Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Pak Iskandar

by Juzoef@hotmail.com


Jangankan bergaul dengan para tetangga, ngobrol dengan teman satu kost pun jarang sekali kulakukan. Bukan apa-apa, kegiatanku sehari-hari memang sangat padat dan sibuk. Hampir tiap hari aku berangkat kantor jam setengah tujuh pagi dan sampai rumah lagi paling cepat jam delapan malam. Lebih dari dua belas jam lebih waktuku habis di luar rumah. Baru hari Sabtu dan Minggu aku habis-habisan untuk bersantai; bangun siang, malas-malasan di rumah, baca-baca, nonton atau jalan santai ke mal-mal. Itulah yang membuatku agak heran ketika malam itu, malam Sabtu, setiba dari kantor dan belum sempat berganti baju, tiba-tiba timbul keinginan untuk nongkrong di luar sambil merokok. Santai. Barangkali malam ini adalah akhir pekan dan besok aku masih punya dua hari libur. Jadi malam ini kupikir aku bisa mulai membuang waktuku untuk bersantai. “Kok tumben nongkrong di luar, dik Tanto?” sebuah suara agak berat, tapi ramah, mengagetkanku. Rupanya Pak Iskandar, bapak-bapak tetangga sebelah rumah yang menyapaku. Rumahnya tak persis di sebelah tempat kostku, tapi selisih tiga atau empat rumah. Kebetulan ia sedang lewat melintas di depan rumah kost. “Iya nih Pak Is, lagi santai,” aku mencoba menanggapi basa-basinya Pak Iskandar. Sungguh, aku agak surprise. Selama ini aku hanya mengenal dia sekedarnya saja, karena hampir tiap berangkat ke kantor aku lewat di depan rumahnya dan biasanya kulihat ia sedang sibuk memanasi mesin mobilnya. Terus terang aku suka dengan Pak Iskandar. Bukan saja karena ia ramah dan baik, tapi orangnya juga ganteng dan simpatik. Usianya berkisar 40 tahunan, tapi masih nampak segar dan energik. Setiap kali bersua, ia selalu menyapaku dengan teguran-teguran ringan dan tak lupa melemparkan senyum di balik kumisnya yang menawan itu. Dan kini, malam ini, orang yang kusukai itu ada di hadapanku. “Dari mana Pak?” aku mencoba mengajaknya berkomunikasi. Dan ia tampaknya merespon pertanyaanku dengan berhenti sebentar dan ikut duduk di sampingku. “Ini, lagi nyari lampu ke toko seberang jalan,” katanya sambil menunjukkan bungkusan panjang yang nampaknya sebuah lampu neon. “Putus Pak, lampunya?” tanyaku “Iya nih, jadi repot. Mana lagi nggak ada orang di rumah. Jadi saya sendiri yang keluar beli lampu,” katanya bercerita sambil tertawa. “Memang lagi pada kemana, Pak?” “Tadi pagi, ibunya sama yang bungsu berangkat ke Bogor, ke neneknya. Biasa, besok kan liburan,” katanya sambil menyebut anaknya yang sulung sedang ada acara kemping ke luar kota, “Jadinya ya sendirian…,” lanjutnya. “Ayo, main ke rumah. Ngobrol di sana saja,” ajaknya sambil berdiri untuk pamitan. Aku menanggapi dan mencoba menolak ajakannya secara halus. Tapi tampaknya Pak Is tidak sedang berbasa-basi. Ia ‘serius’ mengajakku ke rumahnya. Aku jadi nggak enak sendiri. “Oke…,” kataku sambil beranjak berdiri. Apa salahnya sekali-sekali bersilaturahmi ke rumah tetangga. Jangankan tetangga yang lain, ke rumah Pak Is pun aku belum pernah. Padahal dia lah tetangga yang paling ‘kukenal’. “Ayo masuk,” katanya begitu sampai di depan rumahnya. “Santai saja. anggap seperti rumah sendiri,” kata Pak Is sambil masuk ke dalam. Rumahnya cukup nyaman. Terasnya cukup luas dan penuh pepohonan. Kulihat ruang keluarga agak