Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Jam Berapa Sekarang, Bag 2

by Adjie


"Jam satu…kamu lapar?" "Aku haus Pram, aku haus kasih sayang kamu. Peluk aku Pram, cium aku" Pram mengumpulkan kembali tenaganya yang hampir terkuras habis, membalikkan tubuhnya, menindih tubuh Remi yang tergolek di sampingnya. Di kecupnya lembut bibir Remi yang tipis seperti bibir ibunya. Bibir yang selalu membuatnya tenang ketika menghiburnya disaat hatinya gundah. Bibir yang lalu dilumatnya kembali dengan tidak bosan-bosannya. Entah berapa puluh kali sudah bibir mereka saling memagut sejak sore kemarin. Bahkan di jalan tol dalam perjalanan ke rumah Pram bibir mereka sudah berkali-kali menyatu. Untung hari hujan, walaupun masih sore langit sudah gelap tertutup awan. Seolah alam memberikan kesempatan kepada mereka yang sedang dimabuk birahi, jalanan tol sore itu agak sepi. Mungkin ada tabrakan beberapa kilometer di belakang mereka, sehingga mobil-mobil yang biasanya padat memenuhi jalan jagorawi pada jam-jam seperti itu tertahan di sana. Sesekali tangan Remi menyelinap di balik retsleting celananya, memainkan batang phalus yang sudah meronta-ronta ingin segera ke luar dari sarangnya, membuyarkan konsentrasi, membuat mobil yang sedang dikendalikannya oleng ke kiri dan ke kanan. Berulangkali diingatkannya Remi agar bersabar diri, meskipun ia sendiri sudah tak tahan membayangkan apa yang akan terjadi pada malam yang sudah lama mereka nantikan. Satu menit, lima menit, sepuluh menit bibir mereka masih saling berpagut menggebu seolah ingin memuaskan dahaga kekasih hatinya. "Kita belum sholat Pram…" suara Remi tersengal di antara jeda kuluman bibir Pram. "Masih perlukah kita sholat pada saat seperti ini?…Mungkinkah Tuhan masih mau mendengar do'a kita?…Mungkin Dia akan mencibir, mencemooh do'a para penghianat seperti kita" Tubuh Pram bergeser turun, wajahnya diletakkannya tepat di atas selangkangan Remi yang sudah dilumuri aroma keringat laki-laki yang semakin membangkitkan gairah yang tidak surut-surutnya. Bibirnya mencari-cari batang penis yang sebenarnya sudah siap memancarkan sperma yang ia ingin telan habis, sebelum telpon sialan itu berbunyi beberapa saat lalu. "Kurasa lebih baik kita tetap sholat Pram. Rasanya dosaku akan makin bertumpuk-tumpuk kalau meninggalkannya." Tubuh Remi menggelinjang merasakan lidah Pram yang mulai memilin-milin kepala penisnya. "Tapi konon, sholat yang baik adalah sholat yang bisa mengurungkan kita dari niat melakukan perbuatan brengsek seperti yang sedang kita lakukan sekarang ini. Lalu sholat macam apa yang akan kita lakukan?" Ujar Pram sambil menaik-turunkan kepalanya, sementara Remi makin mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar agar penisnya bisa masuk sedalam-dalamnya di kehangatan mulut Pram. "Setidaknya kita masih melakukan kewajiban…aaaahhhhh…" desah Remi ketika Pram mengalihkan kulumannya pada kedua buah zakar yang menggelantung di bawah penisnya yang kini tergenggam erat di kepalan tangan Pram. Desahan demi desahan meluncur dari kedua bibir Remi manakala tangan kekar itu semakin cepat memompa batang yang sudah berkilat-kilat bekas lumuran liur Pram. Tangan Remi tegang mencengkeram sprei yang sudah diporak-porandakan kedua tubuh yang bergelimpangan ke sana- kemari sejak malam tadi. "Masukkan Pram….hisap