Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal. Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya. Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin kapal tuanya itu. Paidjopun tersenyum melihat keberingasan Sadikin. Kali ini pria itu menyetubuhinya tanpa belas kasih, hanya serangai kebinatangan yang terlihat. Ia menarik bokong Paidjo agar berdiri lebih dekat dan rapat, menurunkan pundak bocah itu ke kasur dan ia mulai menegakkan tubuhnya. Ia menaikki tubuh anak itu dengan napsu badaniah yang tak terelakkan. Belahan kakinya ia mantapkan pada pinggang kiri dan kanan Paidjo sementara ia menggerakkan alat kelaminnya memompa dan memompa semakin dalam dan kasar. Pantatnya yang keras dan bulat mulai mengucurkan keringat. Batang keras di dalam liang sempit itu mulai kegerahan. Cairan sebelumnya memudahkan pergerakan tiang kuat itu di dalam sana. Buah zakarnya-pun mulai mengeluhkan kelelahannya. Genggamannya meremas penis kecil Paidjo dengan ganas. Tak lama kemudian ia memuntahkan seluruh air maninya kembali di dalam tubuh bocah itu. “Hmmphh…hmpphhhh.. ahhh…..” Kenikmatan tingkat tinggi itu akhirnya disusul oleh erangan kecil Paidjo seraya ia hangatkan seluruh genggaman Sadikin dengan benih cintanya sendiri. Jepitan dasyat kembali terasa di sekeliling batang zakar pria itu sehingga ia dengan terpaksa memuncratkan cairan berwarna putih kekuningan itu sekali lagi…. Akhirnya mereka berdua tergelepar di atas kasur tipis itu. Keramaian mulai terdengar dari kejauhan. Untuk terakhir kalinya pada malam itu mereka berciuman. Sebelum perlahan mengenakan pakaiannya masing-masing. Perlahan kapal itu mulai menyentuh bibir pelabuhan. Nampak beberapa nelayan bersiap berangkat untuk berlayar malam itu. Mereka menaikkan awak kapal, jala, perlengkapan lainnya dan santapan untuk persediaan. Ratusan kapal lainnya tampak tertambat pada tiang kayu yang menjulur ke atas permukaan air. Kapal besar dan kecil semuanya terayun ombak kecil di sana. Pemandangan malam itu tampak sangat megah bagi seorang anak desa yang baru pertama kalinya mengunjungi sebuah kota besar. Ketika harus berdiri dan mengenakan pakaian, Paidjo merasa liang duburnya menjadi sangat longgar dan sakit. Dua kali sudah Sadikin menanamkan benih kelelakiannya di sana malam ini. Rongga kecil itupun tampaknya tak cukup untuk menampung semuanya. Lelehan kental mulai terasa menetes dari bibir anusnya dan mengalir perlahan di bagian dalam pahanya. Cepat-cepat Sadikin menampung lelehan tersebut dalam mulutnya. Ia mengerahkan jari tengahnya di permukaan dubur Paidjo seakan menutup katup pembukaan lubang itu. Dengan kedua tanggannya ia kemudian menyatukan kedua belahan bokong bocah itu untuk menahan lelehan selanjutnya. Ia bersikeras bahwa benih kenikmatan itu tetap harus tertanamkan dalam diri Paidjo malam itu. Setelah berpikir beberapa saat ia mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dari kantong celananya, melipat benda itu dengan kasar dan menyumbatkannya pada pembukaan dubur Paidjo yang sedang kelelahan itu. “Nah, sekarang Mas tidak perlu khawatir lagi. Sumbat sementara ini akan mengurangi rasa sakit di bokongmu Dik, benar ndak?” “Iya Mas” “Dan lagi… benihku jadi aman didalam tubuhmu malam ini Dik…” Paidjo tersenyum melihat kekonyolan kakaknya ini. Setelah mereka berpakaian, mereka berciuman lagi hingga kapal nelayan yang terdekat mulai melewati kapal mereka. (Garis Pembatas Jeda……..) “Dik kenalkan ini Meneer Suryo dan istrinya…” “Malam Pak, malam Bu…” “Nah mulai saat ini adik akan berada dibawah lindungan dan didikan mereka. Ngerti dik?” “Iya Kak…” air mata mulai berlinang. Perpisahan itu seperti perpisahan lainnya bukanlah suatu hal yang mudah. Pelumas di dalam duburnya membuatnya