Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Misteri Siluman Terbang, Bag 1

by Fred Batavia


Sidenote: Terus terang saja karangan yang saya buat ini tidak berisikan hal yang berbau porno. Tetapi mungkin beberapa karakter gay yang di-“pekerjakan” kembali dari kisah “Bayangan Corcovado” dapat menjadi penghibur hati dalam kisah misteri ini. Bagi yang belum pernah membacanya, Bayangan Corcovado, mungkin dapat lebih memperkenalkan karakter-karakter dalam tulisan ini. Enjoy. Fred. Part 1. Wisma. “Selamat pagi Mas…” ujar Hastomo sambil membelai rambut kekasihnya. “Eh… halo juga yang…” “Gimana, tadi malam? Asik ngga?” “Wah itu mah lebih dari sekedar asyik!!” “Makasih ya Mas… saya kemaren benar-benar bahagia…” “Iya Dek, Mas Ben juga begitu…” Ia memeluk adik kelasnya itu sekali lagi sebelum weker berbunyi menandakan waktu untuk bersiap-siap ke sekolah. “Ehm Mas…” “Apa?” “Kita masih punya sepuluh menit lagi nih…” “Kamu mau?” “Hehe… i… iya…..” Hastomo segera memeras senjata utama Ben yang perkasa itu. “Udah ngga usah pake lubricant (pelumas)… pake spunk (hasil ejakulasi) yang kemaren malem aja masih anget nih di dalem…” “Oh ya? Mana liat?” “…” (Garis Pembatas Jeda…..) Dua Tahun Kemudian. “Wah, selamat ya Jon atas kemenanganmu…” “Iya Jon… semoga sukses semuanya di tangan kamu yah…” Seluruh hadirin di aula itu sibuk menyalami kemenangan Jon-jon. Tiba-tiba ada seorang pria yang membisikinya dari belakang, “Jon, congrats ya… sekalian selamat ulang tahun juga…” “Eh… iya… iya makasih ya Win…” “Selamat ya Jon…” pembicaraan mereka terputus beberapa kali lagi. “By the way, ini kadonya dari aku…” Darwin memberinya selembar amplop. Di atasnya tercetak tulisan PT. Mega Tours and Travel. “Udah ya… aku mau basket dulu…….” Lanjut Darwin. “Eh, tunggu dulu!!! MAKASIH YAAAA!!!” Darwin yang telah berlari kemudian membalikkan badannya dan tersenyum sembari mengangguk. “Wah… kadonya tiket? Kemana ini? Dari sini naik pesawat Merpati ke Ambon… dari Ambon naik pesawat kecil ke Pulau Halmahera… dari sana naik kapal kecil ke daerah Tual. Hmm… Ada apaan sih di Tual?” Beberapa hari kemudian Jon-jon bertemu dengan Darwin. “Win ini ada apaan sih di Tual?” “Wah rahasia Jon… kalo di kasih tau kan ngga seru… hehe…” “Ada harta karun ya…” “Hmmm…. Tau deh…” “Tapi aku kalo di suruh berangkat sendiri agak males nih…” “Alah barusan kan diangkat jadi ketua OSIS, masak ditantang begini aja udah jiper (takut)? Mana jiwa advonturirmu?” “Nantang nih?” “Iya aku mau nitip sesuatu dari kamu di sana…” “Apa itu?” “Phalaenopsis Arcadia Negrita…” “Heh?” “Dadah……” “Woi tunggu!!!” Beberapa bulan telah berlalu dan Darwinpun tetap tak menjawab keingintauan Jon-jon tentang Tual dan Phalaenopsis itu. Liburan Natalpun sebentar lagi tiba… “Jon… inget ya… bentar lagi pake tiket yang aku kasih kamu waktu itu…” “Eh Win… kan mahal beliin aku tiket buat seneng-seneng gitu?” “Siapa yang bilang kamu bakal seneng-seneng di sana?” “Eh?” “Dan lagi kan liburan panjang kemaren kan aku kerja di travel agent itu, jadinya aku dapet diskon guede banget!!!” “Aduh… coba kamu bisa ikutan Win… pasti seru nih…” “Ngga bisa Jon… si travel biro tadi udah booking aku buat jadi tourist guide di Bali mulai minggu depan sampe ntar kita masuk sekolah bulan Januari. Ya udah jangan lupa yah? Aku nitip itu aja…..” Hari terakhir sekolah sebelum liburan. Jon-jon masih saja penasaran tentang barang titipan Darwin tadi. “Wah, jangan-jangan Narkoba nih?” pikirnya. “Sudah dicari di kamus ngga ada, di ensiklopedi ngga ada, sampe di internet juga ngga ketemu… apaan sih itu?” Tak lama kemudian Jon-jon melewati dua orang murid SMU itu yang tengah berceloteh dengan serunya, “Gile dari minggu lalu gue cariin index S&P industry motor kagak ketemu-ketemu nih…” “Goblok lu, udah cari pake Lexis/Nexis belon? Kerjaan gue udah kelar dari kapan-kapan gara-gara pake itu…” “Eh Lexus..” “Lexus.. emangnya mobil….” “Iya itu apa namanya itu… maennya dari mana…” “Wah lo kurang gaul nih… di perpus aja ada… pake salah satu dari tiga komputer yang paling kanan, semuanya udah diconnect ke Lexis/Nexis database…” DEG. Jon-jon yang tidak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tersadarkan. “Makasih ya!!! ” Ia berlari masuk ke perpustakaan sekolah itu. “Eh?” Kedua anak tadi hanya terbingung-bingung. (Garis Pembatas Jeda…..) “Welcome to