“Slamet malam Pak... permisi...” Justru seakan tidak menunggu izin dari kami, pemuda tanggung itu langsung saja menggenjrengkan dawai logam gitar bekasnya itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” nada yang tidak buruk itu ia selewengkan dari sebuah lagu yang sedang populer pada waktu itu. Sebuah grup band domestik papan atas baru saja merilisnya. Dengan berwajah antara terkejut dan mendapatkan ilham, diiringi soundtrack gemerlap dari pemuda tadi, Gunar langsung menatap saya sehingga saya berhenti mengunyah nasi goreng ala Warung Bang Eddy agak minggir got sedikit di bilangan Cikini tersebut. Hmm. Pintar juga kawan saya itu melihat kesempatan. Saat ini kami berdua sedang mengerjakan proyek super-rahasia yang bahkan tidak diketahui oleh teman kantor ataupun para tetangga kami. “Ehm... dek... ini...” ujar saya seraya menyodorkan sebutir koin yang dihargai limaratus rupiah itu. “Makasih Pak...” balasnya. “Dek... tunggu, emm... kenalkan nama saya Ferry dan yang ini teman saya Gunar... bisa kita bicara sebentar?” Bergegas Gunar membayar Bang Eddy sang pemilik warung dan kami bertigapun segera berjalan perlahan ke arah mobil saya diparkirkan. “Gini Dek... kami memiliki sebuah proposal untuk Anda” “Waduh Pak, apaan ini, jangan yang aneh-aneh ya...” “Begini... sori, nama kamu siapa?” “Irwan...” “Oke Wan, yuk duduk di mobil aja...” Saya membukakan pintu belakang baginya dan langsung duduk di samping pria itu. “Terus terang kami sedang mencari model untuk difoto. Dan perawakan serta wajah kamu masuk dalam kategori yang kami cari.” “Tapi saya dekil begini Pak, seberapa pantaskah saya menjadi model Anda?” Saya terdiam sejenak untuk menjawab pertanyaan tadi, kemudian saya tersenyum sembari menyanyi kecil. Sebuah lagu yang mengawali pertemuan kita malam itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” Kami bertiga tertawa lepas, kemudian saya melanjutkan dengan, “Tidak masalah, karena kami ingin menerbitkan sebuah buku fotografi yang berjudul Pria Indonesia: Apa Adanya” Kemudian Gunar menyela, “Tetapi syaratnya hanya satu...” “Ya?” “Kamu harus mau dipotret telanjang” Paras Irwan yang tampan itu segera berubah, ia menelan ludah. “Kalau kamu bersedia, kita langsung cabut ke studio mini saya tidak jauh dari sini...” “Ehm, lalu...ss...ssaya dapet apa Pak?” “Seratus ribu rupiah. Sebagai tanda jadi kami akan berikan limapuluhnya saat ini, dan limapuluhnya nanti setelah pemotretan” “Wan... bayangkan betapa mudahnya ini...” tambah Gunar memperlancar pengambilan keputusan. “Emm, kalo gitu biar saya taro gitar saya dulu deh... ngga lama kan?” “Udah bawa aja gitarnya, nanti kita foto sekalian sama kamu” Saya kemudian berpindah ke kursi pengemudi di samping Gunar dan segera mengarahkan kendaraan itu ke studio saya. (Garis pembatas jeda) “Kamu deg-degan Wan?” “Sedikit Pak, maklum saya belum pernah melakukan yang seperti ini” “Fer... nih... kasih si Irwan minuman biar santai dikit...” Gunar melemparkan bir kalengan itu ke arah tempat saya berdiri. Studio saya merupakan sebuah kamar kosong di ruko orang tua saya yang tidak terpakai untuk usaha. Saya sebagai fotografer amatiran segera mempersiapkan layar dan pencahayaan agar baik nanti hasilnya. Sedangkan Gunar sebagai asisten saya mulai mempersiapkan dua buah kamera yang berisikan film monochrom. “Udah gak grogi?” “Ngga Pak” “Mau mulai sekarang?” “Umm... boleh...” “Lho ayo... apa perlu saya bantu bukain bajunya?” “Oh... maaf, iya-iya Pak...” balasnya tergesa-gesa. Tanpa