ia merasa tidak wajar ketika berjalan menjauhi kapal Sadikin. “Selamat tinggal Mas Dikin!” teriaknya. (Garis Pembatas Jeda……..) Mereka melalui jalan-jalan yang megah dihiasi pohon kelapa di tengah boulevard itu. Gedung-gedung besar berwarna putih. Pemandangan malam di kota Semarang pada tahun 1939. Mobil hitam bermesin besar itu memasuki salah satu kompleks di Simpang Lima. Obor-obor kecil disekujur kompleks pribadi itu menyambut kedatangan mereka. Rumah megah bergaya Jawa dan kolonial Belanda itu membuka dirinya untuk seorang Paidjo yang lusuh. “Nak, Bapak dan Ibu akan membicarakan tentang hal ini besok saja ya. Saat ini kamu tidur saja, tampaknya kamu sangat letih…” “Baik Pak… terimakasih sekali lagi…” “Jangan sungkan-sungkan Djo…” Seorang pelayan pria menhantarkan Paidjo ke ruang tidurnya. Koridor yang dihiasi cahaya lampu gas dan listrik itu menuju sebuah rumah kecil yang berpendopo di depannya. “Di sinilah Kang Mas akan tinggal…” “Sendiri?” “Tentu tidak, saya akan menemani Kang Mas…” “Mas sendiri namanya siapa dan mengapa harus menemani saya?” “Saya dipanggil Adhi dan sebagai abdi dalem dari Raden Mas Suryo sudah merupakan tugas saya untuk menemani Kang Mas” “Raden Mas Suryo?” “Iya, beliau adalah adik dari Bupati Semarang dan memang masih berdarah biru dari Keratonan Surakarta” “Oh ya?” “Raden Mas tidak suka menjabat dalam pemerintahan, ia lebih memilih untuk menjadi pedagang yang sukses.” Ia melewati sebuah ruang tamu dengan perabotan jati yang mewah diterangi sebuah chandelier dari tanah Eropah yang tergantung dari langit-langit tinggi ruangan itu. Di sebelah kirinya adalah ruang belajar dengan perpustakaan kecil yang dipenuhi dengan buku-buku berbahasa asing. Di sebelah kanannya ada sebuah ruang musik yang biasanya dipergunakan untuk minum teh dan bercengkrama. Adhi kemudian menunjukkan ruang tidurnya yang sangat luas. Hanya sebuah lemari pakaian dan ranjang besar lengkap dengan kelambunya mengisi ruangan itu. “Besar sekali tempat tidur ini…” “Dan satu lagi… kamar mandi Kang Mas tersembunyi dibelakang pintu rahasia ini…” Krieekkk. Tembok itu terbuka dan nampaklah sebuah ruang mandi yang seluruhnya terbuat dari batu marmer putih. “Mas Adhi harus menunjukkan bagaimana cara saya mempergunakan peralatan ini…” ujarnya sembari mengusap mata pancuran yang terbuat dari besi yang berlapiskan perak. “Di kampung saya ndak punya kamar mandi… kita mandi di pantai dan buang air di jamban dekat sawah…” Adhi tersenyum melihat keluguan tuan muda barunya. Tenaga gas menghangatkan air pada wastafel itu. “Wah segarnya…” ucapnya seraya membasuh wajahnya. “Selamat malam dan selamat istirahat Kang Mas…” “Katanya Mas Adhi akan menemani saya?” “Saya tidur di ruang tamu bila Anda membutuhkan saya…” Paidjo mengikuti langkah Adhi ke arah ruang tamu di mana abdi dalam itu menggelar selembar kasur kapuk tipis yang beralaskan tikar rotan. “Makasih Mas Adhi… selamat tidur…” “Sama-sama Kang Mas…” Ia membuka lemari pakaian itu. Di dalamnya berisi pakaian-pakain yang terbuat dari kain berkualitas dan sangat lembut di tangan kasarnya. Sarung batik yang mewah terlipat rapih di beberapa lacinya. “Wah, ngimpi apa saya semalam…” Ia membuka pakaiannya satu persatu. Kemeja… dan kemudian celana lusuhnya. Ia beranjak naik ke atas ranjang empuk raksasa itu. Menutup kelambu dan dengan segera ia terlelap tanpa mengenakan sehelai benangpun. Kain satin lembut itu telah memeluk dirinya sepanjang malam. (Garis Pembatas Jeda……..) Mentari baru saja beranjak dari timur ketika Adhi membuka pintu ruang tidur itu. “Selamat pagi Kang Mas…” “Sudah panggil saja aku Paidjo, jangan pake Kang Mas- Kang Mas segala…” “Maaf Kang Mas… saya tidak diperbolehkan memanggil nama saja…” Paidjo masih