Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini. “Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…” “Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…” “Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung saya menurut kabar dari Mas Adhi. Saya akan merasa malu dan tidak pantas kembali ke desa saya dengan mobil mewah Bapak” “Baiklah bila itu keinginanmu…” “Kami turut berduka cita Nak…” Perjalanan kereta berlangsung dengan cepat dan tanpa halangan. Perjalanan diteruskan ke arah laut dengan dokar. Tarikan kuda pada dokar itu mulai melambat ketika masuk ke wilayah kampung nelayannya. Di sana tanah liat bercampur dengan pasir dan lumpur sehingga menjadikan dokar itu terasa lebih berat dan kesat. Dari sana ia melihat upacara sedang berlangsung. Kemudian tanpa pikir panjang ia langsung berlari menuju pantai untuk memberikan penghormatan kepada ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Tradisi masyarakat setempat adalah memulangkan warganya yang sudah tiada untuk kembali ke laut. “Ayah….” Dengan terengah-engah ia mengucapkan doa dan syahadat sembari ikut mendorong sampan kecil itu menyusul mentari yang sebentar lagi hilang dari ufuk cakrawala. (Garis Pembatas Jeda……..) Kampung itu masih terlihat seperti sebelumnya. Tidak ada hal baru yang terjadi di sana. Waktu seakan melupakan tempat terpencil itu. Seminggu sudah ia membereskan gubug kecil ayahnya dan merapikan barang-barang peninggalannya. Kini ia sudah tak mempunyai siapa-siapa. Mas Sadikin sudah bekerja di Jepara. Untung Paidjo menuruti permintaan ayahnya yang terakhir. Kini ia memiliki sebuah keluarga baru yang mencintainya. Kesedihannya masih belum berakhir ketika ia mengendus hawa yang familiar merasuki ruangan itu. “Halo Dik!” Sadikin tersenyum sedih menyapanya. Mereka berbicara dalam bahasa Jawa yang diterjemahkan sekiranya demikian: “Bagaimana kabarnya Mas?” “Saya baik-baik saja. Baru saja saya tiba dari Jepara, beritanya terlambat sampai di telinga saya… Turut berduka cita ya Dik… kamu sendiri gimana?” “Ya saya masih sedih Mas. Ayah yang membesarkanku sendirian tanpa ibu. Semua jasa-jasanya akan saya kenang seumur hidup saya…” “Kamu betah di Semarang Dik?” “Tentu saja, mereka begitu baik padaku” “Dan mereka mengajarimu dengan baik pula Dik! Tata bahasa yang kau pergunakan sudah tinggi, seperti engkau terlahir di balik dinding Keraton Demak” “Memang keluarga Keraton Demak itu masih bersaudara dengan Ibu Suryo Mas… dan Keraton Surakarta ada hubungan darah dengan RM Suryo sendiri…” “Wah, hidupmu terjamin pasti Dik…” “Mas sendiri bagaimana ini? Saya dengar sudah berhenti menjadi nelayan?” “Iya, saya sekarang menjadi mandor proyek bangunan di Jepara. Gajinya lumayan untuk mencukupi hidup sehari-hari lah Dik. Tapi sebelumnya saya ada berita baik yang harus saya bagi dengan Adik…” “Apa itu Mas?” “Bulan depan saya akan menikah dengan Warti…” “Warti anaknya Pak Rahmat tetangga kita?” “Iya…. Tadinya aku juga ndak mau Dik pas kita dijodohkan…” “Tapi ia sering datang membawa makanan dan berceritera kepadaku” lanjut Sadikin “Setelah saya terbiasa tanpa kehadiranmu Dik, lama-kelamaan saya mulai bisa menerima perhatian baik dari Warti… Dua bulan yang lalu ia ikut saya ke Jepara untuk mencari pekerjaan. Kini ia menjadi penjaga toko di pasar besar. Ia