Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

A New Day Has Come

by Supernova


“Sang Ksatria pun akhirnya menemukan Sang Puteri.” Wanita itu menatap wajah putranya dengan lembut. “Saat itu jugalah ia berjanji kepada sang Puteri, ia akan selalu membahagiakannya. Selamanya....” Kota X, pertengahan September 1996 Senja itu indah. Langit terbalut warna merah saga. Alex menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon di taman bermain itu. Matanya menyapu seluruh taman, mengamati. Ia tersenyum geli ketika matanya tertumbuk pada sekelompok remaja yang meramaikan taman itu dengan dandanan noraknya, tertawa terbahak-bahak melihat tingkah anak-anak kecil yang bermain dengan bebas di arena bermain taman itu, dan tanpa sadar menggelengkan kepalanya melihat beberapa pasang kekasih yang tersebar di seluruh taman itu. Indahnya cinta... "Alex." Sebuah suara menyadarkannya dari lamunannya. "Maaf aku membuatmu menunggu." Alex menoleh dan melihat David berlari-lari kecil menghampirinya sambil terengah-engah. "Ah, ngga apa-apa kok." jawabnya sambil lalu, toh ia menikmati senja ini. "Yuk." David merangkul pundaknya dan mengajaknya menuju sepeda motor yang diparkirnya tak jaauh dari situ. Alex membiarkan angin menampar-nampar wajahnya saat sepeda motor David menelusuri jalan panjang itu menuju ke rumahnya. Kedua tangannya yang terletak di atas pahanya sudah gatal ingin memeluk pinggang kekasihnya. Mendadak David memelankan laju sepeda motornya. "Lex." David berkata lembut. "Kita cari tempat untuk ngobrol yuk." Alex mendesah mengiyakan, tiba-tiba kegalauan yang sejak kemarin mengamuk di hatinya semakin menjadi-jadi. Keindahan senja yang tadi begitu terasa perlahan memudar. David membelokkan sepeda motornya memasuki sebuah gang kecil, menelusuri jalanan sempit itu, dan berhenti di pekarangan sebuah rumah kecil yang rindang ditumbuhi pepohonan. Alex semakin kacau. David menurunkan penopang sepeda motornya, menunggu sampai Alex turun, lalu melangkah ke arah teras rumah. Alex mencoba mengusir galau hatinya dan mengikuti langkah David. Ia mendudukkan dirinya di atas kursi taman di depan David duduk, menatap lurus ke ujung-ujung sepatunya. Alex memejamkan matanya mendengar setiap kata-kata penjelasan David. Pelupuk matanya terasa panas. Ah inginnya ia bisa menangis sekarang, menumpahkan segala kepedihan, namun ia jenis orang yang hanya bisa menangis dalam hati... "Maafkan aku," desis David untuk yang kesekian kalinya. Ah, mungkin kata-kata itulah yang paling banyak dilatihnya semalaman supaya bisa diucapkannya saat ini. "Aku mau pulang," kata Alex akhirnya berbisik lirih. "Aku antar ya?" David bangkit berdiri dari kursinya. "Thanks, tapi aku sebaiknya pulang sendiri," Alex mengeraskan hatinya, tak ingin kelihatan lemah di depan David. David memandang punggung kekar Alex yang berjalan menyusuri pekarangan dan menghilang di balik pagar, David menendang meja tamunya, merasakan nyeri di ujung kakinya namun terlebih di dalam hatinya. Alex merasakan hatinya sedikit tenang saat kakinya melangkah semakin jauh dari rumah David. Baru beberapa langkah ia menolehkan kepalanya, menatap atap rumah itu yang menyembul di atas pepohonan. Tak ada lagi David yang manis, yang membelai rambutnya dengan lembut, membuatnya tertawa riang, yang ada hanyalah angin yang menghembus sepoi, menjadi saksi bisu berakhirnya hubungan cinta yang telah dua tahun terjalin di antara mereka. Alex tidak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya penuh tanya selama perjalanan pulang di dalam angkutan umum itu, yang diinginkannya saat ini adalah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, membenamkan kepalanya di dalam bantal dan berteriak sekuat-kuatnya, melepaskan beban di hatinya. Senja itu indah. Langit berwarna merah saga. Namun Alex sudah tidak memperhatikannya