remang-remang. Mungkin di sanalah lampu neon yang putus itu. Sejenak aku melongok ke ruang tamunya, suasana di situ terlihat cukup hangat. Tapi aku memilih duduk di kursi santai yang ada di teras saja. Tak beberapa lama Pak Is keluar sambil menenteng lampu neon. Ia sudah berganti pakaian dan sekarang tampak santai dengan sarung dan kaos oblong. “Ayo masuk saja,” ajaknya. “Bisa bantuin saya masang lampu kan?” katanya akrab. Sialan, jadi aku diajak ke sini cuma disuruh bantuin masang lampu? batinku bercanda. Toh, yang masang lampu akhirnya memang Pak Is juga. Aku hanya membantu menjaga kursi pijakannya sambil memegangi neon sebelum di pasang. Ada hal yang sempat menarik perhatianku ketika Pak Is sibuk memasang neon itu. Ruang keluarga yang agak remang-remang sepertinya membuat Pak Is agak kerepotan memasang neon yang baru. Dengan kedua tangannya yang terentang ke atas ia tampak sibuk berkutat. Sesekali kedua kakinya berusaha menjejak lebih tinggi sehingga menyebabkan bagian depan kaos oblongnya terangkat ke atas dan belitan sarungnya agak melorot ke bawah. Sekilas dalam keremangan aku dapat melihat perut Pak is bagian bawah dipenuhi bulu lebat. Aku agak tercekat melihat pemandangan itu. Mau tak mau, pandanganku pun secara reflek bergeser ke arah bawah, ke gumpalan di bagian depan sarungnya. Ketika gerakan tangan Pak Is makin sibuk berkutat di atas sana, belitan sarungnya kulihat makin turun ke bawah dan aku sempat sekilas melihat bagian atas dari bulu kemaluannya. Gila! Aku sempat berpikir kalau Pak Is saat itu tidak memakai celana dalam, karena tak kulihat sedikitpun bagian celana dalamnya yang seharusnya sudah terlihat dalam posisi seperti itu. Sialan, kerongkonganku terasa kering meskipun beberapa kali aku telah menelan ludah. “Susah ya Pak?” aku menengok ke atas ke arah Pak Is, mencoba menetralisir suasanaku sendiri. “Iya nih, mudah-mudahan nggak salah ukuran,” katanya sambil masih berkutat di atas. “Kalau kegedean ‘kan susah masuknya….,” lanjutnya sambil tertawa. Aku tadinya nggak ‘ngeh’ kalau ia sedang bercanda. “Ah, Bapak bisa saja,” kataku kemudian begitu menyadari candanya yang nyerempet itu. Akhirnya, “Sudah! Beres!” desah Pak Is lega sambil turun dari kursi. Spontan tangannya membetulkan posisi simpul sarungnya yang tadi sempat melorot. “Wah, tadi untung sarungnya nggak copot. Bisa-bisa bikin dik Tanto pingsan…,” lanjut Pak Is sambil ketawa. Sementara aku malah jadi kikuk sekaligus penasaran dengan maksud ucapannya yang menurutku rada konyol untuk diucapkan oleh seorang Pak Iskandar. Karena sejauh ini dia terlihat seperti orang yang konservatif. Begitu saklar lampu dinyalakan, sosok Pak Is menjadi terlihat lebih jelas. Keningnya sedikit berkeringat. Rambut ikalnya agak sedikit kusut. Di ujung kumisnya juga nampak sedikit butiran air. Kaos oblongnya di bagian dada tampak sedikit basah, memberiku sedikit gambaran kalau ia punya dada yang lumayan bidang. “Mau minum apa?” katanya seperti mengagetkan gejolak pikiranku. “Apa aja Pak,” jawabku sekenanya, karena masih kaget. “Kopi? Mau?” katanya sambil mendekat ke arahku. “Siapa tahu ngobrolnya sampai malam. Nggak pa-pa kan? Besok kan libur. Iya kan?” lanjutnya sambil menepuk-nepuk bahuku. Boleh juga, kataku dalam hati, tapi yang keluar dari mulutku cuma tawa ringan. Aku segera duduk di ruang