titip belasungkawa untuk Dik Paidjo” “Terimakasih Mas…”: “Kapan kamu kembali ke Semarang dik?” “Saya sudah hampir satu minggu di sini, rencananya besok saya akan kembali…” “Wah terburu-buru sekali Dik?” “Saya harus banyak belajar untuk bisa lolos ujian sekolah menengah Belanda Mas…” “Wah, kagum saya padamu Dik… umm, kalo begitu… umm, malam ini… Dik Paidjo mau menemani saya di sebelah?” tanyanya dengan manja. “Untuk apa Mas?” Paidjo tersenyum sambil menjawab pertanyaan tadi dengan pertanyaan. “Yah, untuk melepas kangen-kangenan lah…. Terakhir kali sebelum saya menikah Dik…” “Baik lah…” (Garis Pembatas Jeda……..) Sambil mengelus rambutnya yang hitam berkilau, Sadikin bercerita tentang pekerjaannya, tentang Warti dan tentang hidupnya sepeninggal Paidjo. Iapun banyak bertanya tentang kehidupan baru remaja itu. Pembicaraan itu berlangsung dengan santai. Mereka baru saja selesai bercinta. Air kental yang nikmat itu baru saja ia sembahkan bagi Paidjo di dalam liang anusnya. “Ngomong-ngomong Dik… tiga bulan ini kamu banyak latihan ya?” ujarnya bercanda. “Iya Mas… dengan Mas Adhi, yang mengurusi keseharianku” “Pantes sekarang kamu makin pandai bercinta untuk memuaskan hasrat lelaki” Satu jam kemudian hasrat itu kembali membara. Untung saja Adhi sudah mempersiapkan Paidjo dengan baik. Tentu saja dengan penuh kebinalan dan keganasan Sadikin menungganginya kembali bagaikan binatang buas dari hutan belantara. Hal ini mengingatkan Paidjo pada malam terakhir di atas kapal nelayan… Ia menarik bokong Paidjo agar berdiri lebih dekat dan rapat, menurunkan pundak bocah itu ke kasur dan ia mulai menegakkan tubuhnya. Ia menaikki tubuh anak itu dengan napsu badaniah yang tak terelakkan. Belahan kakinya ia mantapkan pada pinggang kiri dan kanan Paidjo sementara ia menggerakkan alat kelaminnya memompa dan memompa semakin dalam dan kasar. Dengusannya bagaikan kuda liar pada musim kawin. Sebelum akhirnya iapun menyerah pasrah kepada kepiawaian permainan Paidjo. Kali ini tidak hanya semburan… tetapi bagaikan waduk yang retak… air maninya mengalir deras mengosongkan kantung zakar pria itu terus menerus selama beberapa detik. Ia kemudian terjatuh di atas tubuh sensual Paidjo. Tubuhnya menggelinjang seperti kerasukan roh halus. Mulut ular itu masih terus memuntahkan madu kehidupan yang nikmat dari buah pelirnya. (Garis Pembatas Jeda……..) Satu tahun penuh ia berada di kota Semarang. Pendidikannya yang baik di rumah RM Suryo telah mempersiapkan dirinya untuk hari yang bersejarah ini. “Nak semoga sukses ya ujian masuknya…” “Terimakasih Pak, Bu…” Dua setengah jam yang melelahkan itu akhirnya memberikan hasil tepat satu minggu kemudian. “Paaaak…. Bu…. Aku diterima di Santo Loyola!!!” Mereka langsung bersembahyang bersama-sama, karena akhirnya hasil jerih payah mereka berbuah juga. Acara syukuran mereka adakan pada malamnya dengan mengundang seluruh petinggi kota Semarang. (Garis Pembatas Jeda……..) “Di mana ya saya pernah melihat dia?” tanya Paidjo penasaran. Setiap pulang sekolah dengan sepeda sederhana itu, ia selalu melewati Istana Gubernuran, yang kala itu dijabat oleh Gubernur Van Hoeve. Wajah tampan prajurit asing itu setiap hari ia lewati dari depan pos penjagaannya. Setiap hari pula ia bertanya pada dirinya sendiri, “Sebelum ini saya sudah pernah