lagi…ahhhhh aku mau keluar" Dengan sigap Pram menghujamkan penis yang sudah berdenyut-denyut siap memuntahkan laharnya itu ke dalam hisapannya. Tak lama kemudian, terpenuhi sudah hasrat hatinya yang hendak melahap habis seluruh cairan cinta yang akan tertanam dalam di relung-relung hatinya. Remi tergolek lemas, selemas penisnya yang menjuntai tak berdaya di sela-sela pahanya. Rupanya energi Pram-pun sudah habis terkuras. Dilihatnya tubuh gempal itu meringkuk tak berdaya di antara kedua kakinya yang masih lebar mengangkang. Lima menit berlalu, dilihatnya tubuh Pram masih diam tak berdaya. Remi menjadi yakin Pram jatuh terlelap ketika terdengar dengkuran kecil keluar dari sela-sela bibir lelaki beranak dua yang sudah enam bulan menjadi kekasih gelapnya. Enam bulan. Ya enam bulan! Mereka menjalin persahabatan aneh yang penuh gelora dan pertentangan batin. Entah mengapa tak ada seorangpun dari keduanya yang berusaha melangkah sejauh yang mereka perbuat semalam. Entah bagaimana kejadiannya hingga kepergian mbak Pur ke Bandung itu mereka manfaatkan untuk menumpahkan magma kerinduan yang menggelora selama enam bulan mereka pendam. Perlahan Remi beringsut ke tepi ranjang saksi penghianatan dua kekasih lelaki yang tidak seharusnya terjadi. Dengan gontai dilangkahkannya kaki menuju ke kamar mandi yang menjadi satu dengan kamar yang kini hening bisu itu. Hanya bunyi AC terdengar berdesir. Dingin air mengguyur ubun-ubun sedikit menyegarkan pikiran Remi. Dalam mandi junubnya masih dipikirkannya kata-kata Pram, masih perlukah aku sholat saat ini? Bagaimanapun kau harus menjalankannya, hatinya berbisik. Mungkin Dia masih mau mendengarkan do'amu kalau kau masih melakukan kewajibanmu. Dihamparkannya sajadah, diambilnya selembar sarung yang tergelatak di atas meja rias yang kemudian dilingkarkannya ke pinggang. Empat rakaat dijalaninya dalam keheningan kamar yang bisu. Seusai zikir tangannya menengadah berdo'a, mengeluh, memohon ampun atas apa yang diperbuatnya bersama lelaki yang dilihatnya masih tergolek telanjang di ranjang yang juga bisu. Beberapa saat matanya terpejam mengiringi do'a-do'a yang keluar dari kedua bibirnya. Baru saja diusapkannya kedua telapak tangan menyapu wajah, mengakhiri do'a panjangnya, dua buah tangan berbulu lembut sudah melingkar erat di pinggangnya. Kecupan lembut di bawah telinganya membuat hatinya kembali berdesir. Ditengadahkannya kepalanya tatkala kecupan-kecupan Pram mulai menjalar turun ke lehernya. Tangan Pram sudah menelusupi celana dalam di bawah sarungnya, menyentuh lembut penisnya yang mulai menegang kembali. Ketika dirasakannya ada yang mengganjal di belakang kedua pantatnya, Remi pun tahu penis Pram sudah mulai mengeras berdenyut-denyut hendak menyalurkan gairah laki-laki yang kian merapatkan tubuhnya itu. Di atas sajadah yang masih tergelar, seolah hendak bersujud, Remi menekan kedua tangannya untuk menahan berat saat ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Pram pun tahu apa yang harus dilakukannya dengan posisi Remi seperti itu. Disingkapkannya sarung yang membungkus kedua kaki berotot itu, sehingga sepasang pantat putih yang masih terbalut celana dalam menantang di depan wajahnya. Perlahan dipelorotkannya penghalang keindahan itu. Remi pun secara kooperatif mengangkat lututnya satu persatu sehingga celana dalam