Part 7. Problema. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Dengan sigap Darwin menepiskan tubuh Jon-jon dari sisinya. Kemudian tergesa-gesa ia mengumpulkan semua pakaiannya dan berkemas untuk meninggalkan rumah itu. “Darwin… maafkanlah saya…. Darwin… please…….” Tanpa memperdulikan tangisan kawannya, Darwin segera meninggalkan ruangan itu dan membiarkan daun pintu itu menghantam dengan kerasnya kembali. (Garis Pembatas Jeda ……) Tiga bulan berlalu begitu saja tanpa komunikasi diantara mereka walaupun Jon-jon sudah berusaha merajuk kawannya tersebut. Berkali-kali ia berusaha menerangkan hal yang telah terjadi. Berkali-kali ia berusaha menerangkan rasa cintanya pada Darwin. Semua itu tidak digubris. Putus asanya mulai bertumpuk. Ia tak dapat berpikir dengan jernih, berat tubuhnya berkurang drastis, nilai pelajarannya anjlok total. Setelah jam pulang sekolah pun ia hanya berkelana di sekeliling halaman sekolah, tak tau apa yang harus ia lakukan. Pantulan mentari siang pada jendela kelas di lantai tiga itu menarik perhatiannya. “Maybe I should just kill myself…. I’m useless……” langkahnya dipercepat menaiki tangga ke arah lantai tiga. Ketinggian gedung itu memungkinkan bisikan setan untuk bekerja. Railing pembatas pagar di teras itu menjadi tujuan utamanya. “Satu lantai lagi” pikirnya terengah-engah. “I’m ready……take me home God…” Tiba-tiba seseorang menariknya pada landing di setengah tangga menuju lantai ke tiga. Dengan sigap ia dipojokkan ke tembok. “Kamu tau ngga? Karena ulah kamu, aku tuh sampe depresi memikirkannya… Siang malem ngga bisa tidur… Mau ngapa-ngapain pusing… bingung… Ini ngga normal tau? Guys are not suppose to flirt with other guys!!! Harusnya kamu cari cewek sana!!! Gara-gara kamu semuanya ini aku jadi gila!!!” Jon-jon yang masih terkejut hanya bisa diam saja menatap lawan bicaranya. Tubuhnya yang lemah itu diguncang-guncangkan dengan kasar. Kedua tangan orang itu telah berada dibelakang lehernya dan siap mencekiknya. “Aku ini jadi gila…… gila…….. gara-gara kamu!!” lanjut orang tadi. Jon-jon pun hampir kehabisan napas dengan guncangan hebat yang ia alami. Ia berusaha berkelit dari cekikan tangan besar itu tanpa hasil. Lawan bicaranya dengan kuatnya terus memegang leher Jon-jon. Pria itu mulai mengucurkan air mata. “Tapi….. I missed you so much Jon….. I missed you so much…. Ngga ada kamu aku juga gila…… Kamu adalah sahabat saya. I guess….. I guess…… I really do love you……..” Jon-jon hanya bisa menganga terkejut mendengarkan perkataan itu. Orang tersebut kemudian menarik lehernya mendekat dan tiba-tiba menciumnya dalam-dalam. Jon-jon membalas dengan pelukan erat dan tetesan air mata kebahagiaan…. “I love you to buddy…. Aku sayang banget sama kamu Darwin…..My guardian angel.” Kemudian Darwin menciumnya lagi, kali ini tak ia lepaskan hingga lama. (Garis Pembatas Jeda ……) “Mas Ben… Mas Ben!!!” panggil Hastomo seraya membuka pintu kamar di kediaman Ben. STTTTTTT. CTAK. Anak panah permainan dart hampir saja menciderai wajah Hastomo bila ia masuk lebih cepat satu detik saja. Ada sebuah foto hitam putih pada titik sasaran (bull’s eye) yang sedari tadi dijadikan target anak panah oleh Ben. “Kalo ngga suka ya bilang aja terus terang Mas… ada masalah apa sih sebenernya? Saya udah cari sampe ke club katanya ngga ada, habis pulang sekolah Mas Ben selalu sudah pulang terlebih dahulu… kenapa sih saya kok dihindari begini? Apa salah saya Mas?