berbincang-bincang dengan beliau. Tapi, di mana ya saya pernah melihat dia?” Sudah lebih dari satu bulan mereka beradu pandang dari titik yang sama. Saling melempar senyum dan sapaan kecil. “Selamat siang!” “Apa kabar?” dalam bahasa Belanda. Prajurit asing itupun mungkin tak beda jauh usianya dengan dirinya. Mungkin seusia dengan Adhi. Tubuhnya yang tinggi dan kekar menarik perhatian Paidjo. Matanya yang biru bagaikan magnet yang mengundang Paidjo untuk mencium bibirnya yang menawan. Kulitnya pun tidak seperti bangsa kulit putih lainnya. Pria itu terlalu banyak menghabiskan waktu di bawah terik mentari Semarang sehingga kulitnya berwarna coklat tua kemerahan. Sesekali Paidjo melihatnya sedang melepaskan helm prajuritnya karena terlalu panas. Rambut pendeknya yang coklat tua tidak terusik tertiup angin. Serdadu muda penjaga pos keamanan istana itu terus bermain di dalam benaknya. Rasanya ia sedang jatuh cinta. (Garis Pembatas Jeda……..) “Garis bahu yang kokoh itu tidak salah lagi” batin Paidjo. “Selamat malam Lady Ambassador…” “Selamat malam Mister Surjadi…” Kini sebagai tuan muda dari Karesidenan Semarang, iapun mempunyai kewajiban sosial yang tinggi. Ia sedang berada di kastil peristirahatan Ambassador Bavaria di pegunungan dekat kota Salatiga. Nampaknya para tamu yang hadir saat itu agak canggung berpesta pora di kastil itu. Pesta itu adalah pesta terakhir yang akan diadakan keluarga ambassador. Hari itu Bavaria baru saja kehilangan martabat dirinya setelah dipaksa bergabung dengan Jerman dibawah pemerintahan Hitler. Para pejabat dari Sumatera, seluruh pulau Jawa dan dari Ibukota Batavia semuanya hadir di sana untuk mengucapkan selamat jalan pada keluarga duta besar. Mereka membahas tentang hal-hal yang menyedihkan. Perang sebentar lagi akan berkobar di tanah Eropa dan seluruh dunia akan merasakan imbasnya. Belum lagi serdadu Dai Nippon milik Kerajaan Jepang telah berhasil menguasai Mongolia, Cina dan Korea. Mereka terus bergerak ke tenggara benua Asia, setelah tidak berhasil menguasai Muangthai. Dengan setelan pakaian kenegaraan yang mewah perlahan-lahan Paidjo melepaskan diri dari tugas perbincangan tingkat tingginya. Pandangannya hanya tertuju kepada seseorang prajurit tampan yang sedang berbincang dengan rekan-rekannya di tangga pendopo kastil itu. Ia berpura-pura tak sengaja melewati kerumunan pemuda asing yang gagah itu. “Hey kamu!” panggil pemuda pujaannya. “Hey apa kabar?” jawab Paidjo dengan fasih. “Teman-teman sebentar ya, saya ingin berbicara dengan kawan lama saya ini…” ia permisi dan menarik dirinya. Mereka berdua berjalan santai mengelilingi air mancur besar di tengah taman cantik itu. Gemerlap lampu dari kota Semarang terlihat sangat indah di tepi bukit itu. “Sudah makan?” ujarnya membuka pembicaraan. “Sudah, kamu sendiri? Sepertinya sibuk sekali melayani pembicaraan para tamu agung kita kali ini?” “Ya benar… boleh saya tau namamu?” “Karl” ucapnya singkat. “Saya…” “Paidjo… melihat kamu setiap hari membuat saya sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang kamu” ia tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya. “Iya benar. Kamu sudah tau tentang asal saya yang dari kampung itu?” “Sudah, semua orang iri padamu di ruangan itu. Kamu terlihat sangat aristokratik. Tidak seperti orang yang