keluarga itu dan menyetel TV. Tak berapa lama kemudian Pak Is muncul dengan dua gelas kopi panas. Segera saja kami larut dalam obrolan, sambil merokok dan minum kopi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan kurang sedikit. Acara di TV tidak terlalu menjadi perhatian kami. Tapi sesekali Pak Is mengomentari acara yang ditayangkan. Kadang-kadang komentarnya serius, kadang ringan bercanda. “Dia cantik, tapi kok kayaknya nggak simpatik ya?” katanya mengomentari salah satu artis yang sedang muncul di TV. “Memang Pak Is suka yang gimana?” tanyaku menggodanya “Wah, saya sih udah tua. Nggak ada idola lagi. Kamu sendiri gimana?” ia malah balik bertanya. Aku gelagapan. Tapi aku menyebut beberapa artis kesukaanku. Pak Is mengangguk-angguk sambil tersenyum. Obrolan kami lalu beralih ke masalah perempuan, kemudian loncat ke topik psikologi, sampai akhirnya ke masalah seks. Nah! Tampaknya aku sudah mulai bisa masuk ke ‘area’ yang lebih sensitif nih, pikirku. Ketika konteks pembicaraan seks agak meringan, kuberanikan bertanya tentang ucapan Pak Is, “Kok tadi bilang kalau sarungnya melorot bisa bikin saya pingsan?” “Oh itu! Ha..ha..ha…,” jawabnya sambil terbahak-bahak, “Saya lagi nggak pakai celana dalam!….” Tuh kan betul!, pikirku. Tapi aku pura-pura kaget dan tertawa bersama. Kurasakan dadaku berdegup lebih cepat. Laki-laki di depanku ini yang semula kuanggap konservatif ini ternyata orang yang terbuka dan rada konyol juga. “Mosok gitu saja kok bisa bikin pingsan? Memang punya Pak Is menyeramkan?” godaku sambil sengaja melirik bagian depan sarungnya. Kulihat ia malah memegang bagian itu dan mengusapnya. Ah! Sialan! “Iya ‘kali,” katanya cuek. “Kenapa? Takut?” gantian ia menggodaku. “Siapa takut? Saya juga punya kok, ha..ha…,” aku tak mau kalah. Kurasakan punyaku mulai bangun akibat obrolan-obrolan yang mulai mengarah itu. “Kalau lagi ditinggal istri begini, nggak bisa dipakai dong Pak,” kataku makin berani. “Kalau cuma satu dua hari ya masih tahan. Kalau lebih dari seminggu, ya….,” ia tak melanjutkan jawabannya “Ya, apa?” tanyaku mendesak dengan nada menggodanya. “Ya, paling ‘coli’ saja,” katanya sambil tangannya bergerak-gerak memberi contoh layaknya orang ber-onani. “O ya? Seumur Bapak masih suka gitu juga?” aku makin bersemangat mendesaknya. “Emangnya cuma bujangan seperti kamu saja yang suka begitu?” jawabnya tak mau kalah. “Dulu waktu masih bujangan, saya bisa dua hari sekali begitu.” “Wah, tegangan tinggi juga ya Pak. Saya paling banyak seminggu dua kali lah,” aku mulai mencoba terbuka, terpengaruh oleh ucapannya. “Nyabun?” Pak Is bertanya dengan mimik menyelidik. “Pake apa aja, yang penting enak…,” jawabku ringan dan kami tawa kami berderai-derai. Pak Is lalu bercerita kalau ia memang punya nafsu seks yang besar. Sayangnya istrinya tak terlalu bisa mengimbangi. Tapi ia tak mau melacur, takut penyakit. Untungnya, kalau masih ‘kurang’, istri Pak Is masih mau membantu melampiaskan hasrat suaminya dengan berbagai cara. Entah melalui oral seks, dibantu beronani atau cara lainnya, yang penting ‘muncrat’, demikian cerita Pak Is. Kalau istrinya sedang malas, terpaksa lah Pak Is meloco sendiri. Dan menurutnya ia bisa menikmati itu. “Wah, jadi tegang nih…..,” kataku menyela cerita Pak Is “O ya?” matanya mendelik lucu sambil menatap ke arah depan