Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

3 hari yang jadi awal dan akhir 3

by Goblok


1 HARI SEBAGAI AWAL DAN AKHIR (Aku tunggu setelah Tarawih Part II)

“Udah di bilang gue enggak melucu, gue mau memperkosa elo, paham?!” Aku melihat ekspresi Ragil jadi aneh, tatapannya begitu tajam dan membuat bulu kuduku merinding. “ Gil, jangan bercanda !” aku makin panik.Ragil terus mendekatiku. Aku segera mempersiapkan jurus karateku kalau memang keadaan tidak memungkinkan terjadi. Rasanya Ragil enggak main-main. Jarak Ragil tingal satu langkah lagi, dan kini ia benar-benar telah ada di hadapanku, aku sedikit beringsut kesamping, dan aku hampir saja memukulnya ketika tiba-tiba ia menjulurkan lengannya. “Elo cocok pake baju ini!” Ragil memperlihatkan baju yang baru di ambilnya dari lemari. Shit! Ternyata ia memang bercanda. “Kenapa Elo ketakuan gitu?” Ragil menatapku dengan pura-pura enggak tahu. Huh, aku benar-benar marah! Langsung aku tarik tangannya dan kubanting dia ke kasur. Ragil menjerit, tapi aku tak perduli, tangannya tetap kupiting dan kemudian kepalanya aku benam-benamkan di kasur. “Sekali lagi elo ngelakuin ini, elo akan benar-benar gue hajar!” “Ia deh, ampun! Ampun!” Ragil terus berteriak kesakitan. Rasain!! “Kapok,kagak?!” Ragil menepuk-nepuk tangan yg satunya ke kasur seperti orang yang kalah smack down. “Iya kapok! Kapok!” Setelah Ragil minta ampun aku baru melepaskan pitinganku. Ragil kulihat bernapas dengan lega sambil mengurut tangannya. “Pantat kamu enak banget nempel di punggung gue!” Ragil kembali tersenyum nakal, dan aku langsung pasang kembali tampang menyerang. “Ampun! Ampun! Enggak Enggak! Bercanda!” Ragil membungkukan badannya sambil menyembah-nyembah seperti seorang prajurit pada rajanya. Dan aku kembali melanjutkan ganti pakaian yang tadi tertunda. Banyak sekali kejadian yang aku alami bersama Ragil hari ini. Dan kalau boleh jujur aku merasa terhibur juga setelah di hari-hari kemarin disibukan dengan TA-ku. Dan entah kenapa aku merasa bahagia bisa bersama dengannya, bercanda, berantem, bahkan hanya sekedar rebutan lauk telah membuat aku bisa tertawa. Kami kelelahan setelah terjadi perang bantal. Kamarku benar-benar seperti kapal pecah. Ragil telentang di kakiku dengan kepala menjuntai di pingir ranjang. Nafasnya memburu, wajahnya tampak begitu ceria meski bintik-bintik keringat menetes didahinya. “Gue, pengin begini terus” Desisnya dengan bibir tersenyum. “ Elo, merasa bahagia enggak, An?” Aku terdiam mendengar pertanyaannya. “An..?” “Hmm..” “Elo denger enggak sih?” Ragil bangun, dan merebahkan tubuhnya di sampingku, ditatapnya wajahku dengan lembut. “Elo merasa bahagia enggak bisa dekat denganku?” “Elo, mau gue jawab apa?” “Kok balik nanya? Bahagia enggak deket gue?” “Gue bahagia kalo elo sering neraktir gue” Aku tersenyum, menggoda. Ragil tiba-tiba melingkarkan tangannya di pinggangku. Di rebahkan kepalanya di dadaku. “Oke deh, entar sore gue teraktir lagi” Suaranya terdengar lirih. “Gue bercanda, Gil!” Aku memberanikan diri memeluk bahunya. Ragil tentu merasa kalau tanganku bergetar. Aku melihat Ragil memejamkan matanya. , kembali aku mmberanikan diri membelai rambutnya, kurasakan Ragil makin mempererat pelukannya. Ah, Ragil. Apa sebenarnya yang terjadi pada diriku, kenapa aku begitu merasa damai bisa memelukmu seperti ini? Kenapa aku ingin selalu menatap wajahmu yang terpejam damai? Kenapa tanganku tak mau berhenti membelai rambutmu? Apa aku mulai luluh oleh perlakuanmu? Apa aku telah jantuh cinta padamu? Berbagai pertanyaan dan kebingungan terus berputar si benaku. Sebelum aku sempat menemukan jawabannya suara Adzan Ashar telah menyadarkan aku untuk segera mandi dan sholat Ashar. “Gil, gue mau sholat” Ragil, merenggangkan pelukannya, dan aku benar-benar terkejut ketika ia tiba-tiba mencium pipiku. “Gue jadi makmumnya ya” Ragil tersenyum menatapku. Aku mengangguk dengan perasaan bingung. Kalau ditelaah secara akal sehat rasanya aneh kalau Ragil bisa mencintaiku dengan sebegitu rupa. Tak ada yang istimewa pada diriku. Wajahku biasa saja, penampilanku juga biasa saja bahkan terkesan semerawut dengan rambut gondrong yang tidak terawat. Kulitku sedikit gosong terkena sinar matahari, pokoknya jauh banget dari kesan cowok kinyis-kinyis yang harum! Apa aku terlalu sibuk di organisasi dan kampus? Sedangkan dia? Meskipun tidak terlalu tampan seperti bintang sinetron, Ragil sangat manis, setidaknya banyak cewek yang mengejarnya. Kulit bersih, rambut rapi jail, modis dengan bodi atletis, lucu, mudah banget bagi dia untuk menggaet cewek terlebih cowok gay. Tapi kenapa dia memilihku. Apa dia hanya bercanda? Ah sebodo amat!

