Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Karena Aku Berbeda

by Andra


Di awal musim penghujan pohon-pohon mulai menumbuhkan tunas mungilnya yang indah. Alam kelihatan menjadi lebih segar dengan warna hijau setelah sekian lama di musim kemarau hanya kegersangan yang terlihat. Dari jendela perpust, kulihat bunga lily yang sedang mekar, indah sekali warnanya. "Bruk!" "Busyet!" Aku terhenyak kaget. Setan manapula yang siang-siang begini bikin kaget orang. Monster jelek itu ternyata Iwan. Dengan wajah tanpa dosa ia duduk di depanku. Dimeja terlihat buku-buku yang tadi ia lemparkan. "Iseng banget, lo!" Kupelototi iwan dengan hati gondok. "Kaget ya?" Dengan matanya yang polos Iwan menatapku. "Dih, pake nanya lagi! Bukan cuman kaget jantung gue hampir copot nih!" "Kebetulan gue bawa lem, mau di rekatkan lagi?" Iwan mencondongkan badannya ke arahku. "Makanya Jangan suka ngelamun!" Aduh aku geregetan banget sama anak yang satu ini, coba kalau enggak di perpus sudah habis anak itu aku jitakin kepalanya. "Apa sih yang elo lamunkan?" Mata bulatnya kembali menatapku. "Ngapain tanya-tanya!" "Kali aja bisa bantu. Abis gue lihat akhir-akhir ini elo ngelamun melulu." Iwan menyandarkan badannya tanpa melepaskan tatapannya dariku. "Udah, elo urusin aja si Itamu!" Kembali ku buka buku-buku yang tadi sempat aku telantarkan. "Oh, iya tadi gue ketemu Pipit. Dia ngasih salam ama elo" "Thanks" Aku menjawabnya tanpa melepaskan diri dari bacaanku. "Garing gitu?" Iwan menatapku dengan heran. "Garing gimana?" Kutatap matanya dengan tajam. "Ya udah deh enggak usah di bahas lagi." Iwan menyandarkan kembali tubuhnya kekursi. Dilemparkannya sebuah buku kepadaku. "Tugas filsafatnya udah selesai belon?" "Mau nyalin?" Aku sudah paham banget dengan gelagatnya. "Kalau elo pengin dapat pahala." Iwan tersenyum dengan liciknya. Malam sudah menunjukan pukul 24.00 WIB tapi mataku belum juga bisa di pejamkan. Entah kenapa wajah itu terus terbayang-bayang dimataku. Tuhan apa sebenarnya yang terjadi pada diriku, kenapa harus wajah dia yang selalu terbayang? Kenapa bukan Pipit, Vina atau Lala? Tuhan kenapa? Kenapa harus wajah Ken? Kenapa aku harus membayangkan wajah seorang lelaki? Kenapa aku harus berbeda? Mataku terus menerawang dengan pikiran yang makin kacau. Aku bingung dengan diriku sendiri, bingung dengan rasaku, cintaku dan segalanya bahkan aku bingung dengan diriku sendiri. Keneth adalah temanku di sebuah organisasi Fotografi. Ia menjabat sebagai ketua umum sedangkan aku wakilnya. Kebersamaan yang selama ini terjalin ternyata telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku tanpa mampu kutahan. Ken yang apa adanya, Ken yang ganteng, Ken yang idola cewek dan Ken yang konyol telah membuat segalanya berubah. Ken telah membuat aku menjadi seorang pelamun tolol yang tak bisa melepaskan ingatan dari seraut senyumnya dan berharap bisa menjadi sepasang kekasih. Busyet! Pikiran ngawur yang sebenarnya ku tahu itu mustahil menjadi kenyataan. Aku hanya bisa memendam rasa itu. Aku masih cukup waras untuk mengungkapkan sesuatu yang pasti akan menjadi bahan olokan. Sore itu sehabis rapat seminar fotografi aku tak langsung pulang. Masih banyak yang harus kukerjakan di markas. "Ton, entar elo nginep aja disini, biar malam nanti kita bisa bisa lembur bikin stiker." Keneth ikit berjongkok disampingku. Diambilnya berkas-berkas yang sedang kuberesakan. "Udah, biar Mae yang ngeberesin." Keneth meletakan kembali berkas-berkas itu, ia kemudian