Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Breezy Autumn Series: Gede! Part 3

by Breezy Autumn


Kamarku persis berada diatas ruang tamu, menempati posisi paling depan. Seluruh kamar dilantai atas ini terhubung dengan teras yang mengelilingi seluruh sisi bangunan. Melewati pintu kaca yang memisahkan kamar dengan teras, kuayunkan langkah gontai menuju pagar pembatas teras, yang terbuat dari besi berukir dengan model dan warna yang sama seperti pagar depan. View dari atas sini benar-benar luar biasa. Diseberang Villa, tepat disamping jalan sempit didepan Villa, tak terlihat lagi daratan dengan ketinggian permukaan yang hampir sama dengan jalan. Hanya pagar pendek dari plat besi pembatas jalan yang terletak sekitar setengah meter dari atas permukaan jalan, lalu selebihnya adalah jurang yang berujung entah kemana. Nggak bisa kubayangin, apa jadinya mobil dan penumpangnya jika si sopir sedikit aja kurang berhati-hati, lalu menerobos pagar pembatas dan terlempar kebawah sana... But, from what I see now, this is really really heaven! Well, at least... salah satu dari sekian banyak surga 'alamiah' di bumi ini. Sejauh mata memandang adalah rimbunnya kehijauan yang kadang diselingi warna kemerahan atap rumah atau villa lain, dan lika-liku kilau air sungai ditimpah cahaya mentari. Mirip hamparan permadani hijau dengan untaian kalung berlian dan batu warna-warni diatasnya. Angin yang bertiup lembut, menggelitik ujung-ujung pepohonan, melantunkan kidung alam yang terdengar begitu harmonis dengan gemiricik aliran sungai dan gemerisik dedaunan yang khas. Puncak-puncak pinus dan cemara menari meliuk-liuk seirama belaian manja tiupan sepoi-sepoi. Hawa sejuk menyisir halus permukaan kulit tipisku. Sambil bergidik agak kedinginan, kugerakkan tangan kananku keatas kepala, mengatur rambut lurusku yang berkibaran acak dipermainkan sang bayu. Sebenarnya malas juga karena capek, tapi rasa ingin-tahuku rupanya mampu mengalahkan keengananku, toh kulangkahkan juga kakiku mengelilingi teras. Sisi timur teras menghadap ke deretan villa-villa lain, disebelah halaman samping. Villa yang persis berada di sebelah Villa Safir, berukuran lebih kecil. Hanya terdiri dari bangunan satu lantai yang luasnya sekitar 3/4 luas bangunan utama tempatku berdiri saat ini. Dibelakangnya tampaknya kebun milik orang lain, yang hampir sama seperti kebun Villa Safir, sebagian lahan ditanami pohon lengkeng dan rambutan, sebagian lain menjadi kebun apel. Apel manalagi berkulit hijau khas Kota B. Lantai atas ini terdiri dari 4 kamar tidur. Kamar utama berada disisi belakang menghadap kolam renang dan kebun belakang. Kuintip interior kamar seluas 7 x 6 meter itu dari sela-sela jendela dan pintu kaca yang tertutup gordyn putih transparan. Nampak satu set sofa L dengan kain putih gading, lalu satu set lemari kayu yang nampaknya dipesan khusus, dengan aneka pernak-pernik pada etalase-etalase displaynya, menyatu dengan panggung dari meranti merah halus, seluas 4 x 3 meter, setinggi setengah meter, tahta sebidang ranjang busa King Sized dengan bed-cover merah hati. Pada dinding di samping kiri ranjang tergantung sebingkai lukisan berukuran 1 x 2 meter, bergambar pegunungan batu dengan salju di puncaknya, hutan pinus warna-warni dengan bias-bias sinar berkilauan. Disisi kanan bawah, tertera segores paraf yang teramat kukenal, paraf Mama... Ya, beberapa lukisan di villa ini, termasuk lukisan penari Bali di ruang tamu, merupakan buah karya goresan jemari Mamaku. Juga pajangan boneka-boneka cantik dari bahan gips putih dilapis cat warna-warni, yang terdisplay rapi pada etalase di beberapa tempat disini, hampir semuanya adalah pahatan tangan Mama, hasil berguru dengan seorang seniwati dari Taiwan. Ah, selera Papa dan Mama memang always Te-O-Pe! Harus kuakui, darah seni yang mengalir ditubuhku ini tentunya kuwarisi dari mereka. Walaupun, seni yang kusuka dapat dibilang lain sama sekali dengan yang selama ini digeluti Papa, Mama dan Fonny, my lil sis. Mama lebih suka seni lukis dan pahat. Papa suka sastra, kaligrafi dan koleksi aneka benda seni, walaupun kebanyakan koleksinya bukan barang aslinya. Fonny suka musik, terutama klasik. Tak hanya suka, dia juga tergolong piawai menarikan jemari lentiknya diatas tuts piano atau menggesek biola kacanya. Tak ketinggalan, ballet yang digelutinya sejak umur 6 tahun. Sesekali, bila jadwal memungkinkan, Fonny bisa mendapat sedikit ceperan dengan ikut show atau job menari, dari group tari "F" tempatnya bernaung. Aku sendiri tak terlalu Art-Maniac. Pernah, saat berumur 10 tahun, aku meninggalkan begitu saja kursus gitar akustik, setelah 3 bulan ikut kursus. Alasanku, jari-jariku sakit semua, karena harus memetik dan menekan senar-senar gitar yang ~saat itu~ terasa begitu kencang dan keras! Toh, aku juga tak terlalu interest dengan gitar. Aku lebih suka menyanyi, meski seringnya asal-asalan. Mungkin, dunia seni yang