memperdulikan Irwan, sang pengamen/ model, kami berdua masing-masing meneruskan persiapan pemotretan. Saya tertegun untuk beberapa saat ketika Irwan tiba-tiba sudah berdiri telanjang bulat di depan layar putih yang polos itu. Kedua belah tangannya menutupi auratnya. Mungkin ia masih malu-malu dengan kami berdua. Rambut ikal sepundak yang diikat kebelakang itu menunjukkan ciri khasnya sebagai seorang seniman, dalam hal ini musik. Ia kemudian menatap saya malu-malu. “Saya sudah siap Pak...” “Duh jangan panggil saya Pak deh... emang kamu umur brapa sih Wan?” “Duapuluh dua...” “Nah kan gak beda jauh... saya aja baru dua-tujuh dan Mas Gunar itu baru dua-enam umurnya. Kita saling panggil nama aja ya...” “Baik Fer...” Gunar segera menjulurkan sebuah Nikon kehadapan saya. Kamera itu langsung saya genggam dan saya jepretkan ke wajah Irwan tanpa basa-basi lagi. Wajahnya yang tidak tercukur rapih memberikan getaran-getaran birahi dalam hati saya. “Sekarang ambil gitarmu Wan...” Saya mulai menyetubuhi raganya dengan jepretan sinar flash dari kamera. Mulai dari rambutnya, pundaknya, lanjut ke dadanya yang polos tanpa bulu. Ke perut dan pinggangnya yang ramping. Saya senang sekali membuat karya berupa sorotan dari dekat. “Angkat ketiakmu Wan...” Saya kemudian mendekatkan laras kamera itu ke daerah yang dimaksud. Butir-butiran keringat mulai terlihat menerobos kulit lembut itu karena tingginya luminitas cahaya di ruangan itu. Bebuluan hitam yang tidak terlalu banyak terlihat basah dan merangsang di sana. Tanpa izin dari dirinya, saya segera mendekatkan jemari saya di sana dan mengacak sisiran bulu ketiak pemuda itu. Sangatlah merangsang diri saya untuk melihat semrawutnya maskulinitas pria seperti ini. Aroma jantan yang sangat khas turut menyerbak seiring dengan gusapan jemari saya di atas lekukan itu. Ia tampak malu dan segera menurunkan lengannya. “Lho... gak papa Wan... kok diturunin?” “Malu Fer... ketek saya... kayaknya... bau...” “Bau gimana? Saya malah suka bebauan alami dari tubuh seorang pria...” Saya kembali membuka lengan kanannya untuk mengekspos bebuluan lembut di sana dan segera menggosok-gosokkannya kembali dengan ujung-ujung jemari saya. “Gak percaya? Nih... buktinya” ujar saya mengikuti copy sebuah iklan pembilas rambut. Lalu saya mendekatkan hidung saya di sana dan mulai mengendus-endus. Tidak berapa lama kemudian saya mulai menjilati ketiaknya dan memainkan bebuluan halus tadi dengan melakukan tarikan-tarikan kecil pada rambut itu dengan geligi saya. “Hehe... geli Mas...” Saya ikut tertawa menyaksikan kepolosannya. Kemudian saya lanjutkan sesi pemotretan itu. Sesi kedua dilanjutkan dengan pemotretan bokongnya yang kenyal. Lensa zoom mulai saya arahkan ke lubang anusnya yang tertutupi oleh bulu-bulu kasar dengan strukturnya yang keriting. Ia tampak terkejut ketika saya menyigarkan bebuluan itu untuk mencari tepatnya di mana lokasi liang anusnya. Saya perintahkan ia untuk membuka belahan kakinya lebih lebar sehingga akses saya ke sana menjadi lebih mudah. Walaupun saya lebih menyukai bokong yang mulus dan polos, saya tidak boleh mencukur bebuluan kasar di sana karena ide pemotretan ini adalah pria Indonesia: sebagaimana apa adanya dia. Saya jilati sedikit liang kenikmatan itu sehingga tubuhnya terkejut bagaikan tersengat listrik. Sekarang warna dan kelembaban di sana sudah berubah, waktu yang tepat untuk mengarahkan kamera ke bibir anusnya yang menurut saya masih perawan itu. Jepret. Jepret. Jepret. Berkali-kali pula saya