Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

1001 Kisah: Manfaat Kerja Bakti

by Tri Sugihantoro


Minggu pagi. Minggu yang cerah. Sebagian besar kaun bapak di RT-ku bergotong royong membersihkan lingkungan yang rutin dilaksanakan sebulan sekali. Rutinitas bulanan yang sangat aku sukai. Selain berolahraga aku juga bisa memanfaatkannya untuk memanjakan selera homoku. Bagaimana tidak? Para bapak itu umumnya hanya mengenakan celana pendek yang bias menunjukkan kekekaran paha dan betis mereka. Dan yang terpenting, sebagian besar dari mereka memiliki tonjolan yang lumayan besar di depan celananya. Akh… Aku memang belum pernah melihat satu pun kontol mereka. Namun, aku yakin ukuran mereka cukup banyak yang di atas standar. Semoga saja ada yang menjadi milikku pagi ini!

“Bapak-bapak! Istirahat dulu... Ada lontong, nih!” teriakan Mang Udin menghentikan kegiatan seluruh peserta kerja bakti.

“Hahhh... Lontong?!” canda Pak Edi yang berkonotasi seksual itu memancing tawa seluruh bapak-bapak itu. Aku jadi terangsang mendengarnya.

“Lontongnye siape?” tukas Bang Jali dengan gaya Betawi-nya.

“Lontongnya Pak RT! Tadi Bu RT yang mengantarkan...” jawab Pak Soleh polos. Spontan yang lain tertawa makin terpingkal. Pun aku. Pak Soleh yang kalem tapi juga polos itu agak terbengong mendapat reaksi demikian.

“Lontongnye Pak RT segini, nih?” Bang Jali menggenggam lontong yang belum terbuka dan mengacungkannya ke atas. Acungan tangannya diikuti seluruh pandangan para pekerja bakti. Hingga meledaklah tawa mereka.

“Lho, mengapa semua menertawakan? Ada yang salah kalau lontong saya sebesar itu?” tanya Pak RT. Ia penasaran rupanya.

“Segitu belum besar, Te!” tukas Pak Edi. Yang lain tertawa lagi.

“Itu belum bangun, Pak Edi...” bela Pak RT.

“Kalau sudah bangun seberapa, Te?” Mang Udin berlagak penasaran.

“Yaaah... bisa-bisa saya yang paling besar di sini...” agak gelagapan Pak RT menangkis pertanyaan Mang Udin. Ada nuansa gengsi dalam nada suaranya.

“Wah! Yang bener, nih?” tanya Bang Jali mengejek.

“Coba kita cek, Pak RT...” usul Pak Soleh. Lagi-lagi dengan keluguannya kami semua tertawa. Kecuali Pak RT.

“Oh, jangan, dong! Itu urusan pribadi... Bukan konsumsi orang banyak!” kelitnya berdiplomatis. Semakin kentara gengsinya. Pak RT, gitu loh!

“Kalau cuma satu orang yang lihat boleh, Te?” goda Bang Nasrul.

“E...e...” Pak RT gelagapan. Lagi-lagi kami tertawa. Hal ini membuat wajah Pak RT bersemu merah. Aku menikmati sekali gaya bercanda bapak-bapak ini.

“Gimane, Te? Berani buktiin nggak kalo lontong ente paling gede di sini?” Bang Jali kembali memancing gengsi Pak RT. Aku berharap Pak RT mengiyakan. He...he...

“Memangnya bapak-bapak yang lain tidak malu kalau diminta memperlihatkan lontong masing-masing?” Pak RT mencoba mengalihkan perhatian hadirin dari lontongnya. Hi...hi...hi...

“Buat ngebuktiin omongan ente, Te, kite semua kagak ragu melorotin kolor masing-masing!” Bang Jali seolah-olah menjadi perwakilan warga. Ucapannya tersebut membuat beberapa bapak misuh-misuh. Tidak pede sepertinya.

“Ah, saya sih kecil! Tidak usah dibuktikan lagi!” sela Pak Soleh segera. Yang lain langsung tertawa lagi.

“Wah! Kasihan Bu Soleh, dong...” ejekan Pak Edi membuat Pak Soleh mengkeret. Beberapa bapak yang sebelumnya berniat bersikap seperti Pak Soleh langsung mengubah strategi. Nah, looo....