paling kuminati adalah seni peran, teater. Dari SMU sampai kuliah, eks-kul dan UKM yang kupilih adalah teater. Serasa ada kepuasan tersendiri, setelah berhasil menyedot perhatian penonton melalui peran suatu tokoh dengan karakter yang sangat jauh berlainan dengan temperamen asliku. Berbagai karakter unik telah kucoba dan kubawakan dengan cukup baik, kebanyakan memang tokoh antagonis. Mulai sang penguasa tamak dan bengis (yang akhirnya menyadari kesalahannya dengan berlinangan air mata) dalam drama yang diangkat dari satu cerita rakyat, seorang pangeran play-boy yang genit dan sok jago, kemudian lakon raja tua yang kikir dan licik, sampai peran bencong menjadi iblis betina sang penggoda a la Elizabeth Hurley dalam "Bedazzled". Eitz, dengan wig panjang model shaggy, pulasan tebal lipstik merah hati dan ganjalan balon di-dada, penampilanku saat itu nggak kalah sexy loh dengan "The Beautiful Devil" versi aslinya. Malah, saat memulai aksiku dengan tarian perut di-iringi "Love Don't Cost a Thing"-nya J-Lo, penonton cowok langsung ber-"Suit-suit!", mengira aku cewek tulen! Tapi, jangan dikira dalam keseharianku, aku tampil ehem... 'lemah gemulai', TIDAK Sama Sekali! Gayaku memang cenderung calm dan simpatik, tapi penuh kharisma dan percaya diri. Terbukti, aku beberapa kali terpilih sebagai kakak panitia paling "Cool", pada event khusus semacam retreat dan camp mahasiswa. (Ceileeh, nyombong dikit, boleh 'kan?!) Writing? Hehe, Anda sungguh salah bila mengira aku suka menulis, membangun cerpen, apalagi... bikin puisi! Aku bukan tipe pujangga romantis seperti seorang sahabatku ~juga berdomisili di kota S~ yang telah beberapa kali mem-posting karyanya (dengan nuansa seni yang cukup kental) di MOTN ini. Aku cenderung realistis dan rasional. Kalo sekedar menampilkan tulisan (yang kelihatannya) ber-'bobot', menarik dan enak dibaca... okelah! Style-ku sendiri lebih banyak dipengaruhi gaya menulis artikel, baik berita, opini ataupun komposisi feature, khas terbitan majalah mahasiswa. Mengitari teras, aku kembali ke titik semula, pintu kaca kamarku. Kamarku ini berukuran 5 x 5 meter, termasuk kamar mandi dengan shower, satu set spring-bed Queen-Sized dengan sprey putih dan bed-cover biru laut, lemari pakaian dengan kaca vertikal 1 x 2 meter, permadani biru donker, dan sebentuk sofa asimetris biru langit yang kalem terletak di sudut ruangan. Mataku tertumbuk pada Panasonic 14 inch yang ter-set pada etalase ditengah lemari. Segera, tanganku meraih remote control yang tergeletak pada bed-side chest. Walaupun layanan TV kabel belum masuk disini, pilihan channel yang terdeteksi sudah cukup variatif. Begitu monitor menampilkan MTV, kulempar remote dan kacamata minusku keatas bed. Lengkingan tinggi Darren Hayes dalam Accoustic Version "Insatiable" menghantarku masuk ke kamar mandi. Kuputar kran pengatur air panas dan dingin sampai suhu air yang mengucur di tanganku sudah terasa pas. Kulepas kaos poloku dan kudorong celana pendek sekaligus underwear hijau dengan sekali gerakan. Begitu kain-kain itu terlempar keluar lokasi shower, segera kukeraskan semprotan shower. Nikmat sekali... guyuran air hangat yang mengalir lembut dari atas kepala keseluruh tubuhku. Kugosok dengan seksama bagian genitalku yang terasa lengket karena sperma. Sekitar 2 menit, kuputar kran keposisi menutup. It's enough for this time. Tujuanku memang hanya untuk membersihkan sperma disekitar penis, balls, selangkangan paha dan pantat. Tanpa sehelai benangpun ditubuhku, aku berjingkat kearah travel bag-ku diatas bed. Brrrh... Siang-siang begini, udara B masih saja dingin menusuk tulang. Gigiku bergemeretak. Sial, aku tadi lupa menutup pintu kaca sumber segala angin yang sedang beredar diruangan ini. Segera ketika kutemukan handuk putihku, kubungkus tubuhku dan kututup pintu itu. Didepan cermin, kukeringkan seluruh permukaan kulitku dengan gosokan halus kain handuk. Kutatap lekat-lekat bayangan tubuhku pada cermin. Well, not bad! Kulit yang putih bersih membalut tubuhku yang boleh dibilang cukup atletis. Karena banyak makan yang enak-enak dan jarang fitness ~akhir-akhir ini aku begitu sibuk~, terlihat sedikit timbunan lemak di bagian perut. Namun, secara keseluruhan tubuhku masih cukup menarik dan enak dilihat. Dada bidang dengan puting merah tua yang kini mengeras karena hembusan hawa sejuk. Juga sepasang kaki yang kokoh. "Black Black Heart" dari David Usher menghentak keseluruh kamar. Pinggulku bergoyang relax mengikuti ritme techno-pop tayangan MTV Non-Stop Hits itu. Penisku mengayun kekanan-kiri, lalu memutar seirama goyangan pinggul. Jemari tanganku memilin lembut kedua puting susuku yang sedang keras berereksi. Oh, Heaven... What I feel! Oops, jam berapa ya sekarang? Kulirik deteksi waktu pada monitor 8310-ku. 13.18. Pantesan, perutku mulai merengek minta diisi. Kulilitkan handuk putih melingkar pinggang ukuran jeans 29-ku. Mendekat ke permukaan