sudah menjepret kedua belahan buah zakarnya yang berat dan kemaluan besarnya yang tertidur itu. Kepala penisnya seakan tidak pantas berada di sana. Bulatannya sangat besar dan terlihat tidak seimbang dengan batang zakar itu. “Wan, bisa dikerasin gak batangnya nih?” tanya saya bercanda. “Ehhh... ehmm... ummm.... kayaknya s usah Fer, soalnya saya grogi sekali nih....” “Oke, gampang. Gak masalah. Gun...” saya memanggil pacar saya. “Ya Fer?” “Bantuin tuh Irwan...” Dengan taat Gunar menjalankan perintah saya. Tangannya segera membelai batang kelelakian Irwan yang tergolek itu. Irwan malah bertambah grogi. “Fer... Gun... sorry banget nih... kalau yang ini gue gak bisa... gue bukan homo coy...” “Emang bener, Wan, dari tadi aku juga udah tau kalo kamu bukan homo. Lalu masalahnya di mana? Khan kamu ngga harus melakukan apa-apa untuk Gunar dan saya?” “Tapi...” Belum selesai ia berbicara, dengan lihainya bibir Gunar sudah menyambut kepala penis raksasa itu. Tanpa menelannya lebih dalam dari sana ujung lidah pacar saya itu mulai mengelus dan membasahi lubang kecil di ujung kepala penis itu. Irwan mulai mengeluarkan erangan kecil. Gunar memegang kepala ular phyton itu dan menciumi gerbang sempit air seni itu. Lidahnya ia tancap-tancapkan ringan, seakan hendak membuka lubang kecil di sana. Yang dilayani mulai menikmati permainan ini. “Oke Gun cukup...” Saya mulai kembali memotreti tubuh pemuda yang kemaluannya sudah berdiri setengah jalan. Ia tampak kecewa dengan penyudahan pelayanan istimewa yang terkesan belum tuntas itu. Sepuluh menit berjalan dengan cepat. Wajahnya seakan memohon saya untuk memperbolehkan bibir Gunar menunjukkan kepiawaiannya di atas batang kemaluan pemuda itu sekali lagi. “Oke Gun. Lanjutin ke Irwan...” Keahlian pacar saya yang satu itu adalah kehebatannya menelan batang zakar. Ukuran raksasa seperti milik Irwan ini sama sekali tidak menjadi halangan. Bahkan kepala penis bulat itu berhasil melewati titik muntah dan kini sudah mulai menjelajahi rongga kerongkongannya. Sementara itu lidahnya sibuk menjepit dan bibirnya terus menyusui dengan cekatan. Salah satu pertimbangan utama kenapa sampai hari ini saya masih belum bosan menjadi pacar Gunar. Ia melepaskan penis itu dari cengkaraman mulutnya ketika sudah mengeras dalam tahap yang tertinggi. Saya kembali sibuk memotreti Irwan dalam posenya yang seksi dan merangsang ini. “Oke CUT. Makasih Wan... sudah cukup...” Irwan kelihatan kecewa karena birahinya yang sudah dipaksa untuk bangkit kini tidak mendapatkan solusi yang memuaskan. Tidak hanya itu, Gunarpun memandang saya seakan minta izin untuk meneruskan adegan mereka. “Hmm... untuk buku kami sih, pemotretan memang cukup sampai di sana... Tapi... untuk koleksi pribadi... kamu mau diterusin Wan?” “Mm... boleh lah terserah...” jawabnya malu karena saya telah berhasil dengan jitu menebak hasratnya. Gunar segera menelanjangi dirinya dan kembali mengulum batang zakar Irwan sang pengamen yang kini sudah tergeletak erotis di lantai studio. Dari atas saya terus melakukan jepretan demi jepretan dari adegan yang saya nilai indah. “Wan... saya akan sangat senang kalo kamu mau menyetubuhi cowokku itu...” Gunar masih saja memperlihatkan ekpresi terkejut di wajahnya. Ia tahu sekali bila saya sangat terangsang bila melihat pacar saya itu ditiduri oleh pria lainnya. “Tapi Fer... sekali lagi saya bukan homo...” elak Irwan. “Udah pernah meniduri cewe kan?” “Iya...” “Ngga beda jauh Wan, suer.... malah lebih sempit dan enak.... cobain