Matahari pagi bersinar cerah keesokan harinya, dan arak-arakan awan tipis di ufuk timur sana membiaskan kilau warna ungu dan merah delima sinar itu. Terlihat iringan bebek menyapu embun yang melekat pada rerumputan, dan anak-anak sekolah berlarian seakan menyambut pagi yang kemilau! Dan semua itu mengantar gue berpamitan pada Ade pagi itu. Akhirnya gue tahu bahwa Ferry bukannya makin menjauhi gue tapi ternyata makin mencintai gue. Dari beberapa kali pembicaraan gue dengan Surya lewat chat di internet, gue akhirnya tau bahwa Ferry saat itu begitu mendambakan kehadiran gue di sisinya. Di setiap waktu, di setiap kesempatan dia terus menyebut nama gue. Gue mencoba memberikan gambaran pada Surya bahwa gue gak bisa melakukan yang lebih ketimbang apa yang bisa gue lakukan seperti sekarang ini. Gue benar-benar merasa bersalah pada Ferry, gue merasa sudah menyakitinya. Dan gue gak bisa melakukan lebih untuk mengobati kerinduannya. Kerinduan Ferry untuk bertemu kembali dengan gue. Ade, setelah mengetahui bahwa gue mencintai Ferry melebihi dirinya, tampak sering diam jika berada di samping gue. Mengetahui keadaan ini, di setiap kesempatan yang ada, gue mencoba bicara padanya.. meyakinkan dia, bahwa gue gak akan meninggalkannya. Namun perubahan tingkah laku pada dirinya sungguh tak bisa terelakkan. Gue mengerti akan apa yang dia rasakan walau gue gak bisa merasakan rasa sakit seperti yang dia rasakan. Sekali lagi, kadang gue merasa: apakah gue menyakiti orang lagi untuk kesekian kalinya. Lama kelamaan hubungan gue dengan Ade makin lama terasa makin hambar, mungkin karena kami mulai bosan atau mungkin karena ada faktor Ferry, gue sendiri gak tau. Gue melihat terjadi perubahan pada diri gue. Gue menjadi agak pemarah, kadang gue sering membentaknya untuk menunjukkan ke-egoisan gue padanya. Beberapa kali gue pulang dari kontrakan dia pada tengah malam, padahal waktu itu gue berniat untuk tidur di kontrakannya, hanya karena masalah-masalah sepele. Dan gue tahu bahwa itu salah, gue terlalu egois. Walau gue pulang dengan pamit padanya, tapi gue gak bisa membayangkan betapa sakitnya perasaan Ade, walau kami tidak ml walau kami tidak bermesraan bercumbu, tapi apa yang telah gue lakukan setidaknya merupakan tindakan penghinaan padanya. Gue menjadi pemarah karena dia sering keluar bersama sahabat dekatnya, yang gue tahu sendiri bahwa sahabatnya itu merupakan sahabat gue juga. Gue memang masih menyayangi dia, tapi frekuensi pertemuan gue dengan Ade akhirnya mulai berkurang, gue lebih banyak menyendiri, bukan untuk berselingkuh, tapi untuk merenungi diri gue... apa yang telah gue lakukan demi Ade slama ini. Gue sadar bahwa cinta gue dan Ade sebenarnya gak bisa menyatu (orang bilang bahwa sinyal kami gak bertemu, walau bertemu sekalipun, sangat kecil getarannya terasa). Gue baru sadar kalo hubungan gue dan dia cuma permainan yang sangat membekas di hati, walau dia masih terlihat dalam setiap mimpi-mimpi malam gue. Dan gue juga sadar bahwa sinyal cinta Ferry begitu kuat terasa walau dia berada jauh di kota lain. Gue masih menyayangi dan mencintai Ade, tapi gue merasa seakan itu semua hanyalah sekedar bangunan dengan pondasi apa adanya tanpa perhitungan yang matang. Gue menyendiri dan jarang berkumpul dengan teman-teman kecuali sesekali bertemu dengan Ade. Itupun cuma menanyakan kabarnya. Dan hal tersebut juga berlaku bagi Ferry, gue sudah tidak mendengar kabarnya setelah beberapa minggu terakhir, karena