Part 4. Corcovado. DEG. “Duh smoga tadi dia gak sadar…” pikir Jon-jon dari sofanya. Beberapa menit kemudian Darwin yang duduk dilantai bergeser mendekati Jon-jon. Pundaknya menyentuh lutut Jon-jon. DEG. “Aduh… ngapain sih deket-deket…” Jon-jon mulai mengeluarkan keringat dingin. Sake yang dia bawa tadi sudah habis sampai 4 kaleng diantara mereka. “Uaaaaaahhhhhhhhhhhhh…. Ngantuk nih…… udah aja aku tidur di sini ya?” Darwin dengan seenaknya memeluk betis Jon-jon dan menjadikan pahanya sebagai bantal. “Hmm……..eh… eh…… ini dibuka aja sofanya yah?” dengan cepat ia melompat berkelit dari Darwin. DEG. Dengan ragu Jon-jon mendekati Darwin, “Win… win… cepet banget sih bobonya!” “Mmmm?” Darwin yang sudah setengah mabuk dan mengantuk asal-asalan menjawab. “Nggg, kalo ranjangnya kurang enak… kamu bobok di tempat tidur aku aja… ntar aku biar yang di sini……..” “He emmm…..zzzzz” “Gile ini tamu gak tau diri banget sih?” pikir Jon-jon di tempat tidurnya. Ia gelisah sendiri memikirkan kehadiran remaja tampan idamannya itu berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan dirinya. Ia membalik-balikkan posisi tidurnya karena sampai jam setengah dua malam itupun ia masih tak dapat tidur. Matanya masih terbuka lebar. Tiba-tiba ada yang menepuknya dari blakang. “Shit!! Aku kira siapa Win….” “Shhh, geser dong….. pegel nih bobok di situ…….” “Ya udah aku ke sofa ya….” “Udah gak usah… muat kan?” “Mmm… iya kali ya?” “Sori Jon, panas….” Dengan santainya Darwin melepaskan kaos tidurnya yang segera menampillkan tubuh yang dengan serius diolahragakan….. “My God…….. that smell… that smell…” pikir Jon-jon. Bau itulah yang selalu merangsang Jon-jon ketika ia berada di dekat Darwin. Hawa tubuh yang manis dan hangat itu. “Uaaaaaaaahhhhhhhhhh……” Darwin melebarkan sayapnya. Jumputan bulu-bulu ketiak terpamerkan di depan mata Jon-jon. “Duh… aku udah ereksi gini…” dibenak Jon-jon. Setengah jam berlalu dengan sangat lambat. Jon-jon bertambah gelisah. Karena ukuran tempat tidur yang kecil, tubuh mereka terpaksa menempel. Keringat dingin mulai mengucur di pening Jon-jon. Darwin sudah kembali terlelap. (Garis Pembatas Jeda………….) “Selamat datang di event Bossa Night Mas, silakan ambil first drink-nya di sana…” “Eh konco-konco, gemana asik gak tempat ini?” The Copacabana sudah berdiri sejak tahun 1940-an, sebuah jazz club yang sampai saat ini masih dikelola oleh keluarga para musikus pendiri club ini. Sedari dahulu Hastomo ingin sekali mengunjungi tempat ini, sayangnya mereka memiliki peraturan hanya 17 ke atas saja yang boleh masuk. Maklum lah, disetiap club pasti minuman keras juga tersedia. “Dum… dum…dum… dum… dum… Quale que cosa majina je ting ti graza…” seorang vokalis menembangkan lagu kondang karya Antonio Carlos Jobim, Garotta D’Ipanema (The Girl from Ipanema). “Wah ini mah lagu favorit ayah saya…. tall and tan and young and lovely… the girl from Ipanema goes walking and……” senandung Maudy, teman Hastomo. “Mau pesen apa mbak, mas?” “Wah saya sih softdrink aja deh…” “Es tehh panas ada mas?” “Lho es tehh kok panas gemana?” “Oh iya hehe…” “Eh mas, abis ini minta tolong mas yang nyanyi itu agar menyanyikan lagu ini yah?” Hastomo memberi waiter tersebut secarik kertas. “Wah dik, kalo saya ndak salah, grup mereka habis ini akan istirahat selama satu jam tuh…” “Ya telat kita… nah satu jam pas mereka istirahat bakal diisi rekaman kaset aja?” “Oh ya ndak, nanti bakal ada anak baru yang manggung…wah saya belum tahu namanya tuh… baru di tes minggu lalu dan langsung diterima…” “Rame-rame mas grup-nya?” “Oh ngga, dia sendirian aja, mbawa’ gitar akustik, paling ntar ada yang bantuin main sax” “Wah bisa ngga ya dia mainin lagu saya ini?” “Mungkin