Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Breezy Autumn Series: "Joe," Part 1

by Breezyautumn


Breezy Autumn Series: "Joe" Part 1

"JOE"

Shit! Kenapa aku sampai lupa memfoto-copy diagram-diagram dan grafik-grafik sialan itu dari text-book tua itu kemarin di perpus? Padahal kemarin aku sampai sore disana, menyusun paper sialan ini!

Paper yang mestinya dijadikan tugas kelompok. Satu kelompok 3 orang. Seperti biasa, aku selalu berkelompok dengan Hendry dan Irwan, kelompok tetapku untuk segala macam tugas ataupun praktikum kuliah. Kalopun tugas tertentu mengharuskan kelompok dengan anggota sampai 5 orang, ya kami tinggal menawari teman yang lain. Dan biasanya mereka langsung mau. Malahan, tak jarang yang langsung menawarkan diri bergabung dengan kami, karena tahu kalo kami selalu serius dan 'nggenah' kalo ngerjain tugas.

Agak lain dengan semester-semester lalu, kali ini kami tidak mengerjakan tugas kelompokan itu secara bersama-sama. Salah satu alasannya adalah karena kesibukan kami diluar jam kuliah, misalnya aku yang mengambil part-time job di salah satu unit di kampus, disamping masih sibuk mengurus redaksional dan administrasi majalah kampus, juga aneka kegiatan Himpunan Mahasiswa yang cukup menyita waktu dan tenagaku. Sama denganku, kedua temanku itu aktif pula di organisasi dan lembaga mahasiswa. Yang membedakan yaitu tempat kami menambah kesibukan itu, Irwan menjabat Wakil Ketua pada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa dan koordinator pada salah satu bentuk pelayanan digerejanya, sedangkan Hendry merupakan staff aktif di Senat Mahasiswa.

Satu lagi kenapa kita merubah model kerja kelompok ini, yaitu banyaknya tugas yang bejibun. Hampir semua dosen pembimbing mata kuliah yang kami ambil semester ini, memberikan tugas pada waktu yang juga hampir bersamaan. Minggu ini saja ada tiga tugas dan dua laporan praktikum yang harus dikumpulkan, termasuk paper "System Modeling & Analysis" yang dead-line-nya siang ini jam 13.00, dikumpulkan di kantor Tata Usaha jurusanku. Tempat yang lebih akrab dikenal oleh mahasiswa jurusanku dengan nama "Si Tuti", singkatan dari Tata Usaha Teknik Industri (TU-TI). Alhasil, kami berbagi job, Irwan menangani laporan-laporan, Hendry ngerjain Case Study "Management Information System" dan aku ketiban paper "Modeling" yang ternyata benar-benar merepotkan ini!

Memang model kerja kelompok kayak gini ada kelemahannya, yaitu kami tidak tahu dan tidak mengerti apa yang dikerjakan oleh si anggota kelompok yang bertanggungjawab menyelesaikan tugas itu. Tapi buat kami, mau gimana lagi? Oleh sebab itu, setiap anggota mendapat copy paper dan laporan yang dibuat. Selain itu kami juga sudah berkomitmen untuk saling mengajari dan menerangkan apa yang kami lakukan pada tugas itu. Disamping diterapkannya rotasi tugas diantara kami bertiga. Jadi untuk tugas "Modeling" berikutnya, tentunya bukan aku yang bakalan ngerjain, gilirannya si Hendry atau Irwan.

Sambil menggigit roti daging, yang kubeli dari kantin 'baru' yang terletak di Gedung Teknik, aku bergegas kearah Tower, gedung perpustakaan kampusku, Universitas P. Sedikit berlari aku menapaki anak tangga kecil didepan atrium atau yang lebih terkenal dengan sebutan "Kolam Jodoh". (Soal "Kolam Jodoh" ini, akan aku ceritakan kemudian!). Kulirik Casio-ku. Shit, it's 12.23! Padahal aku belum foto-copy, menyusunnya dan membawanya ke tempat penjilidan. Lalu menggandakannya lagi buat Irwan dan Hendry? Ah, biar aku print-kan saja lagi dari kompie-ku.