… Eh, kok Mas Ben punya foto saya? Kenapa ini dijadiin target gini? Tapi… perasaan saya ngga pernah di foto kayak gini?” Ben hanya terdiam saja memalingkan muka menghadap ke arah balkoni. “Mas Ben…” Hastomo menyentuh pundak Ben. “Dek… itu… itu bukan foto kamu…. Itu fotonya seseorang yang bernama Joao….” Bersambung… (Garis Pembatas Jeda ……) Part 8. For Sentimental Reasons. “……” “Sejak kejadian di Brazil itu, saya dikirim kembali ke Indonesia… Ibu saya harus tetap memimpin perkebunan kopi di sana.” “Tapi kok bisa ya…. Dua orang dibelahan bumi yang berbeda berwajah mirip seperti kami…… Eh….. Jangan-jangan gara-gara ini dulu Mas Ben kalap…….” “Dan membanting kamu ke tembok……” Ia terdiam sesaat. “Sudah saya bilang, sebaiknya kamu jangan dekati saya…. saya ini orang jahat, banyak berdosa…..Saya seorang pembunuh!!” “Mintalah maaf kepada Allah Mas. Waktu itu Mas kan hanya membela diri, bukan berarti Mas ini orang yang jahat… Saya ngga percaya kalo Mas Ben ini orang jahat. Dan lagi saya ngga bisa begitu saja lepasin Mas Ben….. Saya dari dulu ngga punya kakak atau adik yang benar-benar memperhatikan saya seperti Mas Ben dalam beberapa bulan belakangan ini……...” Perhatiannya beralih sejenak kepada sayupan lagu Nat King Cole yang sedang terputar. Ia menarik lengan Ben kedepan alat pemutar kepingan musik. “Ngapain sih Has?” “Inilah perasaan saya yang sesungguhnya…” “I love you… for sentimental reasons… I hope you do believe me… I’m giving you my heart…” suara empuk Nat King Cole terdengar disela ketermenungan mereka. Tak lama kemudian Ben melepaskan genggaman tangan Hastomo dan beranjak pergi ke balkoni. Ia menyalakan sebatang rokok tembakau. Diotaknya masih terngiang pernyataan tak langsung yang ditujukan Hastomo padanya, “I love you… for sentimental reasons… I hope you do believe me… I’m giving you my heart…” Karena pernyataannya tak terbalaskan seperti apa yang ia inginkan, Hastomo kemudian dengan sedih menghampiri Ben yang sedang duduk di balkoni. “Saya bisa mengerti Mas Ben… mungkin kasih yang kamu berikan sebenarnya bersirat kasih sayang antara adik dan kakak belaka… mungkin ini semua saya yang salah mengartikannya… Jadi saya ngga papa kalau Mas kemudian bertambah membenci saya saat ini. Saya seharusnya sudah bersyukur mendapat perhatian Mas. Saya bersyukur atas kehadiran Mas disekitar saya. Your shoulder to cry on. Kalo butuh apa-apa pasti Mas Ben ada buat saya… Memang saya yang salah…. Kenapa saya harus merusak persahabatan kita dengan mengatakan something stupid like… I love you…….” Ben tetap duduk terdiam. “Ya sudah ya Mas… mulai saat ini saya ngga akan mengganggu Mas lagi… terimakasih atas segalanya… permisi.” Hujan yang rintik-rintik menjadi bertambah deras di sana. (Garis Pembatas Jeda ……) Hastomo sengaja memilih untuk berjalan kaki ditengah hujan deras itu untuk menenangkan pikirannya. Daerah yang sepi itu tampak lebih sepi lagi dengan guyuran hujan deras…. “Selamat tinggal danau… kini saya tak mempunyai alasan lagi untuk mengunjungimu di sini” Hastomo bersenyum sedih. Seluruh pakaiannya kini sudah basah kuyup terkena terpaan hujan lebat tersebut. Tubuhnya terasa semakin ringkih. Tulang-tulangnya tak mampu lagi menyangganya. Akhirnya ia terjatuh