dulu lah...” Tidak jauh dari tempat Irwan tergeletak, Gunar sudah mulai menungging dan memperlihatkan sepasang bokongnya yang bundar dan lubang anusnya yang terlihat rindu untuk diserang. Tadi malam saya baru saja mencukur bebuluan di bokong Gunar. Pasti indah sekali pemandangan ini untuk saya potret, begitulah pikir saya. Saya segera berjalan ke arah lokasi tempat Gunar menggelar pameran tunggalnya. “Nih... masak yang kayak begini ngga tertarik Wan... enak lho....” saya menyetani pemuda itu seraya mengusap-usap bibir anus pacarku yang mulai menganga karena terangsang itu. “Di dalem ditanggung sempit dan nikmat deh Wan....” kemudian saya mulai memasukkan jari tengah yang sudah saya lumuri ludah itu di sana. Gunar sendiri mulai terengah-engah menikmati permainan saya. “Kalo ngga mau ya sudah...” Saya segera menelanjangi diri dan memaksakan keperkasaan saya masuk dengan sulit ke dalam lubang sempit Gunar dan memompanya perlahan-lahan. “Nikmat bener.....” ujar saya mengerling sembari menggoda Irwan yang secara tidak sadar menikmati permainan kami dan mulai meremas-remas anggota tubuhnya yang satu itu. “Sini lho Wan...” panggil saya. “Daelah... malu-malu banget sih... ini ada dua orang yang mau membantu kamu malah maenan sendiri gitu. Sini, biar saya suruh Gunar menghisap batangmu lagi ya.... Mau ya sayang?” tanya saya pada pacarku. Perlahan Irwan berlutut dihadapan Gunar dan menyodorkan keperkasaannya untuk diservis lebih lanjut. Irama tubuhnya mulai mengikuti gerakan maju mundur kepala Gunar. Dengan sok berakting keasyikan saya terus menyetubuhi pacar saya dihadapan pemuda asing ini. “Ahh.... say... enak sekali... huh... huh... ahh.....” Lama-kelamaan keingintahuan Irwan memuncak juga. Ketika sedang sibuk dilayani dengan bibir Gunar, ia mulai memandangi gerakan maju mundur batang saya ketika saya tarik dan tenggelamkan ke kedalaman liang Gunar yang menjerat nikmat. “Apa kamu liat-liat? Dibilangin ngga percaya sih... salah sendiri... gimana sekarang? Mau coba?” Dengan malu-malu ia menganggukkan kepalanya. “Nah gitu dong... sini tukeran...” Saya mempersilahkan Irwan untuk menggantikan posisi saya. Kemudian saya membantu mengarahkan batangnya yang keras itu menuju lubang Gunar yang sudah saya sibakkan dengan kedua belah tangan saya. “Hmppphh...” begitulah yang ia keluarkan ketika mencoba untuk pertama kalinya menembus tubuh pria lainnya. “Umm... ngga muat Fer...” ujarnya ragu untuk meneruskan adegan itu. “Muat... muat... coba pelan-pelan masukin kepalanya... Nah, iya... duh... gede banget sih lagian... tahan ya Gun... ayo Wan... masuki perlahan-lahan... nah... bagus... iya... terus... ayo terus tancap.... tanamkan... ya... benar.... ayo... tanamkan seluruhnya....” Bless. Akhirnya bulu-bulu kasar di atas kemaluannya berhasil menyentuh kulit bokong Gunar yang sangat lembut. “Ya udah... coba tarik dikit dan dorong lagi....” Saya segera menyodorkan penis saya untuk dilayani oleh Gunar yang senantiasa patuh itu. “Gimana Wan?” Yang ditanya hanya bisa tersenyum-senyum kecil dengan seringai penuh kenikmatan. “Tuh bener khan Gun... apa saya bilang. Bokongmu ini memang spesial. Siapa saja pasti ngga tahan kalau sudah melihat keindahannya” Dari sana saya menjulurkan jemari saya ke arah puting Irwan. Saya usap-usap dengan lembut seirama dengan meningkatnya gerakan hantamannya pada dudukan Gunar. Kemudian saya mainkan puting yang sudah mengeras itu dengan telunjuk dan jari jempol saya. Saya tarik badannya untuk mendekat sehingga saya