putih itu lepas sama sekali terhempas di lantai. Mungkinkah do'a-do'a ku didengarNya, dengan apa yang kuperbuat sekarang ini, rintih bathin Remi. Di atas sajadah yang belum kering dari basahnya air wudhu yang kuusapkan di ubun-ubunku pula aku melakukannya. Tangan Pram lembut mengusap kulit pelapis kedua belah pantatnya, menjalarkan kehangatan ke relung-relung hati Remi. Perasaan berdosa itu lambat-laun sirna tertutup gairah yang kian menggejolak manakala sejulur lidah menyelinap di antara belahan pantat yang menganga pada cengkeraman lembut dua buah tangan. Kegelian yang menggelinjangkan dirasakan Remi saat lidah Pram mengoles-oles membasahi lubang anusnya. Sebentar lagi, sebentar lagi pikirnya aku akan merasakan kehangatan pancaran spermamu di dalam tubuhku Pram. Pada saatnya, terbenam sudah batang kemaluan Pram menancap di sela-sela bokong yang indah itu. Kebahagiaan yang aneh melingkupi kedua lelaki yang kini menjadi satu. Dipeluknya tubuh Remi, dijilatinya kulit punggung kekasih hatinya itu saat kemaluannya bergerak maju mundur siring gerakan pantatnya mencari sensasi yang ditimbulkan oleh gesekan-gesekan penisnya dengan lubang anus Remi. Pada saatnya pula kedua tubuh insan itu menegang mencapai klimaks saat Pram menyemburkan sperma, yang biasa ditebarkannya di rahim isterinya, di dalam tubuh pemuda yang kini memekik merasakan nikmatnya sentuhan cairan itu di dinding-dinding anusnya. Remi menjatuhkan tubuhnya, tertelungkup di atas sajadah yang baru saja dipakainya bersujud. Tubuh Pram ikut terjatuh menindih tubuhnya. Penis Pram masih menancap berdenyut-denyut di dalam tubuhnya. Betapa nikmatnya….betapa nistanya… "Kau sholatlah dulu Pram…"Bisiknya "Apakah ada gunanya kita sholat? Kita sudah terbelenggu nafsu yang aku tak yakin bisa melepaskan diri darinya. Aku tak tahu untuk apa gunanya aku sholat. Ah betapa nikmatnya anusmu memberikan kehangatan yang dahsyat di sekujur penisku Rem….." "Sholatlah demi aku…"Remi masih merasakan denyutan batang penis Pram didalam lubang duburnya. "Baiklah aku akan sholat, asal kau temani aku mandi" Pram mencabut perlahan penisnya yang kini sudah tidak tegang lagi. "Hahaha…bisa-bisa nggak jadi mandi kalau aku ikut …" Cibir Remi. Tapi tak urung dipapahnya Pram menuju pintu kamar mandi yang terkuak lebar menyambut kedua tubuh telanjang itu. "Jam berapa sekarang Rem…" "Jam setengah tiga…waktu kita tinggal tiga jam lagi…" (Bersambung)


###

2 Gay Erotic Stories from Adjie

Jam Berapa Sekarang

"Jam berapa mbak Pur pulang ?" tanya Remi setelah beberapa saat hening. "Katanya habis magrib baru akan sampai. Naik kereta jam 2. Kenapa?" Pram balik bertanya. "Jam berapa sekarang?" Tanya Remi lagi tanpa menggubris pertanyaan Pram. Disusupkannya kepalanya di sela2 ketiak Pram. "Masih jam 10. Kamu nggak ada acara kan?, di sini saja temani aku" Di usapnya lembut rambut Remi. Ikal

Jam Berapa Sekarang, Bag 2

"Jam satu…kamu lapar?" "Aku haus Pram, aku haus kasih sayang kamu. Peluk aku Pram, cium aku" Pram mengumpulkan kembali tenaganya yang hampir terkuras habis, membalikkan tubuhnya, menindih tubuh Remi yang tergolek di sampingnya. Di kecupnya lembut bibir Remi yang tipis seperti bibir ibunya. Bibir yang selalu membuatnya tenang ketika menghiburnya disaat hatinya gundah. Bibir yang lalu

###

Web-01: vampire_2.1.0.01
_stories_story