“Kalau saya lumayan besar, tetapi tidak sebesar Pak RT...” Pak Jono salah satu pengubah strategi itu berdalih.

“Lho? Sudah pernah lihat lontong Pak RT, Pak Jono?” ledek Mang Udin seolah-olah bertanya. Pak Jono tidak menjawab. Hanya wajahnya yang memerah. Malu. Jangan-jangan... memang pernah, nih! Kik..kik...kik...

Suasana bertambah hangat. Celetukan-celetukan beraroma kontol betul-betul menggairahkan aku. Kurasakan kontolku sudah ngaceng sejak tadi. Namun, aku mencoba menyembunyikannya dari yang lain. Takut ketahuan kalau... hombreng! Huuu...

“Udeh, sekarang gini aje: Kita tarohan! Yang lontongnye lebih kecil dari ente, Te, gantiin ente ronda! Jadi, kalo ade lima orang yang lebih kecil lontongnye, ente bisa ngaso ngeronda selama lima minggu, Te!” Yups. Pancingan yang jitu! Oh, Bang Jali! I love you! Lelaki satu ini benar-benar membuat Minggu ini begitu berarti bagiku. Kwakakkakk...

Pak RT terlihat terkejut. Ia mulai tidak pede. Sebagian bapak yang sealiran dengan Pak Soleh hanya menggerutu. Sepertinya tidak terima , tetapi tak berdaya menolak usulan Bang Jali. Takut dikick balik oleh Bang Jali dan Pak Edi. Lihat saja Pak Soleh dan Pak Jono! Jadi kalem... Kasihan...

“Sebentar, Bang Jali! Kalau yang lontongnya lebih besar dari Pak RT dapat apa ?” tanyaku kritis.

“Pak Sugi benar, Bang! Yang lebih besar dapat apa?” Bang Nasrul mendukungku. Nampaknya ia juga bernafsu dengan tarohan tersebut. Hmm, darahnya masih muda. Baru dua puluh tujuh.

“Digantikan rondanya oleh Pak RT!” usul seseorang.

“Bebas iuran warga selama satu bulan!” usul yang lain.

“Anaknya dapat beasiswa!” usul yang aneh.

“Dapat beras tiga setengah liter!” usul yang juga aneh.

“Gratis naik haji!” makin aneh.

“Diisep sampai puas!” lebih dari aneh. Upss! Usul siapa itu? Oh, ternyata usulku sendiri. Untung cuma dalam hati...

Pak RT semakin memucat. Bang Jali, Pak Edi, dan Bang Nasrul sepertinya ingin membuatnya semakin pasi. Aku menikmati sekali kejahilan tiga lelaki iseng tersebut.

Akhirnya diputuskan bahwa yang lontongnya lebih besar daripada Pak RT dapat menentukan sendiri hadiahnya dari Pak RT, tetapi yang realistis. Dengan catatan diungkapkan sebelum dilakukan pembuktian ukuran dan disetujui oleh para pekerja bakti (cieee...). Pak RT sepertinya sudah tidak bernafas, tetapi jantungnya terus berdetak cepat. Aku juga... tapi dengan alasan yang berbeda tentunya! Ha...ha...ha....

Pak Soleh, Pak Jono, Mbah Broto, dan Mas Nono langsung menyatakan siap menggantikan Pak RT ronda. Lumayan, sebulan Pak RT bisa puas mengeloni isterinya tanpa kewajiban lain yang mengganggu. He...he...

“Saya dibelikan viagra saja!” Mang Udin menyebut keinginannya. Terlalu mahal. Disetujui Pak RT mengurutnya selama satu jam sebagai penggantinya.

“Pak RT onani di depan saya!” Gila. Pak Edi benar-benar gila. Disetujui, tetapi dilakukan hanya di depan Pak Edi. Huuu... Penonton kecewa! Cuma aku, sih....

“Aye mau kontol aye diisep ente, Te, ampe muncrat!” permintaan yang seksi. Pak RT makin memutih wajahnya. Disetujui, tetapi jika kontol Bang Jali yang lebih kecil, dia harus bersedia melakukan hal yang sama. Dan... tetap dilakukan di ruang tertutup hanya mereka berdua. Huuu... lagi.

“Saya mau Pak RT menonton bokep semalaman dengan saya dalam keadaan bugil!” permintaan Bang Nasrul, si jejaka. Disetujui, tetapi dilakukan di ruang tertutup. Hanya berdua. Huuu...lagi-lagi.