Kulirik sekilas kearah tiga pintu lift. Busyet! Antriannya panjang bener! Fiuh, berarti aku harus manual nih, alias naik tangga! Melewati sisi "Kolam Jodoh", aku membetulkan posisi tas punggungku yang kucangklongkan sekenanya di bahu kanan, lalu membongkar File Holder-ku pada tangan kiri, mencari lembaran-lembaran tugas yang semalam ku-print. Suasana atrium siang ini rame banget, berisik... Biasalah, jam siang begini, kaum borjuis kampusku mulai nongkrong ditempat gaul ini. Entah untuk ngobrol, ngeceng atau cuman iseng.

Hoi, mana nih print-out paper sialan itu? Padahal udah aku klip jadi satu. Gini ini, kalo nyimpen banyak file pada satu tempat, tapi gak pernah diatur! Kakiku terus melangkah menuju tangga dibelakang lift, yang masuknya harus lewat sisi samping sebelah Timur lift tadi. Sibuk mengubek-ubek isi File-Holder, aku tidak sempat memperhatikan jalanan didepanku. Merasa sudah cukup hapal berapa langkah lagi untuk mencapai tangga itu. Lagian area jalan yang kulalui ini bebas dari tiang pancang, sketsel papan pengumuman atau penghalang lainnya. Mataku hanya sesekali melirik kedepan, selebihnya terfokus meneliti lembaran-lembaran putih pada setiap sheet File Holder yang setengah terbuka pada lengan kiriku. Sampai detik berikutnya...

BRAAAK! Kepala dan kedua lenganku menghantam sesuatu. File-Holderku terlempar keatas. Satu-per-sekian detik berikutnya, pantatku sukses mendarat diatas marmer hitam nan dingin. Dan belasan helai kertas putih melayang-layang di udara. Keluar dari File-Holder biru milikku yang terlempar sampai kira-kira tiga sampai empat meter disana. Tiba-tiba, semua menjadi gelap...

"Sorry, kamu gak apa-apa?" Terdengar suara lembut seorang pria. Samar-samar kulihat sesosok manusia dengan baju atasan warna kebiruan. Kubetulkan posisi kacamataku yang agak melorot. Dan didepan mataku sekarang... Hey, am I dreaming? Are you my fairy prince? Pangeranku dari negeri dongeng?

Wajah itu tersenyum. Sepasang mata hitam melebar dengan bulu mata lebat dan panjang, serta garis alis tebal mendatar. Hidung mancung dan bibir yang nampak kering, namun sexy. Lalu, gradasi kehijauan, warna khas kulit yang baru dicukur, pada sisi atas bibir indah itu, juga disekitar dagu dan rahang perseginya. Rambut hitam lurusnya yang terlihat basah oleh foam, dipotong pendek model Italia, dengan sisi depan dan samping atas yang ditarik berdiri keatas. Mirip banget dengan potongan rambutnya Nick Lachey, salah satu personel boy-band 98 degrees.

Entah berapa lama aku terpaku. Hanya menatap betapa tampannya wajah itu, sampai kurasakan sesuatu menekan halus bahu sampingku. Kedua tangannya kini memegang bahu sampingku. Hangat dan erat. Telapaknya seakan begitu pas dan sempurna mendekap bahuku yang terbungkus tee putih lengan panjang. Kuperhatikan lengannya yang nampak kemerahan. Cukup kekar dengan beberapa kabel urat yang mencuat kasar. Dari warna dan bentuk lengannya, dapat kuduga, this handsome guy is not a car driver. He must be a motorbike rider.

"Sorry, ya. Aku tadi gak sempat menghindar. Kamu gak apa-apa toh?" Suara lembut namun tetap terdengar jelas itu seakan membuaiku. Ingin aku meresponnya, tapi... Mulutku seakan kering, lidahku serasa keluh, tak mampu bersuara.

"Ayo, kubantu!" Dia menyodorkan tangan kanannya. Aku menggerakkan tangan kananku keatas, yang kemudian segera diraihnya. Detik ini, otakku kembali bekerja normal, memoryku yang baru melayang-layang telah kembali ketempatnya semula. Teringat akan tugas yang belum selesai kugarap, akupun tak ingin membuang-buang waktu. Kujejakkan kakiku dan kudorong badanku berdiri.

"Thanks. Aku gak apa-apa, koq!" sahutku begitu kuperhatikan mimik wajahnya yang bingung, tak tahu harus berkata apa lagi. "Aku yang harus sorry, jalan gak pake mata. Sorry, ya?" kataku tulus, menyadari kebodohanku, sambil memungut kertas-kertas putih yang bertebaran dilantai keramik.

