuku bertebaran di kedua kota tersebut. Ada 36 orang di Mecca dan 54 orang di Medinah. Terus terang lebih banyak tamu-tamu menghabiskan waktu di Medinah, karena suasananya lebih damai dan sejuk. Begitu juga orang di sana jauh lebih ramah. Kotanyapun lebih rapih dan menyenangkan.Jarak Mecca -Medinah kutempuh

AKWANG

AKWANG Bulan September 2004 team kami harus mengunjungi tempat pengungsian minoritas Cina, mereka korban Gerakan Aceh Merdeka, letaknya di daerah perindustrian, kota di mana kami tinggal. Kami siap-siap dengan berbagai kebutuhan pendidikan dan obat-obatan. Hari yang ditentukan tiba, kami datang dan disambut ramah panitia pengungsi, kami langsung membagi diri sesuai tugas masing-masing.

arabian night

Sore itu aku baru saja mendarat di Ngurah Rai International Airport, segera check-in di Grand Bali Beach Hotel yang jauh dari hiruk pikuk, terlebih karena setumpuk pekerjaan yang harus kulakukan berada di daerah Renon, dekat dengan Sanur. Belum sempat beristirahat telponku berdering, rekan bisnisku mengajak makan malam di Jimbaran, segera kami meluncur ke sana. Waktu baru saja menunjukkan pukul 7

Bali The Heaven On Earth

Pagi-pagi Tante Ida menelpon dari Jakarta :”Man, anak lelaki sahabat Tante di Denver nanti mendarat jam 11 siang, mau liburan di Bali, maaf ya ! dadakan ! Tante sibuk, lupa kasih tau, nanti sekalian ke kantor, Tante transfer ke rekening BCA kamu buat uang pegangan…...” dan seterusnya…..ia memborong bicara, padahal aku masih ngantuk ! bayangkan aku baru tidur jam 2 dan jam 6 pagi Tante saya

Blitzkrieg !

Blitzkrieg !Halo-halo pencinta cerita homo ! Ini laporan pandangan mata, fresh report dari Dili, “kota sejuta kontol” Sore tadi bersama teman-teman saya pergi ngopi ke Area Branca, atau Pasir Putih, daerah tepi pantai dengan pasir yang warnanya putih. Areanya tidak besar, paling-paling hanya sepanjang 1 km, tapi di sore hari kota Dili tampak cantik dari sana, bukit-bukitnya terlihat biru dan

bread & butter

Pernah suatu kali Iwan Tirta mengatakan kepadaku “relations & sex” ibaratnya seperti bread & butter, tak terpisahkan seperti roti yang harus diolesi mentega. Hmmm….. coba pikirkan ! kata-katanya benar ! Pada pengalamanku, bila seks antara aku dan pasanganku cocok maka hubungan kami menjadi lancar, hal-hal kecil yang bisa menjadi biang keributan akan terselesaikan di atas ranjang. Atau

Dili 2008

Dili 2008Pertama kali aku melihatnya bulan Agustus 2008, di sebuah restoran bagi kalangan menengah di kota Dili, Timor Leste. Aku dan teman-teman sedang makan malam, tidak jauh dari tempat kami duduk rupanya ada perayaan ulang tahun. Sepotong kue taart besar di pasangi lilin digiring ke meja rombongan itu. Suasana penuh senda tawa dan bahagia, tiup lilin dan jepret-jepret mereka berfoto. Yang

Goyang Dombret

Goyang DombretAda sebuah kantor di sebelah ruko aku tinggal. Kalau hari Sabtu, kantor itu setengah hari, setiap Sabtu selewat jam 2 siang selalu kedengaran music dangdut di stel dengan sangat keras dari kantor tersebut, dan baru berhenti Senin pagi saat kantor buka lagi. Bayangkan dari Sabtu siang sampai Senin pagi semua tetangga harus menderita dengan music kampungan yang disetel dengan volume

Jakarta-Bandung-Jakarta

Jakarta-Bandung-JakartaHari Jumat jam 15.15 KA Parahyangan melaju dari Stasiun Gambir menuju Bandung, di atas kereta aku berkenalan dengan seorang pemuda ganteng, alis matanya tebal, bibirnya sexy, kesannya seperti Brad Pitt, tapi Melayu punya. Kami saling memperkenalkan diri, namanya Bagyo, lulusan Universitas Parahyangan, Bandung. Ia sendiri tinggal di Jakarta, tapi karena ada keperluan