lagi. Tak bisa dan tak mampu, hanyut oleh badai yang memporak-porandakan hatinya. CHAPTER I Pantai Z, lebaran kedua 2000, pukul 03.00 pagi "Tapi, Dri, aku masih susah untuk melupakannya." Andrew menatap mata sendu Alex lekat-lekat, memandang kearah pasang yang mulai terlihat surut, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, "Walau bagaimanapun, yang namanya cinta, memang cenderung berakhir menyakitkan, menorehkan luka kenangan yang sulit dilupakan, karena di situlah letak karasteristik sebuah perasaan cinta." "Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?" gumam Alex lirih di sela bisikan ombak yang menyentuh pasir. Andrew mengembangkan senyumnya, membuang puntung rokok yang masih setengah panjangnya itu jauh-jauh ke pasir pantai, "Jangan mengacaukan cinta dengan kasih." Alex mengikuti gerakan puntung rokok yang melayang lalu padam setelah mencapai permukaan pasir, "Maksud kamu?" Andrew bangkit berdiri, menggosokkan telapak tangannya yang terasa dingin ke pahanya, membersihkan butir-butir pasir yang menempel, "Kasih, tidak terbawa oleh nafsu, karena itu ia abadi adanya. Tetapi cinta lekat dengan nafsu, nafsu ingin memiliki, ingin mengikat, menguasai, memuaskan, dan egoisme adalah inti utama dari cinta." Sampai di sini Andrew menghela nafasnya, berusaha menimbulkan kesan dalam pada setiap ucapannya. "Dan bukankah itu yang selalu disenandungkan orang-orang dalam lagu-lagu mereka? Pernahkah mereka membicarakan tentang kasih? Kasih yang tidak menuntut, hanya memberi, berlandaskan pengorbanan, tidak cemburu, murah hati, dan sebagainya seperti yang pernah engkau pelajari?" Alex mengalihkan pandangannya dari Andrew ke arah pantai, "Kamu tahu banyak, Dri," gumamnya. "Dan mungkin kau benar..." Andrew tertawa getir, melompat kecil ke belakang Alex, memegang pundaknya dan memijat perlahan, "Kau mengerti sekarang?" "Tujuh puluh lima persen," senyum Alex menikmati pijatan Andrew. Andrew mencium pipi Alex dari belakang, berlari menuju mobilnya, membukakan pintu samping dan membungkuk. "Shall we go?" Alex tertawa melihat gayanya yang konyol, menjewer kuping Andrew sebelum melangkah masuk ke dalam mobil. Kota X, awal tahun baru 1997 Alex merasa bingung dengan dirinya sendiri, menyaksikan David yang berlutut memeluk kakinya dan memohonnya kembali adalah bunga mimpinya setiap hari, dan seperti kebanyakan mimpi, Alex hanya menganggapnya sebagai suatu pelampiasan keinginan perfeksionis yang tidak tercapai di kehidupan nyata. Namun kini...... "Alex, aku tak bisa hidup tanpa kamu," David membenamkan wajahnya di sela-sela kaki laki-laki yang duduk di hadapannya itu dan membasahinya. "David....." Alex merasakan pipinya-yang hampir tak pernah dibasahi air mata-basah. Bahkan sampai sekarang aku masih tetap menyayangimu, Vid. Alex membungkukkan tubuhnya, memegang bahu David, dan mengecup dahinya, "Bagaimana dengan keluargamu?" bisiknya di telinga David. “Mereka menginginkanmu menikah, kan?” David mendekap kaki Alex lebih erat. "Persetan dengan mereka." Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 03.15 pagi "Alangkah susahnya melupakan cinta yang pernah singgah di hati." Andrew tersenyum, memperhatikan pepohonan yang berlari di sekitarnya. “Cinta yang pernah singgah itu ibarat pedang telah menggores hati. Bagaimanapun juga, bekasnya tetap tinggal.” Alex menarik nafas panjang, "Aku tak pernah mencoba membayangkan untuk mengecup bibir seseorang dan menyerupakannya dengan David. Bahkan aku tak pernah mencari bibir orang lain untuk pelampiasan." Andrew menggerakkan stirnya ke kanan, menghindari kucing liar yang mendadak melintasi jalan. "Bukankah beberapa orang justru melakukannya ?" Masa-masa kebahagiaan dan kedewasaan, 1997-awal 2000 Alex memperoleh kembali kebahagiaannya yang terenggut saat perpisahannya dengan David. Hubungan 'backstreet' mereka