"Gak pa-pa. Nevermind. Keliatannya buru-buru, nih?" Dia ikut memunguti kertas-kertas itu, lalu beranjak ketempat jatuhnya File-Holder biruku dan memungutnya. Kuperhatikan sejenak tubuh setinggi sekitar 175 cm-an itu ketika berjalan kearahku. Langkah kaki yang gagah! Penuh percaya diri. Badan tegap itu dibalut kaos polo agak ketat warna biru laut, serta jeans Navy Blue dengan ikat pinggang lebar warna hitam. Uh, He's so damn SEXY! Even with his clothes on, I could say this guy is really well-built! Tubuh yang atletis dengan dada bidang, pinggang ramping dan sepasang kaki panjang yang nampak padat berisi.

Wajah tampannya bersinar. Seisi dunia mendadak menjadi sunyi dan gelap. Tanpa cahaya dan suara. Hanya ada aku dan dia. Dia yang sedang mendekat kearahku. Mendekat dengan segala pancaran pesona dan cahaya berkilauan dari wajah dan seluruh tubuhnya. Pancaran pesona yang membuat nafasku tertahan. Dan jantungku berhenti berdetak. Entah berapa lama. Hingga...

"Punyamu..." Disodorkannya Holder itu kepadaku, sambil tersenyum. Seulas senyum yang hangat dan tulus. Senyum yang menawarkan persahabatan.

"Thanks!" sahutku singkat, menerima Holder dengan tangan kananku dan membalas senyumnya dengan senyum dari wajahku. Senyum yang juga tulus, apa adanya, tidak kubuat-buat. Senyum yang berasal dari hatiku. Senyum kebahagiaan... Atau apakah lebih tepat disebut senyum cinta, senyum yang terkembang karena aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Atau jangan-jangan juga senyum birahi, senyum yang muncul karena aku begitu 'horny' melihatnya, begitu ingin memeluknya, mendekapnya...

"Well, aku harus buru-buru nih! See you!" ucapku setelah memory akan tugasku itu kembali berkelebat. Kutarik telapak tangan kananku keatas sambil mengangkat alis dan mengerdipkan mata kanan. Salam dan isyarat khusus. Tak ambil pusing apakah dia ngerti atau nggak, segera kubalik tubuhku... Setengah terpaksa. RALAT: Benar-benar terpaksa!

Uuh, bener-bener deh paper sialan! Gara-gara kamu nih, aku sampai gak bisa mantengin dia lama-lama. Kalo gak ada kamu, mungkin aku udah bisa kenalan sama si Ganteng itu, bisa ngobrol dengannya. Bisa tahu dia tuh kuliah jurusan apa, angkatan berapa? Dan mungkin juga bisa dapet nomer HP-nya, atau malahan alamat rumahnya!

Lebih gila lagi... Aku kan jadi bisa lebih berlama-lama, bisa akting pura-pura kesakitan, lalu minta tolong dipijitin, diurut-urut uratku ~yang ku'anggap' keseleo~ dengan tangan kekarnya itu. Lalu minta dibopong ~yang tentunya dengan dipeluk dalam dekapan hangat si Pangeran itu~, atau kalo perlu digendong sama si Tampan Berbodi Atletis itu!

Sialan! Bener-bener sial! Gerutuhku sambil menapaki entah berapa ratus anak tangga untuk mencapai lantai 6, pintu masuk perpustakaan. Tapi, mungkin paper ini justru membawa keberuntungan buatku, ya? Coba pikir, kalo gak ada tugas ini. Aku pasti gak akan bela-belain panas-panas gini menyeberang jalan S, lalu lari-lari ke Tower ini. Mending duduk-duduk di kantin 'baru' atau nongkrong di 'Pantai', tempat gaul di Gedung Teknik. Ngeceng, flirting sana-sini, sekaligus cuci mata, mantengin brondong-brondong imut yang lewat ~ dengan aneka model rambut dan kostum yang justru semakin menunjukkan bahwa mereka itulah satu dari sekian banyak 'kormod' (korban mode).

