Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Tentang Paidjo, Bag.2: Obsesi

by Fred Batavia


Cuplikan dari, Bag 1: Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih sebagai pemuas dahaga itu…” Sadikin tergeletak kembali di atas dipan. Ada senyum kecil dibibirnya. Tubuhnya terasa sangat lemas. (Garis Pembatas Jeda……..) Halo teman-teman, semoga dari cuplikan di atas Anda masih mengenali saya, Sadikin. Saya butuh bantuan kalian semua nih tentang persoalan saya. Ceritanya begini… Setelah kejadian yang pertama itu nampaknya adik angkat saya, Paidjo, benar-benar terobsesi dengan kemaluan saya. Tak perduli kapan dan dimanapun juga, setiap kali bertemu dengan saya, Paidjo selalu saja langsung ingin menyusu dari kemaluanku. Apa mungkin ketika ia masih bayi, ibunya kurang memberinya asi? Ya benar seperti anak sapi kecil saja. Bukannya saya tidak senang dengan hal ini, toh setiap pria pasti merasakan kenikmatan dan kepuasan jasmaniah yang satu ini. Namun, lama-kelamaan saya merasa bahwa ia tak lagi menghargai saya sebagai kakaknya. Sadikin sudah menjadi hanya sebagai pemuas obsesinya terhadap air mani saya. Barang yang sifatnya lebih pribadi lagi dari kemaluan seorang lelaki itu sendiri. Rupanya ia telah menganggap cairan kelelakian itu sebagai protein utama dari santapan rohani harian yang harus ia dapatkan. Bayangkan teman-teman hampir setiap kali saya membuka mata ketika terbangun, wajahnya yang lucu itu sudah setengah jalan mengulum kemaluan saya. Selalu saja sarung saya sudah tersingkap untuk memberikan Paidjo keleluasaan bergerak. Terkadang saya seperti merasa diperkosa saja. Dan kegigihannya tak akan dapat diputuskan begitu saja. Ketika saya haus dan harus mengambil minum saja, ia tetap tak melepaskan isapan kenyalnya dari kemaluan saya. Ia takkan berhenti sampai mendapatkan imbalan susu kental dari kantung pelir saya itu. Paidjo bahkan dengan rajinnya selalu memasakkan hidangan untuk saya. Walaupun terdengar mulia, sebenarnya ini merupakan bentuk keegoisannya. Dia tidak mau saya repot-repot memasak sehingga saya dapat langsung duduk saja di bangku sehingga adikku yang bandel itu langsung dapat menyelusup ke bawah meja dan menyibakkan sarung saya untuk minta disusui lagi. Mungkin karena aktifitas hormon priaku meningkat drastis beberapa bulan belakangan ini berkat “bantuan” Paidjo, sayapun merasa bahwa bebuluan di sekujur tubuh saya makin timbul dan menyerbak lebih lebat lagi. Untung saya termasuk perkasa mungkin ya. Kantung pelir saya terus menerus berproduksi sebagai pabrik alami untuk memuaskan napsu dahaga adik saya itu. Rasanya kepala kemaluanku itu tidak pernah berstatus dalam keadaan kering belakangan ini. Dalam satu hari bisa belasan kali lidah dan mulutnya yang berbakat itu beraksi di sana. Kejadian yang membuat saya nekad bertanya kepada saudara-saudara ini adalah bahwa beberapa hari belakangan ini, Paidjo bahkan tidak bisa ditahan untuk minta terus disusui bahkan ketika saya sedang membuang hajat di jamban belakang gubug saya. Saya merasa bahwa dia sudah termabuk napsu dan hal ini harus dihentikan. Pertamanya ya memang sederhana saja, kebetulan siang itu setelah istirahat dari laut, perut saya tiba-tiba berhasrat untuk buang hajat. Segera saja saya berlari ke jamban di belakang. Saya gulung saja sarung kesayanganku itu di pinggang sebelum saya berjongkok. Belum lewat dua menit saya menikmati kesendirian itu, tiba-tiba Paidjo membuka pintu jamban yang tingginya memang hanya sepinggang saya. “Mas Dikin, saya mbok diajak…. Udah kepingin nyusu lagi nih…” “Wah Dik, tunggu sebentar di gubug ndak bisa? Nanti ehm… ta’ kasih air mani yang banyak deh, Mas janji…” Tidak memperhatikan perkataan saya, Paidjo langsung berlutut di depan kemaluanku. Bahkan aroma hajat yang menusuk itupun tak ia perhatikan lagi. Jemarinya langsung menimang kepala kemaluanku yang besar itu. Ia mengelus-elusnya sebentar sebelum langsung melahapnya seperti biasa. Memang pengalaman yang aneh, buang air sembari menerima kobaran napsunya. Aneh tapi nikmat lho teman-teman. Rasanya lega sekali, dapat dua-duanya, crot di belakang kemudian crot di depan juga. Tapi ya itu, aneh saja. Sudah beberapa hari ini dia terus mengikuti saya hingga ke jamban seperti itu. “Kamu ndak takut keciprat hajatku?” “Ndak… yang penting dapat susu…” Kenapa ya? Perutnya itu seakan tak pernah terpuaskan oleh air mani saya? Dan apa yang membuat saya lebih