Malam ini kami habiskan dengan jalan-jalan di mall dan menonton film di bioskop, tentu saja Ragil yang traktir. Kami berdua pulang dengan berhujan-hujanan. Rasanya suasana begitu indah. Kami berlari diantara hujan sambil bergandengan tangan, sesekali kami berusaha saling menelikung kaki agar jatuh, dan kemudian kami tertawa. Baju kami sudah tidak karuan lagi warnanya dengan lumpur yang belopatan dimana-mana. Untung hari sudah malam apalagi hujan sehingga jarang ada orang di jalan. Sampai di kosan kami langsung mandi, ganti baju dan masak mie instan. “An, gue nginep di kamar elo ya” Ragil menatapku sambil menghabiskan mienya yang tinggal satu sendok. “Emangnya kenapa dengan kamar elo?” “Gak ‘pa-pa sih. Gue cuman pengin tidur bareng elo aja. Boleh?” “Boleh sih, asal jangan lupa ongkos sewanya aja”. “Dasar matre!” Ragil memencet hidugku. “Sanggup enggak?!” “Iya! Iya! Berapa permalamnya?” “Pokoknya cukup buat 5 kali makan!” “Bangkrut dong, gue! Tapi gimana servisnya?” Ragil tersenyum menggoda. “Servisnya? Loncat aja, lalu pukulkan raket kearah kok!” “Yee..emangnya main bulu tangis!” Ragil hendak memukulku tapi aku keburu menghindar. Aku berusaha lari tapi Ragil berhasil memegang tanganku, dicengramnya dengan kuat. Aku berontak, Ragil malah memelukku aku terus berontak dan akhirnya kami berdua terguling-guling di kasur sambil tertawa keras. Akhirnya kami kecapekan setelah bergulat lumayan lama. Kami sama-sama telentang di kasur dengan nafas memburu. Ragil menolehkan wajahnya ke arahku, di usapnya keningku dengan lembut. “Capek?” Aku tersenyum dan menggengam tangannya dipipiku. Ragil mendekatkan tubuhnya didekapnya tubuhku dari samping. Keringat kami langsung bercampur, lengket dan kami tidak memperdulikannya. “Andai bisa begini terus alangkah bahagianya.” Aku merasakan ucapan Ragil tiba-tiba terasa begitu hampa. “Kitakan satu kos, Gil” Aku balas menatap matanya yang entah sejak kapan berkaca-kaca. “Kamu kenapa?” Aku begitu khawatir. Aku usap pipinya dan menatap wajahnya yang begitu penuh kesedihan, padahal baru saja kami tertawa. “Kamu kenapa, gil?”Aku mengulang lagi pertanyaanku. Ragil tidak menjawab, ia bahkan memeluku dengan erat. “Gil…?” “ Senin besok gue ‘mo ke Aussi” “Asik dong, berarti gue dapat oleh-oleh nih!” Aku mencoba bercanda. Tapi Ragil malah menangis. “Aku enggak akan kembali, An” Aku merenggangkan pelukannya. Kutatap wajahnya mencoba mencari kebenaran. Jangan-jangan ia menggodaku lagi. “Bokapku dapat tugas di sana, dan kalau aku masih mau tetep kuliah aku harus ikut dengannya” Entah kenapa dadaku tiba-tiba berdebar dengan kencang. “Nyokap, elo?” “Nyokap, gue? Mana dia punya duit buat biaya kuliah gue. Sejak bercerai buat hidup aja dia menumpang di tempat tante Rina” “So…” Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakana. “Aku