Lexis/ Nexis, please type in the word that you are searching for…” begitu sound-file dari komputer tadi berbunyi. Jon-jon mulai mengetik… Pha lae nop sis… Ar ca di a… Ne gri ta… Enter. TREK. TREK. TREK. Terdengar suara prosessor komputer berpikir sejenak. Akhirnya hanya ada satu jawaban yang keluar. “The requested information is not available” “Hah? Database yang paling canggih aja ngga tau itu maksudnya apa? Misterius banget sih si Darwin itu?” Setengah kesal dan setengah bingung ia membereskan barang-barang yang akan ia bawa ber-back-packing tour ke Tual besok pagi. “Selamat malem Tante, Darwin ada?” “Oh tadi sore sudah pergi untuk jadi tour guide itu lho Jon ke Bali katanya yah? Memang dia belum bilang?” “Oh sudah kok Tante, cuman pengen ngobrol saja…” “Ya kalo gitu, tante catet aja pesannya ya… kalo udah pulang nanti tante bilangin…” “Ngga usah deh Tante… makasih ya… selamat malam…” “Yok, sama-sama….” KLIK. Gagang telpon itu ia letakkan kembali. “Sialan mau minta penjelasan titipan aja ngga keburu… Eh, handphone!!!” “Maaf pelanggan yang anda tuju sedang tidak ada ditempat. Anda terhubung dengan mailbox… kosong… delapan… satu…. delapan…” “Shit… kemana ya dia?” suara rekaman merdu mbak-mbak yang belum selesai menyampaikan nomer mailbox terhenti ketika Jon-jon menekan tombol OFF. (Garis Pembatas Jeda…..) “Selamat Datang di Halmahera Pak” “Terimakasih, pesawatnya yang dari Ambon kecil sekali ya.. kayak capung…” “Oh Bapak yang transit dari Ambon barusan?” “Iya benar” “Pak Jonathan Handoyo?” “Iya benar… lho kok tau? Cuman gak usah dipanggil Pak deh… masih SMA kok….” “Perkenalkan saya Aris…masih SMA juga. Orangtua saya bekerja pada penginapan yang akan anda datangi di Tual. Saya yang sedang liburan natal ini diberi tugas menjemput anda.” “Wah, maap ya ngerepotin…” “Ngga papa kok, lagian seneng juga dapat kawan baru… biasanya yang dateng ke penginapan itu orang-orang tua semua, gak seru!!” “Iya… iya… benar… saya juga mengira, kalau nanti bakal repot ngurus ini itu di sini…” “Jangan kuatir, perjalanan dan akomodasi anda semuanya sudah lunas terbayarkan…” “Eh?” Perjalanan sampan bermotor melalui sungai di Pulau Halmahera ini sangat menakjubkan. Air sungai yang hampir bening menampakkan seluruh kekayaan alaminya. “Gile, kalo ngga dikasih tiket sama Darwin, aku mana tau ada tempat indah terpencil begini di Indonesia…” Pohon-pohon mangrove menghiasi tepi sungai tersebut. Dibalik rimbunan ilalang dapat terlihat pantai berpasir putih yang langsung terbuka ke lautan lepas. Awan keputihan memberikan perlindungan dari sengatan mentari langit biru muda tersebut. Untuk mengisi kebosanan, Aris yang kira-kira seusia dengan Jon-jon memainkan harmonikanya. TUETT. TUETT. “Suatu hari dikala kita duduk di tepi pantai….” “Maksudmu di atas sampan Ris?” sela Jon-jon. “Ah, gak papa kan Mas kita iseng main harmonika di sini. Kalo di daerah penginapan ngga boleh main, takut mengganggu tamu. Kan padahal gaya, di sana ngga ada yang bisa main harmonika. Aku cuman ngantongin aja, supaya bisa dimainkan di tempat lain.” Dengan cueknya Aris meneruskan lagunya sembari memandu alat kemudi sampan yang berjalan lamban itu, “Dan memandang… ombak di lautan yang kian me…” “Pinjem bentar dong ah…” rebut Jon-jon “Hey.. hey ati-ati dong ini kan dikasih sama ibu yang punya penginapan itu tahun lalu!!” “Iya kayak bukan punya kamu nih… ukirannya bertuliskan “Abing” gini…ngga boleh main kok malah dikasih harmonika sih aneh!” “Ya biar aku kalo lagi jauh dari rumah selalu inget dengan Tual katanya. Baek kan?” “Iya.. yah…” (Garis Pembatas Jeda…..) Tak lama kemudian sampan tersebut ia tambatkan pada sebuah dok kuno model dari abad yang lalu di tepi sungai tadi. “Dari sini jalan ngga jauh kok Mas.. cuman sekitar lima menit…” lanjut Aris. Mereka menginjakkan kaki pada dok kecil tadi, menaikki sekitar tigapuluh anak tangga sebelum akhirnya dapat menatap pada jalanan. “Wow…… keren banget!!!!” Jalan batu yang akan mereka lalui dihiasi oleh pepohonan apel yang berumur ratusan tahun di kanan kirinya. Bunga-bunga merah muda yang hadir sebelum persemaian apel terlihat ramai dan mengagumkan pada bulan Desember ini. “Jalan ini dulu dinamakan the Orchard, memang tempat menuai apel pada musimnya, sekarang, pemilik perkebunan masih menjual apel mereka yang akan berbuah pada bulan