bingung lagi? Paidjo tak pernah mau saya sentuh atau telanjangi. Katanya ia malu dengan saya. Memang saya harus bisa maklum dengan sifatnya yang memang masih bocah. Tapi bagaimana ini? Lama-lama tubuh saya lemas juga harus memberikan enerjiku sebanyak itu perharinya. Karena sudah tidak tahu harus saya apakan lagi, pada suatu malam saya putuskan untuk memperbincangkan masalah ini dengan kawan-kawan saya sesama pemuda nelayan. Saat saya melaut adalah satu-satunya saat saya bisa terbebaskan dari cengkraman napsu Paidjo. “Wah ena’e piye yo Mang? (enaknya bagaimana ya Mang)” “Walah aku yo bingung ne’ ngadepin bocah sing ora keno dikandani ngono… (aku juga bingung menghadapi bocah yang tak dapat diberitahu itu)” Lima sekawan itu mendengarkan persoalan Sadikin dengan serius. Rata-rata dari mereka malah terkesan iri bahwa Sadikin mendapat pelayanan seperti itu. Kemudian secara tak sengaja ide itu muncul… (Garis Pembatas Jeda……..) “Malem Mas mari masuk… sudah saya hidangkan santapan malam untuk lima orang seperti yang Mas Sadikin minta tadi siang…” Setelah semuanya duduk di dipan, Sadikin membuka pembicaraan: “Gini lho Dik… terus terang saja Mas Sadikin sudah bercerita tentang kegemaran kamu menelan air mani itu kepada sahabat-sahabat Mas ini…” Paidjo langsung terdiam, wajahnya hampir pucat. “Lho, ndak papa kok Dik, kita semua kan temannya Mas Dikin, jadinya memang harus saling membantu…” ujar Iswanto. “Jadi gini lho… supaya tubuh Mas Dikin tetap kuat, terkadang ia juga butuh beristirahat kan? Nah, kami hanya ingin bilang bahwa kalau Mas Dikin sudah lelah, kami berempat ini juga bersedia menyusui ‘dik Paijo lho…” Sadikin kemudian beranjak duduk di belakang Paidjo dan kemudian mengusap-usap rambut bocah yang lembut itu. Paidjo masih terkejut mendengar tawaran dari kakak-kakak ini yang kini semuanya sedang menyandarkan diri di dinding. Sadikin kemudian memeluknya dari belakang selayaknya kakak terhadap adiknya sendiri. Keempat pria gagah di hadapan mereka perlahan mulai menapakkan kaki mereka di dipan dan perlahan menyibakkan harta karun yang paling berharga dari balik sarungnya masing-masing. “Tuh liat… ndak kalah bagus tho? Sekarang kamu punya empat mainan tambahan, seneng ndak Dik?” Paidjo mengangguk sembari terkesima menyaksikan empat kemaluan pria yang berbentuk sangat indah itu terpampang di hadapannya untuk dimainkan. Mereka menghabiskan dua jam sebelum waktu mereka melaut malam itu dengan bermain kartu di meja makan. Tubuh-tubuh kekar yang kini sudah bertelanjang bulat mengibarkan aroma kelelakian yang dasyat di gubug kecil itu. Paidjo dengan cekatannya melayani mereka semua dari bawah daun meja. Kedua tangan lembutnya masing-masing meremas batang-batang keras kakak-kakak barunya itu sementara salah satu dari mereka mendapatkan pelayan khusus dari mulutnya. Dengan sabar mereka menantikan gilirannya masing-masing. Mereka hanya bermain kartu tiga ronde malam itu. Karena dalam setiap rondenya Paidjo berhasil dengan sukses memaksakan kelima lelaki itu untuk menyerahkan air maninya, maka ronde keempatpun diputuskan untuk tidak dilanjutkan. Mereka mungkin akan kehilangan tenaga untuk berlayar malam itu. “Sampai ketemu besok pagi ya Dik… sekarang kamu pulang dan tidur di rumah Bapakmu…” “Iya… makasih ya kakak-kakak semua!!” ujarnya tersenyum. Di pipinya masih berceceran banyak cipratan-cipratan sperma entah milik siapa tadi. Malam ini Paidjo dapat tidur dengan nyenyak karena ia sudah tiga ronde terkenyangkan oleh sup kental dari kelima pria tersebut. Sementara itu disebuah kapal nelayan: “Gila adikmu itu Kin!! Aku terus terang ndak bakal sanggup melayaninya setiap hari… ia jauh lebih bernapsu daripada istriku!” (Garis Pembatas Jeda……..) Dan gawatnya bagaimana teman-teman? Keesokan siangnya ketika saya terbangun dari istirahat saya, seperti biasa saya sudah menemukan mulutnya disibukkan oleh batang kelelakianku yang mengeras dengan sempurna itu. “Selamat siang Dik… bagaimana tadi malam? Kamu setuju ndak kalo kadang-kadang kamu bermain dengan mereka juga?” “Ndak mau ah Mas…” “Lho kenapa? Kan semuanya juga ganteng-ganteng dan burungnya besar dan kenyal juga?” “Iya tapi…” “Tapi apa?” “Yang lain susunya ndak seenak seperti punya Mas Dikin…” kemudian ia meneruskan aktifitasnya memerah kemaluan saya dengan jepitan bibirnya. Mampus saya... (Bersambung) ========= Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@toughguy.net.


