Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Hukuman Setimpal

by ITB Guy


Jam 10 malam. Christian seharusnya pulang sebentar lagi. Aku berdiri agak jauh dari rumahnya di daerah Tubagus Ismail, Bandung, di kegelapan malam. Jalanan sudah sepi. Semoga saja tidak ada yang curiga melihatku berdiri sendirian di dalam gelap, mengintai sebuah rumah. Kalau ada yang melihat, mereka pasti akan menyangka aku hendak merampok. Bukannya mereka tidak punya alasan untuk curiga. Aku memang punya niat jahat; kalau menghukum orang atas perbuatan biadabnya bisa dikatakan kejahatan. Tapi aku sama sekali tidak berniat merampok. Aku mengatur napas untuk meredakan degup jantungku yang begitu kencang. Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya; mengabaikan hukum dan berniat main hakim sendiri. Aku berlatih aikido sejak umurku delapan tahun dan selalu belajar untuk menenangkan diri, berpikir jernih, dan bertindak rasional. Tapi untuk yang satu ini, segala ajaran itu lenyap dari kepalaku. Yang ada di benakku adalah Mira, cewek paling periang dan paling gaul yang pernah aku kenal; teman dekatku yang sangat kusayangi. Sejak masuk ITB dua tahun yang lalu, kami telah menjalin persahabatan yang hanya dimiliki sedikit orang di dunia ini. Hanya kepada dialah aku berani membuka diri dan mengakui bahwa aku gay. Dan dia sama sekali tidak menganggap itu suatu hal yang aneh dan terus menganggapku sahabatnya. “Irvan, loe tuh sahabat gue. Mau loe bilang nyokap loe kambing juga, tetep aja gue bakal jadi sohib loe,” katanya. Christian, si bangsat itu, telah merengut keceriaan sahabatku. Dia memperkosanya. Itu terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Mira hanya berani menceritakannya kepadaku. Dia tidak berani pergi ke polisi, sekuat apapun aku membujuknya. Teman-teman kami yang lain hanya bisa bingung merlihat perubahan drastis pada Mira. Ia menjadi pemurung, pendiam, dan jarang lagi terlihat di kampus. Mereka tidak tahu bahwa Christian telah menghancurkannya. Christian, anak Jurusan Mesin ITB, memang cukup populer. Dia keturunan Cina, dengan tinggi 170 cm dan berat ideal 67 kg. Badannya bagus dan berotot. Wajahnya tampan dengan hidung mancung dan senyum menawan. Kami mengenal satu sama lain, meskipun tidak pernah menjadi teman dekat. Terus terang, aku pernah naksir dia. Tapi aku yakin dia bukan gay. Aku sendiri pun sebenarnya masuk kategori cowok yang banyak ditaksir. Dengan tinggi 173 cm dan berat 68 kg, badan yang berotot (berkat latihan aikido dan hobi berenangku), dan wajah melayu yang tampan, banyak cewek yang menjadikanku kecengannya. Dengan postur dan gayaku yang “cowok banget”, tidak ada yang menyangka aku gay. Apalagi aku anak ITB yang sering dianggap kampus macho. Mereka tidak tahu bahwa di “Kampus Macho” ini ada seorang pengecut seperti Christian yang seenaknya merusak hidup orang. Tekadku sudah bulat; jika hukum tidak bisa menyentuh Chris, biar aku yang menjadi hukum. Dia akan merasakan penderitaan yang sama dengan yang telah dia berikan kepada Mira. Mobil si brengsek itu dating. Christian hanya tinggal sendirian bersama seorang pembantu di rumahnya. Orang tuanya kerja di Jakarta. Jam segini, pembantunya sudah tidur dan karena garasi rumah itu bisa dibuka secara elektronik dengan remote control, Chris tidak pernah membangunkan pembantunya. Aku sudah cek. Aku menyelinap masuk begitu mobilnya masuk garasi dan kemudian berjongkok