“Kalau saya ingin kontol Pak RT dikocok oleh orang yang memiliki kontol paling besar dan disaksikan oleh peserta taruhan!” Ini permintaanku. Tidak malu. Sudah ada yang meminta dengan aroma serupa, bukan? Disetujui, tetapi hanya aku yang menonton. Itu pun jika si pemilik kontol terbesar bersedia melakukan tugasnya. Jika tidak, Bang Jali yang akan melakukannya. Ooohhhh... Bang Jali benar-benar memanjakanku! Sadarkah ia?....

Selebihnya, delapan orang bapak yang lain tidak ingin bertaruh. Namun, mereka tetap berpartisipasi dalam pengukuran kontol. Sekadar menghapus rasa penasaran, katanya. Ah,... masak?

Seluruh pekerja bakti akhirnya menuju aula RT. Seluruh pintu dan jendela dikunci. Ruangan dibiarkan terang benderang karena sudah dipastikan pemandangan di dalam tidak tembus ke luar.

Kami semua berdiri melingkar. Kecuali empat orang yang sudah mengaku kalah tentu saja. Sesuai kesepakatan kami diwajibkan membuat kontol kami masing-masing menjadi ngaceng. Akh, aku sudah dari tadi!

Tidak sampai tiga menit semua batang kontol telah menegang. Pak RT yang berada di tengah lingkaran sepertinya belum maksimal. Mungkin ia stress. Ditunggu sampai menit kelima buat Pak RT menegangkan kontolnya. Selanjutnya akan langsung diadakan pengukuran dalam keadaan bagaimana pun. Kasihan Pak RT... Dia sudah tidak bisa menambah ketegangan pada kontolnya! Stress....

Akibatnya, hasilnya mudah ditebak. Kontol kami semua lebih besar dibandingkan kontol Pak RT. Karena kasihan, segala permintaan kami diperkenankan diganti dengan satu permintaan terbaru: Pak RT boleh memilih salah satu dari kami untuk membobol liang duburnya saat itu juga disaksikan seluruh pekerja bakti!

Setelah mempertimbangkan untung-ruginya, Pak RT dengan lesu menyetujui hal tersebut. Dia memilih Pak Edi!

Aku tidak tahu alasan pasti Pak RT memilih Pak Edi. Padahal kontol terbesar adalah Bang Jali. Kalau mau yang segar muda, ya Bang Nasrul. Yang panjangan, Mang Udin. Akh... apa ya alasannya? Aku penasaran....

Pak RT dengan polosnya langsung menungging di tengah ruangan. Pak Edi pun tidak menunggu lama. Ia langsung menghujamkan kontolnya ke dubur Pak RT. Tidak ada hambatan. Selain ukuran kontol Pak Edi tidak terlalu super, lubang Pak RT pun lumayan besar.

Pak Edi terus memaju-mundurkan kontolnya. Sesekali ia angkat ke belakang badan Pak RT untuk memperlihatkan kontol Pak RT. Luar biasa! Pak RT kali ini benar-benar ngaceng! Dan ternyata.... ukurannya tetap yang terkecil! Hik...hik...

Hampir satu jam Pak Edi menunggangi Pak RT. Ia mengerang dahsyat setelah berhasil menyemburkan pejunya di lubang dubur Pak RT. Jantan! Pak RT sendiri sudah tiga kali melelehkan pejunya saat dirojok kontol Pak Edi. Hwalaaahhh...

Taruhan usai. Semua meninggalkan aula. Pak RT dan Pak Edi terakhir keluar. Aku sengaja membarengi mereka. Dan.... tak sengaja aku mendengar Pak Edi berbisik kepada Pak RT:

“Jangan khawatir! Lubangmu masih lebih sempit dibandingkan isterimu!”