gue memang menjauhi kontak dengan temen-temen dan diri Ferry sendiri. Sedangkan gue lihat bahwa Ade sendiri tampak sibuk dengan kegiatan kampusnya. Yah... dan itupun berimbas pada ml kami, akhirnya jika kami bertemu cuma sekedar kiss. Bagaimanapun, begitu banyak orang yang mengajak ml atau bertemu sekalipun, gue selalu menghindar dengan berbagai alasan. Gue menghargai mereka, namun jika gue melihat pada diri gue sendiri... alangkah "mengerikannya" jika gue menghianati Ade (atau mungkin Ferry?) dengan melakukan perselingkuhan dengan orang ke-tiga...ke-empat..dstnya pada saat itu. Gue masih melihat bahwa semua masih bisa diperbaiki! Ade kelihatannya menyadari hal itu, dia beberapa kali mencoba bicara dengan gue. Dia bilang kalo dia masih sayang pada gue, dia ingin hubungan kami seperti dahulu lagi. Dia bilang bahwa dia bisa menerima keberadaan "cinta gue pada Ferry". Dia bilang kalo dia rela memberikan segala waktunya hanya demi gue. Gue tahu bahwa dia mencoba memperbaiki semua. Tapi bagi gue, dia telah melupakan satu hal: cinta itu perlu pengorbanan, apapun itu, demi kelangsungan cinta itu sendiri. Gue gak tahu apakah dia mengerti dan bisa memahami maksud kata-kata gue terakhir itu, walau gue selalu mengucapkannya berulang-ulang. Bukan gue menginginkan agar dia membalas pengorbanan gue, tapi setidaknya dia bisa melihat gue, mengamati apa yang benar-benar gue inginkan dalam hidup ini. Gue ingin dia bisa benar-benar mengenal gue luar dalam, karena gue adalah kekasihnya! Gue ingin melihat kesabarannya yang lebih dalam menghadapi gue (karena kesabaran merupakan salah satu komponen yang vital dalam suatu percintaan), karena sungguh gue ini masih benar-benar mencintainya. Gue ingin dia bisa melihat apa yang terjadi sesungguhnya, membuka mata hatinya, bukan hanya bisa merasakan kesakitan yang dia rasakan, dan berkata : 'Alex, anda telah melakukan penghianatan yang fatal!' Melakukan sesuatu yang bisa membuat gue merasa miliknya yang sangat berharga, karena gue merasa... bahwa gue bukan sekedar temannya... bukan pula sahabat biasa. Tetapi, dari semua ini, kadang gue mikir mungkin ada satu hal yang salah, gue mungkin terlalu memperlakukan dia sebagai "ce" gue. Entahlah, tapi gue sering bicara padanya bahwa gue menghargai dia sebagai lelaki, dan bilang padanya bahwa gue ingin agar dia bisa hidup normal seperti lelaki lainnya (satu hal yang juga berlaku bagi gue). Gue mungkin keras padanya, gue lebih suka agar dia memakai pakaian yang pantas untuk menunjukkan kelaki-lakiannya, bukan ke-gay-an atau ke"perempuan"an dia. Gue kadang keras padanya untuk merujuk pada cara dia berjalan, cara dia bicara, cara dia beraktifitas, dan segala hal-hal yang menurut gue itu "salah". Mungkin gue gak menghargai keberadaan kondisi yang ada padanya, tapi gue ingin dia menunjukkan perubahan-perubahan itu sebagai jawaban atas ketulusan cintanya pada gue. Tetapi, dalam hal ml, gue gak perna mau di-fuck ama dia. Dalam hal ini juga "mungkin" gue egois, gue memperlakukan "tersebut" padanya tapi gue tidak mengijinkan dia untuk melakukan hal sama pada gue. Dia menerima diperlakukan begitu (karena dia rela), walau gue tahu bahwa dia tidak suka melakukannya. Dan dalam beberapa hari terakhir, gue selalu bilang padanya bahwa jika dia tidak ingin di-fuck maka itu tidak apa-apa bagi gue, yang penting kami tetap bisa jalan terus (walau akhirnya hal tersebut membuat gue menjadi orang yang pemarah). Dan pada suatu pagi yang