Hingga aku SMA, aku tinggal bersama orangtuaku di jantung kota Jakarta. Di sebuah rumah lama, peninggalan jaman colonial, rumah itu bagiku sangat besar, luas tanahnya saja 2000 meter. Rumah induk tempat keluarga kami tinggal membuat pembantu ngos-ngosan, karena sehari ia harus menyapu dan mengepel 2 kali.
Karena terlalu besar, pavilion di sayap kanan disewakan orangtuaku sebagai mess pegawai sebuah perusahaan pelayaran, sedangkan pavilion sayap kiri disewakan kepada sebuah biro arsitektur. Pavillion itu masing-masing memiliki 2 kamar tidur dan sebuah ruang besar yang bisa digunakan sebagai kamar tamu dan kamar makan sekaligus, seperti biasa rumah jaman dahulu, dapur dan kamar mandinya terletak paling belakang. Jadi kalau waktu itu aku main sepeda di halaman belakang, aku dapat memandang penghuni-penghuni di kedua pavilion itu keluar masuk kamar mandi dikanan dan kiriku.
Rasanya tidak lengkap kalau tidak menceritakan para manusia yang menyewa pavilion itu. Aku masih ingat di sayap kanan penghuninya kalau sedang sepi tidak lebih 2 orang, kadang ramai sampai 6 orang, Oom Frans yang Ambon, badannya tinggi besar dan agak tambun, kumis dan jenggotnya lebat. Aku membayangkan kalau ia minum kopi tentu tidak perlu disaring lagi. Lantas Oom Buce dan Oom David, keduanya asal Menado, kata Ayahku mereka masih bersaudara, bagiku saat itu mereka tidak menarik sama sekali, keduanya berkulit terang seperti Cina, badan mereka langsing dan perut mereka tipis sekali. Aku pikir kedua orang itu barangkali tidak pernah kebagian ransum di kapal. Kemudian Oom Bagyo yang asal Surabaya, setiap ia datang, malamnya selalu ditemani perempuan berganti-ganti. Ibuku sering mengintip dari jendela dan berbisik sebal :”psssst….. lagi-lagi membawa pelacur !” Selain mereka berempat masih ada 2 orang lagi yakni Oom Burhan yang ganteng dan Oom Rudy, aku tidak pernah jelas asal mereka. Tapi yang pasti kedua orang itu sering berlayar berbulan-bulan. Aku selalu girang setiap mereka pulang karena selalu ada coklat, mainan dan beragam oleh-oleh.
Di pavilion sayap kiri, hanya ramai pagi hingga sore, disitu ada beberapa arsitek, pimpinannya bernama Oom Wildan, orangnya gagah dan tampan, setiap ia tersenyum nampak giginya yang indah. Juga ada beberapa orang lain, Oom Roso yang mukanya selalu serius dan tidak berhenti merokok, Oom Yan, seorang Cina Semarang, ia tinggi kurus selalu rapi, Oom Rusli, seorang Batak dengan badan kecil, ia orang yang jenaka dan menyenangkan, ia satu-satunya arsitek disitu yang belum menikah. Sekretaris di kantor itu namanya Tante Ita, kalau berjalan melenggak lenggok seperti kucing. Aku heran melihat dadanya begitu mancung, kadang ia menarik nafas sangat panjang seolah payudaranya terlalu berat. Office boy di situ bernama Tukijan, orangnya hitam legam, saat itu mungkin usianya masih belasan tahun. Ia juga tinggal di pavilion, sekaligus menjaga kantor setiap malam.
Waktu berlalu dan umurku sudah 18 tahun, penghuni dan manusia di pavilion kami hanya berubah dengan perginya Tante Ita sekretaris lama, diganti oleh Kak Rina. Hubunganku dengan mereka juga semakin dekat, bahkan seolah mereka keluarga kami juga. Tukijan yang dulu masih belasan tahun kini menjadi pemuda dengan body yang sangat bagus, umurnya tidak lebih dari 21 tahun. Meski kulitnya hitam ia mempunyai wajah yang maskulin, otot-otot di tubuhnya kencang, setiap sore ia mengangkat barbel, seat-up dan main badminton dengan teman-temannya yang datang entah darimana.