###

Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

13 Gay Erotic Stories from Fred Batavia

Agenda Iblis

“Slamet malam Pak... permisi...” Justru seakan tidak menunggu izin dari kami, pemuda tanggung itu langsung saja menggenjrengkan dawai logam gitar bekasnya itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” nada yang tidak buruk itu ia selewengkan dari sebuah lagu yang sedang populer pada waktu itu. Sebuah grup band domestik papan atas baru saja merilisnya. Dengan berwajah

Bayangan Corcovado Bag.1

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Part 1. Welcome to the Club. DUBRAK. “Wah, maap ya… tadi saya terburu-buru jadi ngga ngeliat.” “Oh ya ngga papa lah.” “Eh, tau dimana tempat daftar klub

Bayangan Corcovado, Bag 2

Part 4. Corcovado. DEG. “Duh smoga tadi dia gak sadar…” pikir Jon-jon dari sofanya. Beberapa menit kemudian Darwin yang duduk dilantai bergeser mendekati Jon-jon. Pundaknya menyentuh lutut Jon-jon. DEG. “Aduh… ngapain sih deket-deket…” Jon-jon mulai mengeluarkan keringat dingin. Sake yang dia bawa tadi sudah habis sampai 4 kaleng diantara mereka. “Uaaaaaahhhhhhhhhhhhh…. Ngantuk

Bayangan Corcovado, Bag 3

Part 7. Problema. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Dengan sigap Darwin menepiskan tubuh Jon-jon dari sisinya. Kemudian tergesa-gesa ia mengumpulkan

Misteri Siluman Terbang, Bag 1

Sidenote: Terus terang saja karangan yang saya buat ini tidak berisikan hal yang berbau porno. Tetapi mungkin beberapa karakter gay yang di-“pekerjakan” kembali dari kisah “Bayangan Corcovado” dapat menjadi penghibur hati dalam kisah misteri ini. Bagi yang belum pernah membacanya, Bayangan Corcovado, mungkin dapat lebih memperkenalkan karakter-karakter dalam tulisan ini. Enjoy. Fred.

Misteri Siluman Terbang, Bag 2

Part 5: Rahasia Lukisan. Satu jam kemudian Kapten Polisi Jose Gomez mengetuk kamar mereka. “Selamat malam Pak, saya mendapat surat perintah (ia memberikan surat itu pada Jon-jon) untuk membawa Saudara Ben Figeroa ke kantor kami malam ini” “Lho… lho kenapa Pak?” “Pasalnya pemilik perkebunan sudah memberi tahu kepada yang bersangkutan untuk tidak memasuki wilayah ini dan tidak

Selamat Ulang Tahun ke 475 Jakarta!

For my pal, B, hope you enjoy it! Kejadian lucu yang menimpa kawan saya si B tadi, tentu saja disajikan dengan bumbu fiksi sedikit terlebih dahulu sehingga dapat lebih menghibur. Nama dan lokasi sudah diubah. Kepada Redaksi yang terhormat, Pada kesempatan ini, saya, Rahmat, ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke 475 kepada ibukota Jakarta yang telah menjadi rumah saya selama

Tentang Paidjo 01: Genesis

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang

Tentang Paidjo 03: Melaut

Sidenote: Paidjo is back for more! Terimakasih kepada seorang pembaca yang telah memberikan ide untuk penulisan bagian ketiga ini. Fred. (Garis Pembatas Jeda……..) “Gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis” “Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar

Tentang Paidjo 04: 1939

Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal. Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya. Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin

Tentang Paidjo 05: Karl

Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini. “Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…” “Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…” “Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung

Tentang Paidjo 06: Invasi

Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo. “Hai apa kabar?” sapa Paidjo. “Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....” “Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?” “Gak papa...

Tentang Paidjo, Bag.2: Obsesi

Cuplikan dari, Bag 1: Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih

###

Web-02: vampire_2.1.0.01
_stories_story