di tepi jalan aspal itu. Matanya masih terbuka. Napasnya mulai tak teratur. Karena tubuhnya tak kuat lagi, akhirnya ia menghembuskan nafas yang panjang dengan mengeluarkan kata terakhirnya, “Ben”. (Garis Pembatas Jeda ……) Beberapa saat setelah Hastomo pergi. Ben segera turun menyusulnya. Ia berteriak-teriak memanggil nama Hastomo tapi tak ada jawaban yang ia dengar… Kemudian ia segera mengambil Kawasakinya untuk menyusul Hastomo di hujan yang deras itu. Tak lama kemudian ia menemukan sosok Hastomo yang terlihat sempoyongan karena keletihan. Sebelum ia selesai meneriakkan nama Hastomo, adik kelasnya itu sudah jatuh terkapar di tepi jalan sepi tersebut. Segera ia melompat dari motornya dan berlari menghampiri Hastomo. “Has… has… bangun…. Has… bangun… jangan tinggalkan saya Has……. Saya butuh kamu……” Ben mulai berteriak-teriak histeris mengguncangkan tubuh dingin Hastomo. “Saya sayang sama kamu…. Bener!! That’s the truth… Bukannya saya ngga suka sama kamu… I thought I could never love anyone… saya kira pintu hatiku sudah tertutup rapat… I was happy with my old self… that is until I found you… from there I learned how to smile… I learned how to be loved… how to love you…” Ia memeluk tubuh Hastomo yang terkulai dipangkuannya. “Has… bangun dong… I promise that I’ll take care of you from now and ever… Bangun dong Has!!! Saya sayang sama kamu………” Air matanya berlinang bercampur dengan air hujan dari langit yang muram. Perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya. “I knew… you’d come…..” kemudian Hastomo tak sadarkan diri kembali. Bersambung… (Garis Pembatas Jeda ……) Part 9. Ben. TAK. TAK. TAK. TAK. TAK. “Heh… heh… heh… (ngos-ngosan) Mas Ben… udahan dong… capek nih…” “Gila apaan lo? Baru sebentar gini?” TAK. TAK. TAK. TAK. TAK. Suara tongkat kayu beradu. “Sebentar… heh… heh… gimana? Udah hampir tiga jam gini?” “Pokoknya aku mau ngelatih kamu supaya kuat… sedikit-sedikit kok pingsan… lalu aku mau kamu kalau sampai ada preman-preman sinting itu lagi bisa membela dirimu sendiri…” “Tapi capek Mas…. Heh.. heh…mana ada kursus taekwondo model kilat gini?” “Kalo sampe ngga awas, kamu bakal kena gebukan tongkat kayu ini…” “MASS!!!” TAK. TAK. TAK. TAK. TAK. Akhirnya mereka terus berlatih di pinggir danau itu hingga langit berubah wajah menjadi kejinggaan. “Sudah sana balik… dasar payah kau… aku mau ngerokok dulu di sini…” “Ya udah aku temenin ya Mas?” “Daelah… udah sana balik dulu dek… skalian minta tolong Bik Minah masakin buat kita nanti malam…” “Galak amat sih?” “Cerewet!” “Huh… sial……” (Garis Pembatas Jeda ……) KRIEEKKK. Ben menutup pintu kamarnya. “Gila udah sore gini masih panas amat sih?” pikirnya. Diangkatnya sebuah controller untuk pendingin ruangan dan ia menekan tombol ON. SRRRR. Gas freon pada kompressor mesin itu seketika mengubah hawa ruangan menjadi lebih sejuk. “Nah gini dong kan enak…” Satu persatu ia membuka pakaian taekwondonya. Dibiarkannya saja kain-kain tadi berserakan diatas lantai. Pahanya yang terbakar mentari terlihat sangat kokoh sewaktu ia menurunkan celana panjang putih untuk latihan bela diri tadi. Seperti hari-hari biasanya ia jarang mengenakan pakaian di kamarnya sendiri. Suhu tubuhnya yang berkeringat setelah latihan masih terasa panas walaupun pendingin telah dinyalakan. “Sekalian aja ah…” ia menurunkan celana dalamnya. Kali