Jakarta-Bandung-Jakarta Jilid II

Bagyo menyumpah-nyumpah kegelian “gue udah nggak tahan lagi nikh…..” ia mulai mempercepat goyangannya, maju mundur dengan cepat, gerakannya membuat aku kelabakan, aku mulai mengimbangi dengan menggenggam kontol itu, setengah masuk mulut setengah kujilat sambil kukocok dengan tangan. Bagyo semakin buas, tangannya menjambak rambutku menekannya sekaligus ke selangkangannya “niiiiiiiiikh… rasain

kenangan di masa lalu

Kenangan Di Masa Lalu (I)Hingga aku SMA, aku tinggal bersama orangtuaku di jantung kota Jakarta. Di sebuah rumah lama, peninggalan jaman colonial, rumah itu bagiku sangat besar, luas tanahnya saja 2000 meter. Rumah induk tempat keluarga kami tinggal membuat pembantu ngos-ngosan, karena sehari ia harus menyapu dan mengepel 2 kali. Karena terlalu besar, pavilion di sayap kanan disewakan

kisah cinta nan jauh di rantau

Mungkin aku pacaran sudah lebih dari 19 kali, maksudku pacaran yang serius, bukan sekedar hubungan badan biasa. Kadang menjelang tidur aku membuka-buka buku catatanku dan mengenang pacar-pacarku dulu. Salah satu diantaranya bernama Gandhi, karena ia paling romantic dan paling berbakti. Gandhi adalah salah satu pacar yang paling tidak akan kulupakan.Aku berkenalan dengannya tahun 1996, ketika

Kontol di Museum

Kontol di MuseumKalau kita pergi ke Museum Pusaka Nias, di Gunung Sitoli, kita akan terpesona melihat patung-patung batu berserakan di halaman Museum, di depan, ditengah, di belakang. Rata-rata semua punya gaya yang sama, seorang lelaki dengan kostum traditional berdiri tegap dengan buah dada besar dan alat kelamin berdiri tegak, semua terbuat dari batu.Sudah dua kali aku kesana, hari Sabtu

magnum force jilid I

Magnum ForceDi ujung Jalan Kajeng sedang dibuat Bale Banjar yang baru, tukang-tukangnya sebagian besar dari Jawa. Agak lebih jauh sedikit di teras sawah, tinggal temanku Yoko, seorang perempuan Jepang yang sedang belajar menari di Peliatan. Pondok Yoko bergaya Jepang dikelilingi kolam Lotus…romantis sekali, kalau bulan purnama aku selalu ke sana, mendengarkan music, minum brem atau arak atau

MANDREHE

MandreheMandrehe adalah sebuah desa kecil, di tengah Pulau Nias. Saya menyukai desa tersebut, letaknya tinggi di perbukitan, cuacanya sejuk, dari sebuah tempat di sana kita bisa memandang Pulau Sirombu dan birunya Samudra Hindia yang seolah tak berbatas. Indah !Pertama kali ke sana, saya tercengang melihat tempat saya harus menginap, sebuah kamar di Seminari yang tidak terurus. Perlu 3 jam

Nias Pulau Seribu Kontol Jilid II

Nias - Pulau Seribu Kontol Jilid IIBetul saja, jam 8 lebih sedikit Fasi datang naik sepeda, wajahnya cerah sumringah, ia menyandarkan sepedanya di tiang rumahku. “Bang perutku sakit, habis makan aku langsung ngebut naik sepeda” katanya manja, ia langsung menghempaskan pantatnya ke kursi rotan. Celana pendeknya sudah robek sebelah depan dekat selangkangan, aku perhatikan kakinya panjang dan

singing in the rain

Singing In The RainPerumahan Taman Setiabudi Indah di Medan sedang banyak membangun rumah mewah, bangunan setengah jadi ataupun tahap finishing gentayangan sepanjang jalan. Beberapa bangunan hanya dipagari seng, atau terbuka sama sekali, pemiliknya belum punya cukup dana untuk menyelesaikan rumah tersebut. Di bangunan-bangunan seperti itulah tukang-tukang jualan makanan bergerobak beristirahat

wayan

WayanSebulan sudah aku menetap di daerah Petitenget, Seminyak. Duapuluh tahun lalu tempat ini begitu sepi dan mungkin sebagian besar orang tidak tertarik berkunjung kesini. Tapi Petitenget kini berubah menjadi surga kaum pelancong bule kelas atas. Coba saja lihat Potato Head, W Hotel, Metish, Sardin, Bali Bakery dan semua tempat yang terbilang mahal ada di lokasi ini.Banyak hotel dan

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story