Pada jaman tersebut mesin ketik adalah barang langka, sedangkan tugas sekolahku terkadang mengharuskan aku mengetik paper berlembar-lembar. Aku minta ijin Oom Wildan mengetik malam hari, jadi setiap kali aku mengetik Tukijan menemani aku, kadang Oom Rusli juga masih ada di kantor menggambar sampai tengah malam.
Suatu saat, aku sedang mengetik, kulihat Oom Rusli menganggukan kepala kepada Tukijan. Beberapa menit kemudian Tukijan berdiri dan menghilang ke belakang, tak lama Oom Rusli juga berdiri dan turut menghilang. Aku terus mengetik, namun pita mesin tik macet, aku berusaha memperbaiki, tapi akibatnya tanganku hitam semua. Buru-buru aku ke belakang bermaksud cuci tangan, belum sempat aku masuk kamar mandi kudengar dari pintunya suara Tukijan mengerang, aku mengintip dan sangat terkejut. Tukijan sedang telanjang bulat di kamar mandi yang terang benderang, Oom Rusli sedang menetek dada Tukijan, yang lebih bikin aku kaget kulihat Oom Rusli meremas-remas alat vital Tukijan. Sayang sekali aku tidak dapat melihat jelas berapa besar alat vitalnya.
Tanpa kusadari kemaluanku menjadi tegang melihat kejadian itu, apalagi saat melihat Tukijan berciuman mesra dengan Oom Rusli. Kemudian tubuhnya berguncang-guncang dipepetkan ke tubuh Oom Rusli. Setelah itu aku lihat Oom Rusli mencuci tangannya, Tukijan mengambil gayung dan mandi. Secepat kilat aku berlari dan kembali duduk di depan meja mesin tik. Dadaku bergemuruh, nafasku terengah-engah, aku takut mereka tahu aku mengintip.
Semenjak itu aku sering mengamati Tukijan dengan Oom Rusli atau Tukijan dengan kawan-kawannya. Sekali dua kali aku melihat Tukijan setiap habis badminton mandi bareng dengan teman-temannya, sewaktu aku mengintip meski tidak terlalu jelas, aku tahuTukijan sedang bermesraan sambil cekikikan dengan seorang atau bahkan dengan dua atau tiga temannya sekaligus. Tapi yang pasti, seminggu dua kali Tukijan bermesraan dengan Oom Rusli. Kalau malam Minggu, selalu ada seorang atau dua orang teman Tukijan menginap di kantor itu sampai Minggu sore.
Pernah lewat tengah malam, tanpa sengaja aku kehausan, tanpa menyalakan lampu aku pergi ke ruang makan. Letaknya menghadap ke halaman belakang yang luas, sambil memegang gelas aku memandang ke luar. Aku melihat Oom Burhan sedang menyeberangi halaman dari pavilion kanan ke pavilion kiri, di pintu kulihat Tukijan berdiri. Oom Burhan yang ganteng langsung mencium bibir Tukijan, keduanya berpelukan dan masuk ke bilik Tukijan. Jantungku berdebar-debar, niatku ingin mengintip buru-buru kuhapus, sebab kalau aku membuka salah satu pintu tentu akan kedengaran oleh Ayah atau Ibu, setiap pintu digerendel dengan gembok yang berat.
Dan aku ingat-ingat, semenjak lama Tukijan sering bermalam di pavillion kanan kalau penghuninya kebanyakan sedang berlayar. Tentu ia sedang menghangati dan melayani kebutuhan jasmani penghuni yang kesepian. Keinginanku untuk mengintip semakin hari semakin memuncak. Suatu malam Minggu aku sengaja duduk lama di beranda belakang, sehingga Ayah dan Ibu berpesan : “jangan lupa pintunya digrendel kalau mau tidur” Dua jam kemudian aku mendengar keduanya sudah mendengkur, begitu juga saudara-saudaraku yang lain. Aku mematikan lampu dan duduk diam-diam di beranda belakang, sedari sore aku sudah amati ada dua orang teman Tukijan bermalam di kantor itu.