Well, justeru harusnya aku 'say thanks' donk sama paper sialan ini. Gara-gara kamu, aku jadi tahu kalo ada makhluk cowok se-ganteng dan se-atletis itu dikampusku ini. Gara-gara kamu, aku jadi ketemu sama pangeran impian-ku, walau belum sempat berkenalan. Gara-gara kamu, aku bisa dapet sedikit hiburan segar siang panas ini. Gara-gara kamu, aku barusan bisa menikmati keindahan pesona ketampanan 'my fantasy guy'. Gara-gara kamu, paling nggak aku jadi punya alasan, buat... at least say "Hi!" to the handsome prince. Dan pintu kesempatan untuk masuk lebih jauh lagi kedalam kehidupannya, jadi terbuka, walaupun belum terbuka lebar...

Thanks God! Syukurlah, aku masih sempat mengumpulkan paper sialan itu tepat waktu. Pukul 12.58 kuserahkan sebendel kertas ~yang beberapa saat lalu membawaku kedalam suatu pertemuan tak terduga itu~ kepada petugas TU.

Tentunya, setelah menggas-menggos kehabisan nafas. Berkat "Mission: Impossible" dadakan ini, jadilah aku mirip IMF Agent Ethan Hunt yang bak dikejar setan berlari-lari kesana-kemari, entah berapa ratus meter, dibawah terik nan menyengat. Sebuah misi khusus dengan ancaman Bom Waktu yang tak dapat ~karena tak mungkin~ dijinakkan. Dengan tiap detik yang tak mau berhenti merambat. Menjalar ke titik akhir garis kematian. Deadline tiga-belas-kosong-kosong We-I-Be! Plus nilai nol besar paper mata kuliah berbobot tiga SKS. Juga, taruhan nama baikku dan beban berat kepercayaan besar kedua orang teman kompakanku.

Mission: Impossible? Well, tak berlebihan kusebut begitu. Bayangkan! Dalam waktu kurang dari 24 menit lebih berapa detik ini, misi ini harus kutuntaskan. Atau BOM akan meledak! No time to loose. Every single second's so expensive! It's time to get in ACTION! Tanpa noleh kiri-kanan, dengan pandangan mata lurus, jauh kedepan, aku langsung beraksi...

Sprint naik tangga sampai tingkat 6, menyerobot antrian meminjam kunci locker, memasukkan tas kedalam locker. Naik tangga lagi ketingkat 2 perpustakaan, mencari text-book pada rak-nya, berlari ketempat foto-copy dilantai dasar perpustakaan. Menggunting diagram dan grafik-grafik, lalu menempelkannya pada space kosong yang telah kusiapkan pada paper sialan itu.

Next, mengambil tas dari locker, mengembalikan kunci loker, turun tangga sampai lantai dasar Tower. Lari lagi ketempat penjilidan, berteriak-teriak pada Mas yang bertugas menjilid ~ minta didahulukan dan harus cepat. Kemudian, 'Hi-Speed Sprint' lagi ke Gedung Teknik. Dan lagi-lagi ~mau tak mau~ melakukan tindakan yang walaupun terpaksa, tapi paling benci kusaksikan: Menyerobot antrian lift menuju ketingkat 5, tempat "Si Tuti"!

"TING!" Begitu pintu lift kapsul ~yang hanya terbuka pada tingkat-tingkat bernomer ganjil~ itu terbuka saat detektor LED pada sisi kanan lift menunjukkan angka 5, akupun langsung berteriak sambil meluncur kedepan counter TU: "Pak, ngumpulin Tugas Modeling dimana? Whuuuts!!!" Reebok-ku tepat mengerem didepan counter. Namun lutut kiriku sempat menghantam papan counter itu, menimbulkan bunyi "Duuk!" yang cukup jelas terdengar.

Ooops!!! Dosen muda, sang penyiksa, pembimbing mata kuliah dan pemberi tugas paper sialan "Modeling" itu, berdiri disamping counter, disebelah petugas TU. Rupanya dia ingin menikmati pemandangan seru detik-detik terakhir pengumpulan tugas paper darinya itu. What a phsyco! Dosen yang ramah tapi sukanya memberi tugas dan ujian itu tersenyum geli melihat tingkahku. "Terlambat satu detik, TIDAK akan saya terima!" ancamnya dengan muka yang diserius-seriuskan.

"Loh, ini kan belum jam satu, Pak?!" sahutku sengit. Marah dan jengkel pada ultimatumnya itu, apalagi setelah usaha kerasku beberapa puluh menit terakhir ini.