berlangsung seakan begitu sempurna, penuh dengan canda tawa dan keceriaan. Namun Alex harus rela menempuh hubungan jarak jauh tatkala David lebih memutuskan untuk mengikuti amanat orang tuanya sebagai seorang anak tunggal, yaitu dengan bekerja di Jakarta, sementara Alex berkuliah di sebuah universitas swasta terkemuka di Surabaya. David berjanji akan menjenguknya sebisa mungkin. Alex sadar bahwa David bukanlah berasal dari keluarga yang mampu, namun yang diingat dan diinginkannya saat itu adalah bahwa bagaimanapun ia harus mempertahankan hubungan ini sebisa mungkin. Alex mengalami berbagai cobaan yang berat selama kuliahnya di Surabaya, banyak wanita maupun lelaki yang terpikat oleh kecerdasan, kemadirian, dan kedewasaannya. Mereka berusaha memikatnya dengan berbagai cara yang luar biasa yang cukup untuk menjatuhkan hati siapapun juga. Tapi Alex masih mampu bertahan dan mengeraskan hatinya, menolak setiap uluran tangan dan godaan yang datang, dan hanya bisa melampiaskannya ketika David datang menjenguknya dengan kecintaan dan kerinduannya. Alex tumbuh dan berkembang menjadi seorang pria yang lebih dewasa, dan seiring perkembangannya, Alex menjadi semakin khawatir akan masa depan hubungan mereka yang semakin kabur semenjak David bekerja di Jakarta. Hal inilah yang mampu menahan dan menguatkan dirinya ketika David mengendus telinganya di atas kasur dan memohonnya untuk melakukan hubungan suami istri. Keinginan dan hasratnya tertahan oleh ketakutannya sendiri akan masa depan yang kabur itu, dan David sepertinya mengerti akan ketakutan itu, mencoba menghormati keputusannya, walaupun terkadang menjadi emosionil ketika hasratnya tak terlampiaskan. "Vid, bagaimana dengan kita?" Alex mendesah, merasa berat melepaskan kepergian David selama dua bulan ke Bandung. Di lain pihak, Alex sadar posisi David yang menjadi harapan satu-satunya sebagai calon tiang penopang perekonomian keluarganya. David memeluk tubuh telanjang Alex, membisikkan janji-janji indah ke kupingnya. "Aku akan menyuratimu." bisik David. "Aku akan mencoba bertahan," Alex mendesah lirih. David membungkuk di atasnya, mengecup puting susunya, menindihnya dan meletakkan kejantanannya di bibir anus kekasihnya. Malam itu menjadi milik mereka, namun bagi Alex, kenyataan itu justru menimbulkan alasan baru untuk segera mengakhiri ketidakpastian cerita cinta mereka. Dan kembali malam itu, David merasakan penolakan Alex saat pria itu mendorong tubuhnya ke samping, memegang batang penisnya dan memaksa spermanya keluar. Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 03.45 pagi Andrew merasakan pengaruh caffein itu membuat kantung kemihnya beroperasi lebih cepat. Ia mengurangi laju mobilnya dan menghentikannya di bahu jalan, "Pipis dulu." Alex mau tak mau tertawa. "Gokil, ah." Andrew ikut tertawa dan keluar dari mobil. "Aku kagum padamu," Andrew berkata ketika mobil yang mereka tumpangi kembali melaju di atas jalanan hutan. "Ah, Dri. Aku tidak selemah yang kau kira." "Mungkin cowokmu yang bego," tawa Andrew, yang segera meringis ketika kepalan tinju Alex mendarat di lengan kirinya. Tawa mereka mengiringi instrumental Richard Clayderman yang mengalun dari tape mobil, menyeruak kegelapan hutan dan kerumunan serangga malam. CHAPTER II Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 04.15 pagi "Sssshhh.. hhh...." Andrew mengepulkan asap rokok dari tepi bibirnya. Alex memandangi langit yang mulai berwarna kebiruan, pertanda matahari akan segera muncul. Beberapa pecari kayu bakar terpaksa meminggirkan sepeda mereka saat mobil yang dikendarai kedua anak manusia itu melaju melintas dengan kecepatan yang cukup untuk menekan udara menggoyangkan sepeda mereka. "Dri, benarkah banyak terdapat cowok oportunis di dunia ini?" Alex membuyaran kesunyian di antara mereka. Suatu pertanyaan yang merepotkan, pikir