Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Cerita di Atas Kapal

by Bd1824


Para pelaku bisnis mungkin sangat setuju bila aku mengatakan cuaca bisnis akhir-akhir ini makin hari makin bertambah “mendung” saja. Disaat permintaan barang baik dari dalam maupun luar negeri sudah banyak berkurang, biaya operasi makin lama terasa makin mencekik dengan naiknya harga BBM, listrik, telepon dan kebutuhan-kebutuhan operasional lainnya. Bila ingin survive, maka para pelaku bisnis harus jeli mencari peluang-peluang baru untuk kelangsungan hidup perusahaannya.

Begitu juga dengan Bosku yang setiap hari terlihat mondar-mandir dan stress berat karena persaingan harga yang makin lama makin tidak masuk akal. Beberapa klien kami di daerah malah sudah mengalihkan pembeliannya ke supplier-supplier lain yang menawarkan harga yang lebih rendah.

Untuk mengantisipasi omset perusahaan yang makin hari makin menurun, akhirnya kami mengambil initiatif untuk mencari pasar-pasar baru. Ditargetkan zona penjualan akan lebih meluas dan mencapai pelosok-pelosok yang lebih dalam.

Supaya tidak salah langkah, masing-masing area sales manager ditugaskan untuk mensurvey daerah target terdahulu.

Aku sendiri diminta untuk mensurvey daerah Kumai (Kalimantan) yang dianggap potential untuk memasarkan produk perusahaanku karena banyaknya proses pengolahan kayu dan pertambangan disana.

Jadi pada hari H, akupun terbang ke Semarang dan langsung menuju pelabuhan Tanjung Emas untuk melanjutkan perjalananku dengan kapal cepat. Saat tiba di pelabuhan, masih ada waktu sekitar 2 jam sampai jadwal keberangkatan kapal pukul 17:00.

Segera aku menuju loket dan membeli tiket yang diperlukan. “Mau yang Ekonomi, Business atau VIP, Pak?” tanya ibu penjual tiket ramah. “Yang Business aja deh, Bu” jawabku singkat. “Oh ya, ini ada juga yang dapet tempat tidur, hanya tambah Rp. 10.000, koq Pak!”

Membayangkan lamanya perjalanan yang sekitar 14 jam lebih, kupikir ada baiknya juga bila aku bisa berbaring. Setidaknya waktu akan lebih cepat berlalu.

“OK, yang itu aja deh, Bu!”

Hmm… masih ada waktu sekitar 1 setengah jam lagi. Sebaiknya aku nongkrong dikantin dulu, apalagi perutku mulai keroncongan karena belum sempat makan siang. Akhirnya sesudah memesan sekedarnya karena menu yang disajikan terlihat tidak begitu menggugah selera, aku ambil tempat duduk di pojok. Sehingga sambil makan aku bisa melihat-lihat suasana di kantin dan ruang tunggu di luar. Lumayanlah … daripada bengong.

Oh ya, untuk para pembaca yang belum pernah membaca cerita-ceritaku, ada baiknya aku memperkenalkan diri: Namaku Budi, tinggi 170, berat 68 kgs. Secara keseluruhan: penampilanku boleh dibilang menarik dengan bentuk tubuhku yang cukup tegap dan berotot (hasil dari latihan angkat beban) dengan warna kulitku yang agak kesawo-matangan ini. Oke, kembali lagi ke cerita:

Tidak lama sesudah kumasukkan suap terakhir ke mulutku, tiga orang bapak-bapak berstelan jas safari abu-abu masuk ke kantin. Dari seragam yang dipakai, kutebak mereka adalah pejabat atau pemda setempat. Tapi yang menarik perhatianku adalah yang paling tinggi (sekitar 185cm) dengan postur tubuh yang tegap dan bahu yang lebar. Kutaksir umurnya sekitar 38-an tahun. Mukanya yang tenang dan ganteng itu sangatlah khas kraton Jawa dengan bekas cukuran kumis dan jenggot yang rapi, sehingga samar-samar menampakan bayangan kebiruan dari jauh. Tatapan matanya terasa teduh tapi tegas. Rambutnya yang agak tipis dan ikal, terpotong pendek dan disisir rapi belah samping dengan menggunakan minyak rambut. Lengannya yang terlihat kekar dan ditumbuhi bulu-bulu halus panjang, tampak begitu mengesankankan dengan warna kulitnya yang sawo matang. Sikapnya yang begitu berwibawa dan gagah, terlihat begitu berbeda dengan kedua temannya yang jadi terlihat pendek dan berseloroh bebas dengan kerasnya.