celanaku. “Kalau onani sambil dibantuin, enak ‘kali ya Pak?” aku mulai memancing. “O jelas! Kenapa? Mau?” balasnya. Pancinganku tampaknya masuk. Tapi terus terang aku malah kaget dengan ‘tawaran’ Pak Is itu. “Emm…, kapan-kapan saja Pak,” aku pura-pura bersikap ragu. Lalu, “Memangnya Bapak lagi mau ‘dibantuin’ juga?” akhirnya aku mencoba meyakinkan tawarannya. “Hmm….,” ia tersenyum menatapku. Entah apa artinya. “Harus dipancing dulu, biar bangkit. Baru……,” lanjutnya sambil mulai memegang miliknya lagi. Aku menelan ludah…. “Dipancing pake apa Pak?” “Apa saja. Yang penting bisa bikin merangsang. Ha..ha..” tawanya terdengar agak canggung. Jangan-jangan ia mulai nervous dengan perkembangan suasana yang tampaknya makin mengarah ini. Aku sendiri juga agak nervous dengan situasi ini. Tapi kulihat tangan Pak Is masih berada di bagian depan sarungnya dan sesekali tanpa sadar mengelus-elus daerah itu. “Coba….,” aku nekat memberanikan diri mencoba mengulurkan tanganku untuk ikut memegang miliknya. Sebenarnya aku agak ragu melakukan itu. Aku tak mau dianggap kurang ajar. Tapi tampaknya semua sudah terlanjur. Dan ternyata Pak Is membiarkan saja ketika tanganku menyentuh bagian depan sarungnya. Yang pertama kurasakan adalah bagian itu terasa kenyal-kenyal padat dan belum bangun. Meski masih tertutup sarung, terasa sekali bonggolan pada bagian kepalanya. Tanganku lalu merambah ke bagian kantung pelirnya dan kuremas. Kulitnya tebal dan agak kasar. Mungkin banyak ditumbuhi bulu. Pak Is senyum-senyum saja melihat apa yang kuperbuat. “Dibuka saja ya Pak….,” suaraku terdengar agak bergetar. Pak Iskandar lalu melepas sendiri simpul sarungnya dan membiarkan tanganku menelusup masuk dan menarik bagian depannya ke bawah. Kini tampak jelas bulu lebat memenuhi sekeliling batang kemaluan dan buah zakarnya. Langsung kugenggam otot vital yang masih lemas itu. Kupijat dan kuurut-urut pelan, maju mundur. Kudengar Pak Is mulai gelisah dan beberapa kali nafasnya mendesah pelan. “Enak?” tanyaku sambil menatapnya. Yang kutanya mengangguk ringan sambil tersenyum. Tanganku lalu makin kuat meremas. Pak Is pun makin gelisah. Ia kemudian menyandarkan punggungnya seolah pasrah dengan segala perbuatanku. Matanya terpejam meresapi setiap gerakan tanganku di sepanjang batang kemaluannya. Masih dalam posisi duduk bersandar, Pak Is kemudian pelan-pelan mengangkat pantatnya dan melepas seluruh sarungnya. Kini bisa kulihat kedua pahanya yang gempal itu penuh dengan bulu hingga ke bagian kakinya. Tanganku pun semakin bersemangat menyerangnya. Apalagi ia kemudian membuka pahanya lebar-lebar, seolah memintaku untuk berbuat lebih jauh. Segera kuarahkan tanganku ke buah pelirnya dan jari-jariku pun mulai bermain di sana. Kurasakan daerah itu mulai basah oleh keringat, menyebarkan aroma yang khas dari tubuh seorang lelaki. Kini miliknya sudah membesar dan makin lama makin mengeras. Ini pertama kali aku bisa melihat bagian tubuh paling rahasia dari laki-laki yang selama ini telah menarik perhatianku. Barangnya tergolong besar dengan bentuk yang bagus, terutama bagian kepalanya yang membengkak itu. Ingin rasanya mendaratkan lidahku ke sana. Tapi tampaknya saat ini aku tak bisa gegabah untuk langsung berbuat lebih jauh. Harus hati-hati dan perlu penjajagan. Karena sejauh pengamatanku, Pak Is bukan