indah, saat matahari tetap akan terus terbit di ufuk timur. Tanda fajar kebahagiaan bagi banyak orang atawa juga mungkin fajar bagi kesedihan baru dalam hidup. Tapi bagaimanapun juga, sang fajar akan tetap membuat ayam berkokok di setiap pagi, dan burung-burung bernyanyi gembira. Matahari bagaikan roda waktu hidup kita, tidakkah kita lihat? Ya! Saat itu gue diam, menatap fajar itu. Terbias keinginan untuk bertemu Ade hari itu. Hari itu adalah hari jumat pagi. Dan kira-kira jam 10 pagi gue berangkat ke kontrakan Ade, kebetulan hari itu dia masih ada di kontrakannya. Kami pun bertemu, dan seperti hari-hari terakhir, kami hanya bisa saling melempar senyum, dan saling menanyakan kabar terakhir kami. "Gue datang ke sini hanya ingin memberitahu loe bahwa gue sebenarnya tidak perna menginginkan kita berpisah", gue memulai membuka pembicaraan. "Dan lu tahu bahwa hubungan kita saat ini begitu renggang, gue mencoba jujur pada diri gue sendiri bahwa ada sesuatu yang seakan merenggangkan hubungan kita berdua Ade". Gue berkata pelan sambil menangkupkan kedua jemari tangan gue. Tampak Ade memandang gue, dia seakan memperhatikan sesuatu, dia seakan mencoba memperhatikan suasana. "Mas Alex, gue juga sudah memperhatikan selama ini kalo mas Alex terasa jauh dari Ade. Tapi Ade tidak tahu apa yang harus Ade lakukan, Ade pun tak ingin kehilangan. Tapi jikapun terjadi itu, Ade sudah siap menerimanya", jawabnya. "Ada apa Ade? mengapa elu katakan itu... gue selama ini mungkin sudah berbuat banyak salah ama lu, tapi gue sudah mencoba memperbaiki semua itu..". "Ade tahu mas, tapi Ade merasa bahwa hari demi hari, selama mas semakin jauh dari Ade, Ade sudah membiasakan dan sudah mempersiapkan untuk perpisahan kita. Ade tidak tahu dan tidak menginginkan perpisahan itu. Tapi Ade harus mempersiapkan segala kemungkinan itu, Ade bukan paranormal yang bisa membaca masa depan, dan Ade juga tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi antara kita." Ade tertunduk, tapi gue membaca dari raut wajahnya bahwa dia sudah pasrah akan segalanya. Sedangkan gue mencoba tersenyum, walau terasa kosong dalam senyum gue itu, gue sendiri sungguh-sungguh tak ingin kehilangannya. Tapi gue gak marah padanya... gue seakan menjadi daun yang layu terbakar terik... Kemudian gue menyeruput kopi yang dia sajikan dari tadi, secangkir kopi yang mulai mendingin. "Baiklah Ade, gue gak bisa berlama-lama di sini, gue hanya ingin mengatakan pada lu bahwa gue mungkin akan istirahat dulu, bukan untuk berpisah dari elu. Tapi untuk interospeksi pada diri gue", gue berkata lirih. "Jangan elu anggap bahwa gue punya niat buat ninggalin elu". "Iya mas, Ade percaya ama mas, tapi jika seandainya kita harus berpisah, maka itulah yang akan terjadi pada kita", ujar Ade. Aku kembali mencoba berpikir, aku mencoba mencerna kata2 dia, tapi gue gak bisa menangkapnya. Kata-katanya seakan berlari di balik awan, dan akhirnya gue pun berpamitan pulang padanya. Suatu pertemuan yang terasa pendek. Tapi itulah yang terjadi... kami pun berpisah lagi. Dan gue gak bisa berlama-lama untuk menceritakan semua ini... Dan semua akhirnya berakhir dengan tak ada seorangpun menduganya begitu cepat... 