bersembunyi di belakang mobil. Jantungku berdegup makin kencang. Terdengar mesin mobil dimatikan dan pintu mobil terbuka. Aku mengintip dan melihatnya keluar dari mobil. Dengan celana jeans dan baju kaos ketat yang menempel di badannya, dia memang terlihat tampan. Chris menutup pintu mobil dan menguncinya. Lalu dia berjalan membelakangiku menuju pintu yang menghubungkan rumahnya dengan garasi. Ini kesempatanku. Aku menyergapnya dari belakang. Memakai teknik aikido, kupiting tangan kanannya ke belakang dengan menggunakan tangan kananku dan dengan tangan kiriku, kutempelkan pisau lipatku di wajahnya. Chris tergagap dan bisa kurasakan tiba-tiba detak jantungnya menjadi kecang sekali. Dia bingung dan ketakutan. “Halo Chris, apa kabar?” kataku sambil menekan pisauku di pipinya. “Irvan! Loe….loe mau ngapain?” balasnya tergagap. “Kalau loe berani teriak, gue gorok leher loe. Percaya gue, gue bisa melakukannya. Gak ada yang rugi juga loe mati. Dasar pemerkosa!” bisikku ke telinganya dengan geram. Chris langsung terdiam. Tentunya dia mengerti apa yang kumaksud. Dan melihat kemarahanku yang meluap, dia percaya aku bisa saja membunuhnya. “Jalan! Ke kamar loe! Ingat, jangan sampe loe bersuara,” kataku sambil mendorongnya maju. Tanganku terus memitingnya, namun kini pisauku kutekan di punggungnya, untuk berjaga-jaga kalau pembantunya masih bangun dan ada di dalam rumah. Rumahnya kosong dan kami langsung masuk ke kamarnya. Tirai kamarnya tampak tertutup. Aku menyuruhnya mengunci pintu dan menyalakan lampu kamarnya. Pisauku kemudian kembali kutekan di pipinya. Dia tampak sangat ketakutan. “Loe emang bangsat, Chris,” kataku geram. “Loe tuh udah ‘ngancurin hidup Mira, tahu gak?” Suaraku terdengar bergetar karena duka dan amarah. “Va….Van…,” gagapnya. “Gue khilaf waktu itu. Please, lepasin gue. Kita bisa ngomongin ini baik-baik. Loe mau gue ngapain? Ngelapor ke polisi? Oke…oke, gue bakal ke po…,” Ucapannya terpotong karena aku semakin keras memitingnya. Dia mengerang kesakitan. “Bohong banget loe! Kalo loe emang niat ke polisi, loe udah pergi dari kemaren-kemaren. Kesempatan loe abis, Chris,” Aku mendorongnya ke arah tempat tidur sambil terus memitingnya dan menempelkan pisauku di wajahnya. Aku kemudian memaksanya telungkup di tempat tidurnya dan kemudian menindihnya dengan tubuhku. Aku paksa dia menengadahkan kepalanya dalam posisi itu dengan pisauku. “Van, please Van. Gue nyesel banget. Sumpah demi Tuhan…,” rengeknya. “Diam, brengsek!” bentakku. Aku masukkan pisau lipatku dan kuletakkan dalam saku celanaku. Lalu aku keluarkan borgol dari kantung yang sama. Aku tarik kedua tangannya ke arah kepala tempat tidur dan kuborgol tangannya di teralis besi yang menjadi hiasan kepala tempat tidurnya. Kemudian aku balikkan badannya sehingga dia bisa melihatku. Aku duduk di atas perutnya dan memandangnya dengan tatapan hina. Wajah tampannya tampak pucat dan keringat mengalir di keningnya. Napasnya tampak tersenggal-senggal. Aku membungkuk dan kudekatkan wajahku ke wajahnya. “Loe bakal ngerasain apa yang dirasain Mira, Chris,” kataku. Mata Chris membelalak. Ketakutan terpancar jelas darinya. Dia baru mengerti dengan jelas apa yang akan aku lakukan terhadapnya. Dia membuka mulutnya tapi dengan sigap kudorong rahang bawahnya ke atas sampai dia mendongak. “Kalo sampe loe teriak, Chris, gua bunuh loe. Gue gak main-main,” Tunggu kelanjutannya. girvan@eudoramail.com