ini ia benar-benar tak mengenakan sehelai benangpun. Perlahan ia melepaskan karet gelang yang mengikat rambutnya di belakang. Seperti iklan shampoo anti-ketombe di TV, rambutnya yang hitam pekat jatuh tergerai dengan lembutnya hingga menyentuh pundaknya yang kokoh. Sekelebat ia melihat bayangan maya tubuh polosnya pada kaca di balik pintu kamar. “Hmm. Not bad. Not bad. Dulu saya orang yang lemah… gampang dipencundangi… not anymore…” ia tersenyum kecut. “Ahhh capeknya……. Latihan setengah hari……” ia menggeliatkan seluruh otot-otot tubuhnya yang jantan itu. Ketika ia mengangkat ketiaknya ia baru menyadari… “Wah kayaknya kudu mandi nih… heheh…”. Bersiul-siul ia membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan selembar handuk putih (100% berbahan Egyptian cotton, hehe, like you’d care anyway). “I’m singing in the rain… singing in the rain…what a glorious feeling, I’m happy again, I walk down the lane, with a happy refrain… I’m singing.., I’m singing in… the rain!!!” handuk itu ia sampirkan diatas pundaknya… Ia melanjutkan siulannya dan bergegas ke arah kamar mandi di dalam ruang tidurnya itu. “I am singing in the…” CLEK. Suara gagang pintu terbuka. “Waaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Sorry… sorry Has…. Aku lupa ada kamu……” dengan gerakan refleks ia menutup kemaluannya dengan kedua belah tangannya. Hastomo yang belum mengenakan apa-apa itu sedang bersikat gigi sembari mengaca. Tak terkecuali, iapun sangat terkejut melihat pantulan bayangan Ben yang telanjang bulat dengan santainya masuk ke kamar mandi. JEBRET. Ben menutup kembali pintu kamar mandi dari luar secara tergesa-gesa. DEG. DEG. DEG. “Cepetan dong… udah asem nih!!!” teriak Ben. “Iya.. iya.. Mas… maap… maap….” Jawab Hastomo yg juga terburu-buru. Kedua wajah remaja pria tersebut merah padam karena malu. Benar, mereka belum pernah melihat yang satu dan lainnya dalam keadaan tidak senonoh seperti tadi. (Garis Pembatas Jeda ……) Pada saat makan makan terjadi suasana yang tidak seperti biasanya. Mereka masih memikirkan kejadian lucu beberapa jam sebelumnya. Keduanya hanya tertunduk diam menatap piring dan makanannya masing-masing. Bahkan telinga Hastomo yang berkulit pucat itupun masih berwarna kemerahan karena malu. “Mau nambah makanannya?” “Mau minum lagi?” keduanya bertanya dalam waktu yang bersamaan. Suasana menjadi bertambah kikuk. “Oh ngga kok, udah cukup” “Iya makasih ya…” kalimat-kalimat bertabrakan kembali. “Eh.. hehehehe” keduanya tersenyum. “Udah ya…” “Aku mau bikin PR dulu….” “Aku mau belajar.. dulu…” Ben memilih ruang makan. Ia menganjurkan Hastomo agar menggunakan kamarnya di loteng. Tentu saja keduanya tak dapat berkonsentrasi pada pekerjaannya masing-masing. Sejak dahulu ada sebuah hal yang mereka inginkan dari satu sama lainnya. Kejadian tadi sore mempercepat proses pemikiran mereka. Keduanya merasa takut untuk meminta. Istilahnya, malu tapi mau. Begitulah dunia remaja! (Garis Pembatas Jeda ……) “Lho padahal kemaren aku ngerti lho di kelas. Ini kalau silinder dipotong dengan penampang dari sini, di titik ini harusnya bisa sejajar dengan garis……WADUHHHHHH mumet… pusing… pusing!!!” Dalam waktu yang berdekatan Hastomopun sedang kacau pikirannya… “Ini kok tau-tau jadi begini… tadi rumusnya apa yah… aduh… emang apa bedanya yang pekat dengan yang encer… ini reaksi bolak balik apa ngga yah…… pokoknya ini semua salahnya si Chrisye!!!”