"Iya-iya... Tenanglah, Fer! Kamu ini... nggak di kelas, nggak di jalan, nggak didepan TU, sukanya gludak-gluduk aja! Makanya, jadi orang jangan suka mepet-mepet, donk!" nasihat si dosen muda yang baru lulus dan diwisuda tahun kemarin, tentunya dengan predikat Cum Laude. Rupanya dia memperhatikan bahwa aku 'tidak pernah tidak' terlambat masuk kelasnya.

"Loh, asyik kan, Pak?! Bikin hormon adrenalin mengalir deraaaass! Ssrrrrrr...!" timpalku sambil menggetarkan ujung lidah dan menarikan lengan kanan membentuk gerakan lekukan seekor ular, yang langsung disambut pingkal tawa sang dosen dan petugas TU, juga beberapa mahasiswa lain disekitar TU.

Fiiuuuh!!! End of Mission! Yeah, at least, this silly paper mission! Tapi, satu misi lagi menantang didepan mata! Misi yang jauh lebih menarik, menantang dan menyenangkan buatku. Mission of Love. Or, more correct: Mission of Lust! Satu misi gila dengan tujuan khusus yang entah dapat dikatakan cukup mudah atau sulit... Tapi yang jelas, aku samasekali gak keberatan menjalankan this next mission. Mendekati, menjerat dan menaklukkan target. Siapa lagi, kalo bukan sang pangeran tampan yang menubrukku siang tadi.

Sepanjang 2 jam lebih kuliah siang itu, aku tak bisa konsentrasi pada materi kuliah. Yang terpampang dibenakku secara continue dan terus-menerus hanyalah replay, replay dan replay kejadian beberapa puluh menit yang lalu itu. Picture by picture. Scene by scene. Take by take.

Saat aku membuka mataku dan mendapatkan parasnya yang rupawan didepan ujung hidungku. Saat aku menangkap senyumnya yang menawan. Mereguk tatapan matanya yang hangat, so caring and lovingly stuck into my heart. Mata hitamnya yang jernih dan basah, dengan bola mata yang bergerak bingung. Mungkin bingung karena perasaan entah bagaimana harus bertanggungjawab, entah bagaimana harus menyadarkanku.

Detik demi detik penuh getar dan debar. Ketika dia berbalik setelah memungut File Holder itu… Dan berjalan tepat – lurus – kearahku. Dengan langkah tegapnya yang… So casual. And inviting. And so damn sexy! With all his gorgeous MAN-body! Plus the “cute as hell” face!

And please… Don’t ask how I was feeling! Coz I could hardly describe it! You know… the feeling when you see the one you think you wouldn’t ever meet your whole life. The one you could never expect when or what day you’ll encounter with! The feeling when you face-to-face your dream-come-true prince! The feeling when you are breathing just a few millimeter from the one you consider as a “perfect guy”! I mean the kind of guy you consider as “totally perfect”! The kind of guy you fantasize every nite. The kind of guy turns you ON just by imagining him.

The kind of guy who got the special POWER of LOOKS! The power to make you can’t blink your eyes for even a single milli-second! The power to make you could hardly do anything but freeze and hold your breath. The power to make you just staring at him! Stare at every single inch of his sensual move when he gets to you… closer and closer! And I could tell, this HOT guy ABSOLUTELY got those special powers!

Entah berapa lama kulamunkan dan ku-replay lagi imajinasi yang Real-Version-nya seharusnya cuma berdurasi sekitar 3 menit itu. Samasekali tak kuhiraukan celoteh profesor kurus dengan kacamata tebal yang melorot sampai ujung hidungnya itu. Aku tak peduli saat Si tua itu mengumumkan bahwa akan ada test dua minggu lagi. Yang disambut koor "Huuuuuh..." oleh seisi kelas. Juga reaksi beberapa mahasiswa yang langsung memanggil dan mentoel-toel mahasiswi didekatnya, mem-booking catatan untuk difoto-copy. Biasa, agenda tetap beberapa hari menjelang test dan ujian.

Aku hanya terdiam lesu disudut kelas. Tak seagresif biasanya. Fele, seorang teman cewek yang catatannya biasa kupinjam, menoleh kearahku. Telunjuk kanannya menunjuk kertas-kertas catatan model file diatas bangkunya. Dia mengernyitkan dahinya, membuat alis kirinya menaik. Tanpa body-language lainnya dan sepatah katapun, aku langsung tahu, dia menawarkan catatannya yang rapi dan enak dibaca itu untuk kupinjam.