Akhirnya lewat jam 1 malam aku mengendap-ngendap di teras pavilion kiri, aku mengintip kamar Tukijan, menempelkan kupingku lekat-lekat ke jendela, sayang tertutup rapat, yang terdengar hanya suara music radio. Beruntung ada 2 buah meja yang ditumpuk dengan deretan lubang angin di atasnya. Pelan-pelan aku naik tanpa suara, aku mengintip ke dalam “astaga” baru pertama kali kulihat adegan persetubuhan dalam hidupku. Persetubuhan antara lelaki dengan lelaki, tiga lelaki tanggung telanjang bulat ! dua orang berpelukan saling berciuman, saling menindih, yang seorang lagi berdiri di tepi tempat tidur sambil menggoyang-goyangkan pantatnya maju mundur. Tubuhku terasa bergelora menyaksikan pemandangan super istimewa ini, darahku mengalir cepat ! alat vitalku berdiri, aku meremasnya dan merasa nikmat luar biasa. Sekejab saja aku remas dan kocok alat vitalku menyemburkan sperma bertubi-tubi, celana pendekku basah kuyup dengan cairan lengket seperti kanji. Mataku terus menatap ketiga lelaki di dalam kamar,Tukijan dan kawan-kawannya. Badan Tukijan yang dempal dan gelap disergap dari depan dan belakang, alat vitalnya sangat besar….!! Seorang temannya memeluk dari depan, bibir mereka bertemu, lantas bibir temannya merosot ke dagu, ke leher, ke dada dan akhirnya mengulum alat vital Tukijan yang seperti gagang senter. Temannya yang satu lagi sibuk mencium kuduk, punggung dan menjilati pantat Tukijan yang sexy. Kulihat temannya jongkok dan memeluk pantat Tukijan, yang punya pantat lantas menaruh sebelah kakinya di tempat tidur, sehingga lubang pantat itu terlihat jelas dijilat-jilat penuh nafsu oleh temannya.
“Cuih…” aku meludah dengan jijik, membayangkan bagaimana lidah bisa menjilati bagian paling kotor di tubuh kita. Aku buru-buru turun dari meja, dengan lari-lari kecil mengendap-ngendap masuk rumah dan masuk kamar tidur. Malam itu aku tidur super lelap tanpa mengganti celanaku yang lengket. Beberapa hari kemudian aku mendapat tugas kelompok, aku harus mengetik lagi. Sehabis makan malam aku ke kantor sebelah dan minta ijin Tukijan mengetik. Tukijan menemaniku hanya bercelana olahraga, kaosnya disampirkan di leher. Aku bertanya : ”Mana teman-teman badmintonmu ?” Tukijan hanya menjawab pendek : ”Pulang”
Aku mulai mengetik, lantas Tukijan pamitan mau mandi, saat itu tiada orang lain di kantor. Aku berniat sehabis mengetik selembar aku mau mengintip Tukijan di kamar mandi. Namun baru saja aku berdiri,Tukijan sudah muncul memakai celana dalam berwarna kuning, handuknya digelungnya di kepala. Ia lantas berdiri tepat di depanku sambil mengeringkan rambutnya, lengannya mecotot-mecotot, pahanya besar seperti pemain bola, perutnya kempes, pentilnya hitam, lebih hitam dari kulit badannya yang hitam pekat. Tanpa sadar aku berhenti mengetik dan menatap celana dalam kuning dengan tonjolan daging sebesar ketimun suri. Aku membayangkan besarnya alat vital Tukijan yang kuintip beberapa hari lalu.
Seperti disambar petir aku terkejut ketika Tukijan tiba-tiba berkata : “Ada apa lihat-lihat ini” jarinya menunjuk celana dalamnya, aku menunduk diam saja. Lantas Tukijan mengeluarkan kemaluannya dari samping celana dalam : “Mau liat ini…..??” katanya
Aku melongo melihat kemaluan Tukijan dari dekat, belum hidup panjang seperti itu “adik ini belum bangun…..kalau bangun lebih besar lagi” kata Tukijan sambil menimang-nimang adiknya. Mataku tidak berhenti memandang takjub kemaluan itu.
“ayo sini…ikut saya ke dalam…” Tukijan memerintah, ia menggamit tanganku dan seperti tersihir aku ikut dia ke kamarnya. Tukijan mengunci pintu, ia membaringkan diri di ranjang, aku berdiri melongo. “Hush……ayo duduk sini, buka aja celanaku kalau mau liat sepuasnya….ayo jangan malu-malu, sama-sama punya kok malu” demikian kata Tukijan. Aku mendekat dan duduk di sampingnya, aku mengusap celana dalam kuningnya, lantas karetnya aku turunkan sedikit, kemaluan itu menampak kepalanya yang hitam keunguan. Tukijan menangkap tanganku, menyusupkannya ke dalam celana dalam. “ayo remas aja….remas biar adik ini bangun…jangan kaget ya kalau dia nakal” kata Tukijan.