. Guru kimia mereka. Dua jam berlalu tanpa ada hasil yang nyata bagi keduanya. TENG. TENG. Jarum jam menunjukkan angka sepuluh pada malam hari. Akhirnya Ben memutuskan untuk menyudahi PR matematikanya. “Udah lah… besok pagi nyontek aja sama yang lain….” Ia mematikan lampu-lampu di ruang bawah dan menghampiri Bik Minah, “Bik, aku tidur dulu ya, udah malem… lampu udah aku matiin dan jendela semua udah aku kunci. Bik Minah istirahat aja… besok pagi saya tolong dibikinkan roti saja untuk sarapan.” “Den Hastomo nginep sini ya Nyo?” “Iyalah kasian udah malem gini kalo disuruh pulang, bikin rotinya buat dua orang ya…” Hatinya semakin berdegup dengan kencangnya. Ia hampir tak kuasa membuka pintu kamarnya. KRIETTT. “Has… Has… kamu di mana?” “Di luar sini Mas…”. Ben menyusulnya ke balkoni. “Lho kamu ngga terlalu gelap di sini?” “Ngga kok ini tinggal satu soal lagi, masih bingung…” “Ya jangan malem-malem ya, besok kan hari sekolah…” Lima menit Ben menunggu Hastomo di dalam kamarnya. Perasaannya semakin tak menentu. Ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri. Ia mulai berjalan berputar-putar di sekeliling ruangan itu. Akhirnya ia kembali menemui Hastomo di balkoni. “Udah?” “Belon nih Mas… dari tadi ngga ada kemajuannya… Udah Mas Ben tidur dulu aja… (Aduh jangan tidur dulu dong Mas, tunggu aku…). Ntar aku matiin lampu dan kunciin pintu balkoni ini.” “Nggg…. (aku ngga mau tidur sendirian malam ini)… apaan sih… soalnya… kimia?” “Udah gak papa, aku selesaikan paling bentar lagi… (bantuin dong, aku ngga ngerti nih)” “Hmm… (I want you right here, right now)… sini aku liatin….” “Bener nih Mas? (Asik… asik…ditemenin)” Dua menit kemudian. “Nih aku bikinin dulu, udah kelar tuh. Jadi kan? Besok saja aku jelasin yah… udah malem nih (iya makanya ayuh cepetan ke kamar…)” “Oke deh (siapa juga yang mau dengerin ceramah tentang reaksi bolak-balik malem-malem gini). Makasih ya Mas…” “Gak papa” Pandangan mereka beradu selama satu detik yang panjang itu. Wajah keduanya memerah lagi. Kekikukkan kembali lagi. “Eh… hehehe…” Ben menggaruk-garuk kepalanya dengan refleks. “Hehehhe…” Hastomo menundukkan kepalanya. “Yuk udah… banyak nyamuk nih di sini…” Hastomo mengunci pintu balkoni dari dalam kamar dan Ben menutup korden tipis itu. Lampu sudah dipadamkan. Sinar rembulan dan remang lampu jalanan yang menerobos masuk tersaring oleh kain korden. Ben memalingkan wajahnya ke arah lemari pakaian dan dengan cekatan ia berganti pakaian tidur kesayangannya. Kaos putih tipis dan celana piyama. Hastomo pun berdiri memandang ke arah yang berlawanan dan segera bertukar pakaian, kaos tipis dan celana pendek. Ben menempati bagian kanan tempat tidur itu. Perlahan Hastomo duduk ditepi ranjang sebelah kiri. Diam-diam Ben mencuri pandang dan melihat bayangan punggung Hastomo yang terlihat kikuk. Dengan berhati-hati Hastomo menempatkan kepalanya pada bantal yang disediakan untuknya. Ia menjaga jarak agar tubuhnya tak bersentuhan dengan Ben. Ia menutup matanya walaupun ia tahu bahwa ia tak mungkin dapat tidur semudah itu malam ini. Ben mengambil sebuah remote controller. Dan ia menekan tombol Play dikegelapan malam itu. “Rosa…. Morena aum jhay vais morena rosa que sa cosa nun ca meliu e shon da que je mo sap rosa