berdiri. "Disainnya udah dibikin?" Aku ikut berdiri. " Udah, kita tinggal nyablon aja." "Oh, iya Ken, gimana proposal yang ke HOTMA, udah dapat tanggapan belon?" Kutatap mata Ken yang bening, sungguh terasa getaran yang nyata. Tak kuat. Segera kupalingkan wajahku kelain tempat. "Belon. Kayaknya besok kita harus nanyain lagi kesana. Kalo enggak gitu turunnya dana lama" Ken kemudian membaringkan tubuhnya di lantai yang biasa buat kami tidur. " Ough! Tulangku terasa rontok." Ken melenguh dengan kerasnya. "Kumpulin. Kali aja laku dijual.Buat sop kikil! Aku menyahut lenguhan Ken. "Emangnya kambing!" Ken melotot "Tapi baunya kan sama." Aku tak dapat lagi menahan tawaku. Ken segera melemparkan sebuah buku kepadaku. "Elo tuh yang enggak pernah mandi!" Aku menghindar dari lemparan Ken sambil terus tertawa. Setelah tawaku agak reda kembali kudekati Ken. "Mau gue pijit?" Aku berusaha menahan tawa yang tersisa. "Tampang kaya gitu bisa mijit. Cari aja calon penumpang di terminal!" " Yaah…belum tahu dia! Pendekar tangan buntung kalah pijatannya ama gue!" "Terang aja, enggak punya tangan!" Ken menimpuk kepalaku dengan bantal. "Ya, udah. Mau di pijit enggak? Serius nih." Aku kembali menawarkan jasa. "Ya , udah" Ken kembali menelungkupkan badannya. "Entar kita gantian." Oh Tuhan apa yang terjadi aku merasakan semangat dan kebahagiaan yang tak terhingga ketika menyentuh tubuhnya. Jantungku seakan berhenti berdetak dan darahku mengalir dengan kencangnya. Segalanya menggelora mencoba mencurahakan rasa sayang yang selama ini terpendam. "Elo ternyata mempunyai bakat terpendam, Ton" Aku tergagap mendengar suara Ken yang tiba-tiba. "Makanya jangan suka ngina kalau belom mencoba!" Aku berusaha mengatasi gejolak didadaku. "Harusnya Elo buka praktek di terminal, kan banyak supir yang kecapean" Tampaknya Kent mau membalas dendam atas ledekanku tadi. "laris dong!" "Asem!" Kucubit belikat ken dengan keras. "Aw!" ken menjerit dengan suksesnya, aku kembali tertawa. "Gila loh! Sakit tahu" Ken kemudian jongkok sambil memegangi punggungnya yang tampak memerah. Wajahnya terus meringis. Dilontarkan berbagai sumpah serapah yang malah membuat ketawaku makin kencang. Di tengah riuhnya tawaku tiba-tiba HP Kent berbunyi. Kent segera mengambilnya dari tas, terlihat wajahnya berubah menjadi ceria saat berbicara. "Dari siapa Kent?" Aku penasaran. "Nyonya nyuruh aku dateng kerumah. Katanya ada kejutan."Tawaku perlahan mengabur. Hatiku tiba-tiba terasa hampa. "Maya?" Aku bertanya untuk sesuatu yang sebenarnya sudah kutahu jawabannya. "Emangnya ada berapa yayangku?" Kent menanggalkan bajunya dan kemudian melemparkannya ke wajahku. "Kali aja elo punya simpenan" "Deposito kali!" Kenth segera ngacir kekamar mandi. Dan aku terus memandangnya dengan hati yang tercabik-cabik. Malam itu Aku dan Kent lembur membuat stiker sampai pukul 02.00 WIB. Anak-anak kelihatan sudah pada teler Kecuali "Pay The gank" yang asik main kartu. " Wah akhirnya selesai juga!" Aku meregangkan tanganku yang terasa pegal. "Beresinnya besok aja ya, Ton. Enggak kuat nih." Kent berdiri kemudian meliuk-liukan badannya. Terdengar bunyi gemeretak dari tulang-tulang Kent. "Iya, gue juga udah ngantuk nih!" Aku ikut berdiri kemudian menyusuk Kent untuk cuci tangan. "Hai! Stikernya gimana nih, masa mau dibiarin kayak gini? Entar kita tidur dimana?" Pay protes melihat kita membiarkan stiker-stiker itu masih berserakan di lantai, padahal hanya di situ tempat yang tersisa buat mereka tidur. "Beresin sendiri kalo