Daging berurat kehitaman dibalik celana dalam aku remas-remas, aku genggam terasa kenyal. Belum semenit kupegang daging itu menjadi keras, Tukijan memelorotkan celana dalamnya, ia kini telanjang bulat. Jantungku berdebar-debar, barangkali wajahku pucat pasi, melihat kemaluannya begitu besar, hitam dan keras. Antara sadar dan tak sadar aku merasa tangan Tukijan memeluk pinggangku, ia menarikku ke atas tubuhnya, ia mencium pipiku penuh kasih sayang, tanpa malu-malu bibirku diciumnya, lidahnya menari-nari, tangannya mengelus-ngelus rambutku. Aku merasa melayang-layang karena seumur hidup aku belum pernah berciuman. Selanjutnya aku menyerah pada kemauan Tukijan, ia menelanjangiku, menciumku dengan mesra, rakus, mesra berulangkali dari atas sampai ke bawah. Kemaluanku ngaceng sejadi-jadinya, terlebih ketika ia meremas dan mengocok batang kemaluanku. Aku juga tidak mau kalah, aku mencari-cari kemaluannya, kukocok-kocok sampai terasa begitu keras dan besar berdenyut-denyut seperti selang air.
Tukijan menindih tubuhku, ia menyelipkan kemaluannya di antara pahaku, tapi aku belum berpengalaman sama sekali, jadi sebentar-sebentar daging itu luput dari celah-celah pahaku. Tukijan menyuruhku berdiri, ia mengatur supaya aku memepetkan pahaku, kemudian ia memelukku sambil menyelipkan alat vitalnya diantara pahaku. Sambil menciumku penuh nafsu Tukijan menggesek alat vitalnya yang hangat di celah-celah paha yang dirapatkan. Memang betul ! rasanya hangat, nikmat dan nyaman…..untuk pertama kali aku merasa begitu bahagia. Tukijan terus menggesek sambil terus mencium bibirku. Setelah 10 atau 15 menit Tukijan menggigit bibirku tubuhnya bergerak kian kencang dan ia melepas air mani yang terasa berdenyut-denyut diselangkanganku, air mani itu segera meleleh dan turun sampai ke betisku.
Tukijan terengah-engah bibirnya tersenyum, jarinya mencolek daguku, sekali lagi ia menciumku : “terima kasih sayang…” katanya, lantas ia mengambil handuk mengelap pahaku, betisku. Ia memakaikan celanaku, bajuku dan membimbingku kembali ke meja mesin ketik. Ia menemaniku mengetik sampai selesai, ia tersenyum mesum dan berbisik : “lain kali gantian aku bikin kamu yang enak” Malam itu aku ngocok sejadi-jadinya di ranjangku, rasanya luar biasa sedap, ejakulasi sambil mengingat pengalaman pertamaku bersama Tukijan.
(bersambung)
Tinggal di Arab merupakan sebuah kenikmatan, berbagai macam barang ada, harganya murah, bahan makanan dan minuman juga lengkap! dan hampir semua orang di sana yang kutemui baik-baik, terlebih para lelakinya selalu menawarkan kemaluannya dengan penuh keramahan.Setiap saat aku mau, selalu dapat kontol, pagi subuh nemu kontol, sarapan pagi….juga kontol ! jam sepuluh ada kontol, siang bolong
Enam Jam Di JogjaIni bukan kisah sejarah perjuangan Pak Harto dalam masa Revolusi, meski judulnya sama tapi ini sejarah tidur dan bergulat dengan seorang Pakistan di atas kasur. Sama-sama seru ! Pak Harto berjuang mengandalkan pestol, cerita yang ini berjuang mengandalkan kontol.Begini ceritanya : Sebuah hotel baru akan diresmikan di daerah Losari, dekat Magelang, gerombolan kami turut di
A Tale From ArabiaSelama sebulan lebih aku harus bolak-balik Mecca-Medinah, tamu-tamuku bertebaran di kedua kota tersebut. Ada 36 orang di Mecca dan 54 orang di Medinah. Terus terang lebih banyak tamu-tamu menghabiskan waktu di Medinah, karena suasananya lebih damai dan sejuk. Begitu juga orang di sana jauh lebih ramah. Kotanyapun lebih rapih dan menyenangkan.Jarak Mecca -Medinah kutempuh
AKWANG Bulan September 2004 team kami harus mengunjungi tempat pengungsian minoritas Cina, mereka korban Gerakan Aceh Merdeka, letaknya di daerah perindustrian, kota di mana kami tinggal. Kami siap-siap dengan berbagai kebutuhan pendidikan dan obat-obatan. Hari yang ditentukan tiba, kami datang dan disambut ramah panitia pengungsi, kami langsung membagi diri sesuai tugas masing-masing.