cermin, kuperhatikan wajahku dengan seksama. Hmm, seraut wajah lembut yang manis. Type pretty boy, dengan hidung mancung dan senyum menawan pada bibir lembut yang mungil. Tetes-tetes air mengalir dari ujung-ujung rambut hitam lurusku yang masih basah. Beberapa helai menjuntai jatuh didepan mata dan kedua alisku. Alis Korea dengan rambut alis yang cukup lebat, teratur membentuk garis tebal menaik model... Golok Pembunuh Naga! Hehehe! Kuambil sisir dari kantung depan travel-bag, lalu segera kusisir seluruh rambutku yang mulai memanjang itu kearah belakang, mirip gaya mafia Italy. Pada kondisi kering, model rambutku akan terbentuk dengan sendirinya. Belahan rambut pada sisi atas agak ke kanan dengan high-light kemerahan yang hanya terlihat saat tertimpa sinar matahari. Karena rambutku tergolong tipis dan begitu halus, (kata Sisca, my gf, mirip rambut baby, hihi!) helai-helai panjang diatas dahiku, sering jatuh menjuntai kebawah. Lalu, biasanya segera kugerai kembali helai-helai itu kesisi atas dan samping... gak suka pandanganku terhalang. Aku sih gak pernah kepikiran menyentuh ~dengan sengaja~ rambutku ini, lain ceritanya kalo yang menyentuhnya adalah Sisca. Pacarku ~yang lebih tua 5 bulan dariku~ ini suka banget membelai manja mahkota kepalaku ini. "Lembut, wangi and... ng'gemesin!" katanya seraya mencubit hidung mancungku, ketika kutanya kenapa suka banget mbelai rambutku, padahal aku terbilang jarang menyentuh rambut J-Style-nya. Aku sich suka aja dibelai-belai, serasa diawang-awang! Saat kami sedang duduk-duduk diatas sofa, karpet ataupun diatas keramik dingin yang keras; biasanya aku mengambil posisi tidur disampingnya, atau bertopang pada telapak tangan dengan siku sebagai tumpuan, atau kadang-kadang memakai pahanya sebagai bantal. Lalu, tanpa disuruh, Sisca segera membelai-belai rambutku, meraba dadaku yang bidang, lalu mengecup mesra bibir pink-ku dengan lembut... Oh, so beautiful... Kusambar celana pendek hitam dan CD hijau yang kukenakan sebelum showering, lalu kuraih selembar oblong putih tanpa lengan dari dalam bag. Kuamati sesaat penisku sebelum membungkusnya dengan CD hijau. Cukup sexy, walau tidak besar. Un-cut, dengan urat-urat kebiruan dan bulu kemaluan yang halus dan jarang-jarang. Ku-urut lembut batang penisku lalu kugelitik kedua bola dibawahnya. Penisku bereaksi, sedikit membesar dan memanjang. Dengan perlahan, ku-cover seluruh kejantananku itu dengan kain hijau CD-ku. CD itu terasa sedikit basah oleh pre-cum yang kukeluarkan beberapa saat lalu didapur. Kukenakan celana pendek hitam, lalu tanganku memasang masuk oblong putih melalui kepala. Sejenak, kuperhatikan penampilanku melalui bayangan dikaca. Cool! Sleaveless putih ini begitu serasi kukenakan, cocok banget dengan warna kulitku yang terang. Kugerakkan pundakku turun naik. Uhm, bahu lebar dan lengan atletisku terdisplay dengan sempurna. Kuatur rambutku yang setengah basah dengan jari-jari tanganku. Ketiakku yang bersih dengan sedikit rambut halus nampak begitu sexy. Sentuhan terakhir, kusemprotkan CK Sporty kearah pangkal ketiakku, juga pada leher sebelah bawah dagu. AllRite! Am Ready for The Next Action! Ruang makan berada disisi kanan tangga melingkar, dengan tujuh kursi kayu mengelilingi meja kaca berbentuk lingkaran. Kutarik kursi yang didepannya sudah tersiapkan piring, mangkuk, sendok-garpu dan gelas piala berisi air putih. Begitu kain yang melapisi pantatku menyentuh permukaan halus kayu tanpa bantalan itu, kuangkat tudung saji berwarna merah dihadapanku. Didalamnya berisi satu piring saji dengan lima ekor ikan goreng dan sup ayam berkuah jernih pada sebentuk panci stainless steel. Juga, nasi putih yang dilapisi beberapa lembar daun pisang, dalam wadah bakul berdiameter 12 cm yang terbuat dari anyaman bambu lengkap dengan sutil kayu. Kupindahkan tiga sendok penuh sutil nasi keatas piringku, kucomot seekor ikan goreng, lalu kutuang mangkukku dengan sup. Lumayan juga masakan Bik Warni. Kalo soal makanan, aku memang tidak terlalu cerewet. Makanan apapun asal bisa dan layak dimakan, pasti kulahap. Bagiku, hanya ada dua jenis masakan, enak dan enak banget. Dan itu tidak tergantung harga atau tempat membelinya. Beberapa tempat favorit langgananku justru bukan restoran atau hotel mewah, aku lebih suka makan di depot atau warung murah meriah. Yang penting higienis dan... the feeling of satisfaction & happiness eating those meal! "Nggak enak ya, masakan Bibik?" Bik Warni muncul sambil membawa cobek dari tanah liat berisi beberapa potong tempe goreng dan sambel tomat. "Wah, enak banget, Bik! Ini ikan apa sih Bik?" tanyaku sambil mencomot seekor lagi ikan goreng. Ukuran ikan ini tak terlalu besar, panjangnya sekitar 15 cm, lebar perutnya sekitar 5 cm. Kulitnya renyah namun lembut dimulut. Bik Warni pinter juga belanja, kelihatannya semua ikan yang disajikan ini menyimpan telur pada sisi samping perutnya. Telur ikan ini rasanya