Kuangkat sedikit tangan kananku, sambil memposisikan telunjuk dan ibu-jari membentuk lingkaran, memberi kode "Ok!". Dia mengangguk satu kali sambil tersenyum. Cukup manis. Fele memang selalu tahu apa yang kubutuhkan dan kuinginkan. Khususnya yang berkaitan dengan materi kuliah. Cewek yang beberapa kali sekelas denganku sejak SMP ini, selalu siap membantuku. Termasuk mengajariku materi yang belum kumengerti dengan jelas. Tentu saja Sisca, my gf tak terlalu kuatir, sebab Fele adalah teman baiknya. Model teman cewek yang bisa diandalkan dan dipercaya. Fele, Hendry or Irwan... So lucky I am, to have special friends like them.

Akhirnya, setelah menjelaskan bahan test dan tiga model soal yang akan diujikan dalam waktu 120 menit dua minggu lagi, sang profesor mematikan Over Head Projector dan mengakhiri kelas. Handphone-ku berdering, tepat bersamaan dengan suara ribut yang mulai berkumandang. Suara gesekan kursi dengan lantai bercampur dengan dimulainya babak mengoceh para mahasiswa. Rutinitas tetap setiap akhir sesi kuliah.

Kukeluarkan 8310 dari saku Kickers komprang warna khaki. "Sisca" terpampang pada ‘light turquoise’ monitor yang berkedap-kedip.

"Ya, Sis?"

"Tunggu aku di kantin!" jawab suara disana. Dua detik dan berakhir. Cara bagus untuk menghemat pulsa. Meski kadang njengkelin.

"Jam berapa?" tanyaku cepat, begitu mendengar "YA?" lengkingan khas Sisca setiap menerima call dariku. Samasekali gak romantis, memang. Tapi aku suka. Suka sikap to-the-point dan ketegasannya. Tentu saja, untuk situasi semacam ini saja. Lain, kalo aku nelpon nomer rumahnya dari telpon rumahku. Kami bisa santai dan berlama-lama. Saat seperti itu, suaranya bisa menjadi begitu lembut, mesra dan sexy. A Romance In The Air.

"Setengah jam lagi!" Sisca memberi jawaban, masih dengan sistem "Free-of-Charge for The First Three Seconds".

"Oke!" sahutku mantap, memberi konfirmasi akhir, sesaat sebelum masuk lift kotak. Kebalikan dengan lift kapsul, ketiga lift yang terletak pada jantung Gedung Teknik ini hanya berhenti pada tingkat-tingkat bernomer genap, kecuali tingkat 2, yang diganti dengan tingkat 1 sebagai base floor.

Hasrat alam memerintahkan kakiku membawa tubuhku menuju kantin baru. Tak hanya untuk menunggu Sisca, yang kayaknya minta dianter pulang, tapi juga tuntutan perutku yang meronta. Gara-gara misi paper itu, perutku belum terisi apa-apa sejak pagi. Hanya segelas susu coklat tadi pagi dan sepotong roti daging siang tadi. Begitu kutaruh tas punggung biru tua diatas salah satu kursi pada meja yang kosong, kakiku langsung melangkah lagi menuju stand Mie.

Sambil menunggu pangsit mie yang masih mengepul panas, kukeluarkan beberapa lembar kertas yang telah di-klip jadi satu. Hasil kerja beberapa wartawan junior yang saat ini masih berstatus 'magang' di majalah kampus. Hasil kerja yang mungkin juga menentukan nasib mereka selanjutnya. Apakah diterima untuk menjadi wartawan tetap. Tentu saja, penilaian utama bukan pada skill menulis mereka. Tapi lebih pada sikap, upaya dan kemampuan untuk bekerjasama dalam team. Syarat mutlak yang seharusnya dimiliki setiap aktifis organisasi. Disamping loyalitas dan komitmen untuk rela ber'korban'. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran bahkan nilai dan IPK yang mungkin juga bisa terpengaruh karena kesibukan extra ini. Hm, not bad! Walau banyak yang mesti diedit dan disempurnakan.

"Hallo, Ko Ferry! Lagi ngapain?" seorang cewek menyapaku, lalu menaruh tas dan buku-bukunya di bangku didepanku. Kemudian menarik kursi didepanku dan duduk, tanpa bertanya terlebih dulu: "Kosong?". Satu kata yang paling banyak diucapkan di kantin ini saat jam makan siang. Cukup cerdas juga, rupanya dia mengamati sebelumnya kalo aku duduk sendiri pada meja berkapasitas delapan orang pada jam dimana suasana kantin sedang lenggang. Memang untuk saat ini, tak perlu membuang energi menanyakan pertanyaan mubazir seperti itu.