Samar-samar kutangkap pembicaraan mereka yang mengenai peresmian suatu badan instansi di daerah Ketapang. Selanjutnya mengenai perempuan …. Yang notabene tidak membuatku tertarik. Akhirnya kubuka lagi majalah Tempo-ku dan mengalihkan perhatianku pada pembahasan topik tentang seorang tokoh Islam yang dicurigai terlibat terorisme akhir-akhir ini.

Waktupun berjalan dan tak terasa, mikropon yang digantung dipojok ruangan berbunyi memanggil para calon penumpang untuk segera naik ke atas kapal.

Kubiarkan dulu para penumpang lain berduyun-duyun naik ke kapal sampai ruangan tunggu itu menjadi sepi, baru aku beranjak dari kursiku. Ternyata bapak-bapak yang tadi sempat kuperhatikan juga melakukan hal yang sama. Sehingga tinggal kami berempat yang terakhir dengan santai naik ke kapal tersebut.

Suasana di dalam kapal agak sedikit riuh karena para penumpang yang baru naik sibuk membereskan barang bawaan mereka. Segera saja aku menuju ruang kelas Business yang terkesan mewah dan bersih. Rupanya kapal yang kunaiki adalah kapal baru. Tempat duduknya sendiri begitu mewah dan tidak kalah dengan tempat duduk di pesawat terbang kelas bisnis. Di bagian tengah depan ruangan terpampang TV berukuran 34 inci, dengan seperangkat peralatan elektronik dibawahnya yang kuduga adalah VCD player, amplifier, dll.

Kira-kira 10 menit setelah aku duduk, kapal pun berangkat, dan di TV segera diputar film Rush Hour 2 (dibintangi Jackie Chan). Berhub. Film yang dimainkan itu sudah kutonton, aku putuskan untuk bangkit, sekalian keliling melihat-lihat keadaan kapal.

Ternyata penumpang yang naik tidak banyak, mungkin hanya sepertiga dari kapasitas yang disediakan. Sampai akhirnya aku sampai diburitan kapal, dan menikmati pemandangan kota Semarang yang lambat laun diselimuti senja, padahal baru jam 5:30an (tidak seperti di Jakarta). Begitu indah … lampu-lampu pancar bertebaran dimana-mana. Kadang-kadang aku suka membayangkan apa yang sedang terjadi di sekitar titik-titik lampu yang bertebaran itu … Sok romantis ya … he he he …

Lagi asyik-asyiknya aku hanyut dalam lamunanku sendiri, tiba-tiba ada yang menyahut: “Bagus ya, pemandangannya …” Kutoleh kearah suara itu …. Oh ternyata Bapak ganteng yang tadi kulihat di kantin. “Iyah …” jawabku sekedarnya, karena sekarang ada yang jauh lebih menarik di depan mataku daripada pemandangan kota Semarang yang sudah ditelan malam. “Sendirian aja dik?” tanyanya. “Iya Pak, lagi tugas perusahaan.” jawabku. “Oh … sama dong, ke Kumai atau daerah lainnya?” tanyanya lagi. Gue pikir SKSD (sok kenal sok dekat) juga nih Bapak, baru kenal udah nyensus begitu. Untung cakep! “Kumai aja koq, cuman 2 hari …” jawabku. “Oh iya, saya Rachmat, adik namanya siapa?” tanyanya manis. “Saya Budi, Mas.”

Perkenalan singkat antara kami berdua pun terjadi. Dari ceritanya, kutangkap bahwa Pak Rachmat bekerja di salah satu instansi pemerintah (ada hub.nya dengan hutan dan perkayuan) dan pergi ke daerah Kumai untuk menghadiri acara peresmian kantor pembantu mereka yang baru dibuka (seperti yang kuduga sebelumnya!)

Mungkin ada sekitar setengah jam lamanya kami berbincang-bincang sampai akhirnya kami memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kapal karena hembusan angin yang makin kuat begitu kapal mulai memasuki daerah lautan dan menambah kecepatannya. Aku kembali ke tempat dudukku di ruang Bisnis dan Pak Rachmat ke ruang VIP.