butuh!" Aku terus saja berlalu tanpa memperdulikan Pay yang sewot. Malam sudah semakin larut bahkan menjelang fajar. Kulihat teman-teman semuanya sudah terlelap. Pay pun tampak nikmat tidur disela-sela kaki teman-teman. Tapi seperti biasa aku tak juga bisa memejamkan mata. Kent sekarang ada di sampingku, tidur dengan nyenyak. Wajahnya kulihat begitu bersih dan damai. Oh aku ingin mengusapnya. Membelainya, memberinya rasa sayang… Perlahan dengan gemetar kujulurkan tanganku mendekati wajahnya. Nafas kent begitu teratur. Jemariku makin mendekat kewajah kent dan gemuruh dadaku makin berpacu. Tinggal satu gerakan lagi aku akan mampu menyentuhnya ketika kesadaran itu hadir. Tidak itu tidak boleh! Kent adalah temanku. Aku tak boleh menghianatinya. Sesaat badanku bergetar dengan hebat, degup jantungku terus berpacu dengan rasa sakit yang makin mengiris. Tuhan, aku ingin menangis…Kupalingkan mukaku dari wajah Kent. Terus memandangnya hanya akan menimbulkan rasa perih. Ku pejamkan mataku ketika setetes air hangat bergulir. Begitu perihkah cinta? Aku mencoba untuk tidur. Walaupun sulit akhirnya aku bisa juga terlelap. Perlahan aku membuka mata, terdengar suara ribut-ribut didapur. Siapasih yang pagi-pagi begini bikin onar? Aku menutup telingaku dengan kain spanduk yang tadi malam kubuat bantal, tetapi ternyata percuma. "Roni, pergi!!!" Terdengar lengkingan Tina yang cempreng. Ia memang biasa menginap di markas. Anaknya emang rajin dan penuh dedikasi. "Loh kenapa? Guekan mau bantu masak" "Bantu apaan! Elo dari tadi ngabisin kerupuk melulu!" "Namanya aja bantu nyicipin" Roni sepertinya tak mau ngalah. "Dih! Udah sana pergi" Tina tampaknya makin sewot. "Gue laper nih" Suara Roni tiba-tiba bgitu memelas. "Emangnya elu aja! Sana mandi dulu entar kita makan bareng." Tampaknya Roni nurutin omongan Tina, buktinya suasana kembali sepi. Yang terdengar hanya suara krupuk yang sedang di goreng. Tetapi ternyata kedamaian itu tidak berlangsung lama. Suara TV yang keras kembali memekakan telinga. Aku membuka mataku dengan kesal, sekaligus takjub dengan teman-teman lain yang masih ngorok tanpa merasa terganggu dengan berbagai insiden ini. "Hei bangun! Bangun! Udah siang nih!" Terdengar suara Kent. Dengan berat aku mencoba duduk. Kulihat Kent sedang mengeringkan rambutnya setelah selesai keramas. "Jam berapa Kent?" Aku heran. Tumben hari sabtu gini kent bangun pagi. "Setengah tujuh. Cepetan bangun biar rejekinya enggak di serobot orang!" "Blagu luh! Baru kali aja bangun pagi." Aku kemudian bangkit. Kulipat kain sepanduk yang baru aja ku pakai. "Elo mau kemana, tumben udah mandi?" "Biasa, janji ama yayang" Kent mengedipkan matanya dengan nakal. "Kalo elo mau mandi pake aja handuk gue!" Aku cuman tersenyum mendengar tawaran Kent, kemudian dengan langkah gontai kulangkahi tubuh Pay yang masih ngorok. "Makasih, Kent" Selesai mandi kulihat Kent sudah pergi sementara Tina juga sudah selesai masak. "Wah, kayaknya enak nih!" Kudekati Tina yang sedang memindahkan sayuran ke dalam mangkuk. "Jelas dong. Siapa dulu yang masak!" "Tina!" Sahutku sambil mencomot sepotong tempe goreng dari piring. "Ton, bangunin dong temen yang lain, biar tempatnya buat makan rame-rame." "Oke deh!" Aku bertindak sigap. Sore itu aku sudah mau pulang dari markas ketika Keneth datang dengan wajah yang ceria . "Ton, tadi gue kenalan ama cewek. Wiih, cuakep banget!" Mata Kent terlihat berbinar-binar. "Jangan gila loh. Maya mau di kemanain?" "Enggak di kemana-manain. Tapi punya serep