morena… morena rosa…” Sayup-sayup terdengar suara khas Kurt Elling dan gitarnya. Lagi-lagi lirik Portugis berirama santai bossanova menghiasi waktu mereka. Rosa Morena. “Eh, aku ngga mbangunin kamu kan dek?” “Oh ngga kok Mas, aku masih gak bisa tidur juga” “Lho kenapa (iya gue juga tau kenapa sebenernya heheh)?” “Ngga tau deh…” “Dek sini deh…” “Apaan sih… orang udah disebelah gini?” “Kurang deket… sini dong…” ujarnya dengan mesra. Hastomo bergeser sedikit kearah Ben. Kini tubuh mereka bersentuhan. Mendadak suhu ruangan itu meningkat dengan cepat. “Dek, kita udah kenal brapa lama sih?” “Hmm. Kira-kira ampir setahun nih Mas…” “Lalu bener-bener deketnya?” “Ya kira-kira lima bulan terakhir ya?” “Iya ya… lama juga… aku… aku… udah lama pengen nanyain ke kamu tentang suatu hal. Tapi aku takut kamunya malah malu…..” “Apaan sih Mas?” “Hmm… kalau kamu ngga papa… aku pengen….” “…” “Menjadi kekasihmu…..” (WAAAAAA). Girang. “Shhh, ngga usah dijawab dulu lah dek. Pikir aja matang-matang. I mean, kamu tau kan konsekuensinya kalo jalan sama aku. Biarpun aku jatuh cinta setengah mati sama kamu, aku masih canggung kalo diajak pegangan tangan atau ciuman di depan umum… Lagian kan ngga ada yang tau kalo kita… kalo kita…” “… Homoseks?” balas Hastomo dengan santai. “Shh, ngomongya mbok jangan kasar gitu… I mean kita ternyata ngga normal…….” “Iya iya… ngerti…” “Pokoknya kalo kamu sudah siap aja, kapanpun aku mau menerima jawaban kamu” “Bener nih Mas?” Hastomo menatap wajah Ben. Ia melanjutkannya lagi, “Tapi ada satu syarat sebelum itu…” “Hmm… apa nih?” Hastomo bangun sedikit dari posisinya dan ia menempelkan bibirnya pada telinga Ben dan ia berbisik, “I want you to fuck me…” Bersambung… (Garis Pembatas Jeda ……) Part 10. At Last. Ia melanjutkannya lagi, “Tapi ada satu syarat sebelum itu…” “Hmm… apa nih?” Hastomo bangun sedikit dari posisinya dan ia menempelkan bibirnya pada telinga Ben dan ia berbisik, “I want you to fuck me…” Ben terdiam sesaat. “Kenapa Mas? Maaf ya aku terlalu vulgar tadi… Habis aku udah lama banget pengen jadian sama Mas Ben, cuman kok kayaknya yang situ ngga bener-bener tertarik sama aku…” “Tertarik sih udah pasti dek…” ia tersenyum lembut penuh kasih “Tapi…” “Tapi apa?” “Tapi kalau ngga dihitung kejadian masa kecil aku dulu, aku sebenernya…. Belon pernah…” “Belon pernah bercinta?” “Belum…. Kalau kamu sendiri?” “I… iya saya juga… ehm, masih perawan ting-ting.” “Apa kamu yakin sama saya Has? Maksud ku… sekali ilang… ngga balik lagi lho yang namanya virginity….Dan lagi…. sejak kejadian tragis masa kecil itu, saya sering kali tanpa sadar takut akan hubungan seks…. Saya takut nanti saya menyakiti kamu… padahal Mas ngga mau cuman sekedar ngentot sama kamu… I want to make love with you…. I want to make love with your heart, body and soul… agar…” “Kita dapat sepenuhnya bersatu…..” “Iya…” “Mas… Nah jawabannya ada di Mas Ben sendiri…” “Lho?” “How deep is your love?” “THIS DEEP!!!” Ia membalikkan tubuh Hastomo dan memeluknya dari belakang. Bibirnya ia dekatkan pada telinga Hastomo yang dengan segera ia kecup. Tubuh adik kelasnya itu ia dekap dengan erat. “I’ve never felt this safe before…..” ujar Ben. “Seharusnya saya yang bilang gitu Mas… ada jagoan taekwondo di sini hehe…..” Dari posisi itu Hastomo memutar kepalanya sedikit dan ia mempersiapkan bibirnya untuk