luar biasa! Asinnya pas. Gurih diluar, lembut didalam... "Ikan belanak, murah loh ikannya. Bibik beli dipasar tadi pagi, lima ekor itu cuman seribu lima ratus rupiah. Silahkan tempe penyet-nya, Nak Ferry..." "Makasih, Bik!" sahutku, langsung menusuk sepotong tempe dengan garpu. "Bibik tinggal dulu. Nanti kalo sudah selesai, ditinggal saja. Biar Bibik yang mbereskan." pamit Bik Warni, meninggalkan diriku dan mulutku yang masih sibuk mengunyah. Setelah menghabiskan tiga ekor belanak goreng (plus telur-telurnya!), semangkuk sup ayam dan dua potong tempe penyet, dengan perut penuh kudorong tubuhku berdiri dan berjalan kearah wastafel didepan kamar mandi, diseberang meja makan. Uh, kenyang banget... Aku kembali ke ruang tengah, ruangan seluas 7 x 8 meter, tempat display koleksi Papa. Kuamati sebingkai lukisan repro bergambar sepasang kekasih yang sedang berlarian bertelanjang kaki dengan background pepohonan hijau yang lebat. Rambut dan kain-kain yang dikenakan mereka berkibaran. Si cewek yang berambut pirang dengan gaun panjang putih gading berada pada posisi didepan si cowok yang berambut coklat kehitaman dengan jubah merah keunguan. Iyalah, zaman dulu mana ada cewek ngejar cowok? Lain dengan era emansipasi ~atau lebih tepatnya zaman 'edan' ini~, cewek yang ngejar cowok dan lebih dahulu menyatakan cinta, udah nggak dianggap tabu lagi. Suatu hal lumrah, wajar dan biasa! Dan cowok zaman sekarang oke-oke aja koq dikejar-kejar. Malah kesannya laris-manis, Most-Wanted! Contohnya kayak gue sendiri nih... Hehehe... Dihadapan sebentuk patung Dewa Yunani, aku tertegun mengamati detail ukirannya. Wajahnya yang garang terpahat begitu sempurna, proporsional dengan tubuh besarnya. Juga, goresan-goresan halus yang membentuk rambut dan janggut panjang bergelombangnya. Sorot matanya yang tajam dan dagu keras yang mendongak keatas itu seakan meneriakkan "Akulah Zeus! Sang Penguasa Jagad Raya!" Disebelahnya berdiri Dewa lain yang terlihat begitu muda. Tampan berkharisma. Atletis. Wajahnya tersenyum bangga, sedikit angkuh. Apollo, wish got the handsomeness you've got! Diseberangnya, adalah seorang Dewi. Bentuk tubuhnya begitu indah dengan bola mata berbinar, seakan mampu memancarkan cahaya yang menyeruak keluar, memecah lapisan batu dan semen yang membungkusnya... Kedua tangannya terbuka lebar kedepan, seperti hendak merangkulku, menjerat setiap lelaki yang menatap dengan pesona mautnya. Hmm, Aphrodite, si Dewi Cinta! Disisi kanan Sang Dewi... Gosh! What a perfect body & face! Pahatan sempurna sesosok pria gagah. Kabel-kabel urat seakan merambati permukaan tubuhnya yang memamerkan semua jenis otot yang seharusnya dimiliki setiap pria sejati. Kali ini, aku benar-benar tak tahan untuk menyentuh sosok tak bernyawa didepanku ini. Telapak tanganku menggerayangi dadanya yang menonjol itu. Merasakan segenap kekuatan dan keperkasaan didalamnya. Oh, Hercules! Please be alive... Be with me! I'll do anything for you! I'll be your slave, Hercules! Just if you let me stay with you forever... Tanganku menyisir setiap milimeter batu itu. Wajah dengan lekukan tampan, bahu kekar, lengan dengan bisep sempurna, perut dengan eight-pack, lalu turun... Sampai pada tonjolan kejantanannya. Meskipun hanya patung, tampaknya sang seniman pemahat benar-benar ingin menampilkan sosok utuh Sang Dewa setengah manusia paling perkasa di bumi ini. Sisi itu terlihat seperti terbalut kain, tapi saat jemariku menyentuhnya... Gila, dapat kurasakan cetakan batang dan kepala berbentuk jamur besar itu! Kutekan keras bagian itu dengan telapak tanganku. Ingin meremasnya. Bola mataku kembali bergerak keatas, menatap wajah tampan yang diam membisu. Pantulan sinar matahari dari jendela dibalik punggungku memberikan efek sorotan garis-garis terang pada tampang rupawan itu. Pencahayaan alami yang menambah kesempurnaan raut nan elok Sang Dewa. Darahku berdesir halus. Pandanganku bertautan dengan pandangannya. Keras, tegas dan jantan. Namun hampa, kosong, mati. Oh, betapa kuingin menatapnya berlama-lama. Sejurus pikiranku teringat pada kameraku yang belum kuturunkan dari mobil. Segera setelah kuambil kunci mobil dari kamar, aku bergegas kearah garasi. Menekan tombol remote dan membuka pintu tengah Land Cruiser. Yup, tas pinggang hitam dari bahan kulit sintetis itu masih ada disana. Kubuka resleting penutupnya, didalamnya tertata rapi 2 roll ASA-200 dan 1 roll ASA-400 isi 36, juga Nikon One-Touch Zoom 90-QD, yang baru kubeli sebulan yang lalu seharga 1,4 juta. Ya, cukup mahal untuk sebuah SLR otomatis. Kembali ke ruang 'pameran', kupasang ujung ASA-400 pada Spool, lalu kuaktifkan flash-light. Entah berapa puluh menit kupuaskan jemariku memutar dan menekan tombol 90-QD itu, menjepret setiap sisi menarik yang kuintip dari balik lensa. Tak hanya Dewa-Dewi itu, interior unik ruang tengah dan ruang tamu juga tak luput dari bidikanku. Memang kalo sudah mengenggam 'senapan'ku