belum juga bergerak walaupun sudah menyambut panggilan Adhi. Ketika Adhi menyibakkan kelambu ia tampak sangat terkejut dengan kehadiran mahluk sensual di hadapannya. Tubuh Paidjo yang mulus sedang membelakanginya tengkurap dengan sebelah kaki terangkat. Kedua belahan pantat dan lubang anusnya yang tersumbat oleh sehelai sapu tangan itu menjadi pemandangan yang sangat merangsang bagi Adhi. “Ndak bangun sekarang Kang Mas? Lekas mandi karena sebentar lagi Kang Mas akan diundang untuk makan pagi bersama keluarga Raden Mas…” “Sebentar lagi saja… Mas Adhi… saya sedang menikmati lembutnya seprei mengkilap ini” “Baiklah… hmm, Kang Mas… itu ada saputangan yang, ehm, maaf, sepertinya menyumbat di bawah sana…” ujar Adhi malu-malu. “Wah iya, aku lupa. Kemarin malam sebelum berpisah, Mas Sadikin sahabatku telah menanamkan benihnya dua kali. Saya tidak ingin benih-benih tersebut meleleh keluar dari tubuhku” Saat itu juga Adhi dapat membayangkan apa yang baru saja terjadi pada anak lelaki ini. “Gini lho Kang Mas. Mungkin benih itu sangat berharga untuk Kang Mas. Namun sebenarnya itu lebih merupakan simbolisasi pemberian cinta saja. Karena cepat atau lambat Kang Maspun harus buang air dan cairan tersebut akan terdorong keluar bersamanya. Cairan kental itu mungkin harus keluar, tetapi benih cinta itu akan terus bersama Kang Mas di dalam hati…” “Wah, benar sekali Mas Adhi, lalu sekarang bagaimana?” “Apakah kemarin malam adalah malam pertama Kang Mas menerima benih cinta?” “Benar.” “Kalau begitu, biarkanlah saya mencabut sumbat ini dan membersihkannya untuk Kang Mas.” Tangannya terasa hangat membelah kedua bokong empuk Paidjo. Dengan perlahan Adhi mengelus daging kenyal tersebut sedikit-demi sedikit menuju pembukaan lubang duburnya. Dengan jarinya yang lembut ia membuka bokong tersebut sehingga terlihat dengan jelas di muka wajahnya saat ini. Ia membuat lingkaran-lingkaran kecil mengelilingi bibir tersumbat itu agar Paidjo dapat merasa santai dan lebih membuka dirinya. Sedikit demi sedikit sapu tangan putih itu ia lepaskan dari cengkraman bibir yang luka itu. Keputihannya sudah ternodai oleh warna kuning dan sedikit warna merah darah dari bibir itu. “Ahhh… Pedih….” Jerit Paidjo. “Iya, Kang Mas luka di sini… harus saya obati segera…” Ia membiarkan cairan gemuk dan kental itu meleleh keluar dari anus Paidjo. Pemandangan itu sangat erotis. Adhi pun merasa kelelakianya sudah mulai mengeras. “Dorong sedikit Kang Mas.” Dengan sangat telaten ia membersihkan semua sisa birahi dan luka dari malam sebelumnya. “Mari ke kamar mandi…” ajaknya. “Silahkan sekarang Kang Mas duduk di sana dan cobalah untuk membuang hajat. Karena setelah bersih baru saya benar-benar dapat mengobati luka di sana…” “Dengan Mas Adhi di sini? Saya malu ah” “Wah ini sudah tugas saya sehari-hari, kan kita sama-sama lelaki, mengapa musti malu bukan? Dan lagi saya sudah melihat tubuh indah Kang Mas telanjang bulat sejak pagi ini” Adhi mulai mengisi air panas untuk memandikan Paidjo, sedangkan bocah itu langsung terduduk di jamban model Eropa dan menuruti permintaan abdi dalamnya. Siapapun yang ingat akan saat pertama kehilangan keperawanannya pasti akan setuju dengan Paidjo pada pagi hari itu “Liangku terasa sangat longgar sehingga susah untuk mendorongnya keluar Mas Adhi…” Kemudian Adhi mengambil sebuah botol berisi minyak telon. Ia mengurapi perut Paidjo dengan lembut untuk menghangatkannya. Nampaknya usapan hangat itu berpengaruh pada napsu birahi bocah itu. Penis kecilnya mulai bangun kembali. “Weh… bangun Kang Mas!” ujar Adhi seraya tersenyum. Paidjo hanya menunduk malu. Setelah selesai iapun segera dibersihkan dengan seksama oleh Adhi sebelum melangkah ke bak mandi berisi air hangat dengan mahkota