Andrew saat itu. "Seandainya saja kebanyakan pria tidak tercipta dengan pemikiran yang lebih kuat dari perasaannya, dan dengan tanpa libido yang luar biasa, mungkin jawabannya adalah tidak." Alex menghela nafasnya dalam-dalam, matanya masih memndangi pepohonan dari balik jendela di samping tubuhnya. "Namun," Andrew meneruskan. "Sekarang semuanya kita kembalikan saja kepada yang dinamakan nafsu. Nafsu mampu membuat segala cahaya menjadi kegelapan, sebaik apapun manusia, apabila nafsu menguasainya...." "Aku tahu itu," Alex memotong perkataan Andrew. Bandung, pertengahan Mei 2000 Alex merasakan kepiluan hatinya saat menyaksikan David yang menutupi hidung dan mulutnya dengan kedua telapak tangannya. "Maafkan aku." Bahkan Alex tidak menjadi geli merasakan anekdot ini, selintas ingatannya betapa iapun berusaha menghapalkan perkataan ini sepanjang malam untuk melatih keberaniannya, persis seperti David beberapa tahun lalu. Alex berusaha mengeraskan hatinya untuk tidak mengakui kebohongannya, berusaha mengalihkan pandangan matanya ke ujung-ujung jemari kakinya. "Bunuhlah aku, Vid." Alex berbisik. "Karena kelemahanku, apapun asalkan kau merasa puas." Alex mencoba membangkitkan kebencian David kepadanya, karena ketidak mampuannya menahan godaan di saat-saat kesepiannya. Padahal kenyataannya... David menurunkan tangannya, menatap Alex dengan mata berair, merasakan saraf-sarafnya terbakar di sisi keningnya, menggeram lirih, "Alangkah ringannya kematian atas luka yang kautorehkan di jangka kepercayaanku." David bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 04.35 pagi "Mungkin kamu akan menyetujui pendapat bahwa cinta yang bergelimang nafsu akan selalu menuntut kesetimpalan perbuatan apapun yang mengkhianatinya. Bukankah begitu, Andrew?" Alex memandang Andrew yang mencoba memecah konsentrasinya. "Kamu membuatku semakin terbawa oleh ceritamu," Andrew tertawa dan membuang rokok di jepitan jemarinya keluar jendela. Bandung, pertengahan Mei 2000 "Vid!" jeritan lirih itu tak dihiraukannya. David memegang tangan Alex dengan kasar dan menarik laki-laki itu berdiri, Alex melihat pandangan mata David dibayangi kebencian bercampur dengan air mata, bulu-bulu roma Alex berdiri dan adrenalin di sekujur tubuhnya mengalir semakin cepat. David menempelkan tubuhnya di tubuh Alex, menjambak rambut lelaki itu dan menarik kepalanya ke belakang, mendesis, "Terlalu ringan...." Alex dapat merasakan hawa kebencian itu menghembus wajahnya. David membalikkan tubuh Alex, tetap menjambak rambutnya, menekan punggungnya sampai setengah tertelungkup di atas sofa. "David....." Alex mulai merasakan dirinya memberontak, sejenak keraguan akan rencananya menyeruak di benaknya, ia bisa saja memberontak sekarang, menghantam wajah David dan meninggalknnya begitu saja, namun akankah sesorang mampu membagi alternatif lain dari kekerdilan pemikirannya saat itu? David menyelipkan tangannya ke balik pakaian Alex, meremas kasar puting susu Alex, menggeram, "AKU sekarang..." Dalam usahanya menahan diri ia mengerang kesakitan saat kuku-kuku David menancap di kulitnya. Setelah merasa puas meremas, David mengeluarkan tangannya dan memelorot jeans Alex, melewati pinggulnya, menarik celana dalam Alex dengan paksa, membuka kaki Alex dengan dengkulnya. Alex merasakan kepiluan dalam dirinya, kenyataan ini adalah yang kemudian disadarinya sebagai konsekuensi yang harus diterimanya dari pengorbanannya sebagai seorang kekasih, membuatnya membatalkan setiap keinginannya untuk meronta dan melepaskan diri. Alex menjerit tertahan dari mulutnya yang terkatup. David menekan-nekan beberapa saat, lalu menarik keluar batang penisnya yang basah oleh sperma dan bewarna kemerahan, merasa puas membayangkan betapa tindakannya telah menorehkan luka di anus bahkan di hati Alex. Alex termangu dalam kenyerian dan kepedihan