bisa, nanti saya tanyakan dulu ya…” “Oke deh Mas, makasih ya….” Waiter tadi kemudian beranjak ke arah backstage dengan memegang kertas lagu tersebut. Di atasnya hanya tertulis sebuah kata, Corcovado. (Garis Pembatas Jeda………….) Lampu-lampu di dalam klub tiba-tiba diredupkan. Para pengunjung mulai berkonsentrasi ke arah panggung. “Gila gelap banget, yang nyanyi mana?” “Shhh ah, cerewet…..” Beberapa detik kemudian, tanpa diiringi alat musik apapun, muncullah suara empuk dari seorang penyanyi pria, “Quiet night of quiet stars Quiet cords from my guitar Floating on the silence that surrounds us Quiet thoughts and quiet dreams… Quiet walks by quiet streams… And the window that looks out on… Corcovado… Oh how lovely….” Mulailah penyanyi tadi memetik gitarnya diiringi suara saxophone pembuka lagu tadi dari seseorang pemusik lainnya. “Yak kita sambut dengan tepuk tangan musisi baru kita……” Lampu sorot di panggung dinyalakan. “Mas Ben?” “… Benedict Figeroa!!!!!” ujar sang presenter. Tepuk tangan menggelora disekeliling ruangan yang berkabutkan asap rokok tersebut. “Un canchil, un viola… E siamu ur macancau…..” Ben melanjutkan lagu slow tadi dalam bahasa Portugis yang sangat fasih sembari terus memetik gitarnya dengan gaya Bossanova. Bait tadi selesai dan sang pemain saxophone melanjutkan improvisasinya…. TUETTT “Lagu ini saya persembahkan untuk teman-teman di meja nomor 15,” ujar Ben. Lampu sorot mengarah kepada meja mereka. “Oh iya, saya juga ingin mengundang teman saya dari meja itu yang bernama Hastomo, untuk naik kepanggung…” Penonton bersorak-sorak memanas-manasi Hastomo. Mau tak mau ia bangkit juga ke pangggung. “Yak silahkan duduk di sana Has…” tunjuk Ben ke arah sebuah baby grand Steinway. “Penonton sekalian harap memberi tepuk tangan pada kawan saya Hastomo!!” Hastomo melanjutkan bagian bridge dari lagu tadi dengan improvisasinya yang mahir di atas piano. TING TING TUNG. Tepuk tangan mengelora kembali. “Que ua vi de siempre a’ci….. Con vo sei per tu di me… A vey u e per guarda felia san ma… Y eu quiera triste… Discrinte desimundo… Au in contra vo sey un cognesi… Porque felicida je melando….” Pertunjukan perdana yang sangat sukses. (Garis Pembatas Jeda………….) Backstage: “Gile aku gak nyangka Mas Ben bisa maen gitar, suaranya enak pula… biasanya kamu rusuh gitu…..” “Makasih.” Jawabnya sambil tersenyum. “Lalu emang beneran bisa ngomong Portugis?” “Iya dulu aku waktu masih kecil tinggal di Rio sama nenek…” “Oh pantes ya setengah bule gini… Lalu Corcovadonya?” sela Maudy “Ya itu dulu jendela kamar saya ngadep ke daerah itu. Kalau malam patung Yesus yang besar itu disirami sinar rembulan…..” “Aduh romantisnya….” Balas Maudy. “Oh ya Mas Ben… kok tau saya bisa main piano? Lagu itu pula……” ujar Ben. “Aku pernah gak sengaja nguping pas saat recess. Waktu itu kamu kira semua orang udah meninggalkan aula di atas perpustakaan, lalu kamu mainkan lagu tadi…..” “Hmm…” “Has… sini bentar deh….” Ben menarik lengannya keluar backstage. The Copacabana terletak di lantai paling atas sebuah gedung tinggi di tengah-tengah kota besar yang mereka tinggali. Lampu jalanan dan lampu kendaraan menari-nari saling menarik perhatian dari dak terbuka di sana. Bersambung… (Garis Pembatas Jeda………….) Part 5. Birahi. “Has… sini bentar deh….” Ben menarik lengannya keluar backstage. The Copacabana terletak di lantai paling atas sebuah gedung tinggi di tengah-tengah kota besar yang mereka tinggali. Lampu jalanan dan lampu kendaraan menari-nari saling menarik perhatian dari dak terbuka di sana. “Dek, aku minta maap ya yang waktu itu…” “Ngga papa lah Mas, aku udah makasih banget waktu itu ditolongin Mas Ben….” “Ngga… beneran nih, aku nyesel, waktu