2 hari setelah itu, kami pun sepakat untuk berpisah. Walau itu berat bagi gue, tapi itu mungkin yang terbaik bagi dia. Dan dia bilang bahwa dia gak ingin membebani diri gue dengan keberadaannya di samping gue. Dia bilang bahwa semua harus berakhir. Walau pun gue mencoba berkeras, mencoba protes padanya mengapa semua ini begitu cepat. Tapi akhirnya gue pun berpikir bahwa tak ada yang harus dipertahankan, karena pada dasarnya kami memang tidak saling mencinta. Walau kami saling mengasihi, walau kami saling berbagi, tapi kami selama ini hanya mencinta bayang2 pasangan kami. Gue harus menyadari... bahwa prinsip hidup gue akan berlaku juga bagi gue: semakin cepat semua terselesaikan akan semakin baik, lebih baik dibedah saat ini walau sakit alang kepalang, itu lebih baik ketimbang harus sakit ringan (tapi mengganggu) selama bertahun-tahun tanpa kepastian, Jujur, sebenarnya gue merasa sakit sekali dengan keadaan yang terjadi, tapi gue harus menerima semua ini, dan gue harus bisa menunjukkan bahwa gue juga siap untuk berpisah seperti halnya dia juga sudah mempersiapkan perpisahan ini berhari-hari sebelumnya. Perpisahan cinta membawa kesepian bagi orang yang benar-benar merasakannya... walau se-hirukpikuk apapun keadaan di sekelilingnya. Seandainya dia membaca cerita ini, semoga dia bisa melihat bagaimana sesungguhnya perasaan gue padanya, walau gue gak mengharap bersatunya kami kembali. Terimakasih Ade, atas segala yang telah lu berikan pada gue. Kemudian gue merenung dalam kesepian (sejenak) gue. Hari-hari bersama Ade kini berakhir sudah. Terasa ada sesuatu yang hilang pada diri gue, dan gue kadang masih belum yakin apa yang telah terjadi. Dan gue kesepian, tiada tempat mengadu, walau gue punya banyak sahabat, tapi gue gak ingin menceritakan semua pada mereka, karena gue tahu bahwa itu gak akan mengubah keadaan. Mereka sudah tahu apa yang terjadi pada "kami". Gue tidak menangisi apa yang telah terjadi, gue tidak menangisi putusnya gue ama Ade. Dan dalam kebimbangan dan ketidakpastian itu, akhirnya gue memutuskan berangkat ke kota Ferry, gue tidak tahu apa yang aka gue lakukan di sana, gue hanya merasa bahwa teman gue cuma dia, gue berangkat hari itu juga, hari di mana gue dan Ade putus. 2 jam di perjalanan bis, gue tidak banyak berpikir, gue ceria, karena gue kini merasa bebas untuk menemui Ferry. Sebuah novel menemani gue dalam perjalanan. Hari terasa cerah, seakan mencoba menghibur gue. Dan awan mendung di ufuk barat telah mengantar mentari sore untuk berlayar menuju peraduannya. Akhirnya gue sampai juga di kota tempat Ferry tinggal. Hari menjelang malam, dan gue gak merasa ada sesuatu yang berubah pada Ferry. Gue masih yakin kalo dia masih memiliki "rasa" pada gue, sesuatu optimisme yang semu (itu baru gue sadari sebagai sesuatu yang konyol setelah beberapa hari kemudian). Dan Ferry menyambut gue dengan terbuka; setelah beristirahat sejenak dan Ferry memperlakukan gue selayaknya tamu, akhirnya gue beristirahat di kamar Ferry. Terasa lepas segala kesusahan gue akibat putusnya gue ama Ade saat gue bersama Ferry, gue seakan mendapat kekuatan baru. Saat itu kami duduk di lantai sambil menonton televisi. Sebenarnya gue gak begitu suka dengan acara di televisi saat itu, namun gue mencoba menyukainya dengan memberi komentar pada apa yang ada di televisi waktu itu. Ferry pun tampak lebih banyak diam, gue merasa dia mungkin malu bersama gue. Saat itu gue duduk di samping kanannya dan kami menyandarkan diri pada dipan tempat tidurnya. Dan jemari tangan gue mulai beraksi dengan menyentuh jemari tangannya. Dia diam, gue tahu dia pasti diam, karena gue tahu dia suka gue. "Ferry, elu tau kalo gue baru putus ama Ade?", gue mulai membuka pembicaraan. Ferry