Waktu terasa begitu lama berlalu. Film kedua sudah ditayangkan, dan tetap terasa membosankan. Akhirnya pada pukul 22:00 kuputuskan untuk tidur supaya waktu lebih cepat berlalu. Setelah mengenakan celana training dan kaos T-shirt seadanya, akupun mencari ruang tidur untuk para penumpang kelas Business dan VIP yang ternyata dicampur. Ruangan itu cukup besar dan sengaja disekat-sekat untuk dijadikan ruangan-ruangan tempat tidur ukuran 3 X 2,5 meter. Satu ruangan yang terdiri dari dua matress berukuran 2,5 X 2,5 meter yang disusun atas & bawah (bertingkat!) bisa ditempati 4 orang (sangat cocok untuk keluarga). Walaupun kamar-kamar yang ada sudah disekat rapi, tapi suara orang disebelah kamar masih bisa terdengar nyata.

Walaupun belum banyak kamar yang terisi, sengaja kupilih kamar yang lokasinya paling pojok ruangan, supaya tidak banyak orang yang lalu lalang.

Lampu ruangan sudah dimatikan. Yang menyala hanya lampu “EXIT” di atas pintu masuk. Sehingga suasana ruangan terasa begitu gelap dan samar-samar hanya diterangi oleh lampu dinding kecil ditiap kamar yang bisa dimatikan. Setelah beberapa saat berguling ke kiri dan ke kanan karena susah tidur, rasa ngantuk mulai menyerangku. Apalagi goyangan kapal di lautan bebas memang agak memabukkan. Sayup-sayup masih terdengar suara seorang ibu berusaha menenangkan anaknya yang rewel tidak mau tidur.

Saat aku sudah mau tertidur, tiba-tiba terdengar suara: “Permisi, Dik … masih ada tempat?” Sebenarnya aku agak enggan, tapi karena kamar itu memang jatahnya untuk empat orang, rasanya aku tidak ada hak untuk menyuruh orang ini mencari tempat yang lain. Lagipula ranjang bagian bawah masih kosong. “Oh, silakan Pak” jawabku setengah ngantuk dan ingin segera melanjutkan tidurku. Tapi … bukannya tidur di ranjang bawah yang masih kosong, orang ini malah menaruh barang bawaannya disana dan naik ke atas tidur disampingku. Aku ingin protes, tapi … berhubung kepalaku sudah begitu berat, ya sudahlah. Kutarik selimut merah yang disediakan dan tidur memunggungi orang itu.

Entah berapa lama aku tertidur, karena saat aku terjaga: terasa ada tangan yang mengusap-ngusap punggungku dan pinggangku dibawah selimut. Suasana kamar begitu gelap dan tenang. Bahkan dengkuran halus para penumpang di kamar lainpun samar-samar masih terdengar jelas. Aku berusaha untuk meraih kesadaranku kembali dan membiasakan mataku dalam kegelapan. Tangan itu masih bergerak menggerayangi. Mau apa dia? … Maling?

Kuputar tubuhku dan tidur menengadah ke langit-langit kamar yang sangat pendek itu. Tangan itu langsung berhenti bergerak dan diam, tetapi tidak diangkat dari pinggangku, seolah-olah hal yang sedang diperbuatnya itu tidak disengaja.

Saat kesadaranku berangsur pulih, kucium aroma tubuh orang disebelahku. Bau minyak rambut, parfum dan keringatnya yang sudah bercampur menjadi satu ….. Pak Rachmat, bapak ganteng yang tadi ngobrol bersamaku di buritan kapal !!

Aku tetap diam tidak bergerak, seolah-olah kembali tertidur. Dengan posisiku yang menghadap keatas, tangan itu mulai perlahan-lahan mulai bergerak dibawah selimut, menyusup ke balik baju kaosku dan dengan leluasanya puas menggerayangi dan mengusap-usap perut dan dadaku.

Perasaan nikmat, tegang dan takut kualami secara bersamaan. Meski aku akui bahwa ini bukan pertama kalinya aku “maen” dengan orang tak dikenal, tapi untuk melakukannya di tempat umum dimana setiap saat bisa diketahui semua orang agak menyurutkan nyaliku. Bayangkan … apa yang terjadi bila tiba-tiba ada orang menyingkap tirai gorden yang menutup kamar kami dan mendapati dua orang lelaki dewasa sedang asyik bergumul melampiaskan hawa nafsu. Apa tidak mungkin kami berdua dilempar ke dalam lautan yang dingin dan gelap, tengah malam begini.

Antara nafsu dan takut, jantungku jadi memacu keras dan nafasku terasa sesak dan memburu. Nafsuku meledak-ledak membuat tubuhku terasa mengigil hebat dan kerongkonganku tersumbat.

Mungkin pak Rachmat yang asyik menggerayangiku bisa merasakan tubuhku yang gemetar dan detak jantungku yang berpacu keras. Dapat kurasa tangannya yang agak gemetar naik kedadaku dan mulai mempermainkan puting-puting susuku. Byarrr …. Runtuh sudah pertahananku. Aku sudah tidak perduli lagi dimana aku, yang aku tahu cuma agar hasratku segera dipuaskan.