di besarkan di kampung nelayan.” Mereka berdua tersenyum. “Kamu mengawal Gubernur Van Hoeve malam ini?” “Ya kebetulan saya menjadi supir pribadinya untuk acara ini” “Oh begitu… eh, saya lapar nih. Ndak papa kan nemenin saya makan sate sebentar?” “Silakan… pesta baru saja dimulai, pasti mereka akan melanjutkannya hingga larut malam” “Ya… misteri itu sudah terjawab sekarang!” “Hah?” “Di mana saya melihatmu untuk pertama kalinya?” “Masak kamu tidak ingat? Di pesta kamu sendiri, ketika syukuran diterima di sekolah menengah!” “Sejak itu saya tidak dapat melupakan wajahmu Karl.” Karl tertunduk dan tersipu malu. Mereka berjalan perlahan menuju gerbang kastil itu. Semerbak wangi bakaran sate ayam menggugah hidung mereka. Tukang sate pikulan itu selalu berjualan di depan pagar kastil jika pesta sedang berlangsung di sini. Sang pedagang tau bahwa banyak officer-officer muda yang lebih meminati sate dagangannya daripada sampanye dan hors-d’oeuvre yang mewah tetapi tidak mengenyangkan di dalam kastil. Benar juga. “Apa kabar Pak Kamsi?” “Baik Den… mesen seperti biasa?” “Kamu mau juga Karl?” “Ya tentu saja…” “Dua ya Pak buat temen saya ini juga!” “Rame Den, pestanya di dalam?” “Rame sekali Pak. Hari terakhir Mister Ambassador ada di Pulau Jawa. Dagangan laris Pak?” “Ya alhamdulilah begitu Den. Tuh serdadu asing lagi pada duduk di rumput menikmati dagangan saya. Ada yang nambah lho Den…” “Oh ya?” “Balik lagi ke pesta terakhir Mister Ambassador, pantes ya plat mobil dari Batavia banyak juga yang terlihat.” Sembari duduk di pinggir jalan, mereka berdua menikmati hidangannya sambil bercengkrama. Kemudian Karl membisikkan sesuatu kepada Paidjo. “Djo, akhir pekan ini kamu mau kemana?” “Belum tahu Karl. Kenapa?” “Nonton bioskop yuk di dekat Gubernuran. Ada film komedi baru masuk dari Hollywood tuh…” “Oh ya judulnya apa?” “Wah, saya sendiri juga belum tahu. Kayaknya bagus sih…” “Jadi ini kencan?” bisik Paidjo di telinga Karl. “Hmm… ya begitulah….” Keduanyapun lalu tersenyum. “Setiap siang kamu melewati pos jaga saya… Rasanya bagaikan melihat oasis di tengah padang pasir Sahara…” “Ah gombal” “Deh… ngga percaya dia…..” Karl mempercepat langkahnya mengikuti Paidjo yang berjalan kembali ke arah kastil. “Djo… kamu mau liat preview dari film itu nggak?” “Preview?” “Sini…” Karl menariknya ke belakang sebuah pohon cemara yang sangat rimbun. “Begini previewnya…” ia memandu tangan kiri Paidjo menuju kemaluannya. “Hmm.. bagus juga previewnya… Hmmm?” ujarnya terkejut. “Kamu suka?” “Hmm… wow… Ya Tuhan…. Besar sekali!” “Sshhh…diem dong… nanti ketahuan…” Paidjo mulai memijati keperkasaan lelaki itu dari depan celana hijau militernya. Batang tersebut sudah keluar dari celana dalam Karl dan kini melintang di paha kirinya di dalam balutan celana ketat militer itu. “Karl, besar sekali ini… boleh saya buka celanamu? Aku benar-benar ingin bersamamu malam ini!!” Kemudian Karl menepiskan tangan Paidjo dari alat kelamin kuda jantan itu. Dengan santai ia mencubit bokong Paidjo dan beranjak meninggalkannya, tetapi sebelumnya ia sempat berbisik di telinga remaja pria itu: “Darling… Memang kau pikir aku wanita macam apa?” ujarnya seraya meledek kekasih barunya. “Ha?” (bersambung) (Garis Pembatas Jeda……..) Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@hotmail.com