April.” “Perkebunan?” “Iya, kira-kira duaratus tahun yang lalu, tanpa sepengetahuan pemerintah Portugis, angkatan laut kerajaan Inggris mendirikan koloni di sini. Itu lihat… sisa-sisa benteng pertahanannya masih ada komplit dengan meriamnya…” “Jadi Tual itu dulunya koloni Inggris?” “Benar… lalu tanah koloni ini akhirnya dijual kepada seorang juragan kaya dari Glouchester kalo ngga salah, ngomongnya gimana sih? Glauchester apa Glosster?” “Wah saya ndak tau deh Ris… oke lanjut deh ceritanya…” “Nah Pak Arthur Finchley itu selanjutnya membuat perkebunan tembakau di sini. Kemudian dengan hasil bumi yang melimpah ia akhirnya memiliki setengah dari perusahaan rokok tua yang bernama British American Tobbaco...” “Ya ampun yang bikin rokok Pall Mall itu?” “Iya salah satu produknya…” “Nah sekarang dikelola siapa?” “Siapa lagi kalo bukan PT. BAT Indonesia…” “Nah penginapan ini juga milik mereka?” “Iya, tadinya ini adalah sebuah greenhouse (rumah pembibitan tanaman) yang dipergunakan untuk hobi pengembangan anggrek istri Pak Finchley tadi.” “Kok kamu banyak tau sih Ris tentang sejarah daerah sini?” “Sudah tujuh generasi keluarga saya yang mengurusi perkebunan dan penginapan di sini. Jelas saja saya tahu.” “Yang itu greenhousenya??? MasyaAllah… bagus banget!!” “Yah biar kecil yang penting nyaman……” Di depan beranda penginapan itu terparkir beberapa mobil antik zaman tahun 1940-an yang nampaknya masih sangat terawat. Briggs Stratton ... Rolls Royce Silver Ghost... “Waduh, harga kendaraan-kendaraan ini saat ini sudah menembus beberapa juta dollar Amerika satu bijinya!!!” Kemegahan bangunan kecil yang asri ini segera terlihat. Pahatan batu diatas portiko tua itu terbaca, House of Orchid. Wisma Anggrek. Bersambung… (Garis Pembatas Jeda…..) Part 2. Buku Penting. “Iya saya pernah denger kok, Pastur Titus ini kan yang tadinya mengajar bahasa Inggris di sekolah saya kan?” tanya Jon-jon. “Benar, nak… sekarang saya ditugaskan untuk mengabdi pada masyarakat Tual ini.” Jawab Pastur Titus. “Waktu kemarin ada kerusuhan yang berbau SARA itu, di sini ngga papa Pastur?” “Ya ada bagian perkebunan yang rusak sedikit, tapi kan luasnya ratusan hektar, jadi tidak seberapa kalau dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya” “Bisa ya aman-aman saja di sini?” “Iya kan pajak pemasukan PT. BAT Indonesia sangat besar untuk kerajaan Inggris dan Amerika Serikat. Kedua belah pihak akhirnya turun tangan untuk mengamankan daerah Tual ini.” “Oh saya kira mereka cuman baik aja datang ke Maluku dalam rangka perdamaian internasional” “Yah… mau bilang apa lagi, dari jaman dahulu yang namanya uang itu akhirnya yang paling berbicara… Oh iya, hari Minggu besok ikut Misa yah? Nanti sekalian saya kenalkan pada pengurus BAT di Tual sini ya…” “Oke deh Pastur.. sampai berjumpa hari Minggu yah?” “Maaf Pak Handoyo… ini kuncinya. Maaf anda harus menunggu, baru bisa kami bereskan kamarnya saat ini, tadi malam ada tamu dari Inggris yang baru saja check-out.” “Oh ngga papa kok Mbak… Ini dimana ya?” “Mari saya antar…” Mereka melalui koridor sempit yang dipenuhi berbagai macam daun-daunan kehijauan. Mulai dari pakis-pakisan, palem-paleman, pohon-pohon wangi keluarga aranchiata (keluarga jeruk-jerukan), tentu saja sejuta macam anggrek hasil penelitian Nyonya Finchley dahulu. “Breakfast dan diningnya biasanya kami adakan di sini…” Mbak Rini dari bagian resepsionis tadi menunjukkan sebuah konservatori yang langit-langitnya kokoh ditunjang besi peninggalan jaman Victoria. Besi berkarat yang sudah berpatina (berwarna kehijauan karena reaksi asam dan oksidasi) itu menunjang langit-langit yang sepenuhnya terbuat dari kaca yang telah buram termakan usia. “Ruang makan ini sebelumnya adalah bagian utama pembibitan tanaman di sini Pak…” “Wah, benar-benar menakjubkan….” Gemericik air mancur pada sisi kanan dan kiri ruangan itu menyempurnakan suasanya nyaman dan teduh yang terbuat oleh ruangan ini. (Garis Pembatas Jeda…..) “Selamat Siang Pak!” Mbak Rini tersenyum kearah Pak Satpam yang menjaga tak jauh dari kamar Jon-jon. “Nah kamar anda adalah suite ini. Kamar ini dibangun sebenarnya untuk ruang tidur Nyonya Finchley sendiri. Pemandangannya sangat indah. Dari sini anda dapat melihat bukit-bukit yang disebelah kiri dan tentunya langsung menghadap ke…” Mbak Rini membuka pintu balkoni kamar itu. “Lepas