ingin tetap kuliah..” Dadaku benar-benar terasa nyeri, kenapa ini terjadi disaat aku mulai mencintainya? Atau Ragil memang sengaja mempermainkan aku? Aku merasakan sebelah sayapku patah. Sebelah sayap yang selama ini telah membawaku terbang tinggi dalam tawa. Sakit sekali! “Pergilah! Lebih cepat lebih baik!” Aku mendorong tubuh Ragil hingga terbentur ke tembok. Aku bergegas menuju meja gambarku, kukeluarkan peralatan gambar. “Aku mau gambar. Baiknya elo keluar!” Perasaan kecewa begitu kencang mengikat hatiku. Aku merasakan sesak dan rasa sakit sekaligus. Harusnya gue enggak erbius dengan perlakuan dan perhatiannya. Tapi sudah terlambat! Dalam satu hari ini semuanya telah terjadi. Entah sejak kapan Ragil berdiri di belakangku, aku mendengar isak tertahannya. Tangannya mencoba meraih pundaku, tapi aku langsung menepisnya. “Tolong! Aku akan menyelesaikan TA-ku!” Aku menghardiknya tanpa menoleh. “An, aku tidak bermaksud meninggalkanmu!” Suara itu lebih terdengar sebagai rintihan, dan aku terus pura-pura menggambar. “An…” “Sudahlah Gil, kamu kira aku sedih karena kamu akan pergi? Enggak Gil! Enggak! Aku malah bersyukur, enggak akan ada lagi orang yang menggangguku!” “Jangan boong An, aku tahu kamu mencintaiku!’ “Cinta? Ha..ha..ha..Cinta?! Sejak kapan elo jadi Tuhan yang bisa membaca hati orang!? Sebaiknya elo keluar deh!” Aku berbalik dan langsung mendorong tubuhnya. “An, please!” “KELUAR!!!” Aku membentaknya. Dengan keras kudorong tubuhnya dan aku langsung mengunci pintu. “An..” Aku mendengar isaknya dari balik pintu. “Please, biar aku jelaskan!” Tak ada yang harus didengarkan dari seorang penipu. Kenapa tega sekali Ragil mengikat hatiku disaat ia akan pergi. Ia memang sengaja ingin menyakiti aku. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudahnya terhanyut. “An…” “Pergi!!” Aku memukul pintu dengan keras. ” Mulai saat ini gue gak mau melihat wajah elo lagi! Dan jangan harap gue mau berbicara dengan elo!” “Please, beri gue kesempatan. Gue bener-bener cinta sama elo” Ragil terus memohon-mohon dari balik pintu dan aku hanya menutup telingaku sambil berusaha menahan rasa sesak didada. Setelah lama, suara itu tidak lagi terdengar. Hanya deru hujan yang terdengar dari luar. Dengan lunglai aku berjalan menuju meja gambar. Aku mencoba menggambar, namun goresan-goresan tak bermakna yang tercipta di kertas. Deru hujan makin kencang diluar dan aku sendiri sibuk menenangkan deru dihatiku yang terus berpacu dengan rasa sesak yang membuatku ingin menangis. Tapi aku tak boleh menagis. Tak boleh!! Pipiku tak boleh basah oleh airmata, biarlah halaman depan saja yang basah, terus di guyur hujan, tidak dengan wajahku!.... Pergilah, Gil! Aku yakin dapat kembali menata hatiku, meski dalam jangka waktu yang lama.