golongan orang yang ‘sakit’. “Ke dalam saja yuk,” tiba-tiba Pak Is menginterupsi kegiatanku. Wah, lampu makin hijau nih, pikirku. Segera saja kami menuju ke kamar tidurnya. Sarungnya dibiarkan teronggok di bawah kursi ruang keluarga dan ia berjalan ke arah kamar hanya memakai kaos oblong, sementara bagian bawah tubuhnya polos tanpa penutup apapun. Pantatnya yang padat itu tampak menyembul seksi dari bagian belakang oblongnya, sementara di bagian depan benda bulat panjang miliknya tampak berayun-ayun ketika berjalan menuju kamar. “Celanamu dibuka juga dong…,” katanya setengah berbisik begitu kami sampai di dalam kamar. Aku segera melepas ikat pinggang dan celana panjangku. Punyaku yang sudah ngaceng dari tadi langsung menyembul keluar dari celana dalam. Pak Is hanya tersenyum saja melihatnya. “Gede juga punya kamu,” ia berkomentar sambil menuju ke arahku. Tangannya lalu menelusup masuk ke cawatku, menggenggam dan mencoba meremas-remas batang kemaluanku. Inilah sentuhan pertamanya dan aku merasakan ada yang berbeda dari sentuhan-sentuhan yang selama ini pernah kurasakan. Pak Is sepertinya seorang ‘The Great Toucher’. “Kita saling bantu ya…,” bisiknya seolah meminta ijin sambil tangannya pelan-pelan menarik celana dalamku ke bawah. Aku tak tahu kenapa Pak Is terus berbisik-bisik tiap mengatakan sesuatu. Barangkali ia was-was atau memang belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku tak menanggapi bisikan Pak Is tadi. Karena tanganku sibuk melepas baju kantorku hingga tinggal kaos singlet saja yang kukenakan. Aku mencoba melihat reaksinya, apakah ia ‘setuju’ jika aku mencopot semua pakaianku. Pak Is tampaknya tak bereaksi apa-apa dengan ketelanjanganku, maka segera kutarik singletku ke atas dan kulepas ke lantai. Bersamaan dengan itu Pak Is membetot milikku cukup keras, sampai aku tersentak. Ia malah tertawa berderai-derai. Segera kusambar barangnya dan gantian kubetot. Tapi ia mencoba menghindar dengan menarik pantatnya ke belakang. Tanganku terus mendesak dan tak kulepas betotanku. Kami berdua seperti anak kecil yang sedang bercanda. Padahal kami adalah dua laki-laki dewasa dan ini bukan main-main. Ini serius!, permainan orang dewasa. “Kaosnya nggak dibuka Pak?,” kataku seperti mengingatkan dia. “Emang mau main lebih jauh apa?” sahutnya skeptis sekaligus menantang, tapi kemudian ditariknya kaosnya ke atas dan melemparkannya ke lantai. Kini aku bisa melihat keseluruhan tubuh lelaki ganteng ini. Tubuhnya memang tegap. Badannya agak gempal tapi padat. Bulu badannya yang tadi sempat kulihat tumbuh di bagian perut, ternyata juga tumbuh subur di sekitar dadanya. “Banyak bulunya ya…..,” komentarku sambil mengusap-usap dada dan perutnya. “Ya begitulah. Katanya sih masih ada turunan Arab-nya,” jawabnya sambil ikut mengusapi sendiri bulu yang ada di dadanya. Pantas, kalau diperhatikan dengan jeli, wajahnya Pak Is memang rada tipikal ‘timur tengah’, meskipun kesan itu tak terlalu kuat. Mungkin ia turunan ke sekian dari darah Arab yang mengalir di tubuhnya. Tapi sisa-sisa gen itu masih ada : hidung mancung, garis alis yang tajam, kumisan dan ….. ukuran barangnya yang termasuk ukuran kuda Arab, ‘king size’! “Pantas!” hanya itu yang keluar dari mulutku menanggapi ucapan Pak Is tadi. “Apanya yang pantas?” tanyanya agak bingung “Pantas punya