menerima kecupan dalam dari sang kakak kelas. Lima menit berlalu. Mereka masih terkunci dalam posisi ciuman dasyat itu. “Mmm… mmm….. mmm…” “Hmmm.. mm…….mmm…” CEPLOK. Suara kehampaan udara akibat terbukanya ciuman itu terdengar keras. Keduanya terengah-engah karena kekurangan oksigen. “Sekarang Has?” “Iya Mas… make love to me….” Tangan kirinya menggerayangi paha Hastomo. Jari jemarinya ia masukkan kedalam bukaan kaki pada celana pendek Hastomo. “Sialan… udah nyiapin ya…. Ngga pake celana dalem gini…hihi…” “Alah… kayak aku ngga tau aja.. Mas Ben dari tadi juga udah napsu…” “Lho tau dari mana?” “Dari habis mandi sampe makan malam, barangnya setengah konak terus gitu…” “Oh ya? Hehehe” Mereka berciuman lagi. “Coba yang ini dulu ya kan kamu belon pernah…” Ben melumuri jari tengahnya dengan liur dan perlahan memasukkan ruas tersebut ke daerah yang tak pernah terjelajahi sebelumnya. Celana pendek Hastomo sudah terangkat sampai kedua belahan pantatnya hanya terpisah oleh lilitan pemisah kaki pada celana itu. “Sss… sakit ngga Has…” “Hmmm… “ “Tambah ya…” kini dua ruas jari Ben dengan perlahan ia masukkan kedalam liang kenikmatan Hastomo. Tiga. “Sakit ngga?” “Hmmm…. Shhh diem ah… ayo terus…” Ben melanjutkan gerakan maju mundur yang ia simulasikan pada anus Hastomo. Tampaknya ia sangat menikmatinya. Ben mengeluarkan batang kelelakiannya dari dalam celana piyamanya. Dasar batang itu penuh dengan bulu-bulu halus berwarna coklat tua. Karet piyama itu ia turunkan hingga bokongnya telanjang, yang penting kemaluannya yang sudah sangat keras ini bisa terbebas dari kekangan. “Sekarang dek?” “Iya Mas!!” Dengan sengaja Hastomo tak menyentuh ataupun melihat kekerasan batang kemaluan kekasihnya. Biarkanlah itu menjadi sebuah kejutan yang nikmat, pikirnya. Perlahan Ben menempatkan kepala penisnya pada bibir anus Hastomo. “Dek… relaks… buka dirimu untukku sepenuhnya…” Suara Ben yang empuk dan pilihan kata yang tepat membuat diri Hastomo terbang bersama awan. “Dek, sakit ngga?” Ia merasakan kepala tumpul tadi menembus keperawanannya dengan perlahan. “Mas… kepalanya udah masuk semua?” “Belum, aku takut kamu sakit…” “Ayo lah… daripada gantung gini……” “Hmmphhhhhh” kepala besar itu akhirnya diselimuti otot depan dari liang anal Hastomo. Dengan lembut kepala tadi menyentuh titik prostat kenikmatan dalam lubang hangat itu. “Aaahhhhh, Mas…” “Aduh…aduh… aku cabut ya?” “JANGAN!!!!” “Ahhh, ayo Mas.., masuk terus…” “Hmmphhh” perlahan-lahan Ben menembus kerapatan lubang itu. “Kepalanya udah masuk semua Mas?” “Iya… emang kenapa?” “Lho kan habis kepalanya masuk, ukuran kelilingnya kan seharusnya agak mengecil?” “Iya nih.. hehe…” ia tertawa malu. Kejutan selanjutnya tak Hastomo perhitungkan. “Mmm… maap tadi aku “lupa” bilang dek… hihi… jika sudah benar-benar ereksi… burungku ini berbentuk kerucut sebenarnya, semakin kebawah ya semakin besar…” “Walah…” “Mau dicabut aja ya?” tanya Ben dengan was-was, ia takut kejantanannya akan menyakiti Hastomo. “Jangan dong… ada perasaan padat yang nikmat dibawah sana… hangat rasanya diriku memeluk batang Mas Ben… Ayo mas dihabiskan saja!!” “Bener ya…” “Hmppphhhh” “Has… has? Kamu ngga papa?” “Hmmphhh… hah… hah… hah… (ngos-ngosan) Mas… seberapa besarnya itu dibagian dasar?” “Ini belon sampai di dasar dek… Nah sekarang baru tibalah kita….” “Hmmpphhhhhhh” Hastomo