mawar yang mengambang di sana-sini. Perlahan Paidjo dituntun masuk ke bak mandi yang ditanamkan di tengah ruang luas itu. Lubang pantatnya masih terasa nyeri akibat serangan bertubi-tubi dari Sadikin tadi malam. Untuk pertama kalinya ia merasakan betapa nikmatnya layanan dan perabot yang bisa kita nikmati dengan uang. Tubuhnya dimandikan dengan cermat, sabun berbusa mewah yang diimport dari Perancis membersihkan semua debu yang melekat pada tubuhnya bertahun-tahun ini. Beberapa macam sikat dipergunakan untuk membersihkan anak desa ini dengan baik. “Aw, sakit Mas Adhi…” “Maaf, menggosoknya terlalu kasar ya…” Setelah mandi dan dikeringkan dengan handuk yang tebal, Adhi memberikan sebuah kemeja putih bergaya Eropa untuk ia kenakan. Sebelum ia mengenakan celana panjang berwarna khaki itu, Adhi menahannya. “Kang Mas, saya harus memberikan pengobatan pada lubang tersebut dahulu agar cepat sembuh dan membaik” “Baiklah…” Adhi menuntunnya kembali ke kamar mandi. Ia meminta Paidjo untuk duduk menghadapnya di atas meja besar di samping kanan wastafel. “Bisa mundur sedikit Kang Mas?” Perlahan Adhi menidurkan tubuh Paidjo di meja besar itu dan ia menaikkan kedua pahanya yang harum itu sehingga lubang duburnya terbuka lebar untuk dinikmati. Kemudian ia mengambil sebuah balsam dingin yang selanjutnya ia lulurkan pada jari tengahnya. “Mungkin masih agak nyeri ya Kang Mas…” katanya memberikan peringatan sebelum memasukkan jari tersebut perlahan-lahan ke dalam lubang yang luka itu. “Awww…” “Maaf Kang Mas…” Ia menambahkan balsam dingin itu pada jarinya dan kemudian memaju-mundurkan ruas tersebut di dalam anus Paidjo. “Enak Kang Mas?” “Iya hehe… adem rasanya….” Penis kecilnya mulai bangkit kembali. “Wah tentu saja pria tidak bisa memulai harinya dengan kelamin yang bangkit Kang Mas… mari saya bantu…” Tanpa permisi Adhi mulai mengulum kelamin Paidjo yang terasa nikmat di mulutnya. Jarinya ia keluarkan dari dubur anak itu supaya tidak terjadi iritasi lebih lanjut. Kini balsam dingin itu ia oleskan perlahan pada permukaan bibir yang koyak itu. Sensasi yang nikmat menyerang Paidjo. Adhi yang berusia dua-puluh-satu tahun itu sudah sangat terampil menghisap batang zakar Paidjo. Ia mengerti kapan saatnya harus mempercepat gerakannya, kapan harus memperlambatnya. Tentu saja, Adhi sudah bekerja di sana sejak ia berusia tiga-belas tahun. Ia sudah sangat terlatih untuk memuaskan para lelaki penguasa rumah itu sejak ia kecil. “Mas Adhi… saya… saya….” Ia memuncratkan cairan birahinya langsung di dalam mulut Adhi. Dengan sabar Adhi menunggu hingga tuan mudanya tuntas dan puas sebelum ia menelan seluruh air kenikmatan itu melalui kerongkongannya. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Ia menyukai tuan muda barunya ini. Dengan bersiul santai ia membersihkan kemaluan Paidjo dengan seksama sebelum memakaikan celana dalam, menepuk pantat kenyalnya, dan menariknya kembali untuk berdiri dan mengenakan celana. (Garis Pembatas Jeda……..) Tidak hanya Adhi, kesahajaan dan keramahan Paidjo dengan cepat membuatnya diterima oleh seluruh rumah tangga RM Suryo. Selama beberapa bulan sejak kehadirannya ia telah belajar berbagai hal. Cara bersikap yang baik, cara makan yang baik, berbicara dalam bahasa Jawa halus, bahasa Arab, bahasa Indonesia (sesuai dengan Sumpah Pemuda) dan pengenalan bahasa Belanda. Kini ia dapat menulis kaligrafi dengan halus, menunggang kuda dengan anggun, dan bertukar pikiran selayaknya ia dilahirkan di dalam keluarga terpelajar. Ibu Suryo sendiri yang mengajarinya kesemuanya itu karena ia adalah guru yang paling baik untuk penanaman pendidikan dasar. Untung saja beliau memiliki murid yang cerdas seperti Paidjo. Tahun depan ia akan didaftarkan pada sekolah menengah pertama milik Belanda. Dirinya harus siap disetarakan dengan lulusan sekolah dasar Eropa. “Djo, ayo latihan bahasa Belanda lagi sama Ibu. Sekolahmu itu susah sekali masukknya. Dan bisa mendaftar biasanya hanya keturunan Belanda, keluarga ningrat, atau dari kalangan pengusaha besar….”