###

6 Gay Erotic Stories from Goblok

1 hari yang jadi awal dan akhir

KRIIING…! Wekerku berbunyi kenceng banget. Ah, ternyata aku tertidur di meja gambar. Dengan terkantuk-kantuk aku bangun dan mematikannya. Sudah jam lima. Aku menggerak-gerakan leherku yang terasa kaku. Tidur menelungkup di meja membuat leherku juga terasa sedikit sakit. Bagaimana ya dengan Ragil, apa malam ini dia bisa tidur? Ah, sebodo amat, kok aku jadi mikirin dia lagi sih? Aku segera

3 hari yang jadi awal dan akhir

1 HARI SEBAGAI AWAL DAN AKHIR (Aku tunggu setelah Tarawih Part II) Dok! Dok! Aduh siapa sih yang iseng gedor-gedor pintu di pagi hari?! Ngantuk banget. Semalam aku gambar sampai jam 2, lagian inikan sabtu, aku ingin tidur sampai siang, toh aku sudah sholat subuh. Dok! Dok! Gedoran itu makin kenceng. Aku menutup kepalaku dengan bantal. Bener-bener nyebelin! Siapasih anak yang nge’bete’in, tuh?

3 hari yang jadi awal dan akhir 3

1 HARI SEBAGAI AWAL DAN AKHIR (Aku tunggu setelah Tarawih Part II) “Udah di bilang gue enggak melucu, gue mau memperkosa elo, paham?!” Aku melihat ekspresi Ragil jadi aneh, tatapannya begitu tajam dan membuat bulu kuduku merinding. “ Gil, jangan bercanda !” aku makin panik.Ragil terus mendekatiku. Aku segera mempersiapkan jurus karateku kalau memang keadaan tidak memungkinkan terjadi.

Aku Tunggu Setelah Tarawih

Hallo friend! Kali ini gue mo cerita tentang pengalaman gue di bulan ini (uptodate, khan). Cerita yang menurut gue sih nyebelin meski sedikit ,ngenakin juga (kok bisa ya?) Cerita ini gue sadur dari buku harian gue, so..kita mulai aja ya, begini ceritanya ( he..he..kayak kismis): Alkisah: Ramadhan, 3 November 2003. “Mandra!” Aduh, norak banget tuh anak kalo manggil. Udah enggak ketulungan

Cinta Tak bsa di Paksa

PROLOG Waktu ternyata memang obat yang paling mujarab. Setelah sekian lama aku menderita karena mencintai Ken, akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai bisa melupakannya, tidak 100% memang, tapi aku sudah bisa menganggapnya sebagai teman biasa. Setiap sholat malam aku selalu berdoa semoga bisa melupakan Ken dan Allah mengabulkan doaku. Ku bisa kembali melakukan aktivitasku dengan tenang.

Karena Aku Berbeda, Part 2

PROLOG Waktu ternyata memang obat yang paling mujarab. Setelah sekian lama aku menderita karena mencintai Ken, akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai bisa melupakannya, tidak 100% memang, tapi aku sudah bisa menganggapnya sebagai teman biasa. Setiap sholat malam aku selalu berdoa semoga bisa melupakan Ken dan Allah mengabulkan doaku. Ku bisa kembali melakukan aktivitasku dengan tenang.

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story