Sudah berbulan-bulan Bang Haryo menjadi fantasi dini hariku. Setiap kali aku terpana melihat bulu ketiaknya yang menyeruak lebat dalam posisi tidurnya yang menggemaskan itu. Ketika tidur, Bang Haryo tidak begitu berbeda seperti kerbau yang kelelahan. Sangat sulit untuk membangunkan tubuh kekar itu dari mimpi indahnya. Dengan mengetahui kebiasaan itu aku mulai menggerayanginya beberapa minggu yang lalu. Walaupun diam-diam aku tetap berharap bahwa permainanku nakalku hingga kini belum ia sadari.
Namaku Warto. Sekitar tiga bulan yang lalu aku mulai bekerja di ibukota. Yah, bukan sesuatu yang dapat aku banggakan, tetapi bayarannya lumayan untuk dapat aku tabung dan aku kirimkan ke orangtuaku di kampung. Aku bekerja di sebuah rumah makan terkenal yang memiliki beberapa cabang. Dan untuk sedikit menghemat pengeluaranku, aku menerima tawaran dari bos-ku untuk menjadi penjaga rumah keluarga ini ketika shift sudah usai. Begitupun Bang Haryo, beliau sehari-hari bekerja menjadi supir perusahaan ini. Anak dan istrinya dengan setia menunggunya di sebuah desa di Jawa Tengah. Dan ketika tugas hariannya sudah usai, beliau merangkap sebagai penjaga rumah ini pula. Yang menemaniku di kamar yang panas ini.
Pikiran nakal yang datang setiap malam ini membuat suhu tubuhku meningkat. Kegerahan segera menyerang yang membuatku dengan sigap melucuti hampir semua busana yang sedang kupakai. Perlahan aku duduk di atas matras kapuk itu. Sebagai uji coba, aku berusaha mendorong Bang Haryo untuk melihat reaksinya. Dan seperti yang sudah kuperkirakan, beliau hanya mengerang lemah dan kembali melalang buana di dalam alam bawah sadarnya.
Tanpa permisi lebih lanjut lidahku mulai merajalela di bebuluan yang merimba di ketiaknya. Aromanya khas Bang Haryo. Sangat jantan. Ah ingin sekali rasanya aku bersetubuh dengan beliau. Kerinduan untuk didekap oleh tubuh keras ini. Sembali memandikan ketiaknya dengan lidahku, jari jemariku mulai bermain-main di atas putingnya yang mulai mengeras. Bulu- bulu halus mengelilingi puting lelaki itu. Tentunya hal itu berefek dengan mulai mengerasnya alat kelamin beliau dari balik celana dalamnya. Dengan nakal kugigit-gigit putingnya, dan kujilat-jilat untuk memberikan kehangatan lebih mendalam. Kepala kontolnya perlahan menyembul dari bukaan paha celana dalam itu. Inilah saat-saat yang aku nantikan.
Perlahan aku melebarkan bentangan paha kekarnya. Tanpa menyentuh batang itu aku mulai mengulum helm coklat muda yang menjadi ujung auratnya. Dengan hati-hati aku sibakkan batang kelelakian itu keluar dari sarangnya. Setiap kali aku selalu terhenyak menyaksikan betapa gemuknya kontol Bang Haryo, bahkan ketika posisi masih semi tertidur seperti ini. Dengan berbagai usaha aku berhasil memasukkan seluruh batang gemuk itu ke dalam mulutku. Sedikit-sedikit aku mulai mengenyut dan menghisap.Dapat kurasakan bagaimana kejantannya mengembang dalam mulutku. Ketika kepala helm itu mulai menyentuh dinding kerongkonganku, aku mulai melonggarkan hisapanku. Dengan tetap memamahbiak aku mulai menarik kepalaku menjauh dari buluh kenikmatan itu.