PANTAI!!” teriak Jon-jon. “Bagaimana Pak? Kalau anda menginginkan sesuatu, harap tekan nomer resepsionis saja” “Wah… makasih banyak Mbak…” “Oh iya… karena kami tidak menyediakan TV, bila anda bosan, gramaphone di meja itu masih bisa diputar dan juga bila anda senang membaca…” Mbak Rini membuka sebuah ruangan kecil. “Di sini ada perpustakaan pribadi koleksi dari Nyonya Finchley…” “Wow… banyak sekali bukunya… sudah kuno dan lapuk ya?” “Kuno memang benar Mas… tapi tidak lapuk… ruangan ini khusus dibuat untuk menjaga kelembaban ideal untuk buku-buku ini. Waktu penginapan ini direnovasipun, suite ini dibiarkan seperti apa adanya. Lagipula, tak ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari ruangan ini.” “Saya tidak menyangka…” “Oh ada satu lagi Mas… harap mengembalikan buku pada tempatnya, beberapa tamu yang menginap di sini belakangan ini, sering mengubrak-abrik ruangan ini seolah mereka mencari sesuatu di sini…” “Lho memang ada apanya Mbak?” “Saya sendiri juga kurang tau ya….” “Wah kalau Darwin ada di sini pasti dia sangat enjoy deh. Demen banget baca dia, tidak seperti aku ini… Darwin mana sih kamu… aku udah kangen nih…” pikirnya. “Terus sekarang aku ngapain yah…” Setelah mandi ia memutuskan untuk berjalan-jalan disekeliling gedung tua itu untuk menikmati senja hari di taman-taman bergaya formal dan kebun-kebun anggrek yang mengelilinginya. Sudah satu roll film ia habiskan untuk memotret intan yang tak banyak diketahui dunia luar ini. Malam sudah tiba. Perutnyapun terasa lapar. Ia berjalan ke ruang makan konservatorium. Nininit. Nininit. Di koridor sempit itu handphone Jon-jon berbunyi. Bergegas ia berbalik ke arah lobby agar tak mengganggu para tamu di ruang makan. “Halo kamu dimana sih Jon? Ini Hastomo.” “Nah numben-numbennya kamu nelpon aku Has… mana Mas-mu itu? Dari dulu kamu aku tanyain sok ngga ngaku lagi. Kamu pacaran sama dia ya?” “Sama siapa?” tangkas Hastomo. “Sama Mas Ben lah, sama siapa lagi….” “Hmm. Kata siapa? Tanya sendiri aja sama Ben sanah!!” “Daelah ni orang… oh ya, kamu mau minta apa?” “Kasar kamu ah…” “Iya becanda.. becanda…” “Gini lho, tadi aku kan telpon mami-mu dia bilang kamu lagi dapet undangan ke Tual kan?” “Iya bener…” “Nah, kok ya kebetulan Ben itu dapet tugas dari ibunya ke daerah sana… mumpung liburan… katanya dia disuruh nyari buku apa gitu dari sebuah villa Inggris di sana. Saya sih dalem hati ngga percaya masak di Maluku kok ada villa, mana yang Inggris pula…” “Eh, jangan salah Has… banyak benteng Inggris ternyata di sini, nah salah satu bangunan Inggris itu adalah penginapan yang saya tempati skarang.” “Really?” “But of course” jawab Jon-jon dengan aksen Inggris yang terdengar dibuat-buat. “Oh ya Has… itu buku apaan sih kayaknya penting banget?” “Dulu terjadi perseteruan antara keluarga Finchley asal Inggris yang katanya pemilik perkebunan tembakau di Tual dan keluarga Figeroa dari Lisbon yang mempunyai perkebunan kopi di sebelahnya…” “Yang bener?” “Aduh udah low-bat nih… aku titip kamu tolong jagain Mas Ben yah… kalo sampe ada apa-apa…” “Nah… ketahuan… sayang gitu!!!” “Ah kamu Jon… udah dulu ya……” NIT. Telepon genggam itu terhenti. “Buku penting apa ya?” Bersambung… (Garis Pembatas Jeda…..) Part 3: Kejutan. Dalam perjalannya melalui koridor kecil itu, ia tak sengaja ia mendengarkan perbincangan yang kian memanas di meja resepsionis lobby. “Maaf ya Pak, saya telah diinstruksikan untuk tidak menerima siapapun dari marga Figeroa di dalam perkebunan ini, termasuk dalam penginapan ini…” “Lho memang saya salah apa terhadap anda, orang saya baru saja datang ke sini, belum apa-apa kok sudah diusir begini sih?” “Maaf sekali lagi Pak, sebenarnya ini bukan keinginan saya juga, tetapi perintah dari atasan. Dua hari yang lalu saya menerima fax ini dari London…” Mbak Rini kemudian menunjukkan lembaran fax yang menuliskan informasi tentang penolakan marga Figeroa ke dalam perkebunan BAT. “Gimana sih? Katanya saya sudah dijanjikan tempat… kok malah diusir gini…” “Anda hubungi saja yang menghubungi anda dan tanyakan ulang maksudnya…” “Lho Mas Ben, ngapain di sini?” tanya Jon-jon. “Lho kamu juga ngapain di sini Jon? Bentar ya.. aku lagi bingung nih, mentah-mentah saya ditolak masuk ke sini…” Ben pun mulai sibuk menekan angka-angka pada telepon genggamnya. “Mam, ini maksudnya apa sih, aku ngga boleh