dapat menjilati dan menghisap-hisap puting kecilnya yang berwarna coklat tua itu. Bagaikan anjing betina yang sedang birahi, Gunar kemudian dengan napsunya memaju mundurkan tubuhnya sehingga membuat Irwan semakin bernapsu untuk memompa tubuh lembut pacar saya itu. Rupanya permainan Irwan yang baru saja saya training ini berhasil memuaskan titik kenikmatan di dalam liang anusnya dengan sempurna. Gunar terus menunggangi daerah persimpangan pengamen tampan ini dengan seluruh tubuhnya. Saya tahu tidak lama lagi ia akan mencapai titik puncak. Bergegas saya memutar posisi saya sehingga saya dapat mengulum kejantanan Gunar yang sudah sampai dipenghujungnya itu. Begitu lidah saya tiba di fondasi bangunan itu, langsung saja semprotan-semprotan hangat dari tubuhnya menyambut rongga mulut saya. Terasa sangat manis dan nikmat pacar saya itu. Tidak lama kemudian giliran Irwan yang mencapai puncak kenikmatan badaniah itu. Ia berteriak-teriak seperti anak kecil yang diambil mainannya. Memang benar, ia seakan tak rela permainan ini akan segera berakhir. “Tidak... tidak.... ahhhhh.....ahhhhh................” Pijaran-pijaran hangat segera memenuhi liang kenikmatan itu. Perut Gunar terasa penuh dan hangat oleh benih-benih lembut dan hangat yang baru saja dipersembahkan Irwan baginya. Karena kelelahan pemuda itu langsung terjerembab di atas tubuh Gunar yang merangsang. (Garis pembatas jeda) “Makasih ya Wan, udah mau bantuin kami...” “Wah, saya yang terimakasih sama Ferry dan Gunar nih” “Makanya jangan bosan-bosan yah... hubungi kami lagi bila udah kangen sama laki-laki lagi hehe...” “Iya Fer, lagipula saya juga tidak mengenal pria lain lagi yang dapat saya ehm...” “Baguslah kalau begitu. Oke deh, sampai ketemu lagi yah...” Tanpa ada niatan untuk kembali mengenakan busana, sayapun akhirnya membayarkan separuh upah pemotretan Irwan seperti yang kami janjikan sebelumnya. Saya menambahkan beberapa puluh ribu sebagai ongkos pulang Irwan dan gitar kesayangannya. Sekembalinya ke studio, saya tertegun mengagumi tubuh kekasihku yang saat ini sedang tengkurap di lantai studio. Dari sela belahan pantatnya, tampak sedikit lelehan cairan mani Irwan yang ia tinggalkan sebagai kenang-kenangan di sana. Ferry yang belum sempat menikmati permainan mereka hingga tuntas tadi lantas menjadi terangsang seketika. Ia mendekatkan tubuhnya dari belakang Gunar. “Yang... makasih ya tadi.... kamu benar-benar membangkitkan gairahku...” Dengan itu ia mulai menancapkan benda tumpul perkasanya itu kembali ke dalam liang manis Gunar. Seperti hendak membuang waktu, perlahan ia bergerak ke dalam menyusuri lorong yang sempit dan misterius itu. “Say... kok diem aja sih?” tanyanya lembut pada Gunar. Ia mempercepat tarian birahinya di atas tubuh sang kekasih. “Kamu memang sinting Fer... Aku kesel sama kamu...” Kemudian tanpa melepaskan tikaman demi tikaman yang nikmat itu, Ferry merangkul Gunar dari belakang dan menciumi pundak dan lehernya. Jari-jemarinya mulai bermain dengan mesra mengusapi dan menggelindingi puting Gunar yang sudah menegang itu. “Lho kamu kenapa say... kok ngambek gini sih...” Seakan tak perduli akan perasaan pasangannya, Ferry terus menunggangi Gunar dengan lembut dan mesra. “Bukan hanya kamu tega, tetapi kamu nampaknya menikmati sekali bila saya disetubuhi oleh lelaki lainnya, bahkan orang asing sekalipun...” Waduh ketahuan nih. Pikir Ferry. “Saya jadi curiga, bahwa ketika saya diperkosa oleh dua preman di kawasan Tanjung Priuk itu, kamu sebenarnya malah