ini, aku serasa lupa waktu, lupa diri, larut dalam setiap image yang muncul pada lensa kamera. Kakiku mulai bergerak mengitari setiap sudut yang menyuguhkan objek menarik untuk ditembak. Boneka-boneka buatan Mama yang berjejer pada sisi tengah etalase lemari kaca. Wah, baru kuperhatikan ternyata setiap boneka nampaknya memiliki karakter tersendiri. Ada yang tersenyum malu-malu, ada yang melamun, merengut, dan ada pula yang tertawa bahagia. Ternyata film-ku tak kehabisan objek, sasaran berikutnya guci-guci dengan buket bunga-bunga kering, lalu meja kecil setengah lingkaran dengan vas bunga dari keramik warna cream susu dengan ukiran bunga-bunga kecil pada leher vas yang dari samping bentuknya nampak seperti lekukan huruf S, lalu... AAAH! Benar-benar kaget, dari lensa Nikon itu, mataku menangkap sesosok manusia yang berdiri tepat disamping meja kecil itu! "Ah, Gede... Kamu ngagetin aku aja!" pekikku dengan nada yang meninggi sesaat sebelum kembali ke intonasi normal. Lega bercampur senang, karena yang muncul itu manusia (Not 'something' my mind can't tolerate) yang sudah kukenal, dan manusia yang telah kutunggu-tunggu dari tadi! "Maaf, Tuan Muda. Wah, Tuan hobby fotografi, ya?" sahutnya. Masih bertelanjang dada dan dengan celana ketat cream yang sama, dia berdiri santai dengan kedua lengan terlipat didepan dada, bersandar pada ujung meja dengan lutut kanan agak menekuk kedepan. "Ya, amatir-an-lah! Hasil jepretanku gak selalu bagus koq. Banyak juga yang gagal!" jawabku asal sambil melempar senyum. "Eh, kata Bik Warni, kamu mau mandi ke telaga, ya? Ikut, donk!" tembakku langsung begitu teringat tawaran Bik Warni. "Iya, ini juga mau ngajak Tuan Muda. Sebaiknya kita berangkat sekarang, Tuan. Biasanya menjelang sore begini, banyak ceweknya loh! Beberapa ada yang lumayan manis! Nanti saya kenalkan, kalo Tuan tertarik..." "Busyet, udah jam 3 lebih." sahutku sambil melirik Casio merahku, "Iya, deh! Tunggu sebentar ya? Aku ambil perlengkapan dulu!" "Kalo aku boleh usul sih, mandinya ntar disini aja setelah kembali. Disana aku biasanya sih cuman kum-kum (berendam), berenang sama main air terjun!" cegat Gede begitu aku melangkahkan kaki menuju tangga. "Ngg... Boleh juga, deh! Okelah, kita langsung aja! Aku udah gak sabaran nih pengin liat air terjunnya!" Well, maksudku sih pengin liat kamu se-'utuh'-nya, dear! Cukup jauh juga perjalanan ke lokasi telaga. Si Gede nampaknya sudah hafal betul area sekitar sini, termasuk jalan-jalan setapak di hutan yang sekarang kita lalui. Kalo nyasar, lumayan juga loh. Pada sisi kanan-kiri jalan setapak yang turun-naik, dengan banyak tanjakan dan lereng ~yang beberapa dapat dibilang curam~ itu, adalah pepohonan yang cukup lebat. Untunglah, hanya beberapa percabangan yang kami temui. Mungkin kalo diberi tanda, misalnya "Kiri ke A", "Kanan ke B", akan lebih baik. Aku hanya memakai sandal gunung, tak membawa apapun, selain tas pinggang berisi perlengkapan fotografiku. Gede ~seperti biasa~ bertelanjang dada dan kaki, hanya selembar kain penutup bagian 'vital' yang… justeru paling ingin kulihat itu! Aku berjalan dibelakangnya, menatap rambut ikalnya, punggung kekarnya, pinggang rampingnya, pantat sexy-nya dan sisi belakang kakinya yang perkasa. Sekali-kali kita jalan bersebelahan, bila lebar jalan setapak yang kita lalui itu memang memungkinkan. Dan tiap kali menapaki jalan menanjak, aku dengan sengaja mengulurkan tanganku. Gede pun langsung menjabat tanganku itu dengan lengan kekarnya, menarik tubuhku keatas sambil kakinya yang kokoh mendaki mantap tanjakan itu dengan pijakan kuatnya. Sampai pada satu tanjakan yang lumayan curam, sebersit ide nakal terlintas dalam benakku… Gede seperti biasa mengambil posisi sekitar setengah meter didepanku, dan begitu menapaki jalan menanjak bersudut kemiringan tinggi, dengan segera dia mengulurkan tangannya, siap menarikku. Tangan kananku menggapai tangan kirinya. Tapi, dengan sengaja, kubawa berat badanku kebawah, tak peduli apakah 'katrol'-ku ini kuat menarik bobot 65 kg yang dengan sengaja mendekat ke pusat gravitasi bumi ini... "De, yang ini tinggi banget! Pegangin aku kuat-kuat ya?" akting-ku, pura-pura kuwatir dan takut, sambil mulai membebani tangannya dengan seluruh tubuhku yang kubiarkan pasrah mengarah kebawah, hanya bertumpu pada sepasang sandalku yang menyentuh tanah dengan malas, tanpa niat dan usaha sedikitpun untuk membantunya (dan diriku sendiri, tentunya) mendaki tanjakan itu. "Tenang, Tuan Muda!" sahutnya sambil tetap berusaha tersenyum dan membawa berat badannya kedepan, mengeluarkan usaha extra. Perlahan namun pasti, kami mendaki tanjakan itu. Badan Gede memerah, seluruh otot-ototnya menegang, telapaknya semakin erat dan keras menggenggam telapak mungilku yang lemah. Aku sih enak-enakan aja menikmati pertunjukan menggairahkan didepanku. Gila, punggungnya terlihat sangat liat dan kekar. Definisi ruas-ruas punggung dengan otot-otot