Bapak gede begini. Arab!” kataku sambil memilin-milin miliknya. Pak Is sedikit tersentak ketika pilinanku menjadi sebuah remasan yang kuat. “Punyamu juga lumayan kok,” balasnya sambil gantian memilin-milin batang kemaluanku. “Mau mulai sekarang….?” bisiknya kemudian sambil mulai mengocok-ngocok punyaku. Uuhh, badanku langsung bergidik merasakan kocokan tangannya. Kurasakan ada yang berdesir-desir di bagian bawah tubuhku. Geli campur enak. Enak campur geli. Belum pernah aku onani dibantu seperti ini. Sejenak aku terbuai dalam kenikmatan baru. Mataku terpejam merasakan ketrampilan tangan Pak Is dan meresapi setiap sentuhan yang tampaknya ia lakukan dengan penuh perhitungan sehingga membuatku benar-benar hanyut oleh rasa nikmat. Sampai-sampai Pak Is mengingatkan aku untuk meng-onani-nya juga dengan mengarahkan tanganku ke pusat selangkangannya. Dalam posisi berdiri kami akhirnya saling kocok satu sama lain. Wajah Pak Is sudah mulai tegang serius. Matanya memicing menatapku. Mulutnya tampak mendesis-desis. Entah kegelian atau kenikmatan, atau kedua-duanya. Beberapa butir keringat sudah mulai muncul di keningnya. Aku sendiri mulai berpeluh merasakan permainan yang makin memanas ini. Aku tak mau bermaksud kurang ajar sebenarnya, tapi demi melihat tahap demi tahap peristiwa malam ini yang sama sekali di luar dugaanku, aku sempat berpikir untuk melakukannya hal yang lebih jauh terhadap Pak Is. Lagi pula semua sudah kepalang basah. Kalau pun ada penolakan darinya, toh tahapan seksual yang kami capai malam ini sudah cukup jauh untuk ukuran dua orang lelaki seperti kami. Maka akupun menyampaikan keinginanku padanya : “Pak Is mau diisap?” aku berbisik pelan ke telinganya. Pak Is sempat memundurkan kepalanya karena kaget. “Hah?! Nggak salah nih?” katanya menatapku dengan tajam tapi bibirnya menyungging senyum. Gantian aku yang kaget. Ini penolakan atau….? “Dik Tanto …memang…mau?” suara Pak Is terdengar hati-hati. Aku mengangguk meyakinkannya. Sejenak kami diam, berpandangan. Entah pikiran apa yang berkecamuk di benak Pak Is. Kalau aku sih nggak ada masalah. Bahkan kalaupun aku berhasil melakukannya, aku tak mengharap ia mau membalas perbuatanku. “Gimana…?” aku memecah kebengongannya. Tangan kami kini sudah terlepas dari ‘burung’ masing-masing. “Dik Tanto serius nih?” Aku menjawabnya dengan meremas miliknya agak kuat. Lalu tanpa basa basi lagi aku berjongkok dan langsung melahap kepala kemaluannya. Kurasakan badan Pak Is agak tersentak dan kemudian mengejang. Apalagi ketika lumatanku hampir menelan seluruh batangnya. Tak lama kemudian tangannya mulai memegangi kepala dan rambutku. Dan pegangan itu makin lama makin kuat seiring dengan kuatnya lumatanku pada meriam kecilnya. Kudengar berkali-kali Pak Is mendesah ‘ahh’. Sesekali diiringi desisan seperti orang kepedasan. Aku semakin gencar memainkan mulut dan lidahku di sepanjang batang yang kini terasa makin tegang, pejal, panas…. Tiba-tiba Pak Is menarik bahuku ke atas. Sepertinya ia tak kuat menghadapi permainan mulutku. Wajahnya tampak memerah dan nafasnya tak beraturan. “Aduh…isapanmu……” Pak Is tak tuntas bicaranya. Tapi aku bisa menangkap bahwa ia terkesan sekali dengan perbuatanku di bawah tadi. “Mau dilanjutkan?” aku menantang sambil mengusap mulutku yang basah oleh air liurku sendiri. Tapi Pak Is