memalingkan mukanya menghadp gue, seperti gak percaya dia berucap: "Ah yang bener mas?" Gue menganggukkan kepala. Lalu Ferry menggenggam jemari tangan kiri gue dengan jemari tangan kanannya. Dia dekatkan tubuhnya dan hampir menyentuh tubuh gue. Dia tatap gue... gue juga menatapnya, gue tak tahu mengapa dia memandang gue seperti itu, dia sepertinya gak yakin. "Ferry, semua baru terjadi tadi siang sebelum gue berangkat ke sini", gue berucap lirih. "Gue menemuimu karena gue gak tahu harus ke mana gue pergi, hanya elu tumpuan gue saat ini, tempat gue mengadu gue". Ferry kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak ada ekspresi apapun. Dia mengatupkan bibirnya seakan tak mau bicara. "Ferry, gue minta maaf ama elu, karena gue selama ini meniadakanmu. Gue minta maaf sudah membuat elu menunggu gue. Gue gak tahu apakah saat ini elu masih menunggu gue apa gak. Tapi Fer, gue dengan segala yang gue lakukan dahulu itu demi kebaikan kita bersama. Walau akhirnya yang terjadi adalah kami (Gue dan Ade) akhirnya putus", gue melepas genggamannya yang mulai merenggang. Kemudian gue matikan televisi supaya pembicaraan kami lebih fokus. "Ferry sungguh tidak tahu apa yang terjadi ama mas Alex saat ini, Ferry tak tahu harus berpikir bagaimana, entah Ferry harus bahagia atau apakah Ferry harus bersedih", balas Ferry. "Begitu pendek masa pacaran mas dengan Ade, yang Ferry takutkan adalah semua ini terjadi karena kehadiran Ferry. Mas Alex, Ferry memang akhirnya menunggu mas setelah pertemuan kita dahulu. Hari-hari Ferry dibuat sibuk dengan kehadiran bayangan mas Alex, dan Ferry tahu bahwa itu adalah suatu ketidakmungkinan untuk bisa bersama mas. Ferry memang menjadi tergila-gila pada mas. Tapi Ferry berpikir, siapakah diri Ferry ini". "Gak Fer, bukan karena elu kalo semua ini terjadi. Gue yang salah. Gue akui bahwa gue yang salah pada Ade, walau sesungguhnya begitu komplek apa yang terjadi pada kami". "Ferry gak bisa berpikir sampai sejauh itu mas, yang Ferry tahu adalah selama ini mas dan Ade bagaikan pasangan yang serasi. Teman-teman Ferry yang ada di kota tempat mas tinggal banyak yang menyarankan supaya Ferry gak 'mengganggu' hubungan mas dengan Ade, setelah mereka tahu apa yang terjadi pada kita tempo hari. Dan Ferry menuruti kemauan mereka, karena Ferry tahu bahwa kita tak harus bersatu. Apa yang terjadi pada kita dahulu hanyalah satu skenario kecil dalam kisah percintaan mas. Ferry minta maaf karena Ferry sendiri gak memberitahukan pada mas bahwa, Ferry sendiri dulu sering datang ke kota mas, hanya untuk mengenang diri mas. Hanya untuk mengenang keindahan yang telah terjalin antara kita, walau itu sebentar, tapi itu membekas bagi Ferry". "Elu sering ke kota gue?", gue bertanya. "Lalu kenapa elu gak menemui atau menghubungi gue via telpon?" "Karena Ferry gak mau mengganggu hubungan mas dengan Ade!", dia tampak berkata keras, walau sebenarnya yang gue tau bahwa dia gak bisa melakukan itu pada gue. Terasa harga diri yang selama ini gue utamakan, sebagai penghias kulit ego gue tak berlaku di sini... dan gue hanya bisa menundukkan kepala, menarik napas berat serta..: gue hanya bisa terdiam sambil memainkan kotak korek api gue. Kemudian kami terdiam dalam keheningan. Teriakan penjual sate di luar sana terdengar makin menjauh.. kemudian sepi.. hanya terdengar suara di luar sana, tampaknya suara radio. Saat itu, gue tidak berani melakukan lebih pada Ferry, gue gak berani menyentuh lebih padanya