masuk ke House of Orchid…” “Sorry ya Ben, Mama belum sempet hubungi kamu. Satu minggu yang lalu Mama bertemu dengan keturunan keluarga Finchley dalam pameran agribisnis di Sao. Mamah jadi inget, dulu papah pernah cerita tentang sebuah misteri harta karun yang terkubur di daerah Tual….” (Garis Pembatas Jeda…..) Alkisah, Sejak tahun 1862 sampai dengan 1873, seorang bajak laut berkebangsaan Inggris, Damien Stromwell, atau yang lebih dikenal dengan julukan Black Beard, sempat mendekam di penjara buatan Inggris di pengasingan Tual ini. Pemerintah Inggris pada waktu itu berniat memberikan grasi kepada Black Beard asalkan barang komoditas perkapalan Inggris yang ia jarah segera dikembalikan dengan selamat. Sebelum ia ditangkap, Black Beard diduga telah menjarah lebih dari duaratus maskapai perdagangan pada tahun itu. Jarahannya mencakup wilayah ketiga samudra raksasa yaitu Atlantik, Hindia dan Pasifik. Sebagian besar jarahan Black Beard memang maskapai perdagangan Inggris yang akan berdagang dengan India dan Malaka. Puluhan kapal yang terjarah adalah kapal berisi muatan uang, logam dan batu mulia lainnya untuk pembangunan koloni Inggris baru. Akhirnya pada tahun 1873 ia meninggal tanpa memberi tahu siapapun dimana letak harta karunnya. Dalam sel penjaranya, tim forensik menemukan tulisan “I am giving everything for my one and only love, Anastasia…” Wanita yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah putri tercintanya Anastasia yang dibesarkan pamannya dan menikah dengan keluarga Finchley. Desas-desuspun mengatakan bahwa tujuan utama Nyonya Finchley menetap di Tual ini-pun agar ia dapat senantiasa mengunjungi ayahnya di penjara. Limabelas maskapai perdagangan lainnya yang terjarah adalah milik sebuah keluarga tua dari Lisbon yang bernama keluarga Figeroa. Berkali-kali mereka berusaha mendapatkan kembali harta mereka-pun tetapi tak pernah berhasil. Perkebunan Finchley dan Figeroa yang bertetangga-pun akhirnya bermusuhan hingga saat ini. Nyonya Finchley tak bergeming untuk membocorkan rahasia ayahnya. Del Figeroa, kakek buyut Ben yang sudah lelah dengan permainan kucing-kucingan ini akhirnya memindahkan bisnis keluarga Figeroa ke Brazil. Sehari setelah ulang tahunya yang ke enampuluh sembilan, Nyonya Finchley-pun secara misterius menghilang dari peredaran. Kalaupun ia dibunuh, mayatnya tak pernah ditemukan. Beberapa versi desas-desus terbang terbawa angin. Apakah ini hasil pekerjaan pemerintah Inggris? Ataukah ulah keluarga Figeroa? (Garis Pembatas Jeda…..) Di Sao Paolo, pusat finansial Brazil, secara tak sengaja, Marini dan adik iparnya Pedro Figeroa, mendengarkan percakapan antara Juan Carlos Armando, pemimpin PT. TeleBras (Telekomunikasi Brazil) dengan Alexandra Bennington, keturunan langsung keluarga Finchley yang memegang saham terbesar di TeleBras. “Saya masih penasaran dengan harta karun Black Beard di Tual… segera kita kirimkan orang-orang dari London untuk menyelidiki masalah ini” “Dengan harta yang kembali mungkin kita dapat memperbesar jaringan kita sehingga tujuan utama kita dapat tercapai… hostile take over TeleMex (Telekomunikasi Mexico) yang akan menjatuhkan nilai saham AT&T di Latin America. Heheh…” “Hei, jangan lupakan saya!!!” Pedro akhirnya membuka mulutnya tak tertahan lagi. “Keluarga kami-pun berhak mendapatkan bagian dari penemuan harta tersebut. Lima belas maskapai yang berisi emas untuk dibawa ke Portugal waktu itu adalah milik keluarga kami!!!” “Haha… Pedro… apa kabar?” Alexandra tertawa. “Siapa cepat dia dapat…. Dan jangan lupa… ladang di Tual dan bekas penjara Senor Stromwell yang berada di wilayah Figeroa dengan bodohnya telah kau jual kepada BAT untuk menutupi hutang kalian yang membengkak sepuluh tahun yang lalu!!!” “Kau… kau…. Bangsat… lihat saja nanti!!!” teriak Pedro. Marini-pun mengikuti adik iparnya yang dengan tergesa-gesa meninggalkan ruang pameran itu. (Garis Pembatas Jeda…..) “Iya Ben… Mamah sih udah ngga mikirin harta kuno itu deh… cuman ya kalo sampe ketemu… hutang perusahaan bisa terbayar dengan lunas tahun ini juga… Kebetulan kan perseteruan keluarga Finchley dan Figeroa juga sudah lama… makanya Mamah dan Oom Pedro mau minta tolong siapa tau kamu bisa cari informasi di sana…” “Tapi saya ngga bisa masuk ke kompleks perkebunan Mam…” “Hmm… gimana yah?” “Ayo Mas Ben… makan dulu…” “Tapi