berada di balik layar semua kecelakaan itu... Pantas saja bantuan polisi yang kau datangkan terlambat setengah jam sudah lamanya” “Engga kok Gun... bener... masak sih saya tega...” Padahal memang hal itu yang sebenarnya terjadi. “Lalu tadi kamu juga tega-teganya malah menyuruh Irwan yang baru kita kenal malam ini untuk menyetubuhi diriku...” Kemudian ia melanjutkan, “Fer, saya sayang sekali sama kamu. Karena kamu yang minta, saya rela deh ditiduri oleh Irwan. Yah, mungkin maklum saja karena dia model pertama kita.... Sekarang.... walaupun aku sedang kesel sama kamu, saya tetap rela memuaskan hasrat kelelakianmu...” Mani peninggalan Irwan di liang sempit Gunar terbukti telah menjadi bahan aktif yang sangat menawan disekujur tubuh ular naga sakti itu. Ia mulai terengah-engah dalam permainannya. Walaupun sudah sangat lelah Gunar masih bisa-bisanya mengatur jepitan liang kebahagiaannya untuk menyenangkan sang kekasih sehingga menyusu lebih erat lagi. “Kayak sekarang ini deh yang. Tapi tolong dong Fer, saya hanya ingin memberikan kepuasan sejati ini buat kamu.... bukan orang lain lagi...” Ternyata kata-kata tadi merupakan sebuah sandi yang merupakan kunci pembuka kenikmatan tubuh sejati bagi Ferry. Ia menggelinjing bak kemasukan setan di atas tubuh Gunar. Sengatan listrik berdaya tinggi itu membuatnya menyemburkan benih-benih cinta nan hangat bercampur dengan peninggalan Irwan di dalam lubang anus yang sempit itu. “Ya say... janji ya Fer? Saya hanya ingin membagi diri saya untuk kamu seorang...” Tanpa sepengetahuan Gunar saya diam-diam tersenyum kecil sendiri di balik punggungnya. Itulah resiko yang harus ia terima untuk menjadi pacar saya. Benar kata psikiater itu dahulu. Saya memang aneh. Gairah birahi saya memuncak jika melihat pacar saya disetubuhi pria lainnya. Dalam buku agenda kecil yang selalu saya kantongi itu tertera jadwal pemotretan proyek rahasia kami untuk minggu depan. Dan saya sudah berencana akan menggoda mereka satu persatu untuk menyelipkan keperkasaannya di liang sempit pacar saya ini. Senin: Gusti, pelajar kelas dua sebuah SMU Negeri di daerah Setiabudi. Selasa: Pak Slamet, guru bahasa Indonesia dari sekolah Gusti tadi. Rabu: Mang Udin, seorang ojek motor yang sering menghantar saya ke rumah dari ujung jalan raya. Kamis: Charles, pegawai kliring terganteng yang baru diterima bekerja di bank dekat kantor saya. Jumat: Rudi, supir kantor saya. Sabtu: Dimas, seorang pianis tampan yang saya temui di sebuah kafe di daerah selatan. Dan hari Minggunya adalah yang terdasyat: Dari segerombolan kuli bangunan dari proyek sebelah rumah saya, saya sudah memilih lima dari antara mereka yang berwajah paling tampan dan mereka sudah menyetujui rencana pemotretan ini. Dengan imbalan yang memadai, mereka setuju untuk dipotret telajang bulat apa adanya dan setelah itu mereka akan satu per-satu menggilir Gunar di depan lensa kamera saya. “Gunar... Gunar... Kalau saja kamu tahu rencana saya yang ini” pikir saya dalam hati. Kemudian aku tersenyum kecil sekali lagi dan mendaratkan sebuah kecupan di punggungnya yang wangi. Walaupun kisah ini hanya sebuah fiksi belaka, saya ucapkan terimakasih karena Anda telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk petualangan selanjutnya, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@hotmail.com. Dan satu lagi, jangan lupa untuk kontak saya bila Anda ingin mengadakan sesi pemotretan untuk koleksi pribadi seperti di atas, saya bersedia menjadi asisten Anda dalam kegiatan ini.