selain meremas jemarinya, apalagi menciumnya. Dan Ferry pun juga diam, seperti sebelum-sebelumnya, dia memang lebih banyak menunggu. "Gue masih mencintai elu Ferry, dan gue datang ke sini karena itu, dan gue mengharapkan elu mau.. bersedia.. mendampingi gue untuk menjadi bf gue", gue tiba-tiba memecah keheningan kami. Ferry terdiam, dan gue menatap matanya. Kedua jemari tangan gue mengatup pada jemari2nya. Dia tertunduk. Dan kemudian berkata: "Ferry memang lama menantikan saat seperti ini, dahulu.. Ferry sangat mencintai mas. Dahulu kita masih bersatu dalam rasa cinta walau kita tak bisa bersatu raga", kemudian dia menghela napas. Lalu dia menatap kedua mata gue dalam-dalam. "Tapi kini Ferry minta maaf pada mas, karena Ferry gak bisa nemani mas, walau mas sudah sendirian begini, sekali lagi Ferry minta maaf". "Apa????", gue berkata.. begitu cepat semua terjadi, hingga gue pun pikir itu reflek gue. Gue makin dalam menatapnya, dan makin mendekatkan tubuh dan wajah gue padanya. "Kenapa elu gak bisa menjadikan gue jadi bf elu?" "Karena, karena kini Ferry sudah tidak sendiri lagi mas, 3 hari yang lalu, Ferry memutuskan untuk menerima orang lain sebagai bf Ferry. Begitu lama Ferry menunggu kepastian dari mas, begitu lama penantian Ferry. Walau mas sendiri sudah berkali-kali bilang pada Ferry bahwa kita gak bisa bersatu saat itu, tapi Ferry tetap mengharapkan mas. Dan Ferry gak kuat menahan semua perasaan Ferry pada mas saat itu, Ferry tersiksa mas, sungguh tersiksa". Kemudian dia menundukkan kepalanya. "Ferry sedemikian mencintai mas, dan Ferry masih punya harapan saat itu, dan cinta Ferry lah yang memberi semangat pada Ferry untuk terus bertahan. Tapi, apalah semua itu.. Ferry gak bisa terus sendirian, Ferry harus mencari pengganti mas, karena Ferry gak mau terus dihimpit bayangan orang yang yang tidak jelas apakah dia akan bisa bersama Ferry nantinya. Seperti kata mas sendiri bahwa Ferry harus mencari orang lain, maka itulah yang berlaku sekarang, walau bukan Ferry sendiri yang menyatakan cinta Ferry pada orang tersebut pertama kali. Ferry minta maaf kalo Ferry harus menerimanya. Kini Ferry sudah milik orang, dan Ferry menghargai mas, karena sampai detik ini, mas masih mencintai Ferry". Gue gak bisa menepis kebekuan hati gue saat itu, dan terasa semakin beku saat gue makin terlena dan terperangah dengan kata-katanya. Dia masih menundukkan kepalanya. Gue terdiam, tapi gue masih menatapnya dengan tajam. Dan jujur, saat itu gue gak bisa menerima keadaan seperti ini. "Ferry, gue mencintai elu. Gue gak menyangka kalo gue akhirnya tertolak oleh orang yang gue harapkan selama ini. Tapi gue tahu bahwa apapun bisa terjadi". "Mas Alex, Ferry minta maaf", dia kemudian menatap gue. Dan tatapan matanya menembus kalbu gue, meresap dalam rongga daging hati gue, seakan mencoba menjamah gue, tapi gue gak menemukan "sentuhannya" itu! "Sudah lah Fer", ujar gue mencoba menenangkan keadaan. Tapi.. gue masih penasaran: "Ferry, mengapa kita gak bisa bersatu. Mengapa kita harus saling menunggu. Mengapa semua ini terjadi pada kita?". "Ferry tahu mas, sudahlah mas, mas harus sabar... seperti juga dulu Ferry bersabar 'menunggu' mas". "Ferry...", kemudian gue gak memalingkan wajah gue ke samping kanan, memejamkan mata, kemudian melepas genggaman gue, lalu berdiri. Kemudian gue berjalan mondar-mandir di depanya. Gue mencoba menenangkan diri, karena emosi gue memuncak saat itu. Gue berpikir keras, gue harus