ini…” “Udah beres saya urus dengan Mbak Rini… saya kan kebetulan mendapat pelayanan vip di sini, jadi kehadiran Mas Ben sekarang ada dibawah pertanggung jawaban saya…” ujar Jon-jon. “Lho kamu kok bisa dapet fasilitas segala macem gini?” “…” Jon-jon menceritakan kepada Ben tentang tiket dan titipan misterius Darwin. (Garis Pembatas Jeda…..) Makan malam mereka terganggu sejenak. “Kenapa Pak?” “Oh iya, saya tadi ditelpon bagian resepsionis, katanya ada telpon untuk Anda berdua.” “Oh ya makasih ya… “Ya hallo… hallo!!!” KLIK. Sang penelepon gelap meletakkan gagang telponnya. “Sial udah diganggu… putus pula…” Limabelas menit berlalu tanpa ada deringan kedua. Merekapun kembali ke meja makan. Para pelayan tengah merapikan ruangan makan yang akan ditutup sebentar lagi. Hanya meja mereka berdua yang dibiarkan seperti pada saat sebelumnya. “Baik juga yah, kayaknya mangkuk yang tadi sudah diganti…” Sup krim jagung yang sudah agak dingin itu ia nikmati saja apa adanya. Ben lebih banyak terdiam memikirkan tentang hal apakah yang harus ia lakukan kemudian. Perlahan-lahan sup yang kental itu berkurang dari mangkok Jon-jon. Ketika akhirnya sendoknya mendekati dasar mangkuk itu, terteralah sebuah tulisan dalam huruf besar yang tertulis dengan spidol anti hapus. SPQR. Krompyang. Ia terkejut luar biasa menyaksikan pemandangan itu. Mangkuk yang ia pegang telah terbelah menjadi lima kepingan besar setelah terjatuh di lantai. “Si…siapa yang melakukan hal ini??” Pada saat yang sama ia melihat sekelebat bayangan hitam beranjak dari balik pilar berlari kearah pintu keluar. “Kamu ngga papa Jon?” “(Mengendus-endus)… aroma ini… sangat familiar.” Bersambung… (Garis Pembatas Jeda…..) Part 4: Siluman Terbang. “Sudah Mas Jon, biar saya saja yang beresin…” “Duh maap ya Ris, udah malem gini, malah ngerepotin…” “Gak papa… emang tugas saya kan malem ini waiter jaga di sini…” Ben dan Jon-jon kemudian beranjak untuk mengobrol di beranda belakang penginapan itu yang menghadap ke laut malam. “Gila semakin lama semakin banyak misterinya gini Mas!!” “Iya… sebaiknya kamu pulang saja lah Jon… saya takut nanti malah ada apa-apa di sini…” “Tapi saya belum mendapatkan titipan Darwin Mas…” “Mendingan kamu pulang deh… saya khawatir kalau…” “Lagian saya diberi tugas seseorang untuk menjaga Mas Ben.” “Oh ya dari siapa?” “Siapa lagi?” “Heheh…” wajahnya memerah. “Kalo gak pengen cerita ngga papa kok. Ngga usah dipikirin. Yang sono juga ngga mau cerita apa-apa sama saya. Begini deh, mendingan kita bahas masalah kita di sini aja. Mas Ben, pernah liat singkatan SPQR itu sebelumnya ngga?” “Yang kayak di mangkuk tadi?” “Iya bener” “Hmmm…. SPQR… SPQR… SPQR…” “Komik Asterix….” “Hmm. Kerajaan Romawi!!!” “Iya… iya benar!!” “S P Q Romanus…” “Duh ayo Mas ingat-ingat lagi…” “S titi-titik P… oh iya Populus… Q…” “Que!” “Senatorus!” Ben melanjutkan lagi, “Hmm, Senatorus Populus Que Romanus… The Senate and the People of Rome….” “Maksudnya apa ya…” “Yang mengherankan, kenapa dia memberi clue itu kepada kamu ya? “Masak saya disuruh jadi detektip sih?” (Garis Pembatas Jeda…..) Sejam kemudian, “Maaf Pak, ada yang menelepon di lobby katanya…” “Wah jangan-jangan si penelepon gelap lagi… Iya deh, makasih Pak.” Pak Satpam itu pun bergegas kembali ke pos jaganya di dalam penginapan. “Hallo? Hallo?” “Hehehe!!! Hehehehe!!!” KLIK. Sang penelepon gelap tidak meninggalkan apapun kecuali tawa menakutkannya. “Siapa Jon?” “Bener kan, si penelepon gelap lagi… gile… tambah seru nih!” “Seru… seru… bahaya gila!” “Ah Mas Ben… gak papa lah dikit-dikit ada misteri kan? Oh iya kita tanya Mbak Rini aja tentang Romawi tadi…” “Mbak Rini, maap ya mengganggu malam-malam begini. Tadi ceritanya begini….” “Nah pertanyaan saya, memangnya ada peninggalan Romawi di daerah sini?” lanjut Jon-jon. “Peninggalan Romawi?” “Iya benar” “Setahu saya sih pulau ini tadinya memang kosong ya. Perkebunan yang telah membawa para pekerja lokal dari pulau-pulau disekeliling daerah ini…” “Eh, tunggu dulu…Jon, mungkin maksudnya dengan SPQR itu bukan sekedar peninggalan Romawi… mungkin tidak secara riil.” Balas Ben. DEG. “Hmm, mungkin bener…” “Memang secara riil sih ngga ada Pak, palingan dulu Nyonya Finchley gemar melukis pemandangan di Roma dalam ingatannya…” “Lukisan pemandangan Roma?” “Lukisannya ada di mana Mbak, bisa kita lihat?” “Seingat