enggak salah dong!" "Dasar playboy kelas cebong!" Kupukul pundak Kent. "Yeeh, cemburu aja!" Keneth menjulurkan lidahnya. "Dih, ngapain musti cemburu. Kayak engak ada cewek lain aja" "Udah jujur,jujur!" Kenth terus meledeku. "Gue juga rela kok kalo elo mau, biar enggak jomblo terus!" Kent tertawa ngakak. Aku segera berlalu sambil bersungut. "Emangnya gue perjaka tua. Masih sanggup gue nyari seribu cewek kayak gitu." "Eh, elo mau kemana?" "Pulang!" Sahutku tanpa menghiraukan lagi gurauan Kent. Ah, Kent kalau kau tahu betapa hatiku sakit… Malam belum larut benar ketika hujan turun dengan derasnya. Dari jendela kamar kulihat benang-benang halus yang di sorot lampu neon jatuh ke tanah dan membentuk rumput-rumput kaca kemudian buyar mengalir keselokan. Malam ini aku enggak menginap di markas karena banyak tugas kuliah yang harus kuselesaikan. Tetapi ternyata aku tak bisa berkonsentrasi. Wajah Kent terus saja hilir mudik di depanku. Senyumnya, tatapannya…Sepertinya aku sudah gila! Kugores-goreskan tanganku di kaca yang berembun yang akhirnya membentuk sebuah nama "Keneth" Gila! Aku mendesis sambil menghapus nama itu, segera aku tutup kordennya. Dengan kesal aku menghempaskan tubuhku di ranjang. Ken…Ken…Ken…kenapa aku harus mengingat nama itu? Kenapa aku harus membayangkan wajah itu? Kenapa aku harus jatuh cinta kepada Ken? Kenapa? Kupejamkan mataku berharap bayangan itu sirna, kenyataannya malah makin menggila. "Tuhan, kenapa aku harus tersiksa seperti ini?" Kuremas dengan erat rambutku menahan emosi yang semakin membuncah. Aku benar-benar tak kuat lagi. Kent seperti sebuah penjara yang mengekang pikiran dan mengekang semua akal sehatku. Tak ada lagi yang bisa kupikirkan selain Kent dan Kent. Sementara aku juga teramat paham itu adalah hal mustahil. Tuhan mengapa kau beri aku sebuah cinta seperti ini? Tanpa kesempatan untuk mencurahkan rasa sayang, bahkan kesempatan untuk gagal sekalipun. Sebuah cinta yang menyakitkan, aneh dan memuakan, aku benci ini! Aku benci kenapa harus berbeda. Kupandang fotoku bersama teman-teman saat kemping semester kemarin. Begitu akrab dan ceria. Mereka memeluku dengan erat seakan kami adalah saudara. Tapi entahlah kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya, apakah mereka akan tetap seperti itu atau menjauhiku dengan rasa jijik dan tatapan aneh. Tetapi yang pasti segalanya akan berubah, dan aku tak ingin itu. Perlahan satu persatu wajah temanku berlintasan dengan senyum dan segala keakrabannya telah siapkah aku bersikap jujur dan kehilangan mereka? "Tuhan kenapa?" Aku mendesis tanpa melepaskan pandanganku dari foto teman-teman. Mataku tiba-tiba terasa panas. Cinta telah membuat aku menjadi cengeng. Terlintas juga kemudian wajah kedua orang tuaku yang telah mengorbankan segalanya demi aku, wajah teteh-tetehku yang sangat menyayangiku, wajah adiku yang banyak mengalah demi aku, wajah ponakanku dan wajah semua saudaraku. Mereka begitu membanggakan aku dan menganggap aku sebagai seorang anak baik yang berprestasi. Anak kesayangan dan kebanggaan keluarga, anak harapan keluarga, anak yang selalu di jadikan contoh… Yaa Tuhan apa yang akan terjadi kalau mereka tahu kenyataannya. Akankah semua mimpi itu buyar sementara pengorbanan telah tumpah dan aku belum berbuat apa-apa? Dan haruskah banyak hati yang terluka dan kecewa? Haruskah …melihat tatapan kasih ibuku saja aku ingin menangis. Kugigit bantalku dengan keras, menahan isak tangis yang hampir pecah. Tapi aku benar-benar sudah tak kuat