Wah, besar sekali, pikirku, ketika sudah melihat barang itu tegang seperti tiang bendera. Terbersit pikiran untuk menduduki batang ini. Tapi aku masih takut, kontol besar itu sepertinya akan sangat menyakitkan untuk dimasukkan ke dubur perawanku. Yah, saat ini sepertinya aku hanya dapat menikmatisigar coklat lezat ini dengan kuluman bibirku. Lidahku kembali beraksi dengan menjilati buah zakarnya yang menggantung di balik hutan jembut yang sangat lebat itu. Lelaki sejati memang tak perlu sibuk mencukur-cukur bulu aurat. Satu persatu aku kulum biji peler beliau yang hangat itu. Sembari tanganku sibuk meremas dan menggenggam batang coklat indahnya. Setelah puas bermain-main dengan barang pribadinya selama kurang lebih setengah jam, kini saatnya aku mendapatkan minuman protein kesukaanku, pikirku.
Seranganku kini kufokuskan pada kepala kontolnya. Dengan napsu birahi aku mengulum dan menelan batang keras itu semampuku. Gerakan naik turun dan memutar kepalaku nampaknya berimbas pada kenikmatan beliau. Bang Haryo mulai meringis dalam mimpinya. Dari dalam mulut, ujung lidahku terus melakukan stimulasi pada lubang kencingnya yang mulai membesar untuk persiapan banjir bandang ini.
Saatnya sudah tiba. Bang Haryo mengeluarkan erangan kasar dari mulutnya. Pantatnya mulai mengeras dan tiba-tiba pangkal pahanya disodokkan ke dalam mulutku yang tetap menjaga hisapan nikmat yang dapat aku berikan. Tiga semburan besar segera memenuhi rongga mulutku dengan susu kelelakian yang kunanti-nantikan itu. Sembari menampung banyaknya semburan, aku berusaha sedapat mungkin menelannya dengan lahap. Dengan santai aku menunggu sebentar, aku sudah mengenghafalkan enerji ejakulasi lelaki kekar ini. Sedikit hisapan dan kuluman kemudian beliau kembali menyemburkan susu kentalnya untuk aku nikmati lebih lanjut. Hal ini berulang- ulang terjadi selama lima menit kedepan. Tentu saja buah zakar nan besar itu pastinya memiliki banyak simpanan protein untuk dinikmati orang yang tahu cara menikmatinya. Ketika semuanya sudah reda, dan kontol gemuknya mulai melemas, aku segera membersihkan tetesan-tetesan mani yang berserakan pada bebuluan dan buah zakarnya dengan lidahku. Bahkan ketika sudah lunglai sekalipun aku masih dapat membuatnya menggelinjang dengan sedikit perasan yang akan mengeluarkan lelehan-lelehan terakhir dari lubang kencingnya. Sekali lagi kemudian aku bersihkan dengan lidahku dan aku telan sisa-sisa mani lengket itu dengan napsu birahiku.
Kenyang rasanya minum segelas susu protein dari Bang Haryo langsung dari sumbernya. Napsu birahiku yang masih di atas awan segera aku bawa ke kamar mandi untuk pelampiasan masturbasi dengan membawa bayangan Bang Haryo di benakku. Aku bergegas mengambil pakaian ganti, handuk dan peralatan mandi lainnya sebelum merapihkan celana dalam Bang Haryo dan meninggalkannya terlelap kembali.
Ketika pintu kamar itu tertutup kembali. Haryo mulai membuka matanya dan tersenyum dengan kepuasan luar biasa.
“Bodoh sekali anak itu, sampai kapan dia mengira bahwa aku tidak mengetahui layanan extranya yang dia berikan hampir setiap malam ini?”
Haryo segera memeluk guling dan membayangkan tubuh muda Warto yang lugu dan menjanjikan. Bayangan Warto yang berlari ke kamar mandi dengan celana dalam tipis yang memamerkan sepasang pantat bulat dan kenyal itu membawanya kembali ke alam mimpi dengan senyum tipis tersungging.
Perlahan aku membuka pintu kamar kami. Lampu sudah dipadamkan, Temaram bohlam lorong menjadi penerangan seadanya untuk memandu langkahku di kegelapan ruang. Tanpa suara aku meletakkan ranselku di lantai sembari berjinjit mengambil baju ganti dari lemari. Bang Haryo, teman senior sepekerjaanku sudah lelap. Seperti biasa, udara panas dan kelembaban kamar itu memaksanya tidur terlentang
© 1995-2024 FREYA Communications, Inc.
ALL RIGHTS RESERVED.