menundukkan diri gue. Gue lirik Ferry masih duduk di tempat duduknya. Dia terdiam. Jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam, dan otak gue terasa buntu saat itu, kemudian gue duduk kembali di posisi gue sebelumnya, gue mencoba tersenyum, gue mencoba menunjukkan bahwa gue berjiwa besar untuk menerima keadaan ini padanya. Dan dia memandang gue, seperti sebelumnya... dia mencoba menjamah wajah gue, hati gue, tapi dia seakan tak bisa melakukannya. Dengan suara tertahan gue berkata padanya: "Ferry, untuk terakhir kalinya... bolehkah gue memeluk elu?" Tanpa menjawab, Ferry lalu merapatkan tubuhnya pada tubuh gue. Dia memeluk gue, gue merasa sedih saat itu. Gue merasa dekapannya begitu erat, lebih erat ketimbang dekapan gue sendiri. Kira-kira 5 menit kami berpelukan tanpa berucap apapun. Kemudian gue melepas peluk gue pada tubuhnya, tapi dia tetap tak melepaskan peluknya pada tubuh gue. Dia masih mengeratkan dekapannya dan seakan mencoba merasakan detak jantung gue. Saat itu gue baru merasa, betapa tiada keindahan cinta itu akan terasa jika kita tidak merasakan betapa kita gak mungkin bisa bersatu, walau antara kita tak ada batas lagi... Dan antara kami waktu itu memang tak ada batas apapun. Namun penghargaannya pada diri gue selama ini dengan menghormati hubungan gue dengan Ade, membuat gue harus melakukan hal yang sama padanya. Jikalau gue mau... mungkin gue bisa melakukan lebih padanya malam itu. Tapi gue mencintai... dan tentunya sayang padanya, sehingga.. gue harus menahan semua keinginan gue. Cinta, menjadi sesuatu yang berharga bagi gue, dan karena itu merupakan sesuatu yang berharga maka gue harus menghormatinya. Gue harus menghargai itu... Semua keadaan yang terjadi pada gue telah berhasil menjadi guru yang terbaik bagi gue. Dan berita di keesokan paginya mengenai runtuhnya gedung WTC di NY di televisi, membuat gue tersenyum. Suatu senyuman yang getir tentunya. Terasa puing-puing gedung itu seperti reruntuhan 2 pilar di hati gue, dan gue harus menerima kehilangan pilar-pilar itu. Runtuh bersamaan, luruh.. tak tampak tegak berdiri lagi di hati gue. Senyum gue pulalah yang mengantar perpisahan gue dengan Ferry.. Kini gue harus sendiri... ditemani oleh kekosongan hati, pasca kehilangan Ade dan Ferry. Walau hal tersebut menyakitkan, tapi gue harus menerima itu semua. Kadang cinta terasa indah saat dia telah bersemi, dan kadang pula sakit perihnya sayatan sembilu yang bernama cinta itu baru terasa sesudah tersayat lama. Dan (ironisnya) hal itu terjadi sesudah gue merasa bahwa tak seorangpun yang telah mengkhianati gue, tiada seorangpun, termasuk diri gue sendiri.. apalagi Ade dan Ferry! Dan semilir angin pada keheningan malam makin membuat gue merasakan kesepian, dan sungguh.. kesepian itu telah mengalahkan cemerlang bintang gemintang di langit saat malam hari sesudah hari-hari yang melelahkan itu. Kesepian itu telah menjadi kekuatan alam yang menggelontor (dengan paksa?) segala keangkuhan... segala perasaan ke-aku-an gue. Saat daun-daun yang masih hijau berguguran begitu saja, gue gak akan bisa menahannya.. apalagi menggantungnya kembali di dahannya; jikalau itu memang harus terjadi. Walau gue harus berteriak-teriak, walau gue harus menangisinya... daun yang berguguran itu pasti akan layu.. dan kemudian akan hancur tersapu waktu.... Untuk teman-teman yang telah membesarkan hati gue selama ini. Terimakasih. Untuk tanggapan kirim ke Alex (maximumsize2002@yahoo.com).