tebal mencuat keseluruh permukaan merah mengkilap itu. Merasakan kekuatan dan energi pemuda jantan yang menarik tubuh pasrah tak berdayaku ini... Oh, rasanya aku mau pingsan aja! Begitu telapak kaki Gede memijak permukaan datar diatas, segera kulancarkan aksi nekad-ku (yang mungkin justru beresiko membahayakan diriku sendiri). Kutarik badanku ke bawah, lengan si Gede tampaknya ikut tertarik, lalu kurenggangkan genggaman telapak tanganku. "Aaaah!" akting-ku lagi, pura-pura gelagapan. Merasakan genggamanku mulai kendor, refleks si Gede langsung sigap. Dia mengeraskan genggamannya, lalu dengan cepat, memakai otot-otot tangan, bahu dan tubuhnya, dia menarik tubuhku kearah tubuhnya dengan menekuk siku tangannya keatas. Otomatis, kabel-kabel besar pada bahu dan dadanya langsung menegang, otot bisepnya langsung berkontraksi, membesar seukuran bola base-ball! "Aarggh!" geramnya, menahan beban tubuhku yang kini bagaikan dalam slow-motion, terayun terbang kearah tubuh perkasa itu… Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung membuka tanganku lebar-lebar dan langsung memeluk tubuh bagian atasnya, landasan tujuanku. Gede sukses mendarat diatas permukaan tanah dengan punggungnya. Se-sukses pendaratanku diatas body machonya! Tangan kiriku melingkari bahunya yang lebar. Dadaku menindih dadanya yang keras berotot. Uh, ingin rasanya kutanggalkan oblong putihku detik ini juga! Beradu dada dengan monster tampan yang berada tepat dibawahku ini. Merasakan licinnya dada kami yang basah oleh keringat saling melekat dan menggesek. Menyelami sensasi liarnya detak-dentum jantung kami yang berpacu saling berkejaran. Hanya terpisahkan jarak beberapa milimeter, oleh lapisan kulit dan otot-otot dada kami... Beberapa detik kami terdiam. Waktu terasa berhenti. Tak berdetik. Wajahku menatap wajahnya. Mata dengan mata. Nafas kami saling memburu. Terengah-engah. Dadanya turun-naik seirama hembusan hangat diwajahku, udara dari lubang hidung dan mulut kami yang setengah terbuka. Belum mampu berkata-kata. Kutatap wajah itu. Uh, benar-benar tampan! Lembut tapi sangat macho dan terkesan 'menjaga'. Matanya yang dalam dengan bola mata coklat bening. Bibir lembutnya yang nampak basah... Oh, how can I stand not to kiss that delicious lips! Tak kuhiraukan penisku yang mulai mengeras, menekan perutnya yang padat dengan tonjolan kotak-kotak. Kulekatkan tangan kiriku pada bahu gempalnya, merasakan setiap milimeter kekekaran itu. Telapak tangan kananku masih bersatu dengan telapak tangan kirinya. Sementara tangannya yang lain merangkul punggungku. God, Oh How I want to freeze like this forever! Rebah dalam pelukannya. Pasrah dalam dekapan eratnya... Paha kiriku yang terkulai didepan selangkangannya tiba-tiba mendapat semacam sodokan halus yang makin lama makin keras. Segera kugerakkan kakiku itu turun-naik dengan halus, berusaha merangsang 'tonjolan' yang tiba-tiba mencuat itu, agar lebih keras dan kuat menekan pahaku... Leherku pun serasa bertambah berat menopang wajahku yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Memberat bukan karena gravitasi, atau karena lelah. Menjadi berat, karena... Ah, betapa kuingin mengecup bibirnya itu, mempertautkan kedua bibir kami, membenamkan seluruh diriku dalam ketampanan dan keperkasaannya... "Ah! Eh, maafkan saya... Ehm, Tuan Muda tidak apa-apa?" Akhirnya suara bariton-nya memecahkan segala yang telah kulamunkan, yang semestinya kuinginkan untuk terjadi selanjutnya. Dia melepas genggaman tangan kami sambil sedikit menarik badannya, berusaha sedikit bangkit, menunggu reaksiku untuk menggerakkan tubuhku yang menindihnya. "Oh, sorry!" sahutku sekenanya. Kecewa. Entah kenapa, aku belum punya cukup keberanian... Cukup bernyali untuk langsung menerkamnya! Melumat bibirnya! Meraba dan menggerayangi seluruh otot-otot machonya! Menggapai penis besarnya yang perkasa, menjilatinya, lalu meremasnya dan mengocoknya dengan liar! Menyedotnya kuat-kuat dan menelan seluruh tembakan spermanya dengan penuh nafsu! Sampai letupan dan tetes terakhir cairan kejantanannya itu! Kutatap wajahnya yang kini tersenyum geli. "Capek, ya? Tenang, Tuan Muda. Telaganya udah deket, koq. Tuh beberapa meter lagi didepan..." Gede mengangkat tubuh bagian atasnya dengan tubuhku yang masih bergelayut diatasnya. Sekarang kami dalam posisi duduk berhadapan. Pahanya memangku pahaku. Kedua tanganku melingkari bahunya yang kekar. Mataku menatap lekat-lekat wajah tampannya. Seakan ingin selamanya menyatu seperti ini, tak akan rela melepaskan dirinya... Penisku masih keras menyodok tonjolan eight-pack-nya. Bola matanya bergerak turun, melirik bagian perutnya yang tengah tersodok batang keperkasaanku. "Tuan Muda ini jatuh, koq anu-nya malah seneng gitu sih?" ujarnya perlahan dengan nada bergurau. Bego! Anu-ku tuh 'seneng' bukan karena jatuh! Tapi karena KAMU! Iya, karena bisa berada sedekat ini dengan KAMU! Bisa memeluk KAMU! Ingin