merasakan sentuhan rambut-rambut kemaluan Ben yang lebat pada kedua belahan pantatnya yang mulus. “Ini kelilingnya lebih gede dari KALENG BIR!!!!” “Iya… iya… sorry deh… mau dicabut bilang ya….” “Ngga.. jangan…. Sekarang kekosongan dalam diriku barulah terasa benar-benar terisi…. Biarin dulu aja di situ selama beberapa saat Mas… mungkin nanti jepitan akan melemas setelah sedikit relaks…” Mereka terbaring di sana selama beberapa saat dengan ereksi penuh Ben didalam liang perawan Hastomo. Batang monster berbulu itu semakin mengeras di dalam tubuh Hastomo. Otot-otot disekeliling keperkasaan lelaki itu terus menerus meremasnya dalam gerakan peristaltis. “Makasih ya Has…” “Makasih juga Mas…” air matanya menetes. “Lho kamu kenapa, sakit ya?” “Pertamanya memang sakit, tapi lama-lama semua itu berubah menjadi kenikmatan. Apalagi setelah otot penis Mas mulai juga menggerayangi tombol kenikmatan saya… Ah seperti di surga rasanya…..” “Lalu kenapa kamu mengeluarkan air mata?” “Saya sangat bahagia malam ini Mas… sangat bahagia?” ia dengan bangga mencium kekasihnya. “Saya akan membuatmu lebih bahagia lagi Dek…” Dengan itu ia mulai memaju mundurkan posisi penisnya di dalam lubang sempit itu. “Arghh… mmmm…mmmmmmmm….. Mas Ben…” “Apa Dek?” “I love you….” “I love you too honey….” Suara gesekan batang besar itu mulai terdengar. Tepukan pantat Hastomo yang menyentuh selangkangan Ben pun mulai bersuara. FLAP. FLAP. FLAP. Cairan pelumas dalam liang anusnya mulai mengecer dalam jumlah besar. FLAP. FLAP. FLAP. Tarikan keluar akan membawa cairan pelumas menetes dengan pelan keluar dari anus Hastomo. FLAP. FLAP. FLAP. Buah zakar Hastomo yang hampir tak berbulu sama sekali terasa sangat sensitip bersentuhan dengan buah zakar Ben yang kasar dan berbulu lebat. FLAP. FLAP. FLAP. Dengan kasar Ben melepas kaos tidur Hastomo. FLAP. FLAP. FLAP. Ia pun dengan napsu yang tak tertahan mengoyak kaos tidurnya sendiri. FLAP. FLAP. FLAP. Tiba-tiba punggung Hastomo yang lembut dan mulus beradu dengan kehangatan dada dan perut yang penuh bulu milik Ben. FLAP. FLAP. FLAP. “Dekap aku Mas… dekap aku……” gesekan bulu lebat dipunggungnya membuat dirinya hampir tak kuat lagi menahan. Dari belakang, tangan kiri Ben sibuk membelai-belai putting dan dada Hastomo yang lembut itu. Tangan kanannya pun sibuk memeras-meras penis Hastomo yang sudah hampir menuju puncak kenikmatannya itu… THE END. (Rese’ kan selesai di sini? Hehe) (Garis Pembatas Jeda ……) Fakta dan Keterangan 1. Semua nama dan karakter hanya rekaan belaka, bila terjadi kemiripan tokoh dan karakter ya.. maaf-maaf saja 2. Corcovado, daerah religius yang memiliki patung Yesus dibangun di sebuah bukit di pinggir kota Rio de Janeiro, Brazil. Pemandangan ini membuat Antonio Carlos Jobim terpana dan menulis lagu berirama Bossanova yang diberi judul yang sama, Corcovado. Terimakasih juga saya haturkan kepada beliau yang karyanya telah memberi inspirasi untuk menciptakan tulisan ini. 3. Slangs: Palkon = Kepala Kontol, Kepala Penis, Glandula; Ngentot = Berhubungan Sex; Konak = Kontol Naik/ Ereksi. 4. Saya ndak bisa bisa berbahasa Portugis jadi maap saja bila terjadi banyak kesalahan teknis bahasa. 5. Ikuti kisah Jon-jon dan kawan-kawan selanjutnya dalam “Misteri Siluman Terbang”. 6. Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@toughguy.net.