itu kalap banget” “Knapa sih Mas kemaren itu?” Ben terdiam sesaat. “Mmm. Gak tau juga yah….” Wajahnya terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik senyuman sedih itu. (Garis Pembatas Jeda………….) Jantung berdegub dengan kencangnya. Keringat dingin terus menetes dari dahi Jon-jon. Ia belum juga bisa tidur. Posisi tubuhnya ia miringkan sehingga ia dapat menatap wajah malaikat sahabatnya ini. “Duh gimana ya… ini mah udah bukan naksir lagi… ini namanya napsu….” Pikir Jon-jon. Perlahan-lahan ia menggeser tubuhnya ke arah Darwin. Dengan sangat hati-hati Jon-jon menggeser bantal yang ia pakai dan menggantikannya dengan bisep kekar Darwin. Ia mendekati jumputan rambut lebat yang menghiasi ketiak sahabatnya ini. Jarinya mulai mengelus bulu-bulu halus di sana. “Gile ini aroma bener-bener bikin aku terbang ke awan…..” Jon-jon memikirkan alat kelaminnya sendiri yang mengeras dengan kecepatan tinggi. Pada waktu hidungnya menyentuh bulu ketiak itu hampir saja ia kelepasan ejakulasi. Cairan bening pelumas mulai berangsur-angsur menetes dari lubang penis-nya. Saat ini lidahnya mulai bermain di kelebatan malam tersebut. “Mmmmhhhhhhh……” Darwin yang sedang tidur mengeluarkan erangan ringan. “Aduh kalo bangun gimana ya?” pikirnya lagi. Kemudian dengan berhati-hati ia memberikan kecupan pada bisep Darwin. Diteruskan pada pundaknya, dadanya yang sangat keras dan smooth. Sampailah kecupannya itu pada putting Darwin yang sebelah kiri. Jon-jon menjulurkan lidahnya untuk memberikan kehangatan pada udara AC yang dingin malam itu. Reaksi putting Darwin atas rangsangan itu sangat drastic, dengan cepat kulit berbentuk kepingan logam itu mengeras. Sekali lagi Jon-jon menjilat putting tersebut untuk memandikannya dengan kehangatan. Bak seorang bayi menyusu pada ibunya, Jon-jon terus menerus mengemut putting Darwin. Tak sabar lagi ia menunggu, ujung putting yang mengeras tersebut ia gigit dengan mesra… “Mmmmmmmhhhhhhh……” Darwin mengerang lagi. Tangannya mulai menggerayangi perut Darwin yang berkotak-kotak itu. Bulu-bulu halus mulai terasa dibawah pusarnya. Jon-jon meneruskan kecupannya pada perut Darwin, kemudian ia memandikan pusar kawannya ini dengan kehangatan mesra dari lidahnya. “Wah… batang kemaluannya mulai mengeras…” pikir Jon-jon saat melirik ke arah alat kelamin berukuran raksasa milik Darwin ini. Dengan berhati-hati ia meletakkan genggaman tanggannya pada outline batang kemaluan Darwin dari atas sehelai celana pendek yang melekat di sana. Perlahan-lahan ia mengencangkan genggamannya dan mulailah ia mendorong kepalan tangannya dengan gerakan naik-turun. Cairan pelumas yang berasal dari batang tadi sudah mulai mengalir dengan derasnya. Bagian depan celana Darwin sudah terlihat basah. Dalam genggaman tangan Jon-jon, benda itu terasa lengket. Ia meneruskan gerakan meng-onani kawannya sendiri itu. Tiba-tiba ia mendekatkan bibirnya pada outline celana tersebut. Kelengketan berpindah pada sekujur mulut dan pipi Jon-jon. Dari depan celana itulah gigi-geliginya mulai dengan mesra mengkerikiti batang kenikmatan tadi. Ketika bibirnya sampai di penghujung atas kemaluan itu, ia tak sabarkan diri lagi… Perlahan-lahan ia menurunkan celana pendek temannya itu. Kini burung itu bisa terbang bebas tanpa kekangan. Dengan sigap kepalan tangan kanannya memeluk benda tumpul itu dan mulai meremas-remasnya dengan lembut. Dalam benaknya ia berpikir, “Oh begini ya rasanya memegang kemaluan pria lainnya….” “Hmm… asik” lanjutnya dengan senyuman. Tangan kanannya sibuk meremas batang Darwin dengan rasa kasih sayang, sedangkan tangan kirinya sibuk bermain dengan bebuluan di kedua buah zakar yang berukuran raksasa itu. “Duh… how will it taste