"Oh, Uwie! Kebetulan nih, Wie. Aku lagi ngoreksi hasil tulisanmu!" sahutku sambil memutar garpu untuk mengikat mie. Uwie ~ panggilan akrab dari ‘Dwi’, mahasiswi semester dua Fakultas Ekonomi, adalah salah seorang wartawan junior yang tengah magang itu.

"Yang, mengenai 'E' FM, radio kampus kita, ya?" Si Uwie langsung tertarik.

"Iya. Kamu pinter juga, Wie! Data kamu cukup lengkap. Materi wawancara kamu dengan pimpinan studio, beberapa penyiar dan pengurus radio juga cukup dalam dan informatif. Cuman..."

"Cuman apa, Ko?" Wajahnya yang semula ceria, langsung berubah mengerut begitu mendengar kata 'cuman' itu.

"Kamu ini bikin artikel buat majalah kampus atau buat Karya Tulis Ilmiah?" kritikku dengan nada lembut, biar terdengar seakan bercanda...

"Loh, harusnya gimana, Ko?"

"Ya... Kalo kamu pengin tulisan kamu ini dibaca, ya buat donk semenarik mungkin supaya pembaca, mulai dari membaca judul dan kalimat pembuka saja sudah tertarik. Bikin deh lebih nge-pop. Paper kuliah aja sudah cukup banyak mbikin jutek. Jangan ditambahin lagi dengan mbaca tulisan majalah kampus yang seberat ini. Tujuan kita kan memberi informasi sekaligus menghibur? Oke, Wie?" uraiku dengan lembut dan tersenyum padanya.

"Oke deh, Ko Ferry yang pinter dan baek banget..." Rupanya, si Uwie nih tipe cewek pintar, yang selain pintar kuliah, juga pintar mengambil hati. Tinggal memolesnya sedikit lagi, mungkin dia bisa kucalonkan menjadi penggantiku tahun depan, ya kalo dia mau, siap dan gak 'mrotol' di tengah jalan.

"Eh, Uwie pergi dulu, ya? Ntar Uwie ubah deh gaya nulis Uwie. And kalo gak keberatan, ntar kalo Uwie butuh masukan, boleh gak nih telpon Ko Ferry?" pamitnya seraya mencangklongkan tasnya ke bahu.

"No problem. Anytime you need! Ati-ati ya? Bye!"

"Bye!"

Membuat majalah kampus tuh nggak bisa dikatakan gampang loh! Cukup banyak unsur kompleks didalamnya. Baik redaksional maupun managerial. Kebetulan aku berangkat dari redaksi, sebagai reporter. Tapi sekarang, sebagai Ketua II, aku banyak menangani urusan admisnistrasi dan keuangan. Misalnya berurusan dengan keuangan pihak Universitas, percetakan, juga yang paling sulit namun menantang... Mencari sponsor yang mau pasang iklan. Selain itu, masalah kaderisasi juga lumayan berat dan memusingkan.

Sedikit banget dari sekian ribu mahasiswa P yang mau bergabung dalam organisasi majalah kampusku. Apalagi menjadi reporter. Entah apakah bakat menulis sudah sedemikian langkah ditemui di kampus yang terbilang cukup elite ini. Atau sikap cuek-isme yang semakin merajalela merasuki mahasiswa itu. Mungkin mereka merasa tidak bakalan 'get something' by joining an organization. Malah nyapek-capekin diri aja!

Aku sendiri sempat berpikiran seperti itu. Namun, toh aku telah membuktikan sendiri, betapa aku memperoleh banyak hal dan peningkatan kualitas diri dengan ikut aktifitas semacam ini. Dan, karena minimnya SDM redaksional itu pula, maka sebagai wartawan yang terbilang 'sedikit lebih' senior, aku dimintai tolong oleh Ketua I-ku untuk membantunya mengedit dan mengkoreksi beberapa naskah yang masuk.

Aku masih asyik mencorat-coret dan memberi komentar pada salah satu naskah yang masuk, ketika tiba-tiba aku merasakan ada sentuhan lembut pada punggungku. Aku menoleh… Dan tepat dibelakangku sekarang...