menggeleng. “Nanti saja. Bapak nggak nyangka kalau isapanmu ternyata lebih enak,” kata Pak Is tanpa menyebut dengan siapa aku dibandingkan. Tapi tentu saja yang dia maksud adalah istrinya. “Kita saling kocok saja ya……,” kata Pak Is seperti memohon dan kemudian mulai meloco punyaku. Aku ikuti saja kemauannya. Mungkin ia masih kagok diisap oleh sesama lelaki, meskipun kenyataannya ia menikmatinya. Makin lama gerakan tangan dan jemari Pak Is makin trampil. Mungkin ia sudah terbiasa melakukannya. Dan tampaknya ia tahu persis bagian-bagian mana yang sensitif dari kemaluanku. Beberapa gerakan tanganku pun terpengaruh oleh gerakan tangannya. Aku seperti dipandu oleh Pak Is selama acara kocok-mengocok ini. Dan akhirnya akulah yang pertama kali ‘muncrat’. Orgasmeku terasa sangat nikmat karena tangan Pak Is dengan pintarnya menciptakan gerakan-gerakan tertentu di sela-sela puncak kenikmatan itu. Aku harus mengakui, ia benar-benar trampil bermain tangan. Beberapa saat kemudian, masih dalam pengaruh orgasme yang belum sepenuhnya reda, aku tanpa permisi lagi berjongkok di bawah selangkangan Pak Is dan langsung kulahap miliknya yang kini sudah sangat meradang. Kukerahkan segala cara yang kuanggap bisa membuatnya kelojotan. Dan memang tubuh Pak Is kurasakan mengejang berkali-kali. Suaranya sudah seperti orang gila yang meracau tak jelas. Tampak jelas ia sangat keenakan dengan lumatan-lumatan mulutku. Batangnya kurasakan semakin membesar saja, makin hangat dan makin keras. Sementara bagian kepalanya kemaluannya tampak semakin gelap dan mengkilap. Sepertinya gunung birahi sudah menampakkan tanda-tanda akan meledak dan memuntahkan laharnya. Dan aku harus menuntaskannya! Maka ketika gerakan pinggul Pak Is makin tak karuan, segera kutelusupkan mulut dan lidahku ke gundukan kantung buah zakarnya yang tebal. Pak Is pun kemudian berteriak tertahan, sebelum akhirnya air maninya menyemprot berkali-kali dan jatuh di atas wajahku yang masih tenggelam di bawah gundukan bola adam miliknya. Sengaja kubenamkan dan kugesek-gesekkan hidung dan mulutku di pusat produksi sperma itu. Ia makin kelojotan. Selama ejakulasi tadi, badan Pak Is tampak tersengal-sengal, sesekali mengejang dan menyentak-nyentak. Entah ada berapa semprotan tadi yang keluar. Yang jelas dagu dan pipiku penuh berleleran cairan kental putih dengan aroma yang khas menyegarkan. Ketika semuanya tuntas, Pak Is segera menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan rebah telentang di sana. Nafasnya tampak ngos-ngosan. Matanya terpejam tapi bibirnya sedikit terbuka, mengeluarkan lenguh kepuasan. Aku hanya bisa memandanginya dari tempatku berdiri. Lain kali aku bisa membuatmu lebih gila dari malam ini, pikirku. Pengalaman malam itu merupakan awal dari hubunganku dengan Pak Iskandar. Tapi kami jarang melakukan di rumahnya, apalagi kalau ada keluarganya. Pak Is lebih sering main ke tempat kostku dan kami melampiaskan hasrat seks di kamarku. Sejauh ini kami hanya sebatas saling meloco. Sementara oral seks kulakukan secara sepihak karena Pak Is belum ‘tega’ melakukan itu padaku, baru dalam taraf mencium-cium milikku saja. Tapi bagiku itu sudah cukup. Mungkin perlu waktu dan pendekatan yang lebih intens lagi sebelum aku mengajak Pak Iskandar berbuat lebih jauh dan lebih gila lagi. TAMAT By : juzoef@hotmail.com