. Kata Ibu Suryo ia pendam dalam batinnya. “Saya harus bisa…” ucapnya dalam hati. Raden Mas sangat membantu kemajuannya, begitu pula saudara-saudara angkatnya (putra-putri dari saudara kandung RM Suryo) di rumah besar itu. Matematika, sejarah, bahasa, musik dan olah raga. Mereka benar-benar mendidik dan membesarkannya bak buah kasih mereka sendiri. Tiga bulan kemudian ia tak nampak berbeda dengan anak juragan lainnya dari kota Semarang. (Garis Pembatas Jeda……..) Begitu banyak hal yang harus ia kuasai sehingga obsesinya terhadap air susu priapun tidak terlalu menganggu pikirannya. Karena bila dahulu ada Mas Sadikin yang akan memuaskannya, kinipun Paidjo mempunyai Mas Adhi untuk melepaskan dahaga birahinya. Ketika malam tiba dan seluruh penghuni kompleks terlelap. Ia akan membantu Adhi mempersiapkan ranjangnya. Kemudian seperti biasa ia melepaskan pakaian Adhi secara perlahan-lahan dan mulai menciumi bibir tipisnya. Jejaka muda nan rupawan itupun akan ia kecupi seluruh tubuhnya, mainkan puttingnya dengan lidahnya yang hangat, dan ia akan mengendus ketiak lebatnya dengan mesra. Beberapa minggu sekali Adhi akan mencukur bersih bebuluan yang mulai tumbuh di sekitar ketiak, kelamin dan lubang dubur Paidjo. Karena ia ingin Paidjo terlihat muda untuk selamanya. Untung saja remaja pria itu belum juga ditumbuhi bebuluan pada wajahnya. Setelah dibasuh dengan sabun dan air hangat, Adhi akan segera menikmati hasil cukurannya yang sempurna. Ia menelentangkan Paidjo tengkurap di ranjangnya. Menyibak kedua belah bokong bundarnya. Dan mulai mengendus dan menjilati kemulusan dubur remaja pria itu. Begitu juga dengan ketiak dan batang zakarnya yang mulai membesar dengan bertambahnya usia. Setiap pagi dengan rajin Adhi memijat-mijat batang kekerasan Paidjo dengan sabar dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat menambah ukuran dengan lebih cepat. Pada malamnya ia akan membuat Paidjo bergelinjang ketika lidahnya yang cekatan membuat batang belia itu memuncratkan isi hatinya. Setelah itu ia akan dengan sabar dan penuh kasih sayang menunggangi Paidjo selama beberapa jam hingga mereka kelelahan. Bahkan ukuran kelamin Adhi yang hampir serupa dengan Mas Sadikinpun tidak lagi menyakitinya. Sepertinya penetrasi yang dilatihkan hampir setiap malam itu membuat dinding lubang kecil itu terbentuk untuk dapat menerima batang kenikmatan itu dengan baik. Ia akan menikmati tubuh tuan mudanya hingga titik kenikmatan itu datang di penghujung malam. Kemudian iapun selalu meninggalkan benih kejantanannya dalam liang dubur Paidjo, sehingga ketika subuh tiba dan batang itu sudah mulai melemas di sana, lelehan kental itu akan dengan perlahan mengalir keluar dari anusnya. Adhi tak lagi tidur di ruang tamu. Tetapi ia selalu menemani Paidjo setiap malam. Paidjo pun akan mendapatkan protein harian rohaninya dari Adhi di pagi hari ketika mereka berdua mandi bersama. “Kang Mas… aduh…” ujarnya tak tertahankan lagi. Paidjo menerima semburan kental yang nikmat itu dengan santai sembari terus memaju mundurkan kepalanya. “Kang Mas… cukup…” Paidjo tidak perduli, ia harus mendapatkan madu kehidupan itu sebanyak-banyaknya. Begitulah hari-hari Paidjo di rumah RM Suryo, sampai pada suatu hari berita itupun tiba… “Kang Mas… ayah Kang Mas di desa telah meninggal tadi malam karena sakit di rumahnya…” (bersambung) (Garis Pembatas Jeda……..) Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@hotmail.com