Sore itu aku baru saja mendarat di Ngurah Rai International Airport, segera check-in di Grand Bali Beach Hotel yang jauh dari hiruk pikuk, terlebih karena setumpuk pekerjaan yang harus kulakukan berada di daerah Renon, dekat dengan Sanur. Belum sempat beristirahat telponku berdering, rekan bisnisku mengajak makan malam di Jimbaran, segera kami meluncur ke sana. Waktu baru saja menunjukkan pukul 7
Pagi-pagi Tante Ida menelpon dari Jakarta :”Man, anak lelaki sahabat Tante di Denver nanti mendarat jam 11 siang, mau liburan di Bali, maaf ya ! dadakan ! Tante sibuk, lupa kasih tau, nanti sekalian ke kantor, Tante transfer ke rekening BCA kamu buat uang pegangan…...” dan seterusnya…..ia memborong bicara, padahal aku masih ngantuk ! bayangkan aku baru tidur jam 2 dan jam 6 pagi Tante saya
Blitzkrieg !Halo-halo pencinta cerita homo ! Ini laporan pandangan mata, fresh report dari Dili, “kota sejuta kontol” Sore tadi bersama teman-teman saya pergi ngopi ke Area Branca, atau Pasir Putih, daerah tepi pantai dengan pasir yang warnanya putih. Areanya tidak besar, paling-paling hanya sepanjang 1 km, tapi di sore hari kota Dili tampak cantik dari sana, bukit-bukitnya terlihat biru dan
Pernah suatu kali Iwan Tirta mengatakan kepadaku “relations & sex” ibaratnya seperti bread & butter, tak terpisahkan seperti roti yang harus diolesi mentega. Hmmm….. coba pikirkan ! kata-katanya benar ! Pada pengalamanku, bila seks antara aku dan pasanganku cocok maka hubungan kami menjadi lancar, hal-hal kecil yang bisa menjadi biang keributan akan terselesaikan di atas ranjang. Atau
Dili 2008Pertama kali aku melihatnya bulan Agustus 2008, di sebuah restoran bagi kalangan menengah di kota Dili, Timor Leste. Aku dan teman-teman sedang makan malam, tidak jauh dari tempat kami duduk rupanya ada perayaan ulang tahun. Sepotong kue taart besar di pasangi lilin digiring ke meja rombongan itu. Suasana penuh senda tawa dan bahagia, tiup lilin dan jepret-jepret mereka berfoto. Yang
Goyang DombretAda sebuah kantor di sebelah ruko aku tinggal. Kalau hari Sabtu, kantor itu setengah hari, setiap Sabtu selewat jam 2 siang selalu kedengaran music dangdut di stel dengan sangat keras dari kantor tersebut, dan baru berhenti Senin pagi saat kantor buka lagi. Bayangkan dari Sabtu siang sampai Senin pagi semua tetangga harus menderita dengan music kampungan yang disetel dengan volume
Jakarta-Bandung-JakartaHari Jumat jam 15.15 KA Parahyangan melaju dari Stasiun Gambir menuju Bandung, di atas kereta aku berkenalan dengan seorang pemuda ganteng, alis matanya tebal, bibirnya sexy, kesannya seperti Brad Pitt, tapi Melayu punya. Kami saling memperkenalkan diri, namanya Bagyo, lulusan Universitas Parahyangan, Bandung. Ia sendiri tinggal di Jakarta, tapi karena ada keperluan
Bagyo menyumpah-nyumpah kegelian “gue udah nggak tahan lagi nikh…..” ia mulai mempercepat goyangannya, maju mundur dengan cepat, gerakannya membuat aku kelabakan, aku mulai mengimbangi dengan menggenggam kontol itu, setengah masuk mulut setengah kujilat sambil kukocok dengan tangan. Bagyo semakin buas, tangannya menjambak rambutku menekannya sekaligus ke selangkangannya “niiiiiiiiikh… rasain