###

9 Gay Erotic Stories from ITB Guy

Asisten Dosen, Part 1

Doddy Jadi asisten dosen di Jurusan Teknik Sipil ITB punya keasyikan tersendiri. Di jurusan yang hampir cowok semua gini, asdos seperti aku bisa dibilang punya kuasa penuh atas anak-anak tingkat dua yang mengambil mata kuliah tertentu. Kalau aku bilang tugas mereka gak beres, ya berarti tugas mereka gak beres. Mereka gak akan berani protes atau menggugatku. Berani pergi ke dosen?

Asisten Dosen, Part 2

Doddy Andri meronta-ronta hendak melepaskan diri. Aku bisa merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Teriakannya terbungkam oleh kaus kakiku yang kusumpalkan ke mulutnya. Tindakannya itu malah semakin membuatku bernafsu. Dia ternyata lumayan kuat. Tapi aku tidak sampai kewalahan menguasainya. Himpitanku semakin keras. Andri berusaha meludah dan mengeluarkan kaus kakiku dari mulutnya,

Asisten Dosen, Part 3

Akhirnya aku keluarkan kontolnya dari mulutku dan aku berdiri sambil menatap Andri. Wajahnya tampak sedikit bersemu merah. Aku tak lagi melihat penolakan dari matanya. Aku menarik tangannya dengan lembut ke arah meja belajarku. “Taro tangan loe di atas meja dan condongin badan loe sedikit ke depan,” perintahku. “Terus buka kaki loe sedikit.” Dia menuruti semua petunjukku. Aku

Asyiknya Digerayangin Yandi

Sejak Yandi, temannya sesama mahasiswa di ITB, masuk ke kost-kostannya di daerah Cisitu, Bandung, Irvan selalu membayangkan betapa nikmatnya kalau dia diberi satu saja kesempatan untuk menikmati tubuhnya. Yandi memang cowok yang cukup tampan. Tingginya sekitar 168 dengan berat 60 kg. Badannya lumayan berotot; Irvan tahu karena dia sempat beberapa kali melihat Yandi keluar dari kamar

Asyiknya Digerayangin Yandi, Part 2

Yandi terkejut ketika menyangka bahwa Irvan terbangun akibat perbuatannya. Secara refleks, dia lepaskan genggamannya dan dia tarik tangannya dari dalam celana Irvan. Tapi Irvan menahan tangan Yandi sehingga dia tidak dapat melepaskan genggamannya dari kontol Irvan. Irvan menatap wajah temannya dan dia dapat merasakan keterkejutannya. Irvan memberikan senyuman hangat ke Yandi dan dengan

Berenang di Klub Cinere, Mas 1

Semenjak aku kembali ke Jakarta setelah lulus dari ITB, aku jadi merasa tidak punya kerjaan sama sekali. Aplikasi yang aku kirimkan ke Nanyang Technological University di Singapura belum dijawab. Sementara selama masih belum ada kepastian apakah aku akan melanjutkan kuliahku di seberang lautan sana, aku memilih untuk tidak mengirim surat lamaran bekerja dahulu. Aku kangen sekali

Berenang di Klub Cinere, Mas 2

Aku putar kepalaku kembali menghadap shower yang mengucur deras. Sambil berpura-pura tidak memperhatikan Indra yang sedang menontoni aku mandi, kutuang sabun cair ke tanganku, kujatuhkan botolnya ke bawah, dan mulai menyabuni tubuhku. Tanganku bergerak pelan, menyabuni dada dan perutku. Lalu aku tarik tanganku ke belakang dan kusabuni tengkuk dan punggungku. Kemudian turun kebawah, ke

Hukuman Setimpal

Jam 10 malam. Christian seharusnya pulang sebentar lagi. Aku berdiri agak jauh dari rumahnya di daerah Tubagus Ismail, Bandung, di kegelapan malam. Jalanan sudah sepi. Semoga saja tidak ada yang curiga melihatku berdiri sendirian di dalam gelap, mengintai sebuah rumah. Kalau ada yang melihat, mereka pasti akan menyangka aku hendak merampok. Bukannya mereka tidak punya alasan untuk

Hukuman Setimpal, Part 2

Tiba-tiba mataku tertumpu pada sebuah cam-recorder di atas meja belajarnya. Sebuah ide terlintas di benakku. Aku lepaskan cengkramanku dari rahangnya dan kemudian berdiri sambil terus menatap Chris, memperingatinya untuk tidak teriak. Dan dia memang tidak berani. Aku ambil cam-recorder itu dan mengecek isinya. Masih ada kasetnya. Aku rewind sampai habis dan kuambil tripod yang

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story