saya totalnya kira-kira ada lima lukisan… salah satunya sudah dibeli British Museum kira-kira sepuluh tahun yang lalu, yang kedua sudah dibawa pulang oleh keluarga mendiang ke Inggris, ada satu di ruang lobby ini (Mbak Rini menunjuk ke arah sebuah lukisan tua), satu ada di ruang makan konservatori, dan satu lagi ada di perpustakaan pribadi di kamar anda Pak Jon.” “Oh kalo gitu saya balik ke kamar dulu deh Mbak, saya ingin memperhatikan lebih lanjut lukisan itu.” “Yang mana kamarnya Jon?” “Yang diujung kiri!!” “Nih kuncinya Mas…” CLETEK. Kunci pintupun akhirnya terbuka. “Nah, lukisannya ada di ruang yang ujung sana…” ujar Jon-jon sembari menyalakan lampu. “SHIT!!!” “Apa Mas?” Ketika mereka membuka pintu ruang perpustakaan di kamar itu, lukisan yang ada di sana telah hilang. Yang tertinggal hanyalah sebuah figura kosong. “Waduh, siapa yang ngambil yah?” Selanjutnya mereka menghubungi resepsionis yang kemudian datang bersama banyak karyawan lainnya yang penasaran akan kasus ini. Polisipun segera mereka hubungi. “Eh liat Jon… banyak pecahan kaca di teras balkoni…. Pasti dia mecahin kaca di jendela itu dan membuka kenop dari luar untuk masuk ke sini!!!” Mereka segera mengamati balkoni tempat tersebarnya pecahan kaca tersebut. “Tapi dia mau kabur gimana Mas? Ini liat…” Balkoni itu diciptakan untuk bergantung pada sebuah tebing yang menghadap ke lepas pantai. “Pasti dia sudah tewas kalo nekad lewat sini!!!” “Impossible Crime!” (Garis Pembatas Jeda…..) “Maling!!!” “Ada apa? Ada apa? Maling lagi?” “Lukisan yang diruang makan ikut menghilang juga!” “Maksudnya…” “Ya begitu… menghilang juga tanpa bekas….” “Segera amankan satu-satunya lukisan yang tertinggal di ruang lobby saudara-saudara!!” (Garis Pembatas Jeda…..) Transaksi di tengah perkebunan pada malam yang sama. “Cepat sekali anda bertindak. Saya kagum kepada anda. Pekerjaan yang sangat bagus… ini upahmu.” Sosok misterius itu memberikan sebuah tas kecil yang berisi uang. “Terimakasih… Oh iya satu lagi, yang di lobby itu anda tidak membutuhkannya?” tanya sang siluman pencuri lukisan. “Saya dapat menikmati yang itu dengan santai tanpa harus ada yang mencurigai saya…” “Selamat Malam kalau begitu, terimakasih sekali lagi…” “Saya yang harus berterimakasih kepada anda… kalau anda tak memberi tahu saya tentang hal ini, mungkin sampai sekarang kami masih menemui jalan buntu” (Garis Pembatas Jeda…..) Walaupun kejadian pencurian tadi cukup menggemparkan. Beberapa karyawan yang sedang beristirahat berbincang-bincang riang di ruang jaga pos satpam. “Cihuy!! Tadi seneng ngga Pak, ada penggemar yang ngasih lagu cinta…” “Ah bisa saja kamu ini…” “Duh tadi pas saya lagi break pertama, ada yang nyetel radio ceritanya… ehm lalu kok tau-tau penyiarnya bilang … lagu ini adalah lagu yang khusus dipersembahkan kepada Pak Trisno di Wisma Anggrek dari wanita penggemarnya. Suit-suit!!! Er-em Er-em… Er-em Er-em…” “Ayo Pak ngaku dong sapa itu tadi yang ngirim lagu?” ujar karyawan lainnya bersenda gurau. “Eh, maap Pak, ada yang bisa saya Bantu?” Pak Trisno, sang satpam kembali serius “Maaf ganggu sebentar ya Pak. Nama saya Jon, yang tidur di kamar yang lukisannya dicolong tadi. Gini Pak, ada yang mencurigakan ngga sih yang masuk atau keluar dari kamar saya?” “Wah ngga ada tuh Mas, seperti sehari-hari saja… Eh, inget ngga Mas, tadi karena sibuk semua, terpaksa resepsionis menelepon saya sehingga saya harus memberi kabar untuk anda ketika ada telepon masuk. Mungkin pada saat itu pelaku secara paksa memasuki ruangan anda Pak…” “Ngga ada paksaan kok Pak, kuncinya tidak rusak…” “Hmm...iya..iya… dan juga… saya keluar ngga lebih dari satu menit lho. Jadi walaupun dia bisa masuk, gimana dia keluarnya ya?” “Bener… melepas lukisan dari figura kuno itu saja tidak mungkin dilakukan dalam satu menit!” “Hmm, dan lagi setelah itu yang masuk kamar ya anda sendiri dengan kawannya tadi sebelum kita semua sadar tentang hal itu” “Bener nih Pak, ngga ada orang yang lewat apa gimana gitu?” “Iya…” “Dan juga ngga mungkin kan ia dapat masuk dan keluar seenaknya dari balkoni… jurang begitu…” lanjut Jon-jon. “Iya kecuali kalo dia bisa terbang kayak siluman” “Siluman?” “Keluar masuknya terbang melalui balkoni di atas jurang itu!” Bersambung… (Garis Pembatas Jeda…..) Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@toughguy.net.