SELESAI

###

9 Gay Erotic Stories from Tri Sugihantoro

1001 Kisah : Dosa-Dosaku

Ramadhan ini aku coba mengingat-ingat sudah berapa kontol yang aku dapatkan dalam hidupku. Ternyata sudah sangat banyak! Itu pun kemungkinan besar masih banyak yang kelupaan. Berikut aku coba sebutkan berdasarkan urutan kejadian:1. Seorang tukang rokok keliling. Siang itu sedang tidur di teras sebuah muholla kecil di kampusku di Rawamangun. Keadaan yang sepi memancing birahiku untuk

1001 Kisah : Si Juragan Kos (2)

Selama dua minggu ini Andri sudah tiga kali tidur di kamarku. Selama itu selalu berulang kejadian pertama tersebut. Namun, tidak lagi diawali dengan taruhan. Andri sudah mengerti keadaanku. Setiap dia ingin menuntaskan nafsunya, tinggal datang ke kamarku. Masih sebatas oral dan berjalan satu arah. Aku yang mengoral kontolnya yang besar itu. Jakarta, 18 Desember 2006 Kamar tengah akhirnya

1001 Kisah Gay: (1) Ketua Kelasku, Aries

Masuk sekolah baru. Aku yang sangat pemalu tentu saja sangat tersiksa. Selain orientasi seksualku yang sangat menyimpang, aku juga terlahir dari keluarga yang sangat miskin. Malu bergaul dengan teman-teman yang

1001 Kisah: Di Pos Satpam

“Siapa kamu!?” Pertanyaan Pak Satpam tersebut sangat mengejutkanku. Aku rasa lebih tepat jika disebut dengan hardikan. Kalau bertanya kok nadanya sadis amat? “Ssss…” tentu saja aku sangat gugup untuk menjawab pertanyaan (hardikan) tersebut. “Siapa!!” kali ini benar-benar berupa hardikan. “Tri, Pak…” dengan susah payah kukumpulkan keberanianku untuk menjawabnya. “Mau apa di sini!?”

1001 Kisah: Manfaat Kerja Bakti

Minggu pagi. Minggu yang cerah. Sebagian besar kaun bapak di RT-ku bergotong royong membersihkan lingkungan yang rutin dilaksanakan sebulan sekali. Rutinitas bulanan yang sangat aku sukai. Selain berolahraga aku juga bisa memanfaatkannya untuk memanjakan selera homoku. Bagaimana tidak? Para bapak itu umumnya hanya mengenakan celana pendek yang bias menunjukkan kekekaran paha dan betis mereka. Dan

1001 Kisah: Selamat Datang Paman Arjo dan Aris! (10)

Bang Samsul keranjingan membobol duburku. Nyaris setiap hari setelah Mbak Laras pergi, ia mengentotiku. Satu hari ia minta aku mengemut kontolnya seharian. Aku memenuhi keinginannya dengan senang juga akhirnya. Aku tinggalkan kontol yang terus ngaceng itu jika ada pembeli. Di hari lain ia akan menggenjot anusku sampai ia muncrat dua atau tiga kali. Padahal aku sudah kepayahan melayani nafsunya.

1001 Kisah: Selamat Datang Paman Arjo dan Aris! (8)

Pagi hari setelah peristiwa terbaik sepanjang hidupku ... Ada keributan di depan sekolahku. Fizkar dikeroyok Doni dan belasan temannya. Dia berdarah-darah. Namun, tiga orang dari belasan lawannya sudah terkapar kesakitan. Aku tak berani mendekat. Seharusnya aku membantu Fizkar menghadapi Doni dan teman-temannya. Namun, aku tidak pernah berkelahi. Kalaupun pernah bertengkar pasti berakhir

1001 Kisah: Selamat Datang Paman Arjo dan Aris! (9)

Aris tidak bermain-main dengan janjinya. Ia gantikan Fizkar dalam hidupku. Kamar tidur kami sudah berulang kali menjadi saksi kehangatan cinta kasih sepasang remaja lelaki. Selama dua tahun semuanya berlangsung. Fizkar tetap tidak ada berita. Kami lulus dengan nilai cukup baik. Aris mengikuti pesan bapaknya untuk langsung bekerja. Bukan hal yang sulit baginya yang memiliki banyak kelebihan.

1001 kisah: Si Juragan Kos (1)

Jakarta, 19 November 2006 Adalah sebuah anugerah yang tak ternilai yang kudapatkan di usiaku yang ke-30 ini. Rumah yang selama ini kukontrak sebesar enam juta rupiah per tahunnya kini telah menjadi milikku. Berawal dari jumlah hutang pemilik kontrakan yang terus bertambah padaku, keinginan naik haji, hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya, membuat pemilik kontrakkan terpaksa menjualnya padaku

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story