ya?” Perlahan ia menjilati dan memasukkan buah kelelakian Darwin dalam mulutnya. Dengan usaha keras akhirnya biji besar tersebut dapat masuk dalam mulutnya. Lidahnya pun segera beraksi. Di dalam rongga mulut Jon-jon, sentuhan-sentuhan lidah memperkeras ereksi penis Darwin. “Mmmhhh……” Darwin mengerang lagi dalam tidurnya. Setelah dengan sukses merangsang buah kelelakian yang satu lagi, ia beranjak menuju batang pria tersebut. Genggaman tangan kirinya pun tak cukup untuk benar-benar menutup garis lingkar benda silindris itu. Kepalan tangan kirinya ia genggamkan pada bagian bawah yang menyentuh bulu-bulu pubis, kemudian tangan kanannya ia genggamkan pada bagian atas hingga hampir menyentuh ujung kepala bundar keunguan milik Darwin. Dengan antusiasnya ia memperhatikan aliran lemah cairan bening pelumas yang turun gunung dari lubang kenikmatan penis Darwin. Ia julurkan lidahnya memotong jalur alir cairan tadi. “Mmm… asin…..slurp….” Dari bagian bawah kemaluan tadi, Jon-jon mulai melumurinya dengan kehangatan lidahnya. Darwin melenguh pada saat ia pencapai bagian dasar belakang dari kepala penis tadi. Cairan pelumas menetes dengan frekuensi lebih deras. Perlahan ia berpindah posisi. Kecupan cinta ia berikan di atas kepala penis Darwin. Sedikit-demi sedikit ia membuka bibirnya untuk memberikan kesempatan pada ular bermata satu itu untuk mengeksplorasi rongga mulutnya. Setengah dari kepala ular tersebut telah berhasil masuk. Ujung lidahnya pun menari-nari menyambut kedatangan benda tak dikenal itu, menjelajahi lubang kenikmatan di ujung kepala ular tersebut. Bibirnya dikencangkan disekeliling kepala itu dan Jon-jon membuat sebuah gerakan menyedot. “Mmmmhhhhhh…….ahhhhhh……..” Darwin mulai melenguh lagi. Dengan bernapsu Jon-jon akhirnya memasukkan seluruh kepala penis tadi ke dalam rongga mulutnya. Ukurannya yang sangat besar itu hampir tidak muat di sekeliling bibirnya. Lidahnya pun mulai menggerayangi bagian sensitip dibawah kepala itu. Darwin dibawah alam mimpinya-pun mulai merasakan kenikmatan seksual itu. Secara tak sadar ia mulai menggerakkan seluruh pahanya dalam aluran naik turun untuk pemuasan badaniah remaja pria yang sudah masanya berlebihan hormon testosteron. Belum sampai separuh dari batang kemaluan itu masuk di dalam rongga mulut Jon-jon, ujung bulat kepala tadi sudah menyentuh bagian belakang mulutnya. Libido tinggi yang dialaminya membuat ia dengan sigap menyusui batang tadi seolah tak ada hari esok. “Mmmm…….” Gerakan naik turun Darwin pun semakin cepat… semakin cepat…. “Mmmhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh ohhhhhh…………………..” tak tersadarkan Darwin mengalami ejakulasi yang luar biasa didalam mulut Jon-jon. Dengan lahapnya Jon-jon menghisap cairan kepriaan yang nikmat itu. Crot….. crot… crot……. Orgasme hebat mengguncang tubuh Darwin, ia mulai menggeliat-menggeliat dengan kenikmatan sejati yang tiada bandingnya. Tibalah semburan besar yang terakhir…… Crot……. Darwin mendorong seluruh batang besarnya itu kedalam mulut Jon-jon yang langsung menerima cipratan sperma manisnya ke dalam kerongkongannya… “Hmmpk…..” Jon-jon tersedak. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Bersambung… (Garis Pembatas Jeda………….) Part 6. Veritas. KRIIIIING. Bel istirahat jam 12 siang berbunyi. Para siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. “Tuh, sahabat mu seperti biasa gak gaul dan menyendiri di atas genteng Has……” Dengan bersusah payah Hastomo memanjat saluran air sehingga ia dapat naik ke atas genteng tadi menyusul kakak kelasnya yang terkenal aneh ini. “Mas….. heh heh (ngos-ngosan) heh.. heh… ini… dimakan……” “Wah, makasih ya dek. Apaan nih?” “Nasi bungkus… pasti belum makan siang