lagi. Aku sudah tak tahan. Aku sudah lelah. Dalam keputusasaan bahkan ingin kuakhiri saja hidupku yang tidak mempunyai guna. Tapi akankah kematian bisa mengakhiri segalanya? Bisakah ia membawaku terbang kelangit biru dan melepas semua lukaku? Bisakah ia memberi sebuah arti? Ataukah ia hanya akan memberiku sebuah isak tangis dan tatap sesal dari para pelayat? Akhirnya aku benar-benar menjerit sambil melemparkan bantalku.ke arah fotoku di meja. Aku muak dengan diriku sendiri. Terdengar bunyi benda-benda berjatuhan dan pecah. Ipong teman sekamarku yang habis nonton TV kaget melihat kamar yang berantakan. "Ton, ada apa ini?" Ia bergegas menghampiriku. "Ton, ada apa?" Dipegangnya pundakku dengan rasa khawatir. Aku terus meringkuk sambil memeluk guling dengan erat dan menyembunyikan wajahku di dalamnya. Kutahan dengan kuat suara tangisku namun guncangan di bahuku tak akan menipu Ipong. "Ton, kamu kenapa?" Ipong terus bertanya, nadanya kelihatan semakin cemas. "Kalau ada masalah ngomong aja, Ton siapa tahu aku bisa bantu" Aku tetap diam dalam tangisku. Tak akan ada yang bisa membantuku, tak ada. Ipong terlihat semakin bingung. "Ton…" Diguncang-guncangkannya tubuhku, kemudian dengan paksa dia mencoba membalikan tubuhku. "Kenapa Ton?" Di cengkramnya pundaku dengan erat. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku hanya menatapnya dengan nafas tersengal-sengal menahan tangis dan rasa sesak didada. "Ton, kenapa…" Suaranya terdengar bergetar. Melihat aku yang hanya diam dengan tubuh terguncang dan nafas yang tersengal Ipong makin mempererat cengkramannya.. Sesaat kami hanya saling memandang. Bibir Ipong kulihat bergetar seperti hendak mengatakan sesuatu…tapi tak ada suara yang keluar, Ipong malah memeluku dengan erat. Tak ada reaksi dariku, Ipong kelihatan semakin cemas. "Ton, jangan seperti ini! Keluarkan saja tangismu kalau itu akan meringankanmu" Erat sekali Ipong memeluk tubuhku. "Ton, menangislah!" Ipong melepaskan pelukannya. Kemudian dia memegang kepalaku. "Menangislah Ton, menagislah…" Melihat wajahnya aku semakin sedih akankah ia seperti ini bila tahu siapa aku sebenarnya? Akankah Ton? Terus kupandangi wajahnya dan akhirnya aku tak kuat lagi aku benar-benar menangis. Keluarga dan sahabat-sahabatku yang baik, aku tak ingin kehilangan mereka aku tak ingin mengecewakan mereka apapun yang terjadi, terlebih oleh cinta yang memuakan ini. Aku harus segera membuangnya atau memendamnya meski hatiku harus tercabik-cabik. Merekalah miliku, miliku yang sebenar-benarnya. Pergilah Ken! Jangan bayangi aku terus. Jangan! kontak: tekerus@yahoo.com


###

2 Gay Erotic Stories from Andra

Kakek broto

Sore yang sangat tidak bersahabat. Aku melihat gumpalan awan hitam di langit, berarak-arak seperti gerombolan monster yang sangat menakutkan. Sesekali kilat juga menyambar-nyambar membuat orang harus berpikir 1000 kali untuk keluar rumah. Aku masih bersungut-sungut di kamar, sementara buku berserakan di mana-mana. Perasaan semuanya sudah di keluarkan, tapi buku filsafat yang aku cari

Karena Aku Berbeda

Di awal musim penghujan pohon-pohon mulai menumbuhkan tunas mungilnya yang indah. Alam kelihatan menjadi lebih segar dengan warna hijau setelah sekian lama di musim kemarau hanya kegersangan yang terlihat. Dari jendela perpust, kulihat bunga lily yang sedang mekar, indah sekali warnanya. "Bruk!" "Busyet!" Aku terhenyak kaget. Setan manapula yang siang-siang begini bikin kaget orang.

###

Web-01: vampire_2.1.0.01
_stories_story