Kupegang tangannya … beliau kaget dan segera menghentikan aktifitasnya. Diam sesaat … sampai kutuntun tangannya menjalari seluruh tubuhku dan pelan-pelan menyusup ke balik celana trainingku.

Merasa mendapat “lampu hijau” dariku, tangan itu bebas bergerilya kembali, tetapi kali ini dibalik celana dalamku. Diusap-usap dan dikocok pelan kontolku yang sudah dari tadi menegang habis menjadi 16 cm. Terasa ada yang basah diujungnya. Tidak puas mempermainkan kontolku, biji pelerku yang menjadi sasaran berikutnya. Sambil Setengah diremas dipermainkannya buah pelerku, kemudian diusapnya daerah sensitifku antara lubang pantat dan buah peler yang ditumbuhi rambut-rambut halus.

“Hmmpphhh !!!” kututup rapat-rapat mulutku agar tidak mengeluarkan suara. Sementara Pak Rachmat sudah menggeser posisinya mendekati tubuhku yang sekarang memunggunginya. Ditanggalkannya semua baju dan celanaku dan dipeluknya aku dari belakang erat-erat. Dasar kain jas Safarinya yang agak kasar terasa dipunggungku, saat ia mulai menciumi tengkuk dan leherku dengan rakusnya. Dagunya yang kasar bekas cukuran pagi terasa menggaruk-garuk tengkuk dan samping wajahku. Sambil menjilat-jilat daerah belakang telingaku yang menimbulkan rasa geli-geli nikmat, beliau mulai membuka kancing jas safarinya satu persatu.

Tak lama kemudian sudah dapat kurasakan bulu dadanya yang kasar dan basah oleh keringat mengesek-gesek punggungku. Keringat-keringat kami berdua mengalir deras sehingga ruangan yang tadinya terasa cukup dingin oleh AC mulai terasa agak panas dan pengap. Aroma jantan keringat Pak Rachmat yang bercampung dengan bau minyak rambutnya yang cukup kuat begitu terasa di langit-langit kamar menimbulkan rasa sensualitas tersendiri pada diriku dan semakin membakar nafsuku.

Sambil memelukku dari belakang: satu tangan mempermainkan putingku dan satunya lagi mengocok kontolku, dapat kurasakan benda tumpul yang keras trus menyundul-nyundul pantatku dari belakang. Kuarahkan tanganku ke belakang dan menggapai benda keras yang sejak tadi menekan-nekan belahan pantatku.

Ya ampun, keras sekali! Rasanya seperti ada botol minuman Coca-Cola dibalik celana Safari itu. Kalau tidak ingat itu adalah kontol pak Rachmat, mungkin aku mengira benda itu adalah balok kayu saking kerasnya. Seperti bisa membaca apa yang kuinginkan, Pak Rachmat pun menarik resletingnya dan mengeluarkan kontolnya semuanya untuk kupermainkan. Kuremas-remas dan ku-usap usap kontol batu itu. Kutelusuri panjangnya yang sekitar 15 cm. Saat ku-usap dan kukocok naik turun kontol batunya, Pak Rachmat menggelinjang hebat menahan kenikmatan yang diterimanya dan berusaha keras untuk tidak bersuara dengan menggigit pundakku dengan gemasnya dari belakang.

Tampaknya beliau sudah tidak sabar untuk menyelipkan kontolnya diantara kedua pahaku. Setelah dilumuri ludahnya beberapa kali, kontolnya mulai “mengusruk-ngusruk” diantara kedua pahaku. Sementara tangannya sibuk mengocok kontolku, dan mulutnya asyik melumat kedua putting susuku.

Walaupun membayangkan diriku sedang digumuli pejabat ganteng di tempat umum sudah menimbulkan sensasi dan kenikmatan tersendiri, tapi aku belum puas! Kupegang dan kutuntun kontol batu itu ke arah lobang pantatku. Mengerti atas apa yang kuinginkan, dengan senyum bahagia Pak Rachmat meludahi kontolnya lagi dan mulai memasuki diriku pelan-pelan.

Akibat ransangan dan nafsu yang sudah diubun-ubun sejak tadi, lobang pantatku yang telah rileks habis dan berdenyut-denyut minta di-entot, dengan mudahnya bisa dimasuki kontol batu Pak Rachmat yang besar itu.