Kenangan Di Masa Lalu (I)Hingga aku SMA, aku tinggal bersama orangtuaku di jantung kota Jakarta. Di sebuah rumah lama, peninggalan jaman colonial, rumah itu bagiku sangat besar, luas tanahnya saja 2000 meter. Rumah induk tempat keluarga kami tinggal membuat pembantu ngos-ngosan, karena sehari ia harus menyapu dan mengepel 2 kali. Karena terlalu besar, pavilion di sayap kanan disewakan
Mungkin aku pacaran sudah lebih dari 19 kali, maksudku pacaran yang serius, bukan sekedar hubungan badan biasa. Kadang menjelang tidur aku membuka-buka buku catatanku dan mengenang pacar-pacarku dulu. Salah satu diantaranya bernama Gandhi, karena ia paling romantic dan paling berbakti. Gandhi adalah salah satu pacar yang paling tidak akan kulupakan.Aku berkenalan dengannya tahun 1996, ketika
Kontol di MuseumKalau kita pergi ke Museum Pusaka Nias, di Gunung Sitoli, kita akan terpesona melihat patung-patung batu berserakan di halaman Museum, di depan, ditengah, di belakang. Rata-rata semua punya gaya yang sama, seorang lelaki dengan kostum traditional berdiri tegap dengan buah dada besar dan alat kelamin berdiri tegak, semua terbuat dari batu.Sudah dua kali aku kesana, hari Sabtu
Magnum ForceDi ujung Jalan Kajeng sedang dibuat Bale Banjar yang baru, tukang-tukangnya sebagian besar dari Jawa. Agak lebih jauh sedikit di teras sawah, tinggal temanku Yoko, seorang perempuan Jepang yang sedang belajar menari di Peliatan. Pondok Yoko bergaya Jepang dikelilingi kolam Lotus…romantis sekali, kalau bulan purnama aku selalu ke sana, mendengarkan music, minum brem atau arak atau
MandreheMandrehe adalah sebuah desa kecil, di tengah Pulau Nias. Saya menyukai desa tersebut, letaknya tinggi di perbukitan, cuacanya sejuk, dari sebuah tempat di sana kita bisa memandang Pulau Sirombu dan birunya Samudra Hindia yang seolah tak berbatas. Indah !Pertama kali ke sana, saya tercengang melihat tempat saya harus menginap, sebuah kamar di Seminari yang tidak terurus. Perlu 3 jam
Nias - Pulau Seribu Kontol Jilid IIBetul saja, jam 8 lebih sedikit Fasi datang naik sepeda, wajahnya cerah sumringah, ia menyandarkan sepedanya di tiang rumahku. “Bang perutku sakit, habis makan aku langsung ngebut naik sepeda” katanya manja, ia langsung menghempaskan pantatnya ke kursi rotan. Celana pendeknya sudah robek sebelah depan dekat selangkangan, aku perhatikan kakinya panjang dan
Singing In The RainPerumahan Taman Setiabudi Indah di Medan sedang banyak membangun rumah mewah, bangunan setengah jadi ataupun tahap finishing gentayangan sepanjang jalan. Beberapa bangunan hanya dipagari seng, atau terbuka sama sekali, pemiliknya belum punya cukup dana untuk menyelesaikan rumah tersebut. Di bangunan-bangunan seperti itulah tukang-tukang jualan makanan bergerobak beristirahat
WayanSebulan sudah aku menetap di daerah Petitenget, Seminyak. Duapuluh tahun lalu tempat ini begitu sepi dan mungkin sebagian besar orang tidak tertarik berkunjung kesini. Tapi Petitenget kini berubah menjadi surga kaum pelancong bule kelas atas. Coba saja lihat Potato Head, W Hotel, Metish, Sardin, Bali Bakery dan semua tempat yang terbilang mahal ada di lokasi ini.Banyak hotel dan
© 1995-2024 FREYA Communications, Inc.
ALL RIGHTS RESERVED.