yang dirasakannya. Epilog : Pasca kejadian Semenjak kejadian hari itu, David tak pernah lagi menghubungi Alex. Alex sendiri tidak pernah mencoba untuk mengganggu David, bahkan saat David dipromosikan untuk menduduki jabatan General Manager di perusahaan tempatnya bekerja. Alex hanya mendengar kabarnya dari salah seorang temannya, dan hanya bisa berdoa bersyukur karena akhirnya cita-cita David dan keluarganya tercapai, tanpa gangguan apapun darinya. Kepuasan Alex digapainya dengan keberhasilan setiap rencana pengorbanannya untuk keberhasilan David, kepuasan menyaksikan kebencian David yang mampu membuat lelaki itu melupakannya, kepuasan melihat David dan keluarganya berbaikan kembali setelah ia akhirnya menikah dengan gadis pilihan orang tuanya, kepuasan atas keberhasilan David memenuhi tuntutan orang tuanya, dan terutama, kepuasan karena akhirnya ia berhasil menyerahkan keperjakannya kepada satu-satunya orang yang ia kasihi, David, walaupun semuanya terasa begitu menyakitkan. Alex merasakan hidupnya selesai, hasratnya akan keindahan dan kemolekan keduniawian yang semu di masa depannya lenyap sudah. Kota X, lebaran kedua 2000 Andrew menghentikan mobilnya, memandang matahari yang mulai melewati atap-atap rumah, "Ahh, tak terasa hari mulai pagi." Alex tersenyum, memutar tubuhnya menghadap Andrew, sahabat bermainnya sejak kecil, satu sosok yang diletakkannya di urutan kedua setelah David. "Andrew..." Andrew memeluknya, merasakan tanggul di kantung matanya hancur, membasahi pundak Alex dengan air matanya. "Cengeng ah, aku tidak apa-apa kok." Andrew membenamkan kepalanya, merasa bingung, karena apapun yang akan dilakukannya tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi. Alex menepuk punggung Andrew, merasakan air matanya sendiri mengalir membasahi baju sahabatnya. Entah sejak kapan ia menjadi cengeng. “Akhirnya aku menyelesaikannya, Dri,” gumam Alex di telinga Andrew. “Apa?” tanya Andrew tak mengerti. “Dongeng Puteri dan Ksatria itu, dongeng yang selalu dibisikkan Mama sebelum aku tidur. Di dongeng itu, Puteri dan Ksatria akhirnya bertemu, namun di dongeng yang telah kuukir dengan kehidupanku sendiri ini, salah satu harus mundur, demi kebahagiaan yang lainnya.” “Itu kan hanya dongeng...” “Hanya dongeng itu yang kupercayai selama bertahun-tahun ini, Dri...Tempatku melarikan diri dari masalah apapun yang menimpaku. Tempatku mempercayai semua keajaiban yang bisa membuat seseorang bahagia.” “Tak adakah cara untuk membuat dongeng itu berakhir bahagia?” Andrew menatapku dalam-dalam. “Hanya ada satu cara, Dri...” Senyum tipis terulas di bibirku. “Dongeng itu akan berakhir bahagia....jika ada Ksatria baru hadir dalam hidupku.” Andrew menoleh cepat ke arahku, menatap mataku lurus-lurus lalu tersenyum. Tanpa suara, tanpa kata diraihnya tubuhku ke dalam pelukannya. Sorot matanya menyiratkan sejuta makna yang tak kumengerti. “Ksatria itu pasti akan hadir, Lex,” bisiknya di telingaku. “Ia akan membuat dongeng itu berakhir bahagia.” Alex tersenyum. Ia mempererat pelukannya. Beban di hatinya terangkat bersamaan dengan diceritakannya pengalaman pahitnya itu kepada seseorang. Sekarang ia siap menapaki babak baru dalam kehidupannya. *** This Story is dedicated to Andry at Jakarta Catatan pengarang : Ini adalah kisah saya yang keempat setelah Beneath The Stars, Ketika Cinta Memberi Makna, dan When A Man Loves A Man. Perlu waktu sedikit lama untuk menuliskannya karena untuk menulisnya, saya harus mengingat kembali kenangan yang tak ingin kuingat lagi. Bagi mereka yang pernah kirim email tapi terus putus hubungan, sorry, email saya rusak dan baru selesai diperbaiki bulan lalu. Kirim lagi aja ke valacee@email.com Bagi mereka yang pengen kritik, atau nyumbang saran, atau sekedar pengen kenalan, silakan kirim email ke valacee@email.com Thank you...muach...muach...