Pelan-pelan Pak Rachmat memulai kocokan kontolnya dipantatku … makin lama makin cepat. Aku yang masih setengah sadar, menggigit ujung selimut yang menutupi tubuh kami berdua dan berusaha keras untuk tidak mengeluarkan sedikit suara apapun dari mulutku ini. Rasanya ingin sekali aku berteriak sekeras-kerasnya: “Enak … Ueennaakkk …. Entot lagi …. Entot yang dalam !!” mengekspresikan kenikmatan tiada tara yang kurasa saat ujung kontol Pak Rachmat menyentak-nyentak kelenjar prostatku.

Entah ada telepati apa antara diriku dan Pak Rachmat, beliau sepertinya selalu mengerti apa yang kuinginkan. Dimasukkannya semua kontolnya ke dalam lubang pantatku, sampai terasa bulu-bulu jembut yang kasar di pangkal batang menggelitik pantatku. Setelah 3-4 kali tarikan pendek, Pak Rachmat selalu melakukan satu tarikan panjang, sampai kontolnya hampir tercabut, kemudian dibenamkannya lagi sampai kedasar-dasarnya. Rasanya aku hampir menjadi gila menahan kenikmatan dahsyat ini dengan tidak bersuara.

Semua ini kami lakukan sehening mungkin. Hanya desah nafas kami berdua yang terdengar terengah-engah. Memang tidak banyak gaya yang bisa kami terapkan karena harus menjaga keheningan dan akibat dari keterbatasan tempat.

Tapi, cukup lama juga aku digenjot Pak Rachmat dari belakang, sampai akhirnya kurasakan kontol Pak Rachmat berdenyut-denyut keras didalam lubang pantatku dan makin bertambah besar. Tampaknya tidak lama lagi dia akan meledak di dalam tubuhku. Kupercepat kocokan tanganku di kontolku hingga menegang habis dan terasa berdenyut-denyut untuk segera menumpahkan laharnya. Seketika pandanganku tiba-tiba menjadi gelap. Badanku kejang-kejang, dan pantatku sampai terasa keram. Pada saat itulah kutembakkan laharku beberapa kali dibalik selimut dan mattres disampingku. Tidak berapa lama Pak Rachmat juga meledak di dalamku setelah mendapati kontolnya diremas habis oleh pantatku ynag sedang mengalami kejang-kejang dan keram. Sambil mengigit kuat-kuat pundakku hingga meninggalkan bercak-bercak merah, beliau menyemprotkan gumpalan gumpalan pejuhnya sebanyak 6-7 kali di dalam lubang pantatku yang langsung penuh.

Apa yang terjadi selanjutnya tidak aku ingat lagi. Mungkin aku langsung jatuh pingsan atau tertidur saking capeknya.

Aku terbangun saat kapal membunyikan sirenenya yang panjang dan keras, menandakan tidak berapa lama lagi akan merapat ke pelabuhan di Kumai. Rachmat sudah tidak ada disampingku. Walaupun agak acak-acakan, kaos dan celana trainingku sudah terpakai kembali. Nampaknya Beliau cukup bertanggung jawab: sesudah asyik “mempreteli” semalam, beliau menyempatkan diri “memakaikannya” kembali.

Dibawah bantalku kutemukan secarik memo, tertulis: “Dik Budi, terima kasih banyak atas pengalaman tak terlupakan semalam. Saya harus gabung dengan rekan-rekan dulu. Nanti malam sesudah di Kumai, hubungi saya di 0818 764 23XX. Saya benar-benar pengen ketemu Adik lagi!!! Salam sayang, Rachmat”

Aku tersenyum membacanya. Kuremas kertas memo itu dan kubuang ke kotak sampah yang sudah penuh oleh gumpalan-gumpalan tissue bekas.

WHY ??? Karena dengan begini akan pengalaman yang kualami akan lebih berkesan. Istilahnya : FOR THE JOY OF ONE NIGHT STAND !!!

Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk membaca, dan atas semua tanggapan yang telah diberikan.

Salam, bd1824@yahoo.com

###

1 Gay Erotic Stories from Bd1824

Cerita di Atas Kapal

Para pelaku bisnis mungkin sangat setuju bila aku mengatakan cuaca bisnis akhir-akhir ini makin hari makin bertambah “mendung” saja. Disaat permintaan barang baik dari dalam maupun luar negeri sudah banyak berkurang, biaya operasi makin lama terasa makin mencekik dengan naiknya harga BBM, listrik, telepon dan kebutuhan-kebutuhan operasional lainnya. Bila ingin survive, maka para pelaku bisnis

###
Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story