"Hai!"

GOD, It’s My Prince Charming! Si baju biru yang menabrakku siang tadi di atrium. Dia tersenyum, memamerkan deretan rapi giginya yang putih bersih. Duh! Untuk yang kedua kalinya dalam sehari ini... Jantungku berhenti berdetak. Aku masih tak mampu menyembunyikan betapa kuterpesona menatap wajah tampannya yang seakan bersinar memandangku.

"Oh, kamu..." However, I should respond him, rite? Aku gak boleh tampil 'aneh' kayak gitu, dan keliatan blo'on dihadapannya. Ntar dia malah ngacir, gak tertarik. Padahal kesempatan emas sudah ada didepan mata. Tinggal kutangkap dan kupeluk! (Haha, tentunya bukan dia yang langsung kutangkap dan kupeluk! Salah-salah, malah lari ketakutan? Kesempatan ini yang harus cepat-cepat ditangkap!)

"Udah gak nubruk-nubruk lagi, kan?" Dia memulai dengan canda.

"Oh, don't worry! Tenang aja, kamu gak akan kutubruk lagi koq! I promise!" sahutku sambil mengangkat telapak tangan keatas, tegak didepan wajahku, membuat gerakan seakan sedang disumpah di pengadilan. "Why don't you take a sit?" undangku, menunjuk kursi didepanku. Sengaja tak kutunjuk kursi lainnya disekitarku. Kutunjuk kursi yang persis diseberang kursiku itu, agar dia mau duduk disana dan aku bisa leluasa menatap ketampanannya dari posisi yang paling strategis.

To be Continued???

Penulis Pengin Cur-Hat: Actually, cerita ini saya buat tahun lalu, sebagai ‘selingan’ saat menulis “Gede!”. Baru sekarang saya posting untuk mengobati kerinduan beberapa rekan. Kerinduan pada Breezy Autumn. Pada style Breezy Autumn yang khas. Khas njelimet dan bertele-tele. Namun, saya yakin, ada satu ke-khas-an lagi… Breezy Autumn yang tetap ditunggu-tunggu… Bener kan? Sampai detik ini, saya masih belum sedikitpun melanjutkan serial “Gede!”. Walaupun saya sudah punya rangkah kontruksi kelanjutan ceritanya. Yang jelas, episode-episode “Gede!” mendatang bakalan lebih HOT dan “Get The Real Scene!”. Bocorannya: ‘ONS’ di Episode 4. Terus ada ‘Ngintip Si Gede lagi Nge-SEX’ dan ‘Three-Some’ di “Gede!” Episode 5 (Last Part of “Gede!”?). Cuman… Saya masih gak tahu kapan bisa nulis lagi! ~ Well, just hope I could get free of those heavy-duties real-soon! So, just be patient, guys… ~ Saya sih suka nulis. Bagi saya, menulis adalah aktualisasi diri. Malahan, saya punya cita-cita mendirikan satu MAJALAH khusus untuk kita-kita… Sebagai wadah komunikaSI, informaSI, kencanisaSI dan fantaSI! Tak ketinggalan, sebagai Media Ngaceng-isaSI khusus komunitas kita! Gimana, kira-kira cukup menjanjikan nggak, kalo di-tilik dari segi bisnis dan komersialitas? (Hey, it’s ALL about the MONEY, guys! C’mon! Get REAL, man!) Bagi yang serius dan sudah memikirkannya (Please do the feasibility analyses first, man!) atau yang mau tukar pendapat, atau mau me-REKRUT saya sebagai Redaksi atau Business-Partner… (Not sparing-partner nor sleeping-partner, please! => Dipertimbangkan kemudian! ^_^ Hehehe…) Please directly email me: breezyautumn@email.com !!! Allrite! I LOVE YOU. (BreezyAutumn, March’03)

###

1 Gay Erotic Stories from Breezyautumn

Breezy Autumn Series: "Joe," Part 1

Breezy Autumn Series: "Joe" Part 1 "JOE" Shit! Kenapa aku sampai lupa memfoto-copy diagram-diagram dan grafik-grafik sialan itu dari text-book tua itu kemarin di perpus? Padahal kemarin aku sampai sore disana, menyusun paper sialan ini! Paper yang mestinya dijadikan tugas kelompok. Satu kelompok 3 orang. Seperti biasa, aku selalu berkelompok dengan Hendry dan Irwan, kelompok tetapku

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story