rasanya aku berteriak memakinya, merespon pertanyaan konyolnya yang nggak lucu! "Ah, gak pa-pa!" elakku, tak menjawab pertanyaan terakhirnya itu. "Kamu sendiri? Keliatannya anu kamu juga seneng ya, pas kita terjatuh ini?" lontarku langsung begitu menyadari ada tonjokan keras yang menekan pantatku dari arah bawah. "Engg, maaf, Tuan... Saya cuman..." Wajahnya memerah, bola matanya berputar bingung, mencoba mencari alasan, "Eh, sebaiknya kita buruan. Takutnya nanti pas pulang udah gelap. Yuk!" Dia menggerakkan kedua kakinya, menjejak tanah. Lalu tangannya memegang pinggangku dan menarikku berdiri bersamaan dengannya. Cuman apa sih? Koq nggak dilanjutin? Cuman seneng ngeliat aku? Seneng begitu dekat denganku? Seneng memangku aku? Cuman... "Nggak tahu kenapa, anu saya sering banget ngaceng. Sampe saya males pake celana dalam. Habis, celana dalam yang saya pakek, selalu cepat molor dan berlubang, kena tekan anu saya ini..." kata Si Gede terbata-bata saat kita berjalan bersebalahan, sambil menunduk malu, hanya menatap tanah kering diatas bumi yang kita lalui. Tak berani menatap kedepan, apalagi kearahku. Hohoho, koq mirip ya denganku? Bedanya aku melepaskan underwear dan semua helai baju lainnya, setiap malam saat terlentang diatas ranjang. Abis, hampir sepanjang malam, penisku selalu berereksi keras. Celana dalam molor dan berlubang sih... not big deal! Bisa beli lagi. Tapi 'penjara kain' yang menghambat kebebasan berekspresi batang keperkasaanku itu tak bisa dibiarkan terus-menerus menahan dan mengekang! Aku sih gak begitu suka jerk-off, memaksa keluar spermaku. Ya, kecuali saat-saat tertentu, pas aku bener-bener horny dan pengin mengeluarkannya. So... Let my bird just fly high and tough! Kulirik Gede yang tengah mengatur posisi penisnya yang masih semi-ereksi. Kepala dan sebagian batangnya keluar dari sisi atas celana. Gosh! Gede banget! Helmnya mengkilap dengan lelehan bening pre-cum kental menggenang diujungnya... "Itu sih, isinya perlu dikeluarkan, De! Mau aku bantu, nih?" godaku sambil menjalarkan tanganku kearah batang vitalnya. "Ah, jangan, Tuan!" protesnya sambil menampik halus tanganku. "Tuh, kita udah mau sampe!" Telunjuknya mengarah kedepan. Udara diatas sini bertambah sejuk. Entah karena tekanan udara, atau karena anginnya yang kurasa juga semakin kuat berhembus. Terdengar gemuruh air terjun dan aliran sungai, juga suara tawa dengan nada tinggi khas wanita. Semakin mendekat, suara-suara itu semakin jelas terdengar. Kedengarannya ada beberapa gadis yang tengah bersenda-gurau ditepi sungai. Entah kenapa, aku gak suka mendengar ~apalagi menyaksikan~ cewek-cewek yang duduk bergerombol lalu cekikik-cekikikan sendiri. Kayak nggak ada kerjaan lain yang bisa dilakukan, kerjaan bermanfaat yang bisa menghasilkan sesuatu-lah! Malah bikin risih telinga yang mendengar aja! WOW! Pemandangan yang terpampang didepan mataku sekarang sungguh luar biasa! Spektakuler! Memang tak bisa disamakan dengan Niagara. Tapi tetap aja, keajaiban alam seperti ini selalu mempesonaku, membuatku semakin kagum dengan penciptanya. Air terjun yang mengalir dari ketinggian sekitar 5 meter itu cukup deras dan begitu jernih. Alirannya tak langsung jatuh menyiram telaga, terlebih dahulu menghantam beberapa tonjolan batu-batu besar, lalu memantul ke batu dengan bentuk melebar dibawahnya, baru mengucur lembut kearah permukaan telaga, seperti lembaran lebar kain sutra putih transparan yang membungkus batu-batu alam itu dengan sempurna... Tampak beberapa orang pemuda sedang bersandar pada bebatuan dibawah air terjun, berlindung dari kucuran deras didepannya. Pada tepi yang lain, beberapa gadis duduk-duduk diatas bebatuan. Beberapa memangku keranjang, entah berisi apa. Gede melambaikan tangan kearah mereka, juga kepada dua orang pemuda yang sedang asyik berendam disudut lainnya. Sedangkan aku, mulai sibuk menjepret setiap titik menarik yang kutangkap, setelah me-loading spool 90-QD dengan roll ASA-200. "Tuan, kita kesisi sana saja. Lebih sepi dan airnya lebih tenang." ajak Gede, menunjuk telaga pada sisi belakang air terjun. Aku berjalan mengikutinya. Pemandangan pada sisi manapun telaga air terjun ini memang sungguh indah. Alam yang masih perawan, belum tersentuh rekayasa tangan-tangan manusia, perusak alam nomer satu. Empat orang gadis tengah asyik bersenda-gurau ditepi telaga. Delapan kaki mereka terendam kedalam air, sekitar separuh betis-betis ramping itu. Mengetahui kedatangan kami, spontan mereka berhenti bersuara dan menoleh kearah kami. Beberapa detik setelahnya, salah seorang menyenggol teman disebelahnya dengan sikutnya, lalu berkicau perlahan, berbisik sambil kedua bola matanya terus-menerus mengikuti langkah tubuhku. "Mau renang, De?", sapa seorang gadis yang berambut paling panjang diantara mereka. Pada posisi terikat model ekor kuda, panjangnya hampir menyentuh pantatnya. "Yo'i!" sahut Gede, "Udah lama?" "Lumayanlah, setengah