kan?” “Iya bener…… trims ya….. kamu sendiri?” “Ya ini aku juga bawa kok……” NYAM. NYAM. “Mas, kok di sini sih istirahatnya? Ya emang teduh sih dibawah pohon beringin gini……” “Liat dong pemandangannya………” Pencakar langit terlihat di horizon. Bising lalu lalang kendaraan pun tersamarkan dengan desiran daun-daun tertiup angin. Suara tetesan air dari tong yang bocor bak sebuah melodi air mancur penghibur jiwa. “Iya… bagus ya Mas… Tapi maksud aku… kenapa ngga di bawah aja ngobrol sama anak-anak?” “Ah males. Gak ada yang mau berteman dengan saya anyway…” “Jangan bilang gitu dong Mas… buktinya aku gak papa kan jadi temennya Mas Ben.” “Oh iya Has… aku baru inget tadi pengen ngomong sesuatu…” DEG. DEG. DEG. “Sebaiknya kita gak usah terlalu akrab lagi. Aku ini orang jahat, orang ngga bener……” “Lho…” “Iya, udah deh kamu punya banyak temen-temen lain yang baek dan bisa memperhatikan kamu….. Makasih ya nasinya….”. Ben beranjak berdiri dan meninggalkan Hastomo sendirian di bawah pohon rindang itu. Hastomo hanya dapat memandang kearah punggung Ben tanpa dapat menjawab perkataan yang mengejutkan tadi. Tanpa ia sadari setetes air mata bergerak turun dari pelupuknya. “Why?” Tiba-tiba kehilangan sosok kakak yang tak pernah ia miliki. (Garis Pembatas Jeda………….) Sudah menjadi kebiasaan ayahnya pada Jumat malam untuk bermabuk-mabukan dan bermain kartu dengan Joao, seorang pengawas muda perkebunan kopi keluarga Figeroa. Setiap malam itulah keringat dinginnya mulai menetes. Tubuhnya terasa lemas…. Sejak ia berumur sembilan tahun, kedua pria itu selalu dengan beringas terus menerus menggagahinya dengan paksa. Jerit tangisnya pun sudah tak mereka perdulikan, asalkan mereka mendapatkan kepuasan badaniah dari putra satu-satunya dari keluarga ini… Air matanya pun sudah habis mengering pada saat kedua orang sinting itu memaksa masuk ke kamarnya. “Jangan Yah…… jangan………” “Sini kau Joao, pegangi tangannya supaya ia tak berontak….. habis ini akan kau nikmati giliranmu…….” Ia hanya dapat menangis kembali menerima kenyataan pahit tadi. Wajahnya dengan lemas ia letakkan di atas bantal. “Ahhh…ahhhhhh… ahhhhhhhhh, daddy’s gonna cum… daddy’s gonna cum… Ahhhhhhhhhhhhhhh…………..” “Giliran saya Pak…..” Dengan kasar Joao mulai menyetubuhinya. Tatap mata anak itu hanya dapat memandang ke arah kegelapan malam. Sinar rembulan purnama menerangi wajah arif patung Yesus di atas bukit itu. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Corcovado. “Tolong saya Tuhan…..” jeritnya dalam hati. Ketika kedua pria tersebut telah terpulas setelah menyetubuhinya berkali-kali malam itu, ia terbangun. Tubuh kecilnya terasa sangat lemah, ia merasa jijik… jijik sekali dengan keadaan ini. Tertatih-tatih ia beranjak ke ruang kerja ayahnya…….. hingga ia menemukan sebuah benda bertuliskan Colt. Logam itu terasa dingin di tangannya. (Garis Pembatas Jeda………….) “Ben… mamah pulang dari Jepang!!!! Mana kamu sayang?” Setelah yang dipanggil tak henyak datang, lima menit kemudian sang ibu mulai bingung dan segera mendobrak masuk pintu kamar anaknya. JRENG. Wanita itu menemukan pemandangan horror yang tak akan ia lupakan sepanjang hidupnya… “Ben!!!!” ibunya menjerit….. “Ben……. Di mana kamu?” Akhirnya ia menemukan anak remajanya sedang terkulai di bawah pancuran air kamar mandi yang dibiarkan terbuka. (Garis Pembatas Jeda………….) Headline surat kabar Rio de Janeiro, Tribunal vem Brasiliero tujuh tahun yang lalu: “Dua orang pria ditemukan tewas dalam keadaan telanjang bulat dengan luka tembakan di dada mereka. Hal ini diduga berhubungan dengan kasus penyelundupan obat bius” Bersambung… (Garis Pembatas Jeda………….) Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@toughguy.net.