###

13 Gay Erotic Stories from Fred Batavia

Agenda Iblis

“Slamet malam Pak... permisi...” Justru seakan tidak menunggu izin dari kami, pemuda tanggung itu langsung saja menggenjrengkan dawai logam gitar bekasnya itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” nada yang tidak buruk itu ia selewengkan dari sebuah lagu yang sedang populer pada waktu itu. Sebuah grup band domestik papan atas baru saja merilisnya. Dengan berwajah

Bayangan Corcovado Bag.1

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Part 1. Welcome to the Club. DUBRAK. “Wah, maap ya… tadi saya terburu-buru jadi ngga ngeliat.” “Oh ya ngga papa lah.” “Eh, tau dimana tempat daftar klub

Bayangan Corcovado, Bag 2

Part 4. Corcovado. DEG. “Duh smoga tadi dia gak sadar…” pikir Jon-jon dari sofanya. Beberapa menit kemudian Darwin yang duduk dilantai bergeser mendekati Jon-jon. Pundaknya menyentuh lutut Jon-jon. DEG. “Aduh… ngapain sih deket-deket…” Jon-jon mulai mengeluarkan keringat dingin. Sake yang dia bawa tadi sudah habis sampai 4 kaleng diantara mereka. “Uaaaaaahhhhhhhhhhhhh…. Ngantuk

Bayangan Corcovado, Bag 3

Part 7. Problema. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Dengan sigap Darwin menepiskan tubuh Jon-jon dari sisinya. Kemudian tergesa-gesa ia mengumpulkan

Misteri Siluman Terbang, Bag 1

Sidenote: Terus terang saja karangan yang saya buat ini tidak berisikan hal yang berbau porno. Tetapi mungkin beberapa karakter gay yang di-“pekerjakan” kembali dari kisah “Bayangan Corcovado” dapat menjadi penghibur hati dalam kisah misteri ini. Bagi yang belum pernah membacanya, Bayangan Corcovado, mungkin dapat lebih memperkenalkan karakter-karakter dalam tulisan ini. Enjoy. Fred.

Misteri Siluman Terbang, Bag 2

Part 5: Rahasia Lukisan. Satu jam kemudian Kapten Polisi Jose Gomez mengetuk kamar mereka. “Selamat malam Pak, saya mendapat surat perintah (ia memberikan surat itu pada Jon-jon) untuk membawa Saudara Ben Figeroa ke kantor kami malam ini” “Lho… lho kenapa Pak?” “Pasalnya pemilik perkebunan sudah memberi tahu kepada yang bersangkutan untuk tidak memasuki wilayah ini dan tidak

Selamat Ulang Tahun ke 475 Jakarta!

For my pal, B, hope you enjoy it! Kejadian lucu yang menimpa kawan saya si B tadi, tentu saja disajikan dengan bumbu fiksi sedikit terlebih dahulu sehingga dapat lebih menghibur. Nama dan lokasi sudah diubah. Kepada Redaksi yang terhormat, Pada kesempatan ini, saya, Rahmat, ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke 475 kepada ibukota Jakarta yang telah menjadi rumah saya selama

Tentang Paidjo 01: Genesis

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang

Tentang Paidjo 03: Melaut

Sidenote: Paidjo is back for more! Terimakasih kepada seorang pembaca yang telah memberikan ide untuk penulisan bagian ketiga ini. Fred. (Garis Pembatas Jeda……..) “Gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis” “Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar

Tentang Paidjo 04: 1939

Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal. Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya. Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin

Tentang Paidjo 05: Karl

Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini. “Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…” “Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…” “Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung

Tentang Paidjo 06: Invasi

Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo. “Hai apa kabar?” sapa Paidjo. “Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....” “Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?” “Gak papa...

Tentang Paidjo, Bag.2: Obsesi

Cuplikan dari, Bag 1: Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih

###

Web-02: vampire_2.1.0.01
_stories_story