jam lebih." timpal si gadis yang paling dahsyat mengincarku sedari tadi, yang pertama kali membisikkan entah apa, pada teman disampingnya beberapa detik yang lalu. "Eh, sapa itu, De? Ganteng banget, mirip bintang pilem Hongkong? Kenalin, donk!" Gila! Berani juga mereka! Main tembak langsung gitu? Aku nggak tahu gimana rupa dan warna mukaku saat itu. Yang jelas, aku langsung memalingkan wajah kearah telaga dan mulai menjepret lagi. "Oh, ini majikanku, Tuan Ferry..." Hei, ngapain lagi Si Bego ini mempromosikan diriku, langsung tancap gas nyebutin namaku lagi! Semprul! "Tuan, kenalin ini teman-temanku... Indah, Dina, Yuni dan Vivian!" celoteh Gede dengan nada bangga, sambil menunjuk satu persatu keempat temannya itu. "Hai!", sapaku singkat, dengan nada datar dan pendek. Bukannya sombong, tapi emang pas lagi ngga' mood kenalan and dikenal-kenalin. Lagian, aku juga gak ada rasa tertarik sedikitpun kepada mereka, kecuali... "Vivian? Ehm, nama kamu keren banget? Dapet darimana?" tanyaku sambil bergerak mendekati mereka dan Gede yang sudah duduk disamping Indah ~si pemilik rambut panjang sepantat~, ikut-ikut merendam sebagian kakinya. "Eeh, kata Bapak sih dari nama bintang pilem Gone with the Wind..." sahutnya polos. Matanya terbuka-terpejam menatapku, bibirnya menyunggingkan seulas senyum malu-malu-mau. "Loh, kalian ini sudah berteman lama?" Langsung aja kukeluarkan pertanyaan yang muncul dibenakku. "Ya, dari kecil ya, De? Kami ini selalu sekelas sampe SMP!" Kali ini yang menyahut adalah si Dina, yang kulitnya paling item, tapi tampangnya paling manis. Hitam-manis... Hitam-manis! "Tuan mbawak apaan itu? Kodak ya? Foto kami, donk!" Duh! Si 'ganjen' ~yang tadi bilang aku kayak bintang film Hongkong~, bagaikan menghibahiku dengan sambaran petir bervoltase tinggi, setinggi lengkingan suara 'cempreng'-nya. Cewek berambut cepak, bernama Wahyuni itu, tanpa ba-bi-bu, langsung menodongku! Bener-bener cewek nekat! "Mau difoto? Okelah! Lihat kearah sini, ya?" responku cepat, secepat satu lagi ide gila yang melintas diotakku... Catatan Penulis: Sorry banget to all my dear friends, yang udah menunggu lama untuk membaca kelanjutan Breezy Autumn Series (BAS). Well, dengan tulus saya memohon maaf kepada teman-teman yang udah capek dan kesal menanti BAS: "Gede!" Part 3 ini. Saya benar-benar sibuk akhir-akhir ini. No time (and good mood) to write. Inipun tak akan kelar kalo tidak mengorbankan waktu istirahat saya. Dan tak akan berlanjut tanpa support dari teman-teman... Semoga hasilnya tidak terlalu mengecewakan! Dan bisa dinikmati! (Emang cake?) Saya sadar, sebagai penulis, secara tak langsung, saya mempunyai semacam 'kewajiban' untuk bertanggungjawab melanjutkan apa yang sudah saya mulai... Asal jangan sampai 'kewajiban' itu berubah menjadi 'beban'. Karena bila kegiatan yang seharusnya mengasyikkan ini, sudah 'membebani' saya, maka artinya saya sudah tidak bisa menikmati dan merasakan kepuasan tersendiri dalam menuangkan fantasy saya ini... Oleh karena itu, teman-teman, saya tetap mengharapkan support dan input dari teman-teman. Dalam segala bentuk: saran, kritik, ide cerita, sharing pengalaman, curhat, sampe ajakan kencan (Loh!). Nah, untuk yang terakhir itu, syaratnya harus lebih dahulu kenalan donk dengan saya. We better take the ordinary normal route! 'Berkenalan' dalam arti sebenarnya, bukan sekedar iseng apalagi ngerjain! Silahkan email saya ke: breezyautumn@email.com Saat ini, saya tengah meng-godhog tokoh BAS berikutnya. Nantikan saja pemunculannya... Salam hangat, Breezy Autumn.

###

3 Gay Erotic Stories from Breezy Autumn

Breezy Autumn Series:

"Dari Balai Desa, jalan terus sekitar 100 meter, pada pertigaan belok kanan, lalu naik terus, ikuti jalur beraspal, kira-kira 300 meter. Villa Safir ada di sebelah kiri jalan, pagar besi tinggi berwarna coklat keemasan. Disana ada Bik Warni dan putranya, yang akan mengurus segala keperluanmu. Hati-hati, ya! Jangan keluar malam! Bahaya, penerangan disana masih sangat minim!"

Breezy Autumn Series: Gede! Part 3

Kamarku persis berada diatas ruang tamu, menempati posisi paling depan. Seluruh kamar dilantai atas ini terhubung dengan teras yang mengelilingi seluruh sisi bangunan. Melewati pintu kaca yang memisahkan kamar dengan teras, kuayunkan langkah gontai menuju pagar pembatas teras, yang terbuat dari besi berukir dengan model dan warna yang sama seperti pagar depan. View dari atas sini

Breezy Autumn Series: Gede, Part 2

Breezy Autumn Series: "Gede!" Episode 2 "BUUU..." Masih didalam kamar, aku mendengar suara keras seorang laki-laki dari luar pagar. Penasaran, aku berjalan kearah beranda. Dibawah, Bik Warni berlari kecil menuju pagar dan membukanya. Lalu... ASTAGA! Monster Tampan itu! Dia mendorong gerobak masuk ke halaman rumah, lalu menurunkan 2 kaleng besar dan mengangkatnya menuju kearah dapur,

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story