###

5 Gay Erotic Stories from Supernova

A New Day Has Come

“Sang Ksatria pun akhirnya menemukan Sang Puteri.” Wanita itu menatap wajah putranya dengan lembut. “Saat itu jugalah ia berjanji kepada sang Puteri, ia akan selalu membahagiakannya. Selamanya....” Kota X, pertengahan September 1996 Senja itu indah. Langit terbalut warna merah saga. Alex menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon di taman bermain itu. Matanya menyapu seluruh taman,

Because I Love You

Stan yang baru pulang dari studio menatap kamarnya yang terbuka dengan mata terbelalak. Senyum lebar yang sedianya terlukis di bibirnya lenyap digantikan raut keheranan dan keterkejutan. Kamar itu, yang biasanya rapi, kini berantakan. Sebuah koper besar tergeletak di atas ranjang. Josh, kekasihnya duduk di samping koper itu, sibuk mengemasi barang-barangnya. “Josh?” panggil Stan heran.

Beneath The Stars

Diantara Bintang-Bintang Ia kembali mendongakkan kepalanya, menatap langit luas yang ada di atas kepala kami. Langit malam yang bagaikan beledu hitam dengan hiasan permata-permata disekelilingnya. Angin malam berhembus, mempermainkan rambutnya yang dimodel seperti Ewan McGregor dalam Moulin Rouge. Ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti. Setelah beberapa jam kami berdua

Ketika Cinta Memberi Makna

Dalam keremangan kamar itu ia menatapku. Keheningan terasa begitu mendominasi, padahal suara televisi yang sedang menyiarkan berita malam cukup keras, belum lagi alunan lagu-lagu sarat makna yang diputarnya. “Kenapa kamu diam saja ?” Perlahan ia berbisik, menguak kesenyapan diantara kami. “Katakanlah apa yang ada di pikiranmu, jangan diam saja.” “Bukan aku yang harus mengatakannya,

When A Man Loves A Man

bila ku jatuh cinta pasti kan selamanya jika tidak, maka lebih baik tak pernah jatuh cinta di atas dunia fana begitu banyak cinta, berakhir sebelum bermula begitu banyak kecupan bulan purnama lebur oleh bara sang surya jika kuberikan hatiku pasti kan seutuhnya diriku jika tidak, lebih baik aku tak pernah berikan hatiku dan saat kita bersama seluruh uratku berkata bahwa kau

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story