###

8 Gay Erotic Stories from Juzoef@hotmail.com

Oase Laut Utara, Part 2

LAUT BIRU Siang itu acara kami lanjutkan dengan mandi di laut. Bahar menyusulku yang sudah lebih dulu berlari ke garis pantai. Dalam kondisi sama-sama bertelanjang bulat dan dengan postur tubuh yang tergolong besar, kami berdua tampak seperti dua ekor kera besar yang tengah bermain-main air. Bahar sangat pandai berenang dan menyelam. Penyelam alami. Kadang tiba-tiba dia menghilang

Oase Laut Utara, Part 3

UJUNG SEBUAH HUJAN Sore itu kami makan malam lebih awal, disamping karena Bahar sudah menyiapkan masakan, kami berdua tampaknya kelaparan karena baru saja mengeluarkan energi yang cukup banyak selama ‘bermain-main’ di kamar mandi tadi. Rupanya sewaktu pulang tadi Bahar sempat membeli ikan dan udang segar di pasar pelabuhan dan sekarang kami sedang menikmati udang dan ikan hasil

Oase Laut Utara, Part 4

DAN HUJAN SEMAKIN DERAS Hujan di luar makin deras. Tetes airnya menimpa-nimpa atap seng dan menimbulkan bunyi agak berisik. Kami berdua masih di atas sofa. Berpelukan. Di TV sedang ditayangkan acara berita. Tapi kami tak punya konsentrasi lagi untuk menyimaknya. Bahar menatapku, lalu mengajak masuk ke kamar tidur. Tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu langsung menuju ke kamar

Oase Laut Utara, Part 5

BAD NEWS BUT LOVE Tak selalu sebuah janji mendapat pemenuhannya. Pun tak setiap pemenuhan akan sesuai dengan pengharapannya. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana ketika pagi itu seorang rekan kerja Bahar datang mengantarkan sebuah surat dari sebuah perusahaan galangan kapal. Galangan kapal? Sejak kapan di daerah Sangir ada galangan kapal? Ternyata memang bukan dari daerah

Oase Laut Utara, Part 6

KISS ME GOODBYE Bandara Sam Ratulangi, Senin siang, 11.09 WITA Jadual keberangkatan Bahar ke Surabaya akan menjelang beberapa jam lagi. Kesibukan di Bandara belum begitu padat, hanya beberapa orang petugas porter yang tampak bergerombol di beberapa sudut kedatangan, merayu para calon penumpang untuk dibantu membawakan barang bawaan. Tapi tampaknya mereka tak berani mendekati kami.

Oase Laut Utara, Part 7

BERMAIN API DI TENGAH AIR (Special for someone who call me ‘The Great Pretender’) Irama kehidupan di sebuah mess agak berbeda dengan irama keseharian di luar sana. Karena sebuah mess biasanya hanya digunakan sebagai persinggahan atau tempat tinggal sementara bagi keperluan yang berkaitan dengan program pendidikan. Keterangan di atas aku terima dari Kepala Mess, Pak Roy, ketika aku

Pak Iskandar

Jangankan bergaul dengan para tetangga, ngobrol dengan teman satu kost pun jarang sekali kulakukan. Bukan apa-apa, kegiatanku sehari-hari memang sangat padat dan sibuk. Hampir tiap hari aku berangkat kantor jam setengah tujuh pagi dan sampai rumah lagi paling cepat jam delapan malam. Lebih dari dua belas jam lebih waktuku habis di luar rumah. Baru hari Sabtu dan Minggu aku

Tamu dari Yogya

“Jangan lupa, Pakde-mu nanti dijemput,” pagi-pagi Ayah sudah mengingatkan aku untuk menjemput Pakde Wijoyo di bandara. Sebenarnya aku rada malas, karena hari ini aku ada rencana mau cari baju buat wawancara minggu depan. Tapi di rumah memang cuma ada aku dan Ayah saja. Ibu dan adikku sedang ke Bandung. Sementara si bungsu lagi ada acara opspek di kampusnya. Jadi akulah yang ‘ketiban’

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story